ilmu fikih untuk kemanusiaan

Mengenal Fikih demi Agama yang Lebih Humanis

Mengenal fikih dan memahaminya secara utuh, terkadang lupa untuk dilakukan. Pengenalan dan pemahaman secara utuh, tidak terlepas dari belajar tentang sejarah kemunculan agama.

Ada beberapa agama yang oleh sejarawan digolongkan sebagai agama samawi atau agama langit, satu di antaranya yaitu Islam. Hal ini akan berpengaruh kepada konstruksi pemikiran kita dalam memahami agama Islam. Kita mengenalnya sebagai kumpulan aturan dan norma yang turun dari “atas” dan kita di bawah tinggal mengikutinya.
Tidak ada ulama yang mempertentangkan gagasan dasar tersebut, gagasan bahwa sumber ajaran agama Islam tidak berkompromi dengan manusia.

Perdebatan yang dimulai, adalah pilihan antara apakah kitab suci bersifat qadim (terdahulu) atau hadis (baru). Para ulama bersepakat bahwa dalam menentukan hukum atas suatu perkara yang khusus, yang belum ditemukan pembahasannya secara tekstual, maka diperlukan intepretasi. Hasil interpretasi inilah yang melahirkan cabang ilmu baru bernama fikih. Maka kita perlu mengenal fikih secara khusus dan memahaminya.

 

Bagaimana Cara Memahami Fikih?

Para ulama ahli fikih mendasarkan pengambilan hukum pada berbagai kaidah yang disepakati. Semuanya bertujuan untuk menghidupkan maqashid syariah (landasan aksiologis) atau nilai yang menjadi tujuan dalam beragama. Maqashid syariah ini, pun, mengalamai perbedaan pendapat.

Ada yang mengatakan lima poin dan ada ulama yang mengatakan enam poin. Poin-poin tersebut antara lain adalah hifd–ad-din (menjaga agama), hifd–an–nafs (menjaga jiwa), hifd–al–mal (menjaga harta benda), hifd–al–aql (menjaga akal), hifd-an-nasab (menjaga keturunan).

Dari pemahaman teks klasik, tafsir, interpretasi, analogi serta berbagai dukungan ilmu lain yang dapat mengkorelasikan kondisi yang terjadi saat ini dengan sumber hukum utama yaitu Al-Quran dan Hadis makan terwujudlah fikih yang kita kenal saat ini.

Seperti apa wujudnya? Hukum meninggalkan puasa ramadan, hukum menyentuh anjing, cara bersuci, zakat, dan lain-lain yang lebih bersifat praktis dibanding filosofis. Hal ini menjadi wajar, karena fikih merupakan turunan dari berbagai nila yang menajadi bahan pertimbangan.

 

Apakah Fikih Adalah Ilmu yang Kaku?

Tidak. Ilmu fikih adalah ilmu praktis, bukan ilmu kaku. Pengambilan hukum (istinbath) dalam fikih dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan juga diberlakukan dengan tujuan kemanusiaan.

Oleh karenanya, berdampingan dengan fikih, lahirlah ilmu bernama ushul fikih. Ilmu ini mempelajari bagaimana cara pengambilan hukum terhadap peristiwa tertentu. Metodologi apa yang harus digunakan serta memahami cara mengaplikasikan pendapat sahabat hingga ulama dalam mendasari suatu hukum.

Dari sini, kita dapat menyadari mengapa dalam melakukan praktik ibadah dan praktik muamalah dalam kehidupan keseharian tidak bisa seragam. Fikih ada bukan untuk menyeragamkan umat, tetapi untuk memberi pijakan dalam melakukan sesuatu. Sehingga apabila terjadi perbedaan pendapat, perbedaan sikap ulama maupun suatu kelompok kita tidak perlu menghujat dan terburu-buru mempermasalahkan selama hal tersebut dalam rangka bersama-sama mewujudkan maqashid syariah agama Islam.

Kita harus tetap berpegang teguh bahwa satu-satunya Al-Hakim adalah Allah, jadi kita tidak perlu menjadi hakim untuk praktik keberagaan orang lain. Kita perlu menngingat bahwa fikih yang sedang kita jalankan adalah upaya untuk mencapai nilai keimanan dan ketakwaan, bukan upaya pembenaran tindakan kita kepada manusia yang lain.

Kerja Tanpa Dibayar dan Dua Kali Lebih Berat

Banyak perempuan di dunia ini yang menghabiskan setiap jam dalam hidupnya untuk bekerja tanpa dibayar. Dan, pekerjaan sehari-hari itu membunuh mimpi-mimpinya seumur hidup. Ini adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan perempuan di masyarakat kini.

Apa Itu Kerja Tanpa Dibayar?

Pekerjaan reproduktif adalah pekerjaan yang dilakukan di rumah, seperti mengurus anak atau bentuk pekerjaan lainnya seperti memasak, mencuci, dan berbelanja. Di berbagai negara miskin, jutaan perempuan melakukan kerja tanpa dibayar jauh lebih banyak demi keberlangsungan kehidupan rumah tangga.

Menurut Melinda Gates dalam The Moment of Lift, rata-rata perempuan di seluruh dunia menghabiskan waktu mereka dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki untuk melakukan pekerjaan domestik yang tidak dibayar.  Di India, perempuan menghabiskan 6 jam sehari melakukan pekerjaan domestik tak berbayar, sementara laki-laki menghabiskan kurang dari 1 jam.

Rata-rata perempuan Amerika Serikat menghabiskan lebih dari 4 jam melakukan kerja tanpa dibayar  sementara rata-rata laki-laki hanya 2,5 jam. Di Norwegia, para perempuan menghabiskan 3,5 jam sehari untuk melakukan pekerjaan tanpa dibayar, sementara para laki-laki menghabiskan kira-kira 3 jam.

Dari riset tersebut, secara rata-rata para perempuan menjalani 7 tahun lebih banyak untuk bekerja tanpa dibayar daripada laki-laki. Kira-kira jumlah waktu yang diperlukan untuk meraih gelar sarjana dan master. Bayangkan betapa banyaknya waktu tersebut jika digunakan sebaik mungkin untuk mengembangkan potensi yang dimiliki perempuan untuk berkembang.

Pengakuan Atas Kerja Tak Dibayar

Ketika para perempuan dapat berkompromi dengan laki-laki untuk mengurangi waktu yang mereka habiskan untuk bekerja tanpa dibayar, bertambahlah waktu yang mereka miliki untuk melakukan kerja produktif.

Menurut Melinda, mengurangi kerja tanpa dibayar dari 5 jam sehari menjadi 3 jam saja akan meningkatkan partisipasi para perempuan dalam angkatan kerja hingga kira-kira 20 persen. Angka tersebut adalah jumlah yang signifikan untuk meningkatkan derajat perempuan dalam mencapai kesetaraan dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan.

Kerja tanpa dibayar inilah salah satu sumber tertinggalnya para perempuan untuk bersaing di berbagai sektor produktif dalam dunia kerja. Kerja tanpa dibayar yang dilakukan perempuan di rumah menjadi batu sandungan dari ragam aktivitas yang dapat meningkatkan derajat mereka. Misalnya, mengenyam pendidikan tinggi, memperoleh pendapatan dari luar, berorganisasi, dan lebih aktif menyuarakan aspirasi politiknya. Ketidakseimbangan kerja tanpa dibayar menutup jalan seorang perempuan menuju pemberdayaan diri.

Seorang ahli ekonomi bernama Marilyn Waring melihat bias yang mendalam dalam sistem kerja tak berbayar dan mulai mencari berbagai cara untuk mengubahnya. Ia berkeliling dunia untuk mempelajari praktik kerja tak berbayar dan membuat perhitungan yang mencengangkan.

Menurut Waring, jika kita mempekerjakan pegawai dengan upah yang berlaku di pasar kerja guna menangani semua pekerjaan tak dibayar yang dilakukan para perempuan, kerja tanpa dibayar akan menjadi sektor terbesar dalam ekonomi global!

Waring memaparkan dalam bukunya If Women Counted: A New Feminist Economics (1988) bahwa, “Kau membayar seseorang untuk penitipan anak, membayar gas untuk menyalakan kompor. Kau membayar pabrik untuk mengolah makanan dari gandum, membayar air yang mengalir melalui keran. Kau membayar makanan yang disajikan di restoran dan membayar pakaian yang dicuci di tempat laundryNamun, jika seorang perempuan melakukan semua itu sendirian—mengurus anak-anak, memotong kayu bakar, menggiling gandum, mengambil air, memasak, dan mencuci pakaian—tidak ada yang membayarnya untuk semua itu. Bahkan, tidak ada yang memperhitungkannya, karena itu ‘pekerjaan rumah’ dan itu seharusnya ‘gratis’!” (Tejo)

Peran Perempuan Mengubah Budaya di Tempat Kerja

Banyak perusahaan memiliki budaya di tempat kerja yang kompetitif, meledak-ledak, dan penuh argumen. Orang-orang bertengkar sampai membeberkan secara terperinci seluruh data yang ada dalam tiap kesempatan, entah hanya untuk menjatuhkanmu atau membuatmu malu.

Dalam setiap rapat, gladi resik, atau pun lokakarya keadaan kompetitif ini selalu mencoba untuk menampakkan sifat aslinya yang kejam. Jika kau tak cukup pandai mendebat dengan sengit, berarti kau tak menguasai data, tidak cerdas, atau tidak paham betul apa yang sedang kita kerjakan. Seolah dalam dunia kerja, semua orang dituntut bersifat tangguh dan tidak ada ruang bagimu untuk bersikap manusiawi seutuhnya.

Dalam kondisi kerja yang kompetitif, setiap orang enggan untuk memuji dan menyatakan rasa terima kasih kepada seseorang yang telah melakukan pekerjaan sesuatu dengan baik. Hal tersebut didasari oleh prinsip alamiah dari sistem kompetitif itu sendiri bahwa kau harus menjatuhkan lawanmu sebanyak mungkin untuk menjadi seorang pemenang.

Ekosistem kerja yang seperti ini sudah bersifat toxic bagi kesehatan mental seseorang, baik laki-laki atau perempuan. Walhasil, karena tingginya persaingan di dalam budaya kerja, sulit rasanya mencoba untuk menjadi diri sendiri di tempat kerja.

Perempuan Membuat Ekosistem Kerja menjadi Lebih Manusiawi

Perempuan dapat mengubah budaya di tempat kerja yang toxic ini ketika mereka mencoba untuk membuka tangan dan hati mereka lebar-lebar. Ketika semua orang merasa terasing oleh budaya kerja yang menganggap semua orang itu tangguh, rasional, dan kompetitif, ia dapat mempertanyakan. “Mengapa perempuan tidak boleh menangis di kantor, tetapi laki-laki boleh membentak di kantor? Respons emosional mana yang lebih dewasa?” tanya Melinda Gates dalam bukunya The Moment of Lift.

Pertanyaan ini coba dijawab oleh Melinda dalam kisahnya mengenai kolega perempuan yang mampu menciptakan budaya empati di lingkungan kerjanya di Microsoft. Namanya Patty Stonesifer, ia adalah atasan, mentor, dan sosok teladan Melinda di Microsoft.

Patty menjadi sosok teladan di Microsoft karena dianggap punya gaya yang khas sehingga menjadi magnet bagi orang-orang untuk bekerja sama dengannya. Rahasia kepemimpinannya ialah ia membiarkan seseorang untuk bisa jujur tentang kekuatan dan kelemahannya. Ia adalah seseorang yang memulai budaya baru di Microsoft untuk berani berkata, “Aku salah.” Mampu mengakui kelemahan dan kesalahan tanpa khawatir semua itu akan digunakan untuk menjatuhkan mereka adalah perasaan yang menakjubkan.

Bagi Melinda, menjadi diri sendiri mungkin terdengar sebagai sikap muluk-muluk untuk bertahan dalam sebuah budaya kerja yang agresif. Namun, hal tersebut punya maksud untuk membuat seseorang berani dan tidak menjadi pengecut hanya untuk diterima di lingkungan kerja. Dengan begitu, kita punya kesempatan untuk berani menunjukkan bakat, prinsip, pendapat, guna mempertahankan hak-hak kita. Pada saat yang bersamaan, kita juga tidak perlu mengorbankan rasa hormat kepada diri sendiri. Di situlah kekuatan muncul dan budaya yang toxic itu berangsur-angsur berubah menjadi lebih manusiawi. (Tejo)

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta