Perkembangan emosi sosial anak

Tahap Perkembangan Emosi Sosial Anak

Walaupun tidak dapat dilihat secara kasat mata, emosi sosial anak merupakan faktor penting dalam menunjang perkembangannya. Sayangnya, saat ini kesadaran mengenai pentingnya emosi sosial anak masih kurang. Padahal, memahami emosi sosial dapat membantu orang tua mengerti kebutuhan dan perilaku anak.

Emosi adalah perasaan seseorang yang muncul atas respons terhadap suatu hal. Sementara itu, emosi sosial merupakan perasaan yang dirasakan oleh seseorang akibat keadaan sosial seperti perilaku orang lain. Contohnya, anak dapat memiliki perasaan percaya, kepercayaan diri, rasa menyayangi, dan pertemanan.

Perkembangan emosi sosial anak perlu diperhatikan oleh orang tua karena akan berpengaruh terhadap perilaku anak.  Ketika anak memiliki kemampuan emosi sosial yang baik, anak dapat mengerti perasaan orang lain dan mengontrol perasaan dan perilakunya sendiri. Berikut tahap-tahap perkembangan emosi sosial anak.

  1. Emosi Sosial Tahap I: Usia bayi – 2 tahun

Tahap ini merupakan tahap harapan.  Di tahap ini, bayi akan belajar mengenal harapan dan belajar memahami reaksi orang-orang di sekitarnya mengenai harapan bayi. Tahap ini juga disebut tahap learning trust vs mistrust.

Ketika harapan bayi diberi tanggapan positif oleh orang lain, bayi akan merasa aman dan percaya terhadap orang di sekelilingnya. Tapi, jika harapannya ditolak, bayi akan merasa tidak aman dan sulit untuk percaya orang. Contohnya, jika orang tua memeluk bayi ketika dia menangis, bayi akan merasa aman berada di dekat orang tua. Namun, ketika orang tua mengabaikan tangisannya, bayi akan kesulitan untuk percaya kepada orang tua.

  1. Emosi Sosial Tahap II: 18 bulan – 4 tahun

Tahap ini merupakan fase ketika anak akan belajar kemandirian dan rasa malu melalui rasa ingin tahu mereka yang alami. Respons orang di sekililingnya akan memengaruhi perilaku anak. Jika orang tua selalu melarang dan menganggap apa yang anak lakukan keliru, anak akan dihantui rasa malu, tidak mandiri, dan perasaan selalu bersalah. Mereka akan ragu untuk melakukan sesuatu. Namun, jika orang tua mendukung proses belajar mereka, anak akan lebih mandiri dan percaya diri.

  1. Tahap III: Usia 3 – 6 tahun

Di tahap ini, anak belajar menerima penolakan maupun penerimaan. Di usia 3 hingga 6 tahun, anak sedang aktif bermain. Ketika anak berinisiatif untuk bermain, dia akan melihat tanggapan orang di sekitarnya. Apakah orang lain memberi tanggapan positif atau negative? Jika lingkungan sekitar memberi tanggapan positif, anak akan mengembangkan kemampuan berimajinasi dan kerja sama.

  1.  Tahap IV: Usia 5,5 – 12 tahun

Usia 5,5 hingga 12 tahun merupakan waktunya anak belajar berkompetensi dalam sebuah kelompok. Ada 3 kemampuan yang anak kembangkan yaitu mematuhi aturan, bermain dengan struktur tertentu, dan menguasai materi pelajaran sekolah. Kemampuan tersebut yang akan menentukan tinggi rendahnya kemampuan kompetensi anak.

Karena orang tua merupakan aktor penting dalam menunjang perkembangan anak, orang tua perlu mempelajari cara yang tepat menanggapi perkembangan emosi sosial anak. Selain itu, orang tua juga harus peka terhadap cara anak menunjukkan perkembangan emosi sosialnya. Cara anak menunjukkan emosi sosialnya bisa jadi berbeda dengan anak lain walaupun mereka ada di tahap yang sama. Untuk memahaminya, orang tua dapat mempelajari psychological parenting. Saat ini, sudah banyak buku parenting yang membantu orang tua sadar akan perkembangan emosi anak, misalnya buku Gentle Discipline yang diterbitkan Bentang Pustaka.

 

Baca juga: Menangani Kemarahan kepada Anak hingga Akarnya

damainya pengasuhan ala Denmark

Pengasuhan ala Denmark: Tanpa Hukuman Fisik, Tanpa Bentakan

Perilaku nakal pada anak-anak memang wajar, tetapi ada kalanya kenakalan anak membuat kita hilang kesabaran. Memarahi anak pun menjadi respons yang dianggap sangat normal di masyarakat. Namun, hal tersebut tidak terjadi di Denmark. Di negara dengan penduduk paling bahagia sedunia itu justru jarang sekali ada anak yang dimarahi orang tuanya, apalagi mendapatkan hukuman. Hal tersebut bukan karena perilaku anak-anak yang terlahir patuh dari sananya atau watak orang tua yang super sabar, melainkan mindset dan pola pengasuhan ala Denmark yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Tidak ada hukuman fisik ataupun bentakan

Di Denmark, segala bentuk hukuman fisik adalah ilegal. Hal ini sudah berlaku sejak 1997. Menurut masyarakat sana, hukuman tidak begitu efektif. Meski dimaksudkan untuk memberi efek jera, tetapi hukuman juga bisa memberikan efek trauma dan memengaruhi kondisi psikologis anak. Pada akhirnya, kemungkinan besar anak akan patuh bukan karena mereka benar-benar memahami sebuah aturan, melainkan karena takut.

Membentak juga tidak berlaku dalam pengasuhan ala Denmark. Orang sana sangat percaya bahwa semua hal bisa diselesaikan melalui komunikasi yang baik. Hal ini berlaku juga dalam hubungan pernikahan atau rumah tangga sehingga konflik pasangan sangat jarang terjadi. Mereka selalu berusaha tenang dan mengendalikan diri dengan harapan perilaku tersebut juga akan dicontoh oleh anak-anak.

Bebas hukuman di sekolah

Selain di rumah, orang Denmark juga melenyapkan hukuman dan ultimatum (ancaman) bagi anak di lingkungan sekolah. Terdengar sulit ya, tetapi para guru di sana rupanya mempunyai strategi agar anak-anak bisa disiplin di sekolah meski tanpa hukuman.

Rupanya, tiap tahun guru akan membuat kesepakatan dengan para murid. Mereka berdiskusi tentang kelas seperti apa yang mereka inginkan dan membuat peraturan yang harus dipatuhi bersama. Meski tidak ada hukuman, murid memiliki kode etik yang telah mereka putuskan sendiri. Misal, jika ada anak yang berisik atau mengganggu, seisi kelas akan berdiri dan bertepuk tangan. Dengan begitu, anak yang berisik tadi akan menyadari bahwa teman-temannya merasa terganggu dan menghentikan perbuatannya.

Pada dasarnya anak-anak itu baik

Satu tips penting pengasuhan ala Denmark  adalah memiliki pandangan bahwa yang buruk itu bukan anaknya, melainkan tindakannya. Orang Denmark mempunyai keyakinan bahwa tidak ada anak yang nakal atau jahat. Semua anak terlahir baik. Kenakalan anak seiring mereka tumbuh wajar terjadi, entah itu karena penasaran atau kepolosan mereka sendiri. Maka, di sini orang tua harus bisa menempatkan diri sebagai pengingat, bukan pemberi hukuman apalagi ancaman. Orang Denmark juga percaya bahwa pengasuhan itu ibarat siklus. Kebaikan melahirkan kebaikan, dan ketenangan akan melahirkan ketenangan.

Bagaimana cara kita memandang dan menghadapi anak ternyata bisa menumbuhkan hasil yang sangat berbeda. Namun, ini hanyalah salah satu dari sekian banyak tipa pengasuhan ala Denmark. Temukan filosofi pengasuhan menarik lainnya dalam buku The Danish Way of Parenting yang layak untuk dicoba.

Memilih sekolah montessori

Inilah Alasan Memilih Sekolah Montessori

Sekolah Montessori saat ini sedang berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia.  Perkembangan sekolah Montessori didasari oleh kualitas metode Montessori yang dapat membantu perkembangan anak secara optimal. Karenanya, banyak orang tua lebih memilih sekolah Montessori untuk anak mereka. Bahkan, Jeff Bozes adalah lulusan sekolah Montessori di Amerika.

Metode Montessori sendiri merupakan metode pengasuhan anak yang melibatkan aktivitas atau permainan yang dapat menunjang perkembangan anak. Montessori ditemukan oleh Maria Montessori yang kemudian mendirikan sekolah Montessori pertama bernama Children House. Di Children House tersebutlah Maria Montessori terus mengembangkan metodenya. Metode Montessori sudah menyebar hingga Indonesia melalui buku parenting dan komunitas Montessori. Bentang Pustaka juga sudah menerbitkan buku yang ditulis Maria Montessori langsung.

Sekolah Montessori juga sudah menjamur di mana-mana. Bahkan, sekarang sudah ada metode Islamic Montessori beserta sekolahnya yang merupakan modifikasi metode Montessori untuk mengajarkan nilai islami pada anak. Berikut beberapa alasan sekolah Montessori digandrungi oleh para orang tua dan guru.

  1. Kelas diisi oleh anak dari berbagai umur (mixed-age group)

Kelas di sekolah Montessori berbeda dari sekolah lain. Sekolah Montessori membagi kelas tidak berdasarkan usia yang sama. Kebalikannya, sekolah Montessori mencampur anak dengan usia yang berbeda dalam satu kelas. Mixed-age group bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi anak. Dengan bersosialisasi dengan anak dari usia yang berbeda, anak dapat belajar menerima orang lain dan menjadi lebih inklusif. Selain itu, mixed-age group juga meningkatkan pembelajaran peer-to-peer.

  1. Menerapkan freedom with limitation

Pengajar di sekolah Montessori memberi kebebasan kepada anak untuk melakukan aktivitasnya. Saat di kelas, guru tidak menginterupsi kegiatan anak dengan aktivitas atau permainannya. Guru hanya menjadi pengawas yang hanya akan bertindak jika kegiatan anak sudah melewati batas dan mereka tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Tujuan dari freedom with limitation adalah supaya anak memiliki kendali atas hidupnya, memiliki kepercayaan diri, dan kemandirian anak. Aspek-aspek tersebut akan membantu meningkatkan perkembangan anak secara optimal.

  1. Memilih sekolah Montessori karena aspek stimulasi yang terarah

Ada lima aspek Montessori: kemampuan berbahasa, konsep matematika, budaya, sensorik, dan kehidupan sehari-hari. Dengan aspek yang terarah, orang tua dan pengajar dapat mengoptimalkan aktivitas dan pembelajaran yang dilakukan anak supaya dapat mengasah kelima aspek tersebut secara optimal. Aktivitas atau permainan untuk anak pun tidak sembarang dibuat. Maria Montessori telah membuat konsep permainan dan aktivitas untuk menunjang kemampuan tersebut. Jadi, Montessorian yang mengembangkan aktivitas dan permainan Montessori memiliki acuan yang jelas.

  1. Memilih sekolah Montessori karena inklusif untuk anak berkebutuhan khusus

Awal mula dari metode Montessori adalah keinginan Maria Montessori untuk membuat metode pembelajaran yang dapat membantu anak berkebutuhan khusus berkembang secara optimal. Oleh karenanya, aktivitas dan permainan Montessori juga sesuai dengan kebutuhan khusus.

Sekolah Montessori menggunakan metode pembelajaran yang ramah dan aman untuk berbagai karakter anak dengan kemampuannya masing-masing. Metode Montessori fokus ke perkembangan individual. Artinya, sekolah Montessori tidak menyamaratakan  harapan akan hasil akhir dan cara pengajaran untuk semua anak. Metode Montessori menyesuaikan pengajaran sesuai dengan kemampuan dan karakter individu. Jadi, keberagaman, seperti keberagaman karakter, umur, dan kemampuan anak, tidak berpengaruh buruk untuk anak. Jadi, anak tidak perlu membandingkan dirinya dengan anak lainnya. Dengan sistem tersebut, tekanan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus akan terminimalisasi.

 

Walaupun sekolah Montessori sudah menjamur di Indonesia, tidak semua anak dapat mengakses sekolah Montessori. Namun, hal ini bukan menjadi penghalang orang tua untuk mendidik anaknya sesuai dengan metode Montessori. Keuntungan-keuntungan di atas dapat dirasakan anak dengan pengaplikasian metode Montessori di rumah. Saat ini, metode Montessori dapat dipelajari oleh siapa saja. Sudah ada komunitas yang siap membantu orang tua mempelajari metode tersebut. Bahkan, para Montessorian di Indonesia sudah banyak menerbitkan buku Montessori sebagai bahan belajar mandiri orang tua, seperti buku Jatuh Hati pada Montessori karya Vidya Dwina Paramita, seorang Montessorian sekaligus tenaga pendidik anak usia dini. Jadi, sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak mendidik anak dengan metode Montessori.

 

Baca juga: Daftar Sekolah Montessori di Indonesia

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta