Patah Hati Tak Bisa Hilang, Tapi Bisa Disembuhkan

Tiap hari ada jutaan orang patah hati. Coba saja kamu iseng-iseng berselancar di internet dan menuliskan keyword “cara mengatasi patah hati”, seketika itu pula muncul 2,720,000 laman yang berisi kiat sukses mengobati hatimu yang telanjur terluka. Namun pertanyaannya, apakah patah hati bisa hilang?

Jika pertanyaan itu ditujukan kepada Adjie Santosoputro, ia dengan tegas akan menjawab bahwa patah hati tak bisa sepenuhnya hilang, tapi bisa disembuhkan.

Di dalam karya terbarunya Mengheningkan Cinta, Adjie menilai patah hati sebagai sesuatu yang tak hitam-putih. Ketika kebanyakan orang menilai patah hati sebagai sebuah kegagalan, ia melihat patah hati sebagai perasaan yang setara dengan perasaan lainnya yang hilir-mudik di hatinya.

Diskusi  dengan Sunyi

Baginya, Sunyi—kawan bercakap Adjie—selalu mengajaknya untuk membiarkan rasa itu datang. Biarkan pula rasa itu pergi. Tak perlu susah payah dilawan. Semakin dilawan, rasa itu malah akan menetap. Namun, tak perlu pula larut menikmatinya. Bisa terjebak drama. Saya rasa apa yang diutarakannya adalah sifat yang bijak, mengingat manusia adalah makhluk penuh dengan kompleksitas hidup, bahkan dalam urusan patah hati sekalipun.

Ketika kita patah hati, ada berbagai konteks situasi dan kondisi yang melingkupi diri kita. Dalam keadaan yang bingung, kadang kita lupa sejenak mengambil napas untuk kembali sadar pada saat ini dan di sini.

Kita jadi hilang ketenangan dan pada akhirnya malah terus-menerus berkubang dalam penderitaan. Barangkali karena terbiasa melihat segala sesuatunya secara dikotomis, hitam-putih, dan benar-salah kita menjadi gagap untuk menyadari bahwa perasaan kita tak sesederhana itu.

Jangan Mudah Terjebak Dikotomi Perasaan

Menurut Adjie, kita sudah terbiasa menganggap rasa sedih sebagai sesuatu hal yang buruk, dan karena itu harus kita hindari. Rasa sedih akibat patah hati kita simpulkan sebagai penanda bahwa kita adalah orang yang gagal. Walhasil, kita pun mengutuk diri sendiri seolah-olah hal tersebut kesalahan besar dan dunia menjadi runtuh akibat kesalahan kita.

Tindakan selanjutnya bisa ditebak. Rasa sedih yang datang akhirnya kita terjemahkan sebatas pesan untuk tergesa-gesa bereaksi. Secara umum, banyak dari kita memilih tiga reaksi di antara tiga pilihan aksi.

Pertama, kita berusaha melawannya. Artinya kita memilih untuk melakukan penyangkalan bahwa kita adalah sosok yang kuat yang tak mungkin bisa patah hati. Kita menyangkal bahwa kita juga mempunyai hati yang sebenarnya rapuh dan butuh untuk dikuatkan.

Lalu, yang kedua adalah melarikan diri dari rasa sedih akibat sakit hati Dalam situasi ini kebanyakan dari kita mencoba mengalihkan perhatian dengan menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas. Tujuannya supaya pikiran kita tak lagi dihantui oleh kesedihan itu. Namun naas, kita tak benar-benar berusaha untuk memulihkan perasaan kita sendiri. Hal yang kita lakukan hanyalah kabur mengelak darinya. Hasilnya, suatu saat perasaan sedih datang lebih besar pada kemudian hari, dan kita seolah bingung apa yang menjadi penyebabnya.

Kemudian yang ketiga, ia biasanya mengurung diri menikmati kesedihan sehingga jatuh dalam kubangan penyesalan yang tiada akhir. Menurut saya, ini adalah kondisi yang paling ekstrem. Ketika seseorang menikmati kesedihannya secara berlebihan, ia akan serba takut menghadapi segala sesuatu. Realitas hidupnya menjadi suram melulu. Tidak seimbang dan berbahaya bagi kesehatan fisik serta mentalnya.

Belajar Tenang

Untuk menghindari tiga reaksi dari rasa sedih akibat hati yang patah, ada baiknya kita belajar tenang di tengah ketidakpastian. Caranya sederhana. Kita cukup memahami bahwa hidup selalu tersusun atas ketidakpastian.

Dengan demikian, kita akan dapat merasa baik-baik saja meski dasar tempat kita berpijak lenyap dalam sekejap. Hanya dengan cara itulah kita menjadi yakin bahwa pelajaran terbaik soal hidup ini terjadi pada saat kita jatuh lebih dalam. (Tejo)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta