Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

2 replies

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] banyak hal dalam hidup ini. Dan, pertanyaan-pertanyaan tersebut seakan mengajak kita untuk melatih nalar kritis kita sebagai […]

  2. […] paling mendasar yang membuat kota ini begitu istimewa adalah para warga Yogya sangat memperhatikan patrap [pedoman perilaku] sebagai atlas nilai […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta