Penyadaran Moralitas Kebudayaan Indonesia melalui Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia melalui Indonesia Bagian Desa Saya, buku karya Emha Ainun Nadjib yang diusung dalam kumpulan esainya yang kemudian diterbitkan untuk ketiga kalinya oleh Bentang Pustaka. Seketika buku ini menjadi salah satu buku daftar bacaan utama saya karena terdapat beberapa bagian esai Cak Nun yang selinier atau memiliki kesesuaian dalam kehidupan.

Rupanya, buku Indonesia Bagian dari Desa Saya ini membahas perihal kemajuan zaman yang dipandang dari sudut kehidupan desa. Memaknai kemajuan zaman sebagai produk sosial yang masih belum bisa berdiri tegak sempurna dikarenakan banyaknya aspek yang belum terpenuhi, seperti kegagapan masyarakat desa terhadap kedatangan teknologi, perceraian kekeluargaan dan kebersamaan di dalam kehidupan kita, serta kehidupan saat ini layaknya “dilebih-lebihkan” untuk menjadi yang utama.

Berikut ini saya sajikan beberapa alasan mengapa buku Indonesia Bagian dari Desa Saya sangat patut masuk dalam daftar bacaan kalian yang terlebih menyukai buku-buku sosial budaya dalam pengemasan bahasan yang ringan dan mudah dicerna.

Desa dan Indonesia, seperti apa?

Meminjam kata Cak Nun, “Desa Saya Bagian dari Indonesia” adalah sebuah tataran ilmu. “Indonesia Bagian dari Desa Saya” adalah tataran yang lain, bisa lebih tinggi, bisa lebih luas. Atau kedua-duanya berfungsi sekaligus. Dialektis-dinamis. Ulang-alik dialektika pandangan, kesadaran dan kecerdasan pada saat Cak Nun menginjak usia muda.

Desa menjadi bagian dari Indonesia dan di dalam Indonesia terdapat desa. Kedua elemen tersebut tak dapat dipisahkan. Layaknya sistem sosial, jika ada satu elemen yang tidak berfungsi lagi, maka tatanannya akan berubah. Desa akan menjadi sebuah kerinduan kita semua jika ada sesuatu yang “hilang” dari dalam isinya. Bisa saja dengan adanya modernitas dan globalisasi, desa menjadi tergerus oleh arus-arus transformasi.

Ya, di dalam buku ini akan memaparkan betapa riuh ketimpangan yang sangat mencolok nyata antara desa dan kota, desa dan Indonesia, serta tatanan di dalam sistemnya. Indonesia belum benar-benar ‘hidup’ sesuai apa kata pendahulu. Perlu adanya kesadaran diri dari manusia jika sebuah tranformasi yang menanamkan kaidah ingin tetap ada.

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia: Modernitas era kini

Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya: Saat ini kita sudah berada pada zaman yang menggandrungi hal-hal baru dan terkini. Hal-hal baru tersebut telah membawa kita dalam percepatan informasi. Naif rasanya jika kita tidak atau belum mencicipi kemajuan zaman sekarang ini. Namun, permasalahannya yaitu banyak dampak negatif dari kemajuan–yang katanya modern–yang belum bisa kita alihkan ke arah positif.

Individualitas semakin kentara, pengabaian kebudayaan yang terdahulu menjadi membuat mata semakin melek, sifat keakraban & kekeluargaan menjadi hal asing, dan lebih parahnya modernisasi selalu diikat dengan tali kemewahan. Tak sanggup rasanya jika seisi dunia harus digeneralisasi dengan satu jalan kehidupan saja.

Jika dahulu kita makan hanya dengan menu: nasi, tempe, tahu, telur, dan ayam saja sudah syukur alhamdulillah, kini dalam era modern–tepatnya zaman konsumerisme yang telah muncul ke permukaan–makan dengan menu tersebut tentunya kurang. Akan ada yang lebih, lebih, dan lebih. Pada faktanya, kita belum benar-benar bisa memberikan sikap konsumerisme yang tepat. Kita masih terjebak dalam konsumerisme yang bernilai negatif. Tata ekonomi menjadi amburadul dan bertolak dari rasa susila dan kesamaan sebagai bangsa. Pun sifat kapitalis menjadi tak terelakkan.

Relevan dengan kehidupan

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia dengan buku Indonesia Bagian dari Desa Saya akan masih sangat relevan jika dibaca pada saat sekarang. Melalui buku ini, kita bisa belajar banyak bagaimana cara menanamkan moralitas untuk diri manusia, khususnya anak-anak muda. Mengapa perlu penanaman moral? Menjadi penting ketika kita pada era modern globalisasi ini kita terpapar hal-hal luar yang sebenarnya bisa merusak citra diri dan entitas diri, tetapi kita sering menerima dan meng-iya-kannya. Perlunya filterisasi dan pencerahan melalui buku ini.

Selain itu, buku ini juga menyadarkan kita betapa pentingnya budaya yang telah ada dikukuhkan kembali demi terciptanya sistem sosial yang kuat dan tak mudah goyah diterpa zaman. Boleh dikatakan, sah-sah saja ketika ada kemajuan zaman dan peradaban menjadi kencang, tetapi jangan sesekali menghilangkan tataran baik yang sudah terbentuk dari zaman dulu. Penguncian karakter diri diperlukan agar membuat kita mengerti batasan-batasan dalam berperilaku.

Kita sangat membutuhkan panggilan jiwa agar tak lupa harkat dan martabat kita menjadi manusia. Mengejar kebudayaan modern tak akan ada habisnya, diperlukan juga kontrol diri yang membuat moralitas kehidupan menjadi terimbangi. Semoga dengan adanya menilik lebih dekat buku Indonesia Bagian dari Desa Saya, kita lebih bisa berkaca pada pengalaman hidup dan menemukan jalan terang zaman ini mau dibawa ke arah seperti apa. Kunjungi laman bit.ly/indonesiadesasaya untuk melakukan pembelian bukunya!

Pamungkas Adiputra.

Baca Juga: Tips Pembentukan Karakter Anak Guna Membentuk Pola Ekspresi Diri 

 

Tips Pembentukan Karakter Anak Guna Membentuk Pola Ekspresi Diri

Pembentukan karakter sama halnya dengan penentuan identitas diri. Hal tersebut menjadi penting terlebih saat anak akan memasuki proses kedewasaan. Jika berada dalam tahap proses kedewasaan anak sudah memiliki pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini, maka penentuan identitas diri pun bisa terbentuk dengan baik sesuai dengan tatanan nilai dan norma. Sayangnya, tak semua anak bisa memiliki pembentukan karakter yang baik, beberapa ada yang menyimpang dari tatanan nilai dan norma.

Menjadi suatu gejala sosial jika anak-anak berperilaku menyimpang dari tataran sosial. Ekspresi diri dari perilaku sosial yang menyimpang menunjukkan adanya kurangnya wadah bagi anak-anak muda berkarya dan menuangkan segala aspirasinya. Oleh sebab itu, penyimpangan karakter anak menjadi meluas dan menyebar di lingkungan sosial. Tambahan mengapa penyimpangan karakter masih ada karena disebabkan oleh tatanan nilai yang disebarkan oleh orang tua, masyarakat, dan lingkungan pergaulannya kurang baik dan maksimal.

3 tips di bawah ini bisa dijadikan bahan referensi guna membentuk karakter anak sejak dini demi membentuk pola ekspresi saat dewasa bisa terjalin dengan baik.

Pembentukan karakter dengan penyelarasan orang tua dan anak

Pembentukan karakter untuk anak perlu diselaraskan dengan hubungan orang tua di dalam keluarga. Keluarga menjadi pembimbing dan pembina utama dalam proses pembentukan karakter anak. Berhasil atau tidaknya proses pembentukan karakter anak juga bisa diukur dari seberapa dekat keakraban penyampaian ilmu dari keluarga, terutama orang tua.

Penyelarasan pola pikir, misalnya. Tentunya akan ada perbedaan pendapat saat orang tua dan anak berargumen. Kita, sebagai orang tua tidak boleh langsung memberikan justifikasi negatif ataupun penolakan pendapat dari anak, tetapi harus mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat dari anak. Usahakan untuk menemukan benang merahnya. Jangan sampai berat sebelah–menguntungkan atau memberatkan salah satu pihak. Perlu diingat, orang tua tak bisa mengekang apa yang menjadi kemauan anak, tetapi di sisi lain juga harus memberi batasan yang semestinya (sesuai dengan porsi yang ada).

Dengan penyelarasan pola pikir tersebut, anak akan menjadi pengamat dan pemerhati yang baik untuk respons dan tindakan yang orang tua berikan. Tentunya, hal tersebut akan memengaruhi pola pembentukan karakter anak yang akan dibawa terjun ke dunia masyarakat.

Mengamati perilaku anak di lingkungan sosial

Pembentukan karakter anak setelah dilakukan di dalam keluarga selanjutnya yaitu mengamati perilaku anak di lingkungan sosial. Dalam tahap ini, kuat atau tidaknya nilai-nilai karakter yang ada di dalam diri mulai terlihat. Bagaimana penerimaan nilai karakter dan pengimplementasiannya sudah sesuai atau belum, maka harus diamati.

Pola ekspresi diri yang baik tecermin dari aktivitas keseharian yang dibentuk oleh anak.  Di sinilah peran pihak luar bekerja. Bagaimana caranya proses karakter baik tetap melekat dalam diri anak dan ekspresi diri yang disalurkan bisa sesuai dengan harapan. Mengamati perilaku anak nantinya akan berguna dalam tahap evaluasinya.

Evaluasi pembentukan karakter anak

Akan ada tantangan bagi si anak mengatur tarikan dan embusan kompleksitas permasalahan sosial, hal tersebut memengaruhi bagaimana karakter tercipta dengan baik. Oleh karena itu, peran orang tua yaitu mengevaluasi proses perjalanan pembentukan karakter anak. Jika ada hal-hal yang menyimpang, segera benahi dan dilakukan pembinaan yang lebih terarah dan strategis. Tetap diingat, terapkan pola pembelajaran penanaman karakter yang tidak membuat jemu anak.

Sudah menjadi keharusan, ada motif yang perlu ditelisiki mengapa ekspresi diri anak bisa terjadi sebuah penyimpangan. Tentunya, ada sebuah motivasi sosio-psikologis yang menjadi pemicunya. Maka dari itu, kita semestinya bisa menempatkan diri sesuai dengan posisinya: menjadi pembimbing untuk anak agar bisa memiliki karakter baik dan menjadi anak yang mengerti tindak tanduk yang mengerti batasan.

Harapannya, nilai-nilai moralitas, kultur sosial-budaya yang baik, dan menjadi anak yang dapat memberikan seruan-seruan positif dapat tertanamkan. Saat ini kita hidup di dalam era yang serba “maju”. Pola hidup rasanya dituntut agar ini-itu. Namun, meskipun begitu, kita tetap harus memiliki pendirian yang teguh. Jangan terbawa oleh arus ke sana-ke mari. Pola ekspresi diri harus terbentuk dengan baik. Hal-hal baik dimulai dari penanaman karakter agar tercipta identitas diri yang kuat agar tak mudah goyah dan meminimalisir penyimpangan sosial.

Berkenaan dengan bahasan pembentukan karakter anak demi pola ekspresi diri yang baik, ikuti segera pre-order buku Indonesia Bagian dari Desa Saya karya Emha Ainun Nadjib dari tanggal 1-23 November 2020 melalui laman bit.ly/indonesiadesasaya. Amankan paket hematmu segera, ya.

Pamungkas Adiputra.

Lanjut Baca: Buku Rekomendasi untuk Membentuk Karakter pada Anak

 

 

Anak-anak sedang belajar bersama mengenyam pendidikan

Kesempatan Mengenyam Pendidikan, Sebenarnya untuk Apa dan Siapa?

Kesempatan mengenyam pendidikan layaknya menjadi barang mahal yang hanya bisa diperebutkan segelintir orang. Minimnya akses anak-anak untuk melambungkan dan meraih mimpi kiranya hanya menjadi fantasi. Padahal, untuk mendapatkan kesempatan belajar secara formal dan mengimplementasikan minat bakat menjadi hak setiap anak yang patut dijunjung tinggi.

Kemiskinan yang tak luput dari sorotan

Sudahlah, kamu ikut ibu bekerja saja. Ibu dan bapakmu tak punya uang lagi untuk menyekolahkanmu.

Problematika kemiskinan benar-benar belum bisa berhenti dari pola ke-semrawut-an pendidikan di Indonesia. Mimpi-mimpi yang harusnya dilambungkan tinggi, kini hanya sebatas digantung diri. Akses beasiswa dan program kartu pintar dari pemerintah juga masih sering salah sasaran. Kebanyakan, orang-orang yang punya kuasa merebut terlebih dahulu akses kesempatan tersebut. Alhasil, yang tersingkirkan menjadi benar-benar tersingkir, yang miskin akan benar-benar menjadi pukulan rata.

Daerah perkotaan dan pedesaan sama-sama masih banyak terdapat anak yang putus sekolah karena kemiskinan. Orang tua sudah tak memiliki biaya lebih untuk menyisihkan uang anaknya untuk mengenyam pendidikan bekal masa depan. Kok jauh-jauh ngobrolin pendidikan dan masa depan, yang terpenting besok dan lusa bisa makan saja sudah syukur. Seketika menjadi problematika fundamental masyarakat Indonesaia jika akses untuk menilik masa depan saja rasanya suram.

Ketimpangan Pendidikan

Kesempatan mengenyam pendidikan menjadi garis merah jika orang tua menjadi bagian dari limitasi kemampuan anak untuk melangkah pendidikan yang lebih tinggi. Kualitas pendidikan di daerah harusnya juga menjadi fokus pemerintah. Miminmnya perhatian pemerintah mengakibatkan banyak anak lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan ke daerah kota yang notabenenya akses pendidikan lebih mudah, kualitas terjamin, dan diperhatikan.

Sebuah ketimpangan dalam pendidikan begitu nyata jika pendidikan di daerah disandingkan dengan di daerah kota. Tercetak jelas bagaimana infrastruktur yang belum berjalan semestinya: baik itu infrastruktur fisik berupa bangunan dan fasilitas penunjang, serta infrastruktur SDM-nya.

Kritik pendidikan yang dijanjikan akan segera merata dalam segala hal menjadi bualan semata. Banyak suara-suara dari daerah pinggiran yang masih dijajah oleh negeri sendiri. Rasa-rasanya, pendidikan hanyalah untuk orang yang memiliki kantong tebal dengan uang. Menjadi pemisah antara anak-anak yang berpendidikan mudah dan anak-anak yang berpendidikan susah payah.

Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Pada faktanya, anak belum bisa mendapatkan haknya secara penuh. Bagaimana anak bisa menyalurkan segala hal yang bisa mengembangkan potensi diri, namun terhimpit oleh jejalan kemiskinan dan faktor lingkungan luar yang menjadi-jadi.

Anak menjadi produk sosial yang berguna bagi masyarakat sosial merupakan harapan bangsa. Pun anak dipersiapkan menjadi aset berharga untuk reformasi juga merupakan impian negara. Namun, bagaimana jika hal-hal tersebut terkekang oleh keadaan yang sama sekali tak diinginkan?

Pamungkas Adiputra

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta