Sinau Bareng: Rendah Hati dalam Mencari Kebenaran

 

Pada masa pandemi ini, salah satu hal yang tentunya sangat dirindukan oleh Jamaah Maiyah adalah Sinau Bareng. Setiap orang dari berbagai latar belakang berkumpul bersama. Cak Nun, bersama beberapa narasumber yang beliau undang, akan membahas suatu isu. Dan, setiap orang yang datang berkesempatan untuk bertanya atau mengemukakan gagasannya.

Sinau Bareng jika diterjemahkan secara harfiah berarti Belajar Bersama. Pemaknaan belajar di sini adalah menggali falsafah-falsafah kehidupan. Memberdayakan akal, pikiran, dan hati sehingga mampu bersikap kritis dalam melihat suatu fenomena. Kita tentu tidak tahu kapan forum Sinau Bareng yang biasa dihadiri oleh ratusan hingga ribuan orang itu akan hadir kembali. Kita tentu sudah sangat rindu untuk bersilaturahmi dan melantunkan shalawat bersama-sama.

Untuk mengobati kerinduan tersebut, Bentang Pustaka bekerja sama dengan Progress (Manajemen Cak Nun dan Kiai Kanjeng), menggelar Sinau Bareng daring yang ditayangkan di YouTube. Sinau Bareng kali ini membahas buku terbaru Cak Nun yang terbit pada Agustus, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Dimoderatori oleh Helmi Mustofa, narasumber yang turut hadir dalam acara ini yaitu Iqbal Aji Daryono (esais dan pengamat media) serta Iman Budhi Santosa (Budayawan).

 

Andhap Asor (Rendah Hati) dalam Belajar

Buku terbaru Cak Nun ini menguliti fenomena pencarian kebenaran pada diri setiap insan. Menurut Iqbal, orang-orang yang datang ke Sinau Bareng pasti memiliki bekal perasaan andhap asor. Karena, jika mereka berangkat dengan kesombongan dan perasaan pasti benar, tidak mungkin menuju atmosfer belajar bersama. “Sama halnya dengan para calon mahasiswa yang datang ke Yogyakarta. Banyak orang dari luar daerah ke Yogya untuk belajar. Berarti ada niatan untuk belajar. Iklim Sinau Bareng banyak muncul di buku Mbah Nun. Simbah tidak terus memosisikan diri sebagai pihak otoriter, beliau menganggap anak cucunya juga sebagai sumber kebenaran, sebuah insight yang penuh kewaskitaan.”

Perihal rendah hati dalam mencari ilmu juga dicontohkan oleh Iqbal melalui pengalaman pribadinya. Suatu waktu, ketika masih bermukim di Melbourne, Iqbal mengajak putrinya untuk mengunjungi museum. Ketika melewati patung dinosaurus, putrinya kemudian berkata, “Pak ini bentuk dinosaurus, but it can be right, it can be wrong.” Iqbal yang tertarik dengan pernyataan itu pun bertanya lebih jauh mengapa bentuk dinosaurus itu hanya mengira-ngira. Jawabannya sungguh menarik: karena sudah tidak ada. Scientist hanya menduga-duga dari sedikit yang dia tahu lalu menyimpulkan.

Bagi Iqbal, itulah contoh paling konkret dari spirit pendidikan yang andhap anshor.  Keyakinan tak perlu dipegang terlalu erat karena pada prosesnya bisa benar atau salah.

 

Berhati-hati dalam Melangkah

Jika Iqbal menekankan pencarian kebenaran pada prinsip rendah hati dalam berilmu, Romo Iman memberi contoh lain melalui filosofi di balik pesan “hati-hati di jalan”. Pesan tersebut sesungguhnya tidak berarti berhati-hati terhadap segala hambatan di jalan. Namun, ada makna yang jauh lebih dalam. Dalam falsafah Jawa, dikenal peribahasa “Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang, dalane orang mung siji” [Tersandung di jalan yang rata, terbentur langit, (maka ingatlah) tidak hanya ada satu jalan]. Segala sesuatu yang serba mulus dan lancar terkadang menyimpan jebakan di baliknya. Jalan yang rata tetap bisa membuat kita terjatuh karena tersandung oleh kaki sendiri.

“Maka, carilah yang pener [sesuai], bukan sekadar benar,” nasihat Romo Iman. Sikap penuh hati-hati dalam mencari kebenaran juga merupakan prinsip dalam forum Sinau Bareng. Para Jamaah Maiyah diajak untuk berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya. Begitu pula ketika mendengarkan pendapat orang lain. Karena bisa jadi, kebenaran itu bukanlah apa yang terbaik untuk kita, melainkan justru yang terbaik untuk sesama.

Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

Cak Nun: Tuhan Tidak Pernah Menciptakan Sampah

 

Pernahkah sedetik saja terlintas di pikiran kita, apa sebenarnya guna kecoa, tikus, atau lalat? Jika hewan-hewan tersebut sangat mengganggu kehidupan kita, untuk apa mereka diciptakan? Pertanyaan menggelitik mengenai misteri ciptaan Tuhan ini disinggung dengan sangat apik oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar.

Buku yang terbit pada Agustus 2020 ini mengisahkan perbincangan mendalam antara Simbah dan ketiga cucunya: Gendhon, Péncéng, dan Beruk. Salah satu pokok bahasan yang ramai mereka diskusikan adalah filosofi di balik minuman wedang uwuh.

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri, Yogyakarta. Dalam bahasa Jawa, wedang berarti ‘minuman’ dan uwuh adalah ‘sampah’. Kalau begitu, wedang uwuh sama saja dengan minuman sampah, dong? Lalu, untuk apa kita meminum sampah? Menurut para penjual minuman ini, disebut uwuh karena isi minumannya penuh rempah dan daun sehingga dari luar menyerupai tumpukan sampah.

Akan tetapi Cak Nun, yang selama ini kita kenal sebagai sosok yang mampu menguliti lapisan terdalam dari sebuah fenomena, memiliki pandangan khusus mengenai penamaan wedang uwuh ini. Berikut ini beberapa makna tersirat yang dibahas di dalam buku.

 

Jangan Sekadar Melihat Materi, Lihatlah Nilai di Baliknya

“Masyarakat kita selama beberapa puluh tahun terakhir ini lebih terlatih untuk melihat materi, memandang benda-benda, tanpa terlalu peduli terhadap nilai-nilai di belakang benda-benda itu.”

“Misalnya, Mbah …?” Gendhon bertanya.

“Misalnya, tuliskan bahwa wedang uwuh itu diramu dari macam-macam bahan. Katakanlah jahe, cengkih, bunga cengkih, batang cengkih, daun cengkih, kayu secang, pala, daun pala, kayu manis, daun kayu manis, akar serai, daun serai, gula batu, dan kapulaga ….”

 

Menyimpan Data Sejarah

Wedang uwuh bukan hanya segelas minuman. Ia juga sejarah. Karena rempah-rempah itulah, VOC datang dan kemudian menyandera bangsa Nusantara 3,5 abad. Rempah-rempah adalah harga diri kebudayaan bangsa, kreativitas nenek moyang, hasil ijtihad, atau proses eksperimentasi ….”

Kalimat Pèncèng dipotong dan diteruskan oleh Gendhon. “Dari wedang uwuh kita, kan, bisa becermin dan menemukan kesalahan-kesalahan bangsa kita ini sehingga kacau balau seperti sekarang, kehilangan kedaulatan, tidak percaya diri, mendewakan Barat, Arab, Tiongkok, dan semua yang dari luar. Segala sesuatu yang dari manca, kita dewakan. Segala sesuatu yang milik kita sendiri, yang diri sejati kita sendiri, kita remehkan.”

 

Kontemplasi atas Ciptaan Tuhan

Sebenarnya yang tampak paling mletik adalah Pèncèng. Beruk agak pendiam. Namun, sebenarnya sifat agak pendiam itu menandakan dia lebih mendalam. Lebih kontemplatif.

“Misalnya, bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Semua yang terbuang dan terpendam oleh Tuhan dijadikan bahan untuk minyak, batu mulia, akik, serta bahan-bahan tambang lainnya. Semua dibikin Tuhan dalam pola dauriyah. Daur ulang. Tidak ada yang mubazir.”

 

Kutipan-kutipan dari tulisan Cak Nun di atas sungguh menyentak kesadaran kita. Penyebutan “sampah” untuk minuman yang lezat dan berkhasiat seakan mengingatkan kita untuk terus-menerus melakukan refleksi diri. Termasuk pula tidak mudah gegabah dan marah kepada Tuhan ketika mendapat cobaan.

 

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta