Eksistensi Amerika: Sebuah Perspektif

Bak sebuah trendsetter, Eksistensi Amerika selalu menjadi sorotan utama bagi warga negara global. Dalam setiap warta dan wawancara, selalu muncul peran Amerika baik sebagai negara individual maupun sekutu. Nama yang besar tersebut membawa Amerika pada kancah serba ada dan serba bisa. Tidak hanya demikian, tidak sedikit masyarakat global memimpikan kehidupan yang begitu terjamin di bumi Amerika. Namun, apakah semua hal yang selama ini dipertonton dan diperdengarkan sudah meliputi fakta yang akurat? Atau justru masih banyak hal tersembunyi yang bersifat tersirat? Kenyataan bahwa tidak semua  orang mampu mengetahuinya seolah diwakilkan oleh Noam Chomsky, seorang pakar kebahasaan dan pengamat politik Amerika.

Eksistensi Amerika di Mata dunia

Perspektif Baru

Siapa halnya yang bisa menghubungkan sejarah satu ke sejarah lainnya? Tentu tidak semua orang jeli dan teliti memahami motif setiap peristiwa dan keterhubungan di antaranya. Tapi, Noam Chomsky bak menulis kembali sebuah benang merah di balik setiap kejadian dalam catatan sejarah. Catatan yang membongkar detail isu-isu global yang selama ini luput dari perhatian masyarakat. Sebagai seorang pengamat, Noam Chomsky seperti berdiri menjadi opisisi pemahaman masyarakat pada umumnya. Chomsky bak berdiri menjadi  pihak yang kontra terhadap citra dan eksistensi Amerika.

Dengan membangun sebuah pemahaman baru, Chomsky disebut sebagai sosok yang gencar akan teori konspirasinya. Teori yang menurut orang-orang umum disebut sebagai teori konspirasi. Lebih jauh dengan pemahaman ini, akankah gagasan Chomsky hanya berhenti sebagai konspirasi yang tidak bernilai? Atau apakah justru Noam Chomsky sedang membuka kebenaran yang selama ini tidak hadir—atau bahkan ditepikan? Dalam karyanya yang berjudul Who Rules The World, Chomsky hadir sebagai perspektif yang baru.

Baca artikel terkait, Buku Konspirasi Dunia: Alasan utuk Membacanya

Eksistensi Amerika di Mata Dunia

Berdiri menjadi negara adikuasa tidak serta-merta membuat Amerika sebagai negara yang makmur dan selalu menjadi teladan. Who Rules The World dengan beragam sudut pandang dan gagasan yang kritis bisa menjadi teropong bagi masyarakat umum. Buku ini mampu menjadi media untuk memandang Amerika dengan perspektif yang terbarukan. Membuat kita merespons masa depan dan perubahan. Buku ini membuat pembaca memahami, apakah Amerika masih akan selamanya menjadi negara yang memegang kendali? Temukan jawabannya dengan mendapatkan bukunya di Mizanstore atau toko buku kesayanganmu.

Cerita Fiksi Sejarah ala Pinto Anugrah

Mendulang cerita fiksi sejarah selalu menjadi hal yang tidak mudah bagi para penulis. Menciptakan dunia fiktif dan mencari kebenaran yang akurat selalu menjadi dua hal yang saling kontradiktif, tapi tentunya dapat bertemu dalam sebuah buku yang berkualitas. Dalam hal ini, seorang penulis dituntut untuk memahami betul peristiwa dan nilai kesejarahan yang hendak diangkat untuk menghidupkan semesta barunya. Seperti halnya Pinto Anugrah, seorang penulis dari tanah Minang yang menuangkan kembali lokalitas asalnya. Meski mendarah daging, novel terbarunya ini menggali serangkaian data dan berlandaskan peristiwa yang terjadi di masa lalu: Perang Padri.

Cerita fiksi sejarah

Lokalitas Minangkabau

Sebagai warga lokal, Pinto tidak serta-merta menghadirkan nilai-nilai Minang tanpa landasan. Dengan perlahan, Pinto mengenalkan esensi Minangkabau dari banyak aspek. Menciptakan latar dan suasana yang menduplikasi tempat asalnya ini mungkin tidak instan, tapi dengan perlahan, pembaca akan dibawa pada tujuannya ini. Dengan membangun kedekatan dengan pembacanya, Pinto Anugrah menghadirkan nilai-nilai Minangkabu dari banyak aspek, seperti tuturan lokal, kebiasaan, hingga perawakan yang dijelaskan dengan padat dan jelas.

Alih-alih membicarakan sejarah, Pinto memulainya dari konflik batin para tokohnya. Lagi-lagi dengan perlahan, esensi Minangkabau hadir sebagai suatu hal yang tersirat. Hal ini tidak hanya bertujuan agar semata-mata pembaca mengetahui, tapi membuat pembaca begitu dekat dengan konflk dan kehidupan yang sedang diciptakannya. Sejarah membalut fiksi dengan cara Pinto, dihadirkan dengan memasukkan pembaca pada tiap-tiap pintu yang menghubungkan unsur-unsur Minangkabau.

Baca artikel terkait Historiografi Perang Padri 

Sejarah dalam Fiksi

Semua yang telah dideskripsikan singkat di atas adalah komponen minor dari cerita fiksi sejarah terbaru Pinto Anugrah, yakni Segala yang Diisap Langit yang bisa kamu dapatkan di sini atau di Mizanstore. Kisah yang mengajak pembaca mengenal nilai sejarah dari sudut pandang baru—suatu sejarah yang berada di luar mainstream. Aspek fiktif membuat pembaca tidak serta-merta belajar mengenai sejarah, tapi hidup dengan sejarah itu sendiri. Segala yang Diisap Langit membuat pusarannya sendiri yang berisikan warisan dan peninggalan leluhur di masa lalu. Menjelajahi sejarah dalam bentuk fiksi dapat menjadi alternatif bagi mereka yang haus akan sejarah, sambil “hidup” berdampingan di dalamnya.

Feminisme Islam dari Perspektif Perempuan Muslim

Image By Pang

Memandang Feminisme Islam dari perspektif perempuan Muslim (Muslimah) menunjukkan bahwa perjumpaan antara Islam dan feminisme begitu beragam dari waktu ke waktu, bergantung pada faktor-faktor yang membentuk aliansi politik mereka dan kondisi sosial yang mengikat para peneliti pada objek kajiannya.  

Istilah feminisme sendiri berasal dari Barat, membuat istilah “Feminisme” sulit diterima di kalangan umat Muslim dan selalu dipersoalkan oleh kaum Muslim yang memandangnya sebagai simbol Barat, dan menganggap feminisme tidak relevan dengan umat Muslim.

Dari Sudut Pandang Muslimah

Etin Anwar di dalam bukunya yang berjudul “Feminisme Islam” memberikan penjelasan tentang pengertian feminisme Islam. Pertama, ia merujuk pada karya dan aktivisme feminis dalam jaringan kerja budaya Islam, termasuk Islam dari segi isi dan bentuknya. Mengingat Islam sendiri tidak homogen, resignifikasi Islam tertanam dalam kontekstualisasi ujaran dan aksi feminis. 

Kedua, “Feminisme Islam” merujuk pada gerakan sosial yang menyoroti dan menangani kesenjangan gender di ranah pribadi dan publik. Di ranah-ranah tersebut sering terjadi upaya penghapusan ketidakadilan gender dan sistem produksinya yang menimbulkan penindasan di tingkat personal, keluarga, politik dan sosial di kehidupan sehari-hari.

Istilah feminisme Islam sendiri sudah muncul di berbagai negara seperti Iran, Turki, dan Malaysia. Para perempuan Muslim membuat gerakan perjuangan untuk melawan ketidakadilan gender menggunakan bahasa dan retorika agama. Termasuk di daerah Timur Tengah di mana konflik-konflik dan penindasan perempuan selalu terjadi setiap tahunnya. Adanya praktik patriarki di sana membuat Muslimah menderita serta menjadi objek penindasan.

 

Etin Anwar juga menjelaskan, proses integrasi Islam dan feminisme memproduksi pemikiran baru tentang Islam yang merangkul perempuan. Islam dan feminisme saling menguatkan dalam mempromosikan kemajuan perempuan, menghargai perempuan sebagai agen moral yang seutuhnya.

 

Dari sini kita dapat menyimpulkan makna feminisme Islam sendiri yang merupakan gerakan perempuan Muslim untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai Muslimah. Serta merupakan upaya mempromosikan keadilan antara laki-laki dan perempuan serta menggugat penundukan perempuan oleh budaya yang menindas.

Baca juga, Sejarah Awal Gerakan Feminisme di Indonesia

Buku Feminisme Islam

Buku Feminisme Islam merupakan hasil penelitian Etin Anwar selama 10 tahun. Karya ini merupakan penelitian genealogis untuk menunjukkan perubahan hubungan antara Islam dan feminisme; merekam proses wacana tentang kemunculan feminisme Islam; dan menelaah bentuk-bentuk wacana tentang dukungan feminisme Islam terhadap kesetaraan pada awal 1990-an di Indonesia. 

Nah, kalian dapat membeli bukunya disini!

Narasi Panjang: Seni Seno Gumira

Narasi merupakan senjata utama sebuah cerita. Dengannya, penulis biasanya menggambarkan peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Proses penceritaan melalui narasi terasa seperti dongeng menjelang tidur saat kita kecil dulu. Itulah mengapa banyak penulis yang lebih memilihnya daripada deskripsi. Selain terdengar lebih seperti dongeng, iamemiliki kekuatan pada representasi pembaca. Mereka seakan-akan mengalami peristiwa yang ada di dalam cerita. Salah satu penulis yang memiliki gaya narasi khas adalah Seno Gumira Ajidarma. Seno dikenal sebagai penulis naratif yang sering memanfaatkan kalimat panjang untuk cerita-ceritanya. Dalam Kitab Omong Kosong, novel interpretasinya akan kisah Ramayana, ia banyak memanfaatkan narasi panjang sebagai cara penceritaan.

(baca https://bentangpustaka.com/fakta-kitab-omong-kosong/)

Narasi Panjang yang Tidak Membosankan

Narasi panjang terkadang sangat lelah untuk diikuti. Sebagai pembaca, kita akan sangat terpacu untuk terus membaca sebelum titik. Itulah mengapa hak itu terkadang terasa amat membosankan. Berbeda dengan yang ditulis Seno Gumira. Dengan kalimat yang panjang, ia dapat memicu pembaca untuk terus membaca tanpa merasa kelelahan dan bosan. Uniknya, hal ini menjadi salah satu yang disukai darinya. Banyak novel dan cerita pendeknya yang menggunakan kalimat panjang dan malah terasa semakin memantik penasaran. Dalam Kitab Omong Kosong, kalimat berikut akan membantu kita memahami apa yang disebut narasi panjang yang tidak membosankan.

Setiap kali Hanūmān atau sesuatu yang seperti Hanūmān tiba dan melepaskan kainnya Trijata mengerti betapa sebetulnya ia pun tidak terlalu peduli apakah wanara jantan itu suaminya atau bukan suaminya selain betapa ia telah memberikan sesuatu yang dikehendakinya.

Kalimat di atas hanya salah satu contoh kalimat panjang ala Seno Gumira Ajidarma. Kalimat yang demikian itu akan membuat kita terpacu untuk menyelesaikan cerita dengan seringkas-ringkasnya tanpa merasa kelelahan, apalagi bosan. Strategi narasi yang unik dan menarik ini dapat ditemukan dalam cerita-cerita tentang Maneka dan Satya, sepasang pengelana yang mencari makna kehidupan. Selengkapnya dapat kamu baca di Kitab Omong Kosong.

Dapatkan saduran kisah Ramayana ala Seno Gumira Ajidarma di sini

 

Sejarah Awal Gerakan Feminisme di Indonesia

Desain by pang.png

Gerakan Feminisme di Indonesia berawal dari gerakan perempuan-perempuan Indonesia yang melawan kolonialisme Belanda, munculnya kesadaran nasional, dan pembentukan negara. Sosok pahlawan perempuan seperti R.A. Kartini (1879-1905), Dewi Sartika (1884-1947) dan Rahmah El-Joenesijjah (1900—1969), yang menangkap semangat nasionalisme, dan meletakkan perjumpaan antara feminisme dan Islam sebagai sumber kemajuan dalam konteks kolonialisme lokal.

Emansipasi Batu Loncatan Menuju Kesetaraan Gender

Sementara ide-ide tentang kemajuan dalam Islam dan feminisme di Indonesia tumbuh secara lokal dan menunjukkan perkembangannya pada nasionalisme, mereka secara kompleks berkaitan dengan jaringan umat Islam dan feminisme global.

Sosok R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El-Joenesijjah merupakan salah satu tokoh perempuan yang mengadvokasi kebutuhan akan perubahan status sosial perempuan melalui pendidikan. Mereka menciptakan preseden bagaimana gerakan perempuan di Indonesia melawan kolonialisme – serta spirit nasionalisme dan reformisme Islam.

R. A. Kartini mencatat bahwa androsentrisme laki-laki tumbuh melalui pengasuhan ibu mereka. Laki-laki kemudian mengontrol anggota perempuan di keluarganya sendiri. Setelah menikah, laki-laki terus memegang otoritas dan kontrol. Akibatnya, para perempuan menderita setiap hari.

Dari sini R. A. Kartini berpendapat bahwa perempuan memiliki kebebasan berkehendak tetapi dikuasai oleh adat. Pada saat itu pendidikan perempuan diklaim berisiko merusak tatanan moral masyarakat. Selain itu, kaum tua khawatir bahwa pendidikan perempuan dapat mengganggu peran perempuan itu sendiri ketika menjadi istri.

Sedangkan Dewi Sartika berpendapat orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, Dewi Sartika berusaha meyakinkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya agar terdidik. Perempuan yang terdidik akan menjadi ibu dan menjadi kunci penyebaran pengetahuan bagi anak-anaknya kelak.

Ia juga menyuarakan kesetaraan laki-laki dan perempuan dari berbagai aspek karena menurutnya kemajuan perempuan sebagai syarat kemajuan negara.

                              Baca Juga ulasan singkat Buku Feminisme Islam, disini!

Sementara Rahmah El-Joenesijjah mewakili sosok reformis baru dari golongan perempuan Muslim. Ia tumbuh dari golongan reformisme Islam di Minangkabau, Sumatra Barat. Ia mewujudkan mimpinya dengan mendirikan sekolah Dinijjiah Sekolah Poetri yang didukung oleh saudara laki-lakinya.

Dinijjiah Sekolah Poetri bertujuan mendidik anak-anak bangsa dengan pendidikan lengkap; fisik dan moral. Sekolah tersebut memberi pendidikan Agama Islam karena masih banyak perempuan yang belum mengetahui ajaran Islam.

Konteks Perjuangan Emansipasi

Dari sini kita tahu bahwa para tokoh perempuan Indonesia telah meletakkan dasar bagi perubahan kondisi sosial dan politik di lingkungan mereka, yaitu melalui gerakan-gerakan feminisme yang berjalan beriringan dengan gerakan nasionalis di Indonesia.

Nah, kalian dapat membaca lebih lanjut penelitian tentang feminisme Islam di Indonesia karya Etin Anwar yang dikemas dengan sangat apik dan dengan bahasa yang mudah dipahami. Dapatkan bukunya disini!

Kisah Romansa Rama dan Sinta

Romansa Rama-Sinta. Ada Apa di Baliknya?

Romansa Rama dan Sinta merupakan kisah utama dalam Ramayana. Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan kembali kisah Ramayana. Novel ini tidak sekadar meceritakan apa adanya kisah Ramayana, tetapi juga menghadirkan tokoh lain di dalam cerita. Tokoh lain tersebut adalah Maneka dan Satya. Keduanya menjadi tokoh sentral dalam Kitab Omong Kosong. Kisah ini agak berjarak dari kisah romansa Rama dan Sinta sebab buku ini adalah tentang mereka berdua: Maneka dan Satya.

Bukan Sekadar Tokoh Biasa

Maneka dan Satya bukanlah tokoh biasa. Mereka berdua merupakan tokoh yang lahir dari keterasingan, keterpojokan, keterpurukan, dan kesedihan-kesedihan lainnya. Maneka merupakan seorang pelacur dengan luka batin luar biasa. Sedangkan Satya, seorang pertapa dan penyair yang kesepian. Latar belakang mereka menjadikan kisah mereka penuh dinamika dan romansa dalam menjalani kehidupan. Merekalah manusia sejati, manusia yang penuh teka-teki dan ketidakpastian.

baca juga https://bentangpustaka.com/kitab-omong-kosong-bukan-sekadar-omong-kosong/

Romansa di Balik Romansa

Romansa yang terjadi antara Rama dan Sinta telah banyak kita dengar. Kisah ini menjadi terlalu sering diceritakan, juga terlalu sering kita dengar. Namun, romansa orang pinggiran seperti Maneka dan Satya tentu akan sangat menarik untuk disimak, bukan? Sebuah kisah perjalanan spiritual sepasang pengembara yang berusaha mengikuti garis takdir yang amat getir. Kemudian, novel ini menghadirkannya melalui penceritaan berbabak-babak tentang perjalanan panjang Maneka dan Satya menempuh kehidupan.

Bagaimana? Penasaran, bukan? Tentu, kisah tentang Maneka dan Satya ini amat layak disimak. Sebuah kisah spiritual yang akan membuat pembaca berpikir dan merasakan berulang kali. Lalu, bagaimanakah kisahnya?

Kitab Omong Kosong, masih bisa kamu dapatkan di linktr.ee/Bentang atau di toko-toko buku kesayanganmu.

Latar Tempat Yesus Anak Manusia

Mengenal Latar Tempat Yesus Anak Manusia: Dari Nazaret Hingga Jerusalem

Latar tempat merupakan unsur yang penting di dalam cerita. Tanpanya, suatu peristiwa akan berbeda rasanya sebagai cerita. Sebagai salah satu unsur yang penting, latar tempat dalam suatu cerita kerap kali menggunakan tempat yang terdapat dalam realitas. Penggunaan wilayah geografis tertentu sebagai latar tempat suatu cerita juga bukan tanpa alasan. Selain bertautan dengan peristiwa yang pernah terjadi, suatu tempat juga terkadang memiliki nilai historiografis yang menjadikan tempat tersebut berkesan. Sebagai contohnya, kita akan menilik Nazaret dan Jerusalem, latar tempat dalam Yesus Anak Manusia.

Nazaret, Latar dan Kenangan Masa Kecil Seorang Anak Manusia

Nama kota ini diilhami dari bahasa Ibrani, yaitu dari kata netzer yang berarti tunas atau yang tumbuh. Nazaret dikenal sebagai kota di mana Yesus kecil tinggal. Tempat ini menjadi salah satu kota suci lantaran memiliki beberapa bangunan bersejarah seperti Gereja Basilika, Gereja St. Gabriel, dan beberapa monumen sejarah lainnya. Kota ini sangat identik dan lekat dengan Yesus. Tak hanya sekali, dalam kisah Yesus Anak Manusia, Yesus selalu dijuluki sebagai Yesus orang Nazaret.

Tetapi, orang ini Yesus orang Nazaret, Ia sudah berbicara tentang Tuhan terlalu luas untuk tidak menyerupai jiwa manusia mana pun, terlalu tahu untuk menghukum, terlalu mengasihi untuk mengingat dosa-dosa makhluk-makhluk-Nya.

Kota ini dipercaya oleh sebagian pengikut-Nya sebagai kota tempat lahirnya Yesus. Beberapa meyakini kesuciannya disebabkan oleh adanya sumur Maria di kota ini. Kota juru selamat, kota yang kelak akan memberkati saudara-saudara-Nya menuju surga.

Ia adalah Yesus orang Nazaret yang akan membawa semua saudara-Nya kepada Dia Yang Diminyaki, bahkan kepada Kata yang pada awalnya bersama Tuhan.

Jerusalem, Kota Suci Manusia Beragama

Nama kota ini berasal dari tradisi Sumeria, yaitu kata yeru yang berarti pemukiman dan Shalem yang merupakan dewa pelindung. Kota ini dikenal sebagai kota suci beberapa agama. Tempat-tempat suci seperti Masjid Al-Aqsa, Kubah Shakhrah, Tembok Barat, Gereja Makam Kudus, hingga Makam Taman terdapat di kota ini. Hingga sekarang, kota ini juga masih menjadi sorotan dunia karena konflik berkepanjangan atas persoalan klaim wilayah antara Palestina dan Israel.  Sengketa ini membuktikan adanya unsur historiografis yang panjang tentang kota ini, kota suci bagi manusia beragama. Dan, kota ini menjadi saksi sejarah kehidupan Yesus dalam pengembaraan-Nya.

Mari kita menuju Jerusalem. Kota itu menanti kita. Aku akan masuk ke gerbang dengan mengendarai anak kuda jantan, dan Aku akan berbicara kepada orang banyak.

Kota ini juga memiliki keramat yang teramat lantaran menjadi kota yang lama ditinggali oleh Yesus sebagai tempat menyebarkan ajaran cinta kasih-Nya. Ia berkeyakinan bahwa kota ini akan abadi, tidak hanya karena disucikan oleh saudara-saudara-Nya, tetapi juga karena disucikan oleh seluruh umat manusia beragama.

Tak ada seorang pun yang akan menjungkirkan kami selama kami masih memiliki kekuatan ini untuk menahannya, dan tak seorang pun akan menjatuhkan Jerusalem selama dinding-dinding kotanya masih tegak di atas batu purba yang dulu diletakkan Daud.

Lalu bagaimanakah kisah-kisah lainnya dalam kedua kota bersejarah ini? Selengkapnya dalam Yesus Anak Manusia. Terbit segera!

 

 

Lugas Ikhtiar

Ramayana

Kitab Omong Kosong Bukan Sekadar Omong Kosong

Setiap buku, barangkali, menjadi strategi bagi setiap penulis untuk menciptakan impresi baik pada pembaca melalui judul yang menarik. Tidak terkecuali Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma. Apa yang kita bayangkan jika membaca judulnya? Kekosongan? Kehampaan? Atau mungkin sesuatu yang nihil sama sekali? Kalau membayangkan salah satunya, atau bahkan ketiganya sekaligus, sepertinya kita salah besar. Inilah menariknya. Bagi saya, yang telah membaca sepenuhnya dan mengingat kurang dari separuhnya, Kitab Omong Kosong bukanlah omong kosong belaka. Kok bisa?

Kitab Omong Kosong Bukan Cerita Wayang

Kita selalu berkutat bahwa cerita-cerita wayang yang hampir selalu jatuh pada narasi mainstream itu memiliki nilai yang tetap, sesuatu yang pakem dan tak dapat diubah. Menariknya, meskipun menyadur kisah Ramayana, kita tak dapat menemukan apa yang kita bayangkan sebagai identitas Ramayana itu sendiri. Rama, Sinta, Anoman, atau bahkan Rahwana hanyalah partikel kecil di dalam Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh mayor yang didudukkan dalam dominasi pada kisah Ramayana, dibalikkan menjadi tokoh yang sama sekali tak penting, bahkan tercitrakan jahat. Mereka, yang dalam kisah Ramayana begitu elitis, ditampakkan sisi buruknya. Tokoh-tokoh ningrat yang abai pada rakyat, bahkan cenderung menindas. Kita akan menyaksikannya, dengan amat jelas bahkan, dalam perjalanan panjang Maneka, seorang pelacur yang menjadi korban persembahan kuda.

Bukankah itu semua tidak terjadi dalam cerita-cerita wayang? Atau cobalah kita berjalan-jalan, keluar rumah, barangkali Kitab Omong Kosong itulah hidup yang kita jalani? Atau Maneka barangkali adalah orang-orang di jalanan, tetangga kita,  atau bahkan diri kita sendiri?

Protes Ketuhanan

senja turun di dalam kitab, o

dunia terlipat ke balik huruf

laut dan gunung berdesakan

sehingga ikan ketemu macan

jangan menangis begitu sayang

ada wayang memburu dalang, o!

Tidak. Bagian ini jelas bukan soal ateisme. Ini adalah sebuah wacana besar Maneka dan Satya dalam Kitab Omong Kosong. Bahkan, bisa disebut bahwa inilah jiwa buku ini: protes ketuhanan. Kita mesti membayangkan seseorang yang dalam tatanan sosial direndahkan, atau sebut saja pelacur, menjadi korban persembahan kuda Rama yang barangkali bisa ditafsirkan sebagai gimik saja. Ya, begitulah. Orang yang tertindas telah ditindas berkali-kali. Maneka. Dan, kita akan menyaksikannya mencari dalang kehidupan, seseorang yang menggariskan takdirnya, seseorang yang menghendakinya menderita. Dari sana, semuanya bermula: sebuah pencarian pangkal takdir, sebuah perjalanan spiritual, sebuah pertanyaan tentang kehidupan yang sejati.

Kitab Omong Kosong, sebuah dekonstruksi cerita Ramayana. Dapatkan di sini.

 

Lugas Ikhtiar

 

sampul buku 1984

Sampul Buku, Titik Intip Cerita yang Seru

Sebuah pepatah mengatakan, “Jangan menilai buku hanya dari sampulnya” mungkin benar adanya. Apabila kita hidup di masa atau tempat yang tak bisa menunjukkan sesuatu secara terang-terangan. Seperti halnya buku 1984 yang pertama kali terbit di tahun 1949.

Sampul buku yang diterbitkan di London ini tak memuat gambar apa pun selain judul, nama penulis, dan keterangan bahwa buku tersebut adalah sebuah novel. Novel yang bercerita tentang bayangan sebuah negara 35 tahun mendatang dari saat ceritanya dikarang. Warna hijau menjadi latar tulisan pada edisi pertamanya diterbitkan.

Sampul ini terlihat jauh berbeda dari sampul buku 1984 yang banyak kita jumpai hari ini. Ilustrasi atau gambar mata menjadi ciri khas yang ditampilkan dalam berbagai bahasa. Ilustrati mata baru “berani” ditampilkan sepuluh tahun kemudian setelah buku ini terbit di Amerika Serikat.

Warna yang ada di sampul juga berubah, edisi paling awal berwarna hijau gelap dengan tulisan berwarna putih. Lambat laun, dunia mulai mengadopsi warna merah-oranye untuk mewakili keseluruhan isi. Ada juga yang membuatnya dalam campuran warna monokrom.

Sampul Buku dari Bentang Pustaka

Bentang Pustaka paling tidak telah tiga kali menerbitkan buku 1984 yang bergenre fiksi ilmiah distopia ini. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2003 dengan sampul buku bergambar kepala seseorang yang dilihat dari belakang. Ada kode batang (barcode) yang tercetak pada bagian tengkuk orang tersebut.  

Sebelas tahun kemudian, untuk pembaca yang terus menanyakan buku ini dalam Bahasa Indonesia buku ini diterbitkan kembali dengan tampilan berbeda. Edisi kedua, sampul buku 1984 ini berwarna putih dengan gambar bola mata yang berwarna jingga dan warna kover dominan putih.

Tiga tahun berikutnya, yakni pada tahun 2016 buku ini memiliki kembali memiliki tampilan baru. Sampul buku ini memiliki warna yang sama dengan terbitan original-nya di tahun 1949, namun dipadukan dengan ilustrasi mata yang digambar dengan menggunakan pensil dan tercetak di halaman setelah sampul. Sampul bukunya sendiri dibolongi seukuran ilustrasi yang ada sehingga menimbulkan kesan 3D.

Kini, buku 1984 kembali diterbitkan dengan versi yang lebih segar. Ilustrasi gambar mata yang telah dua kali ada pada edisi-edisi sebelumnya digambar dengan gaya komikal dengan warna hitam putih. Ukuran ilustrasinya jauh lebih besar dengan detail gambar gedung-gedung di dalamnya yang memberi kesan lebih tegas.

Edisi kali ini juga mengambil warna biru terang sebagai latar sampul buku yang memberi kesan eye catching. Buku yang telah banyak direpresentasikan dalam berbagai sampul buku ini masih dalam masa pre-order yang berlangsung pada 14-31 Januari 2021. Kolektor buku maupun pembaca yang belum mendapatkan versi sebelumnya bisa mendapatkannya di berbagai toko buku daring dengan penawaran dan bonus menarik.

Simbol Lain dalam Buku 1984

Selain gambar bola mata yang menghiasi sampul depan, versi lain dari beberapa negara mengambil lain yang dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Buku terjemahan bahasa asing di beberapa negara seperti Negara Portugis, Norwegia, dan Finlandia pernah kompak menggunakan kamera pengawas di sampul buku 1984.

Kamera pengawas atau CCTV menjadi salah satu simbol yang terus muncul sepanjang cerita untuk menunjukkan pemerintah totalitarian di negara karangan Orwell ini. Teknologi ini sendiri baru pertama kali digunakan untuk keperluan komersial pada tahun 1949, tahun yang sama ketika novel 1984 diterbitkan di London.

Bagian depan buku yang ditampilkan dalam buku 1984 versi terjemahan bahkan menampilkan ilustrasi tokoh-tokoh pemimpin di negara tersebut pada masa buku tersebut diterbitkan. Setidaknya Saudi Arabia, Tiongkok, dan Yunani secara terang-terangan menjadi negara yang mencetak buku ini dengan lukisan wajah orang-orang berpengaruh kuat di sana.

Meskipun ada benda-benda atau organ tubuh yang ditempatkan pada sampul buku ini, dari waktu ke waktu tetap ada versi yang disajikan dengan gaya yang mirip dengan kover pertama. Novel 1984 yang diterbitkan dalam Bahasa Jerman memiliki dua versi sampul buku yang memilih konsep sama tanpa simbol benda apa pun. Sampul-sampul ini mengandalkan variasi typhography judul buku dan nama penulisnya di bagian depan.

 

Penyadaran Moralitas Kebudayaan Indonesia melalui Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia melalui Indonesia Bagian Desa Saya, buku karya Emha Ainun Nadjib yang diusung dalam kumpulan esainya yang kemudian diterbitkan untuk ketiga kalinya oleh Bentang Pustaka. Seketika buku ini menjadi salah satu buku daftar bacaan utama saya karena terdapat beberapa bagian esai Cak Nun yang selinier atau memiliki kesesuaian dalam kehidupan.

Rupanya, buku Indonesia Bagian dari Desa Saya ini membahas perihal kemajuan zaman yang dipandang dari sudut kehidupan desa. Memaknai kemajuan zaman sebagai produk sosial yang masih belum bisa berdiri tegak sempurna dikarenakan banyaknya aspek yang belum terpenuhi, seperti kegagapan masyarakat desa terhadap kedatangan teknologi, perceraian kekeluargaan dan kebersamaan di dalam kehidupan kita, serta kehidupan saat ini layaknya “dilebih-lebihkan” untuk menjadi yang utama.

Berikut ini saya sajikan beberapa alasan mengapa buku Indonesia Bagian dari Desa Saya sangat patut masuk dalam daftar bacaan kalian yang terlebih menyukai buku-buku sosial budaya dalam pengemasan bahasan yang ringan dan mudah dicerna.

Desa dan Indonesia, seperti apa?

Meminjam kata Cak Nun, “Desa Saya Bagian dari Indonesia” adalah sebuah tataran ilmu. “Indonesia Bagian dari Desa Saya” adalah tataran yang lain, bisa lebih tinggi, bisa lebih luas. Atau kedua-duanya berfungsi sekaligus. Dialektis-dinamis. Ulang-alik dialektika pandangan, kesadaran dan kecerdasan pada saat Cak Nun menginjak usia muda.

Desa menjadi bagian dari Indonesia dan di dalam Indonesia terdapat desa. Kedua elemen tersebut tak dapat dipisahkan. Layaknya sistem sosial, jika ada satu elemen yang tidak berfungsi lagi, maka tatanannya akan berubah. Desa akan menjadi sebuah kerinduan kita semua jika ada sesuatu yang “hilang” dari dalam isinya. Bisa saja dengan adanya modernitas dan globalisasi, desa menjadi tergerus oleh arus-arus transformasi.

Ya, di dalam buku ini akan memaparkan betapa riuh ketimpangan yang sangat mencolok nyata antara desa dan kota, desa dan Indonesia, serta tatanan di dalam sistemnya. Indonesia belum benar-benar ‘hidup’ sesuai apa kata pendahulu. Perlu adanya kesadaran diri dari manusia jika sebuah tranformasi yang menanamkan kaidah ingin tetap ada.

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia: Modernitas era kini

Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya: Saat ini kita sudah berada pada zaman yang menggandrungi hal-hal baru dan terkini. Hal-hal baru tersebut telah membawa kita dalam percepatan informasi. Naif rasanya jika kita tidak atau belum mencicipi kemajuan zaman sekarang ini. Namun, permasalahannya yaitu banyak dampak negatif dari kemajuan–yang katanya modern–yang belum bisa kita alihkan ke arah positif.

Individualitas semakin kentara, pengabaian kebudayaan yang terdahulu menjadi membuat mata semakin melek, sifat keakraban & kekeluargaan menjadi hal asing, dan lebih parahnya modernisasi selalu diikat dengan tali kemewahan. Tak sanggup rasanya jika seisi dunia harus digeneralisasi dengan satu jalan kehidupan saja.

Jika dahulu kita makan hanya dengan menu: nasi, tempe, tahu, telur, dan ayam saja sudah syukur alhamdulillah, kini dalam era modern–tepatnya zaman konsumerisme yang telah muncul ke permukaan–makan dengan menu tersebut tentunya kurang. Akan ada yang lebih, lebih, dan lebih. Pada faktanya, kita belum benar-benar bisa memberikan sikap konsumerisme yang tepat. Kita masih terjebak dalam konsumerisme yang bernilai negatif. Tata ekonomi menjadi amburadul dan bertolak dari rasa susila dan kesamaan sebagai bangsa. Pun sifat kapitalis menjadi tak terelakkan.

Relevan dengan kehidupan

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia dengan buku Indonesia Bagian dari Desa Saya akan masih sangat relevan jika dibaca pada saat sekarang. Melalui buku ini, kita bisa belajar banyak bagaimana cara menanamkan moralitas untuk diri manusia, khususnya anak-anak muda. Mengapa perlu penanaman moral? Menjadi penting ketika kita pada era modern globalisasi ini kita terpapar hal-hal luar yang sebenarnya bisa merusak citra diri dan entitas diri, tetapi kita sering menerima dan meng-iya-kannya. Perlunya filterisasi dan pencerahan melalui buku ini.

Selain itu, buku ini juga menyadarkan kita betapa pentingnya budaya yang telah ada dikukuhkan kembali demi terciptanya sistem sosial yang kuat dan tak mudah goyah diterpa zaman. Boleh dikatakan, sah-sah saja ketika ada kemajuan zaman dan peradaban menjadi kencang, tetapi jangan sesekali menghilangkan tataran baik yang sudah terbentuk dari zaman dulu. Penguncian karakter diri diperlukan agar membuat kita mengerti batasan-batasan dalam berperilaku.

Kita sangat membutuhkan panggilan jiwa agar tak lupa harkat dan martabat kita menjadi manusia. Mengejar kebudayaan modern tak akan ada habisnya, diperlukan juga kontrol diri yang membuat moralitas kehidupan menjadi terimbangi. Semoga dengan adanya menilik lebih dekat buku Indonesia Bagian dari Desa Saya, kita lebih bisa berkaca pada pengalaman hidup dan menemukan jalan terang zaman ini mau dibawa ke arah seperti apa. Kunjungi laman bit.ly/indonesiadesasaya untuk melakukan pembelian bukunya!

Pamungkas Adiputra.

Baca Juga: Tips Pembentukan Karakter Anak Guna Membentuk Pola Ekspresi Diri 

 

© Copyright - Bentang Pustaka