pengabaian anak

Problem Pengabaian Anak yang Tidak Disadari

Sering kali dalam suatu keluarga kita menemukan adanya pengabaian anak dan kurang eratnya hubungan antara orang tua dan anak. Padahal, keluarga terlihat harmonis dan baik-baik saja. Dalam bukunya yang berjudul Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay, Astrid W.E.N menyebutkan bahwa ada beberapa masalah pada hubungan anak dan orang tua.

Pengabaian Anak: Bersama tapi Tidak Terkoneksi

Salah satu kondisi ini adalah pengabaian anak tidak disadari. Hal ini terjadi ketika orang tua dan anak selalu bersama. Namun, tidak terkoneksi satu sama lain. Hal ini bisa terjadi pada keluarga siapa saja, bahkan pada keluarga yang tampak normal. Hal ini bisa terjadi sejak anak masih kecil dan dampaknya juga tidak baik.

Contoh yang bisa dirasakan adalah ketika orang tua dan anak berada dalam satu ruang yang sama namun sibuk sendiri-sendiri. Hal yang paling mungkin terjadi adalah ketika kita kurang memberikan ruang pada anak untuk membicarakan keseharian mereka.

Tanpa kita sadari, hal ini menyebabkan anak menjadi terabaikan. Orang tua jadi kurang mengenal anak dengan baik bahkan bisa jadi tidak kenal sama sekali. Dampak lainnya, anak menjadi cenderung tertutup dan tidak banyak berinteraksi dengan orang tua. Jika hal ini dibiarkan, komunikasi anak dan orang tua menjadi terhambat dan bisa jadi juga buruk.

Baca Juga: Meningkatkan Bonding Orang Tua dan Anak dengan Metode Theraplay

Sakit atau Mengalami Perawatan Medis

pengabaian anak

Ketika anak sakit dan harus dirawat di rumah sakit juga bisa memengaruhi kualitas relasi orang tua dengan anak. Kondisi ini menjadi sebab terputusnya relasi antara orang tua dan anak untuk sejenak. Waktu sejenak ini mampu membuat anak atau orang tua menjadi tidak nyaman.

Rasa tidak nyaman ini membuat kita mengeluarkan ekspresi-ekspresi negatif dan bisa menyakiti orang di dekat kita. Kita juga bisa merasa buruk karena melakukan hal itu kepada orang yang kita sayangi, namun tidak memiliki kuasa akan hal tersebut. Pada kondisi ketika anak atau orang tua sedang sakit dan mungkin harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, komunikasi dan kasih sayang yang diberikan juga harus ada.

Pengabaian anak sering kali tanpa sadar kita lakukan. Namun, hal ini juga sulit untuk dihindari. Ketika hal tersebut terjadi, jangan selalu merasa bersalah karena banyak hal yang berada di luar kendali kita. Dalam buku ini, Astrid W.E.N. tidak hanya memberikan kita informasi penting mengenai interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak, tetapi juga bagaimana penggunaan Theraplay atas interaksi tersebut.

 

Enda Sinta Apriliana

Periode Sensitif Anak

Bagaimana Menyikapi Periode Sensitif Anak?

Pada usia tertentu, anak akan mulai memiliki ketertarikan terhadap suatu hal. Ketertarikan ini bisa menjadi intens bahkan tidak menggubris hal lain dan tanpa alasan. Jika anak sudah berada pada periode sensitif, maka peran orang tua sangat penting untuk membantu mereka. Ada beberapa tips yang bisa diterapkan orang tua jika anak mulai memasuki periode sensitif.

 

Hal yang Orang Tua Bisa Lakukan

Ketika anak memasuki periode sensitif maka biarkan mereka mengeksplorasi hal yang menarik perhatian mereka. Mencegah mereka dalam memburu minatnya akan menghilangkan kesempatan untuk melakukan penaklukan secara fitrah. Anak juga bisa kehilangan sensitivitas dan hasrat istimewanya di area tersebut. Dampaknya bisa mengkhawatirkan perkembangan serta kedewasaan psikisnya.

Kesempatan untuk berkembang pada periode sensitif harus dibantu oleh orang tua atau orang dewasa yang dekat dengan anak. Orang tua harus memberikan sarana yang anak butuhkan untuk perkembangannya dan terutama yang tidak bisa ia lakukan sendiri. Orang tua harus menyediakan lingkungan yang memadai untuk embrio psikis dan embrio ragawi.

Hal-Hal yang Muncul Saat Periode Sensitif

Pada periode sensitif, keteraturan adalah hal yang pertama kali muncul. Pada buku Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay karya Astrid W.E.N, anak menggemari keteraturan karena lingkungan yang tetap dan terprediksi adalah kebutuhan vitalnya. Dengan lingkungan yang demikian, anak bisa mengotak-ngotakkan persepsinya dan dapat membentuk landasan konseptual internal untuk memahami dan menyikapi dunianya.

Periode sensitif kedua muncul dalam bentuk hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan. Melalui rabaan dan sentuhan, anak menyerap sifat-sifat benda di lingkungan sekitarnya dan berusaha untuk memengaruhinya. Melalui aktivitas sensoris dan motorik ini, struktur neurologis untuk bahasa anak juga akan ikut berkembang. Itu sebabnya, Montessori menyebut tangan dan lidah sebagai “instrumen” kecerdasan manusia.

Periode Sensitif Anak

Anak harus dikenalkan pada bahasa di periode sensitif ini. Jika tidak, kemampuan bahasanya tidak berkembang. Anak lazimnya dikelilingi aneka bunyi yang ia butuhkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa. Selain itu, di sekitar anak juga harus tersedia benda-benda yang bisa ia eksplorasi agar struktur neurologisnya bisa berkembang.

Periode sensitif ketiga adalah periode sensitif untuk berjalan. Ini merupakan yang paling mudah dikenali oleh orang dewasa. Montessori memandang masa ini sebagai kelahiran kedua untuk anak karena di tahap ini mereka beranjak dari makhluk tak berdaya menjadi insan yang aktif. Pada periode ini, anak gemar berjalan-jalan dengan jarak yang sangat jauh. Anak kecil berjalan untuk mengembangkan kemampuannya dan tidak memiliki tujuan.

Periode sensitif keempat adalah ketertarikan kepada benda-benda mungil dan rinci yang bahkan luput dari pengamatan kita. Anak mungkin tertarik pada serangga mungil yang nyaris tidak terlihat oleh mata manusia atau benda-benda di sekitarnya yang kecil seperti mainan kecil dan lain-lain. Periode sensitif kelima adalah ketertarikan pada aspek kehidupan sosial. Anak akan menjadi sangat penasaran akan hak orang lain dan berusaha untuk bersosialisasi dengan mereka. Ia juga akan berusaha mempelajari tata krama dan melayani orang lain.

 

Enda Sinta Apriliana

takut berpisah

Dilema dan Takut Berpisah dengan Orang Terdekat

Apakah anak mengalami dilema dan takut berpisah dengan orang terdekat? Pernahkah ketika kita membawa anak ke dunia luar, kita justru menjadi cemas dan khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi? Atau anak enggan untuk berpisah dengan kita ketika ia bertemu dengan temannya? Jika iya, kondisi ini disebut sebagai Separation Anxiety Disorder atau Gangguan Kecemasan Berpisah.

Ini merupakan kondisi ketika seseorang mengalami ketakutan atau kecemasan yang berlebihan serta tidak beralasan karena terpisah dari orang yang dekat dengannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak tetapi juga bisa dialami oleh orang tua.

Tanda Mengalami Kondisi Dilema dan Takut Berpisah

takut berpisah

Sulit bagi kita untuk membedakan apakah seseorang mengalami separation anxiety disorder atau hanya mengalami kecemasan dan kekhawatiran biasa. Ada tujuh ciri-ciri seseorang mengalami kondisi separation anxiety disorder, yaitu:

  1. Stres berlebihan yang terus-menerus saat individu terpisah dari rumah atau orang-orang tertentu dalam hidupnya.
  2. Khawatir akan kehilangan orang yang lekat dengannya, takut orang tersebut tertimpa sesuatu yang buruk atau meninggalkannya.
  3. Khawatir terus-menerus akan mengalami kejadian yang kurang menyenangkan seperti sakit atau tersesat atau yang akan memisahkan dia dengan orang terdekatnya.
  4. Menolak untuk pergi atau melakukan sesuatu karena takut akan momen perpisahannya.
  5. Menolak untuk tidur jauh dari rumah atau jauh dari orang yang dekat dengannya.
  6. Mengalami mimpi buruk tentang perpisahan.
  7. Mengeluh mengalami gejala fisik seperti sakit kepala atau mual saat terpisah dari orang yang dekat dengannya.

Ketika seseorang menunjukkan ciri-ciri ini, tidak berarti ia langsung bisa dikatakan mengalami gangguan tersebut. Ketakutan atau kecemasan ini perlu terjadi secara terus-menerus setidaknya empat minggu pada anak-anak dan remaja dan enam bulan atau lebih pada orang dewasa.

Jika seseorang menunjukkan ciri-ciri ini, lebih baik untuk menemui orang yang profesional daripada mendiagnosis sendiri.

Baca juga: Periode Sensitif dan Perkembangan Psikis Anak

Mengapa Bisa Terjadi Separation Anxiety Disorder?

Separation Anxiety Disorder muncul karena adanya perasaan tidak nyaman dan takut yang dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa atas suatu kondisi. Anak-anak biasanya mengandalkan rasa aman dari orang tua dan orang-orang terdekatnya, sehingga ketika ia tidak berada di dekat orang-orang ini mereka mengalami separation anxiety disorder.

Namun, ada pula masanya ketika anak mulai suka untuk mencoba segala sesuatunya sendiri. Mereka akan mencoba untuk belajar makan sendiri, jalan sendiri, dan lain-lain. Namun, jika ia memiliki perasaan takut atau tidak nyaman, ia akan kembali kepada orang tuanya untuk mengumpulkan rasa aman itu kembali.

Selain itu, anak juga mulai untuk bersosialisasi dengan teman sebaya mereka. Ia akan mulai merasa nyaman untuk berinteraksi dengan orang-orang yang sebaya dan menunjukkan inisiatif untuk bermain bersama. Namun, anak tetap masih bisa menunjukkan ketakutan berpisah dari orang tua mereka.

Usia tiga tahun adalah usia yang sangat penting bagi orang tua dan orang yang berada di sekitar anak untuk menyadari bahwa anak membutuhkan dukungan kemandirian dan mulai mempertahankan lingkungan yang aman.

Separation Anxiety Disorder adalah suatu kondisi yang menantang orang tua dan anak untuk sama-sama membentuk keteguhan dan keyakinan bahwa mereka berada di tempat yang aman meskipun terpisah. Untuk mengikis kecemasan ini tentu bukan hal yang mudah dan diperlukan waktu untuk bisa membangun kepercayaan diri serta keyakinan tadi.

Untuk memahami lebih lanjut mengenai separation anxiety disorder atau kasus lain mengenai relasi anak dengan prinsip Theraplay, kita bisa membacanya di buku Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay karya Astrid Wen.

 

Enda Sinta Apriliana

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta