Cak Nun: Tuhan Tidak Pernah Menciptakan Sampah

 

Pernahkah sedetik saja terlintas di pikiran kita, apa sebenarnya guna kecoa, tikus, atau lalat? Jika hewan-hewan tersebut sangat mengganggu kehidupan kita, untuk apa mereka diciptakan? Pertanyaan menggelitik mengenai misteri ciptaan Tuhan ini disinggung dengan sangat apik oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar.

Buku yang terbit pada Agustus 2020 ini mengisahkan perbincangan mendalam antara Simbah dan ketiga cucunya: Gendhon, Péncéng, dan Beruk. Salah satu pokok bahasan yang ramai mereka diskusikan adalah filosofi di balik minuman wedang uwuh.

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri, Yogyakarta. Dalam bahasa Jawa, wedang berarti ‘minuman’ dan uwuh adalah ‘sampah’. Kalau begitu, wedang uwuh sama saja dengan minuman sampah, dong? Lalu, untuk apa kita meminum sampah? Menurut para penjual minuman ini, disebut uwuh karena isi minumannya penuh rempah dan daun sehingga dari luar menyerupai tumpukan sampah.

Akan tetapi Cak Nun, yang selama ini kita kenal sebagai sosok yang mampu menguliti lapisan terdalam dari sebuah fenomena, memiliki pandangan khusus mengenai penamaan wedang uwuh ini. Berikut ini beberapa makna tersirat yang dibahas di dalam buku.

 

Jangan Sekadar Melihat Materi, Lihatlah Nilai di Baliknya

“Masyarakat kita selama beberapa puluh tahun terakhir ini lebih terlatih untuk melihat materi, memandang benda-benda, tanpa terlalu peduli terhadap nilai-nilai di belakang benda-benda itu.”

“Misalnya, Mbah …?” Gendhon bertanya.

“Misalnya, tuliskan bahwa wedang uwuh itu diramu dari macam-macam bahan. Katakanlah jahe, cengkih, bunga cengkih, batang cengkih, daun cengkih, kayu secang, pala, daun pala, kayu manis, daun kayu manis, akar serai, daun serai, gula batu, dan kapulaga ….”

 

Menyimpan Data Sejarah

Wedang uwuh bukan hanya segelas minuman. Ia juga sejarah. Karena rempah-rempah itulah, VOC datang dan kemudian menyandera bangsa Nusantara 3,5 abad. Rempah-rempah adalah harga diri kebudayaan bangsa, kreativitas nenek moyang, hasil ijtihad, atau proses eksperimentasi ….”

Kalimat Pèncèng dipotong dan diteruskan oleh Gendhon. “Dari wedang uwuh kita, kan, bisa becermin dan menemukan kesalahan-kesalahan bangsa kita ini sehingga kacau balau seperti sekarang, kehilangan kedaulatan, tidak percaya diri, mendewakan Barat, Arab, Tiongkok, dan semua yang dari luar. Segala sesuatu yang dari manca, kita dewakan. Segala sesuatu yang milik kita sendiri, yang diri sejati kita sendiri, kita remehkan.”

 

Kontemplasi atas Ciptaan Tuhan

Sebenarnya yang tampak paling mletik adalah Pèncèng. Beruk agak pendiam. Namun, sebenarnya sifat agak pendiam itu menandakan dia lebih mendalam. Lebih kontemplatif.

“Misalnya, bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Semua yang terbuang dan terpendam oleh Tuhan dijadikan bahan untuk minyak, batu mulia, akik, serta bahan-bahan tambang lainnya. Semua dibikin Tuhan dalam pola dauriyah. Daur ulang. Tidak ada yang mubazir.”

 

Kutipan-kutipan dari tulisan Cak Nun di atas sungguh menyentak kesadaran kita. Penyebutan “sampah” untuk minuman yang lezat dan berkhasiat seakan mengingatkan kita untuk terus-menerus melakukan refleksi diri. Termasuk pula tidak mudah gegabah dan marah kepada Tuhan ketika mendapat cobaan.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta