Mbah Nun Bertutur: Ungkapan Emha tentang Jati Diri Bangsa yang Terkikis

Emha Ainun Nadjib dalam karya terbarunya yang berjudul Mbah Nun Bertutur mengungkapkan bahwa tanpa disadari, kita telah kehilangan jati diri bangsa. Jati diri bangsa Indonesia sudah dikikis total oleh sekularisme negara yang kita jalankan.

Baca juga: Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Salah satu penyebabnya adalah rakyat manut saja karena tidak pernah diberi tahu beda kasus antara sekularisme dan sekularisasi. Banyaknya konflik kepentingan yang beradu dalam menjalankan negara juga menjadi faktor yang memperparah keadaan.

Bangsa Indonesia Tidak Punya Pemimpin

Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah punya pemimpin di negaranya, begitu tutur Mbah Nun dalam bukunya yang terbit April 2021 lalu. Tidak pernah ada kepemimpinan dengan kematangan nilai-nilai kehidupan, kearifan dalam kebersamaan, kecanggihan dalam kedamaian, komprehensif-dialektis dalam menangani keragaman. Bahkan, sekadar profesional di bidangnya pun tidak. Mbah Nun beropini bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermain-main ketika memilih pemimpin, bahkan dengan berani memain-mainkan nilai-nilai kehidupan, meremehkan ketergantungan dan kebutuhan manusia terhadap harmoni.

Implementasi Pancasila yang Gagal

Sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun dianggap tidak benar-benar diterapkan dalam praktik kehidupan bernegara. Tak ada kesungguhan dari pemerintah, kaum ilmuwan, para negarawan, dan kelas menengah untuk mengelaborasi sila pertama menjadi aplikasi dan implementasi dalam bidang sosial, politik, hukum, dan budaya. Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 1945 hingga sekarang, Mbah Nun menilai bahwa setiap orang, tokoh, dan kelompok, memfokuskan langkahnya demi pelampiasan kepentingan golongannya sendiri.

Mayoritas Bangsa Indonesia Muslim, Seharusnya…

Jika mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam, seharusnya kehidupan bangsa Indonesia ini penuh keteduhan budaya, kelembutan perilaku, kedamaian sosial, keseimbangan berpikir, keutuhan kepribadian, kematangan manajemen, ketertataan bermasyarakat dan negara. Apabila sebuah negara mayoritas warganya beragama Islam, mestinya kebaikan, kebenaran, dan keindahan menguasai wilayah-wilayahnya. Sementara keburukan, kebrutalan, pencurian, korupsi, dan segala macam yang munkar tersingkir dan terpinggirkan. Namun, mengapa bukan pemandangan seperti itu yang kita jumpai di Indonesia? Bahkan, ada kecenderungan sebaliknya?

 

Bangsa Indonesia menggembor-gemborkan Pancasila sebagai dasar negara, tapi semua perilaku kenegaraan dan langkah-langkah pemerintah adalah copy-paste sekularisme global. Tidak ada konteks martabat sebagai bangsa dan manusia. Dalam wacana pemerintahan dan kenegaraan Indonesia, tidak ada urusan dengan harga diri bangsa.

Jika, kalau, bila, dan andaikan… Harus berapa pengandaian lagi yang disebutkan untuk menggambarkan Indonesia? Kapan bangsa kita akan sampai pada titik kata-kata pengandaian itu tak lagi diperlukan?

Baca selengkapnya tulisan terbaru Emha Ainun Nadjib dan opininya terhadap Indonesia dalam Mbah Nun Bertutur. Dapatkan segera bukunya di sini. Ikuti informasi terbaru tentang buku-buku Emha dari Instagram Pustaka Cak Nun.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Apakah kamu termasuk salah satu orang yang kerap memikirkan kondisi negeri? Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar, terwujudnya persatuan dan kesatuan adalah hal yang kita impikan bersama. Namun, tentu saja itu tidak mudah dicapai.

Baca juga: Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat merupakan satu dari sekian syarat agar Indonesia bisa menjadi negara demokratis yang utuh. Emha Ainun Nadjib, dalam karya terbarunya Mbah Nun Bertutur, mengemukakan opininya terhadap kondisi Indonesia dengan gamblang.

Indonesia Gagal Mengelola Perbedaan

Mbah Nun dengan berani menyatakan bahwa Indonesia di era modern adalah negara yang gagal mengelola perbedaan, kecuali mengatasinya dengan otoritarianisme radikal, pembubaran, pembunuhan, atau de-eksistensi konstitusional. Menurut sang penulis, bahasa yang digunakan akhir-akhir ini untuk mengalamatkan hal itu sangatlah radikal. Makar, sempalan, ekstremis, teroris, dan anti adalah beberapa di antaranya.

Tak hanya itu, Indonesia kini diperkokoh oleh aktivis-aktivis Islam yang berpikir datar dan linier, sama radikal dan otoriternya. Hampir semua yang tidak sejalan dengan mazhab yang dipercaya oleh golongan mereka dituding haram, bidah, syirik, tagut, atau kafir. Perbedaan dan diversitas dipandang sebelah mata. Oleh beberapa pihak, justru dianggap sebagai pedang pemecah belah. Toleransi? Sepertinya bangsa kita memerlukan pemaknaan baru untuk itu.

Semboyan Indonesia: Bhinneka Gagal Ika?

Mbah Nun melihat bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak mengerti nasib mereka, tidak memahami apa yang sedang menimpa mereka, apalagi yang akan menimpa mereka pada masa depan. Rakyat sama sekali tidak mendapat peluang pendidikan politik dan kenegaraan pada pratik nyatanya. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan umumnya hanya berfokus pada menghafal Undang-Undang Dasar (UUD), Pancasila, dan sederet pasal. Namun, pemaknaannya nihil.

Mengutip dalam Mbah Nun Bertutur, bangsa Indonesia melahirkan buzzer-buzzer perusak kehidupan, pengkhianat sejarah, dan pembunuh nilai-nilai dasar kemanusiaan. Bagi Emha, Indonesia adalah bangsa yang pemerintahnya selalu sombong dan omong besar tentang persatuan serta kesatuan, padahal tidak punya ilmu dan wibawa untuk mempersatukan. Selalu omong kosong tentang Bhinneka Tunggal Ika, padahal praktiknya selalu Bhinneka Gagal Ika.

 

Mbah Nun Bertutur memang berisi banyak tentang cerita kehidupan Emha muda, tetapi kritik dan opini terhadap situasi negara yang tak pernah luput dituangkannya dalam setiap karyanya menjadikan buku ini bacaan yang reflektif dan kontemplatif. Meskipun periode prapesan telah berakhir, Mbah Nun Bertutur masih dapat ditemukan dalam katalog Bentang Pustaka di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Membincang fenomena Emha (meminjam istilah Halim HD) memang tak pernah ada habisnya. Pemikirannya selalu menembus batas-batas demarkasi intelektual, dimensi spiritual, bahkan standar moral di tengah-tengah masyarakat. Gerakan sosialnya pun menarik karena naluri aktivismenya yang selalu memposisikan diri di luar arus dan pagar mainstream. Energi hibrida agamawan-budayawan-aktivis-penulis-oratornya membuatnya tak pernah absen dari upaya memadukan aneka rupa senyawa estetika, religiusitas, sosial, politik, dan kultural kedalam sebuah bejana kehidupan yang tidak hanya harmonis, tetapi juga puitis dan terkadang magis.

Sebagai mahluk multidimensi yang langka, tidak mengherankan jika ia sering disalahpahami oleh banyak kalangan. Tak jarang frekuensi kepentingan orang-orang di kursi kuasa, di pucuk kharisma, dan di hulu-hilir niaga terganggu oleh dentingan Saron dan Bonang serta lautan tinta kritisisme seorang Emha. Tak sedikit pula dari mereka yang pernah aktif di lingkaran utama towaf dan jalur sa’i sosial-budaya sang ‘Kiai Mbeling’ ini datang dengan puja dan cinta namun pergi dengan iri dan dengki semata karena salah menilai Emha.

Kesalahpahaman itu mungkin wajar terjadi. Pertama karena memang ada kecenderungan kronis di masyarakat kita, ketika memandang sebuah fenomena budaya, sosial, bahkan politik dengan kacamata kuda. Kedua karena Emha ini memang tipe manusia ruang yang mampu menampung, bukan perabot yang selalu membutuhkan tempat bernaung. Trajektori hidupnya bukan sekolah-kuliah-harta melimpah-hidup mewah, tetapi nyantri-berpuisi-berdramaturgi-jalan sunyi. Ini membuat upaya untuk memahaminya harus dilakukan dengan dua pendekatan sekaligus. Dari sudut pandang etic yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh para kritikus dan khalayak. Juga dari sisi emic yang mencoba menggali relung-relung terdalamnya yang selama ini tersembunyi.

Mbah Nun Bertutur, buku terbaru Emha yang diterbitkan Bentang Pustaka April 2021 ini menawarkan narasi emic yang sedikit berbeda tentang fenomena Emha. Buku ini bisa juga disebut autoethnography atau otoetgrafis karena seluruh isinya merupakan hasil self-reflection atas pemikiran dan pengalaman Emha sendiri sejak kecilnya hingga tiga perempat abad perjalanan hidupnya. Dari judulnya saja, ada dua nuansa utama yang tersirat. Pertama Mbah, sebuah panggilan dalam khazanah budaya Jawa yang mengisyaratkan hubungan lintas generasi, tetapi juga mengandung nilai ‘keramat’, penghormatan, tetapi juga kasih-sayang terutama dari para cucunya. Kedua bertutur, ini juga idiom Jawa yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna amelioratif dari sekedar bercerita atau bercakap-cakap. Ada Nuansa reflektif si Mbah yang amat merindukan cucu-cucunya, dan sebaliknya, saling bertutur di gardu tengah desa menjelang senja.

Dan nampaknya, momentum pandemi Covid-19 yang sudah berlangusng lebih dari setahun ini memberikan ruang kontemplatif yang begitu tenang dan dalam bagi Emha. Berbagai macam untold stories yang selama ini tertimbun oleh padatnya jadwal keliling dan seluruh aktivitas publik yang ia jalani tanpa henti terselip di buku ini. Sejak masa kecil di Jombang, nyantri di Gontor, masa muda di Jogja yang begitu transformatif, hingga pergumulan di hampir semua arena teater sosial Indonesia di semua cita-rasa presiden yang memimpinnya, bahkan ‘penggelandangan’ pribadi dan pentas-pentasnya bersama Kiaikanjeng di seluruh benua, hampir semua tertutur singkat di sini. Ada banyak anekdot, pemaknaan baru, bahkan pengakuan faktual di sana-sini yang membuat pembaca buku ini lebih ngeh, sambil sesekali menganggukkan kepala seraya bergumam “oh…ternyata…”

Kekhasan buku-buku Emha selama ini memang seperti jembatan. Isinya kumpulan essai yang dirangkai menjadi satu buku tematis yang dalam beberapa kesempatan ia sebut berposisi diantara puisi dan artikel. Dan format ini memungkinkan jangkauan pembaca yang lebih inklusif. Namun demikian, keberpihakannya kepada wong cilik nampak tetap sangat jelas dari hampir semua judul yang diangkat di banyak bukunya, termasuk di buku ini. Sehingga kaum elit yang meskipun secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati subliman pesan-pesan mendasar dari beragam tulisan Emha, mereka akan enggan mengonfirmasinya ke publik bahwa inspirasinya dinukil dari sana.

Etos utama bertuturunya masih sangat kentara, yaitu dengan dua nafas utama. Pertama, dekonstruksi atas doktrin agama, nilai budaya, pakem sosial, formula politik, maupun, collective believe yang berlaku di masyarakat. Kedua, kecenderungan ‘menggugat’ seluruh bentuk institusionalisasi dan formalisasi dari semua dialektika tersebut, yang dalam banyak aspek memang mengkerdirkan logika dasar kemanusiaan, persaudaraaan, dan saling menghargai sesama.

Yang menarik, berbeda dengan banyak sekali buku-buku Emha sebelumnya, buku ini lebih ‘literatif’ menggunakan rujukan tekstual agama dari Alquran maupun hadist. Ini penting untuk dicatat. Banyak intelektual Muslim berangkat dari teks agama di masa mudanya, kemudian baru menemukan pemahaman mendasar dan konteksnya di masa tua. Tetapi Emha, ia menyelami berjuta konteks untuk memahami nilai-nilai substansial agama sejak masa muda, baru kemudian merangkai simpul-simpul justifikasi teksnya di usia senja.

Dan ini mungkin yang membuat narasi bertuturnya lebih mengena, karena basis empiris di kehidupan nyatanya begitu luasnya. Dan ini pula yang barangkali membawanya ke berbagai permakluman dan permaafan kepada kedunguan siapa saja yang mendiskreditkannya, mencatut namanya, dan mengkapitalisasi ide dan kreativitasnya. Perlu diingat, ‘karir’ intelektualnya memang bukan dibangun dari kepiawaiannya menelan teori dan formula, tetapi dari meneliti setiap kata. Buku pertamanya bukan karya akademis yang jelas jarak antara penulis dan yang ditulisnya, tetapi kumpulan puisi tentang frustasi hidupnya. Judulnya saja “M” Frustasi (1975) yang mengisyaratkan betapa “Frustasi”-nya seorang e”M”ha dengan dunia seisinya.

Meskipun ada juga ekspresi-ekspresi kejengkelan atas ulah para milenial manja, atas ketidakseriusan para pemangku hajat anak bangsa, dan atas kesembronoan para cerdik pandai memilih diam seribu bahasa, Emha yang sudah menjadi ‘Mbah’ masih terus menaruh harapan besar kepada para cucunya. Mulai dari mereka yang masih setia bertani di desa-desa, yang terpaksa pergi ke kota demi nafkah keluarga, hingga para kaum papa di jalanan dan di trotoar peradaban dunia maya. Frustrasi itu sebuah energi, yang jika dituturkan akan ada kemungkinan untuk ditransformasikan. Dan energi tak pernah bisa dimusnahkan, karena ia juga tak bisa diciptakan.

Akhirnya, dengan segala analogi, imajinasi, dan empatinya, sangkan paran buku Mbah Nun Bertutur ini sebenarnya bukan tentang Emha yang menuturkan dirinya. Ini buku tentang anak bangsa yang menuturkan masa depan Indonesia.

 

Ulasan buku Mbah Nun Bertutur oleh Ahmad Karim

(Mahasiswa program doktoral Departemen Antropologi Universitas Amsterdam Belanda)

Memaknai Kehidupan dengan Mbah Nun Bertutur

Bukan Emha Ainun Nadjib namanya jika tulisan-tulisannya tidak membuat para pembaca berefleksi. Karya terbarunya, Mbah Nun Bertutur, bukan hanya sebuah memoar yang menceritakan masa muda Emha ketika bertemu dengan berbagai sosok penting dalam hidupnya.

Baca juga: Karya Baru Emha Ainun Nadjib: Mbah Nun Bertutur, Akan Menemanimu pada Bulan Ramadhan!

 

Buku ini tidak hanya berisi catatan ingatan Mbah Nun mengenai bagaimana benih sebuah komunitas dituai dan ditumbuhkan. Mbah Nun Bertutur mengajak kita untuk memaknai kehidupan yang selama ini kita jalani.

Hidup Tidak Sekadar Dijalani

Menurut Habib Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman dan salah satu pembaca pertama Mbah Nun Bertutur, hidup pada dasarnya merupakan perihal makna. Hidup adalah tentang bagaimana kita memaknai, menafsiri, dan memberi nilai pada setiap peristiwa yang kita alami sehari-hari. Namun, makna bukan sesuatu yang bisa kita petik segera setelah sebuah peristiwa kita alami atau selepas diberikan cobaan.

Dalam bukunya, Mbah Nun mengatakan bahwa banyak hal yang semasa usia muda kita perjuangkan, tetapi baru kita sadari esensi maknanya ketika tua. Reflektif. Buku ini mendorong para pembaca untuk kembali membuka kisah pada lembaran-lembaran lama dan merenungkan runtutan peristiwa kehidupan.

Makna Kehidupan Bersifat Personal

Pemaknaan sifatnya sangatlah personal. Contohnya, bahkan jika ada dua orang mengalami kejadian yang sama persis, bagaimana mereka memaknai insiden tersebut jelas akan berbeda. Mungkin, satu orang merasa bersyukur dan seorang lagi menganggapnya sebagai hukuman yang tak adil. Bagaimana kita memaknai peristiwa lampau, akan memengaruhi bagaimana kita bertindak pada masa depan.

Melalui buku ini, selain bisa mengupas cerita Emha semasa muda hingga sekarang ini, kita juga bisa belajar bagaimana cara Mbah Nun memandang peristiwa lampau di kehidupannya, menyerapnya untuk kemudian menemukan nilai-nilai yang membentuk sebuah makna.

“Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya.”

Mbah Nun Bertutur masih dalam periode prapesan. Kamu bisa memilih dua paket prapesan yang ditawarkan. Jika memilih paket 1, kamu akan mendapatkan buku bertanda tangan digital Emha Ainun Nadjib. Apabila menjatuhkan pilihan pada paket 2, kamu bisa memiliki buku bertanda tangan dan kaus eksklusif. Ikuti prapesannya di sini sampai tanggal 18 April 2021! Pantau terus Instagram Pustaka Cak Nun untuk info terbaru karya-karya Mbah Nun!

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Emha Mbah Nun Bertutur

Karya Baru Emha Ainun Nadjib: Mbah Nun Bertutur

Jika kamu bertanya-tanya buku apa yang cocok, karya terbaru Emha Ainun Nadjib adalah jawabannya, berjudul Mbah Nun Bertutur. Penulis yang akrab dipanggil Mbah Nun ini selalu aktif menuangkan buah pikirnya dalam bentuk kolom, artikel, dan esai. Kira-kira, Mbah Nun Bertutur akan membahas tentang apa?

Lanjutan Indonesia Bagian dari Desa Saya?

Ada pertanyaan menarik di sini. Beberapa telah berasumsi bahwa Mbah Nun Bertutur merupakan “sekuel” Indonesia Bagian dari Desa Saya? Tidak, Mbah Nun Bertutur dan Indonesia Bagian dari Desa Saya bukan merupakan buku serial. Namun, karya terbaru ini akan sangat “nyambung” apabila dibaca setelah Indonesia Bagian dari Desa Saya yang terbit tahun lalu.

Bahasan lebih lanjut mengenai modernisme dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya, akan kamu temukan dalam Mbah Nun Bertutur yang menuliskan bahwa modernitas adalah anak sulung dari sekularisme. Melalui buku ini, para pembaca juga akan diperkenalkan dengan karya kesenian, “musik-puisi” yang menghiasi jagat budaya Yogyakarta pada akhir 1970 sampai awal 1980-an.

Musik-Puisi, Keseimbangan yang Ciptakan Harmoni

Jangan salah sangka, ini bukan musikalisasi puisi, puitisasi musik, puisi-musikal, atau pun musik-puitis. Mbah Nun memilih idiom musik-puisi sebab kadar dan peran keduanya dikelola untuk tetap seimbang dan komplementer. Ini bukan bunyi musik yang diaransemen sehingga menjadi puitis. Bukan pula puisi yang dinyanyikan jadi penampilan musikal. Bukan juga pembacaan puisi yang diiringi musik ilustratif. Dan bukan musik yang memimpin. sedangkan puisi jadi pelengkap penderita.

Bahkan, kalau kita menyebutnya “puisi-musik” pun tidak masalah karena keduanya seimbang. Mereka sama-sama berperan, menjadi dasar pertimbangan, dan sumber inspirasi kreatif, musik dan puisi menghiasi satu sama lain hingga menghasilkan harmoni. Penyatuan, keseluruhan, dan keseimbangan. Itu adalah makna dari karya musik-puisi menurut Mbah Nun.

Emha Mbah Nun BertuturMbah Nun Bertutur karya Emha Ainun Nadjib Sudah Hadir

Masih dengan gaya tulisnya yang sama, dicampur dengan istilah bahasa Jawa, disisipkan pengetahuan tentang Islam, dan diselipkan kebudayaan Indonesia, Mbah Nun Bertutur akan menjadi sebuah karya yang membekas di hati para pembaca. Dapatkan bukunya di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

10 Nasihat Bijak Cak Nun dalam Buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar

 

Tak bisa dimungkiri, setiap nasihat bijak dari Cak Nun sering kali membuat hati tergetar. Mulai dari yang disampaikan secara langsung di forum Maiyahan maupun melalui artikel atau buku yang ditulisnya. Jika diperhatikan lebih jauh, beliau kerap mempertanyakan banyak hal dalam hidup ini. Dan, pertanyaan-pertanyaan tersebut seakan mengajak kita untuk melatih nalar kritis kita sebagai manusia.

Dan hal itulah yang coba dibahas secara lebih dalam di buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Buku ini membedah pencarian manusia terhadap kebenaran yang hakiki. Seperti, proses mengenal Tuhan, kehati-hatian dalam memilih pemimpin, hingga introspeksi diri dalam menjalani ibadah.

Berikut inilah 10 nasihat bijak Cak Nun yang bisa kita jadikan pegangan dalam upaya pencarian tersebut.

Nasihat tentang kemesraan manusia dengan Tuhan

  1. Jangan mengharapkan cahaya terang akan datang dari seluruh ruang yang kalian pandang. Cahaya hanya bisa kalian terbitkan dari lubuk kedalaman jiwa kalian sendiri ….

 

  1. Tuhan Yang Maha-tunggal: “Qul, Huwalllahu Ahad ….” Tuhan memperkenalkan diri-Nya, sebatas akal dan rohani manusia sanggup menampungnya. Bahwa main icon-Nya adalah Rahman dan Bahwa ada 99 sifat-Nya, tidak berarti Allah itu terbatas pada dan oleh 99 karena Allah itu maha dan tidak bisa dirumuskan oleh angka, jumlah, huruf, dan kata.

 

  1. Semua ciptaan Tuhan adalah ayat. Ayat artinya tanda; tanda kehebatan Tuhan. Kebesaran dan keagungan-Nya. Seluruh alam semesta dan jagat raya beserta isinya, kata para sesepuh dulu, adalah ayat kauniyah.

 

  1. Firman itu sebenarnya merupakan perintah halus agar manusia meneliti kehidupan, mengamati dirinya, alam semesta, dan seluruh pengalaman hidup manusia. Di tengah proses penelitian itu, manusia terkesiap. “Edan, memang apa saja dalam hidup ini tidak ada yang sia-sia ….”

 

  1. Manusia memasuki hidupnya dengan kepatuhan. Berarti harus belajar menunduk, membungkuk, ngapurancang, karena tidak ada sasaran lain untuk patuh kecuali kepada Yang Maha Menciptakan-nya. Manusia tidak sanggup menciptakan dirinya sendiri. Karena ia makhluk, bukan Khaliq. Kita adalah kartu, bukan pemegang kartu.

 

Nasihat bijak untuk para pemimpin

  1. Maka, hati-hati kalau ngomong dan bersikap. Kalau kalian anak kecil, enggak apa-apa gembelengan [bermain-main]. Tapi, kalian berposisi memimpin, berarti sudah nyunggi wakul [membawa bakul di atas kepala; mengemban amanah]. Jangan sekali-sekali gembelengan. Jaga mulut, jangan sakiti siapa-siapa, justru setiap tindakan dan ucapanmu harus mengayomi, membesarkan hati rakyat, memberi ruang, memperluas ketenteraman dan keseimbangan hubungan. Kalau enggak, nanti wakul amanah kepemimpinan kalian akan ngglimpang [terguling] dan segane [nasinya] tumpah dadi sak-latar [sehalaman].

 

  1. Bagi setiap pemimpin, di level mana pun dan dalam bentuk apa pun, raja atau presiden atau direktur, di dalam dadanya berlangsung penyatuan antara Gusti dan rakyatnya. Kalau si pemimpin menyakiti rakyatnya, Gusti Allah marah. Kalau si pemimpin mengkhianati Gustinya, rakyat bergolak.

 

  1. Terus terang, sebagai rakyat kecil sampai setua ini, saya belum pernah mengalami kepemimpinan yang mengelola harmoni antara kecerdasan dan kebijaksanaan. Antara kekuatan dan kasih sayang. Antara kehebatan dan pengayoman. Atau antara kepandaian dan kearifan.

 

Nasihat bijak untuk berikhtiar dalam beribadah

  1. Daripada kita menunggu-nunggu Lailatul Qadar dengan mental seperti menunggu lotre atau bukaan nomer, daripada kita memperlakukan Allah hanya untuk kepentingan materialisme, ingin dapat uang berkarung-karung, ingin lebih kaya harta benda, mending kita ber-i’tikaf (iktikaf ), bertafakur, mengupayakan agar jiwa kita memfitri kembali. Kita berjuang menuju lailatul fithri dan naharul fithri. Siang membayi, malam membayi. Pagi memurnikan diri, sore menyucikan diri. Biar saja orang maido [meragukan] kita sebagai orang yang sok suci. Kita mengupayakan lailatul fithri justru karena hidup kita masih kotor ….

 

  1. Tradisi budaya bukan hanya tidak bertentangan dengan agama, melainkan bahkan memperindahnya, memperkaya praktik sosialnya. Sepanjang tidak ada pagar syariat yang ditabrak oleh tradisi budaya itu, maka mudik dan upaya-upaya budaya lain justru menjadikan ajaran agama itu keindahan yang nyata dalam kehidupan. Allah suruh kita shalat, kita praktikkan dengan mewujudkan budaya sajadah, masjid, arsitektur, tikar dan karpet, bahkan listrik dan Itu semua teknologi ikhtiar manusia, bagian dari budi daya kehidupan kaum Muslim.

Kutipan dan kisah menggugah lain dari Cak Nun lebih lanjut bisa kita temukan di sini.

 

 

4 Ikon Bersejarah Yogyakarta yang Disebut dalam Buku Terbaru Cak Nun

Yogyakarta selalu memiliki tempat di hati orang-orang yang pernah singgah. Penduduknya yang santai dalam menjalani hidup hingga lokasi wisata yang tersebar di segala penjuru, membuat kota ini begitu “hidup”. Bahkan, dengan begitu banyaknya pelajar dari berbagai provinsi yang merantau demi menuntut ilmu, Yogya kerap disebut sebagai miniatur Indonesia.

Akan tetapi, keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada kemeriahan maupun keberagaman suasananya. Hal paling mendasar yang membuat kota ini begitu istimewa adalah para warga Yogya sangat memperhatikan patrap [pedoman perilaku] sebagai atlas nilai kehidupan.

Oleh karena itu, tak heran jika Cak Nun mendedikasikan kehangatan dan keistimewaan Yogyakarta dalam buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Dalam memaparkan nilai hidup tersebut, Cak Nun mengilustrasikannya ke dalam empat ikon bersejarah yang bisa kita kunjungi dan nikmati berikut ini.

  1. Gunung Merapi

Bagi warga sekitarnya, Gunung Merapi adalah sumber kehidupan. Saking sakralnya peran gunung ini, setiap kali erupsi, masyarakat enggan menyebut peristiwa tersebut dengan kata meletus. “Merapi sedang duwe gawe [punya hajat],” demikian pesan almarhum Mbah Maridjan, sang juru kunci.

Manunggaling kawula lan Gusti [konsep tentang bersatunya antara rakyat dan pemimpin atau hamba dan Tuhannya] juga tecermin pada posisi Gunung Merapi. Berdasarkan penuturan sejarah, Pangeran Mangkubumi menemukan garis lurus antara puncak Merapi ke tiang pancang balairung di bangunan samar di Laut Selatan. Inilah khatulistiwa kosmologi Ngayogyakarta Hadiningrat. Garis lurus itu merupakan proporsi kosmologis ditatanya Negeri Ngayogya. Pada titik-titik dalam garis itu, terdapat penyatuan dan kemenyatuan antara Tuhan, alam, dan manusia.

 

  1. Malioboro

Para wisatawan dari dalam maupun luar Yogya pasti selalu menyempatkan diri mengunjungi area ini. Malioboro memang dikenal sebagai pusat perbelanjaan dan tempat berkumpul warga. Menurut kesaksian Cak Nun, Malioboro dulu adalah kawah Candradimuka yang melatih para penyair, cerpenis, dan novelis. Bisa dikatakan, Yogya adalah mercusuar kesenian nasional. Untuk waktu yang sangat lama, berpuluh-puluh tahun, Yogya adalah laboratorium utama dunia seni rupa, bersaing dengan Bandung. Yogya adalah barometer dunia teater dan kekuatan utama potensi dan aktualisasi kesusastraan Indonesia. Dan, melalui Malioboro inilah, berbagai karya dan komunitas seni melahirkan dirinya dan bergerak.

 

  1. Angkringan

Dalam buku ini, Cak Nun mengenang salah satu angkringan legendaris yang ramai dikunjungi puluhan tahun silam, Wedangan Mbah Wongso. Tepatnya di sebelah barat perempatan Wirobrajan selatan jalan. Bagi Cak Nun, angkringan bukan hanya warung kaki lima, melainkan juga sebuah simbol penerimaan diri. Mbah Wongso—yang karakter ini juga mudah kita temui pada bakul angkringan lainnya—tidak peduli pada detail dan jumlah dagangannya. Jika ada yang mengambil tempe lima bilang dua, atau kerupuk tujuh bilang tiga, tidak pernah menjadi masalah. “Mbah Wongso bukan kapitalis. Mbah Wongso menjalani darma hidup. Beliau sangat menikmati setiap malam melayani siapa saja yang butuh sruput-sruput, anget-anget, dan nyaem-nyaem. Beliau punya kesadaran untung dan rugi, tetapi itu bukan perhitungan utama kehidupannya,” tulis Cak Nun.

 

  1. Wedang Uwuh

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri. Namun saat ini, kita bisa menemukan kemasan wedah uwuh siap seduh di berbagai pasar di Yogyakarta.

Dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman dan uwuh adalah sampah. Meskipun dinamakan minuman sampah, wedang ini memiliki berbagai macam khasiat menyehatkan untuk tubuh karena berisi rempah-rempah.

Menurut Cak Nun, penyebutan wedang uwuh ini justru menunjukkan simbol adanya kebesaran Tuhan. Sebuah pertanda yang sangat jelas bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Hal-hal yang secara kasat mata dianggap tidak berguna oleh manusia, sesungguhnya memiliki pola dauriyah. Tidak ada yang mubazir.

 

Itulah tadi empat filosofi hidup manusia yang tecermin di dalam ikon-ikon bersejarah di Yogyakarta. Untuk mengetahui lebih dalam lagi soal Yogyakarta dalam buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar, kalian bisa memperolehnya di sini.

4 Tips Produktif Menulis ala Emha Ainun Nadjib

 

Hingga saat ini, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) telah menghasilkan puluhan judul buku. Dan, dua puluh tiga di antaranya telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Dalam setahun, Cak Nun bisa menerbitkan 3 hingga 5 judul buku sekaligus. Tak hanya mencengangkan dari sisi kuantitas, kualitas tulisan Cak Nun pun tak main-main. Genre yang dilakoninya pun beragam, mulai dari esai, syair, puisi, novel, hingga skenario teater. Tentu banyak yang bertanya-tanya, bagaimana kiat Cak Nun bisa sedemikian produktifnya dalam menghasilkan karya? Berikut ini empat tips produktif menulis yang bisa kita pelajari dari Cak Nun.

 

Peka Mengamati Fenomena Terkini

Pada 2020 ini, tercatat Cak Nun telah menerbitkan 2 buku baru, Lockdown 309 Tahun (Juni) dan Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar (Agustus). Memiliki pengalaman sebagai penulis esai dan jurnalis, Cak Nun rupanya begitu mengikuti informasi terkini. Tulisan-tulisan Cak Nun dalam Lockdown 309 Tahun merupakan refleksi atas merebaknya virus Covid di dunia. Buku ini bahkan bisa disebut sebagai buku pertama di Indonesia yang merespons langsung kegelisahan masyarakat ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar diterapkan pada Maret lalu.

 

Terbuka pada Berbagai Macam Pandangan

Sudut pandang yang sempit terbukti menjadi salah satu penghalang dalam upaya untuk produktif menulis. Hal tersebut dikarenakan persepsi yang dimiliki terbatas. Maka, karya yang dihasilkan pun hanya akan berputar-putar pada satu tema. Penulis pun akan kesulitan untuk melihat fenomena baru.

Tulisan-tulisan Cak Nun menunjukkan keluasan berpikirnya terhadap berbagai macam pandangan. Dalam buku Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar, Cak Nun mengkritisi fenomena fanatisme sempit dan penolakan untuk menerima pendapat yang berlainan. Supaya mudah dipahami pembaca, Cak Nun kerap menggunakan tokoh-tokoh imajiner dalam menanggapi suatu peristiwa. Dan, tokoh yang paling terkenal di antara mereka adalah Markesot. Tak jarang dialog yang ada dalam kisah tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemahaman yang saling bertentangan. Namun, para tokoh itu selalu menemukan jalan untuk tidak berpedoman pada kebenaran versi tunggal, tetapi kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang.

 

Tuliskan Semua yang Ada di Pikiran

Ada beragam teknik menulis yang bisa kita coba. Mulai dari menentukan judul terlebih dahulu, merencanakan outline dengan detail, atau membiarkan semua yang ada di pikiran mengalir deras. Cak Nun rupanya menggunakan metode yang terakhir. Orang-orang terdekatnya mengatakan bahwa ketika menulis, Cak Nun akan sangat fokus. Beliau bahkan tak pernah memencet tombol delete sekalipun. Hal ini menunjukkan kematangan konsep tulisan yang sudah dirancang di dalam pemikirannya.

 

Kreatif dalam Menentukan Judul

Judul yang unik dan ritmis bisa memicu penulis untuk semakin produktif menulis. Ada aura kebahagiaan yang terpancar dari tiap paragraf yang dituangkan. Dan, Cak Nun selalu mampu menemukan judul-judul menarik yang tak lekang waktu. Misalnya, ketika mengamati fenomena pengharaman musik di kalangan umat Islam, Cak Nun menulis esai dengan judul Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai. Esai ini menceritakan seorang kiai yang sangat getol melarang musik diputar di pesantrennya. Namun, suatu ketika terdengar bunyi musik lamat-lamat dari desa seberang, kaki Pak Kiai tak sengaja bergerak secara ritmis.

 

Nah, itu tadi empat tips produktif menulis yang bisa kita pelajari dari Cak Nun. Selamat mencoba!

Sinau Bareng: Rendah Hati dalam Mencari Kebenaran

 

Pada masa pandemi ini, salah satu hal yang tentunya sangat dirindukan oleh Jamaah Maiyah adalah Sinau Bareng. Setiap orang dari berbagai latar belakang berkumpul bersama. Cak Nun, bersama beberapa narasumber yang beliau undang, akan membahas suatu isu. Dan, setiap orang yang datang berkesempatan untuk bertanya atau mengemukakan gagasannya.

Sinau Bareng jika diterjemahkan secara harfiah berarti Belajar Bersama. Pemaknaan belajar di sini adalah menggali falsafah-falsafah kehidupan. Memberdayakan akal, pikiran, dan hati sehingga mampu bersikap kritis dalam melihat suatu fenomena. Kita tentu tidak tahu kapan forum Sinau Bareng yang biasa dihadiri oleh ratusan hingga ribuan orang itu akan hadir kembali. Kita tentu sudah sangat rindu untuk bersilaturahmi dan melantunkan shalawat bersama-sama.

Untuk mengobati kerinduan tersebut, Bentang Pustaka bekerja sama dengan Progress (Manajemen Cak Nun dan Kiai Kanjeng), menggelar Sinau Bareng daring yang ditayangkan di YouTube. Sinau Bareng kali ini membahas buku terbaru Cak Nun yang terbit pada Agustus, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Dimoderatori oleh Helmi Mustofa, narasumber yang turut hadir dalam acara ini yaitu Iqbal Aji Daryono (esais dan pengamat media) serta Iman Budhi Santosa (Budayawan).

 

Andhap Asor (Rendah Hati) dalam Belajar

Buku terbaru Cak Nun ini menguliti fenomena pencarian kebenaran pada diri setiap insan. Menurut Iqbal, orang-orang yang datang ke Sinau Bareng pasti memiliki bekal perasaan andhap asor. Karena, jika mereka berangkat dengan kesombongan dan perasaan pasti benar, tidak mungkin menuju atmosfer belajar bersama. “Sama halnya dengan para calon mahasiswa yang datang ke Yogyakarta. Banyak orang dari luar daerah ke Yogya untuk belajar. Berarti ada niatan untuk belajar. Iklim Sinau Bareng banyak muncul di buku Mbah Nun. Simbah tidak terus memosisikan diri sebagai pihak otoriter, beliau menganggap anak cucunya juga sebagai sumber kebenaran, sebuah insight yang penuh kewaskitaan.”

Perihal rendah hati dalam mencari ilmu juga dicontohkan oleh Iqbal melalui pengalaman pribadinya. Suatu waktu, ketika masih bermukim di Melbourne, Iqbal mengajak putrinya untuk mengunjungi museum. Ketika melewati patung dinosaurus, putrinya kemudian berkata, “Pak ini bentuk dinosaurus, but it can be right, it can be wrong.” Iqbal yang tertarik dengan pernyataan itu pun bertanya lebih jauh mengapa bentuk dinosaurus itu hanya mengira-ngira. Jawabannya sungguh menarik: karena sudah tidak ada. Scientist hanya menduga-duga dari sedikit yang dia tahu lalu menyimpulkan.

Bagi Iqbal, itulah contoh paling konkret dari spirit pendidikan yang andhap anshor.  Keyakinan tak perlu dipegang terlalu erat karena pada prosesnya bisa benar atau salah.

 

Berhati-hati dalam Melangkah

Jika Iqbal menekankan pencarian kebenaran pada prinsip rendah hati dalam berilmu, Romo Iman memberi contoh lain melalui filosofi di balik pesan “hati-hati di jalan”. Pesan tersebut sesungguhnya tidak berarti berhati-hati terhadap segala hambatan di jalan. Namun, ada makna yang jauh lebih dalam. Dalam falsafah Jawa, dikenal peribahasa “Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang, dalane orang mung siji” [Tersandung di jalan yang rata, terbentur langit, (maka ingatlah) tidak hanya ada satu jalan]. Segala sesuatu yang serba mulus dan lancar terkadang menyimpan jebakan di baliknya. Jalan yang rata tetap bisa membuat kita terjatuh karena tersandung oleh kaki sendiri.

“Maka, carilah yang pener [sesuai], bukan sekadar benar,” nasihat Romo Iman. Sikap penuh hati-hati dalam mencari kebenaran juga merupakan prinsip dalam forum Sinau Bareng. Para Jamaah Maiyah diajak untuk berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya. Begitu pula ketika mendengarkan pendapat orang lain. Karena bisa jadi, kebenaran itu bukanlah apa yang terbaik untuk kita, melainkan justru yang terbaik untuk sesama.

Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

© Copyright - Bentang Pustaka