Cara Agar Anak Makan Buah dan Sayur? Ini Tipsnya!

Anak-anak sering kali susah makan buah dan sayur. Tentunya membiasakan anak untuk makan buah dan sayur menjadi tantangan bagi orang tua. Namun, dengan pendekatan yang tepat, Anda dapat membantu anak mengembangkan kebiasaan makan makanan sehat.

Langkah agar Anak Mau Makan Buah dan Sayur

Berikut beberapa langkah yang dapat Anda tempuh untuk membuat anak Anda menyukai buah dan sayur.

  1. Menjadi Contoh yang Baik

Anak adalah peniru yang andal. Oleh sebab itu, pastikan Anda sendiri makan buah dan sayur secara teratur. Ketika anak-anak melihat orang tua, mereka menikmati makanan sehat, mereka cenderung ingin mencobanya juga.

  1. Buat Penyajian yang Menarik

Penyajian makanan sangat memengaruhi selera makan anak. Untuk itu, cobalah untuk menyajikan buah dan sayur dalam bentuk yang unik dan menarik, misalnya membuat wajah senyum atau membuat karakter kesukaan anak. Anda juga bisa menggunakan cetakan kue untuk memotong buah dan sayur menjadi bentuk-bentuk lucu.

  1. Ajak Anak Memasak Bersama

Mengajak anak memasak bersama membuat mereka lebih tertarik untuk mencoba makanan yang telah dibuat. Ajak mereka membantu mencuci, memotong, atau menyiapkan buah dan sayur. Kegiatan ini memberikan mereka pengalaman positif terhadap makanan sehat.

  1. Kenalkan secara Bertahap

Penting untuk diingat, jangan memaksa anak untuk makan banyak buah dan sayur sekaligus. Mulailah dengan memperkenalkan satu jenis buah atau sayur baru dalam jumlah kecil. Berikan anak waktu untuk mengenal rasa dan tekstur makanan baru tanpa tekanan.

  1. Disiplin dengan Jadwal Makan

Anak-anak harus memiliki waktu makan yang teratur dan hindari memberikan terlalu banyak camilan tidak sehat di antara waktu makan. Dengan cara ini, anak-anak cenderung mencoba makanan yang disajikan ketika mereka lapar di waktu makan. 

  1. Kombinasikan dengan Makanan Favorit

Cobalah untuk mencampurkan buah dan sayur dengan makanan yang disukai anak Anda. Misalnya, tambahkan irisan buah ke dalam yoghurt atau campurkan sayuran ke dalam saus pasta favorit mereka. Dengan demikian, anak dapat mengenali bahwa makanan sehat juga bisa enak. 

  1. Berikan Beberapa Pilihan

Anda dapat memberikan beberapa pilihan buah dan sayur yang diinginkan kepada anak. Dengan memberikan pilihan, anak-anak merasa lebih berdaya dan lebih mungkin untuk makan makanan yang mereka pilih sendiri.

  1. Berikan Apresiasi dan Pujian

Berikan apresiasi dan pujian setiap anak Anda mencoba atau menikmati buah dan sayur. Apresiasi positif dan pujian dapat membantu membangun kebiasaan makan yang baik dan membuat anak merasa bangga atas pencapaiannya.

Rekomendasi Buku untuk Mengenalkan Buah dan Sayur pada Anak

Untuk membantu mengenalkan anak pada buah dan sayur dengan cara yang menyenangkan, Anda dapat memberikan buku bacaan kepada anak. Dengan mempelajari buah dan sayur melalui buku yang seru, anak dapat tergerak untuk mencoba berbagai buah dan sayur yang mereka pelajari. Salah satu buku yang dapat Anda berikan adalah My First Book 101 Fruits & Vegetables dari Bentang Pustaka. Jika Anda tertarik, Anda dapat membelinya melalui tautan berikut ini.

Itulah beberapa cara yang dapat Anda coba untuk mengembangkan kebiasaan makan sehat melalui buah dan sayur kepada anak. Penting untuk diingat, kesabaran dan kreativitas adalah kunci utama untuk menyukseskan proses ini.

Metode Montessori dalam Pendidikan Seks untuk Anak

Seks adalah sesuatu yang masih tabu dibicarakan di Indonesia, terlebih-lebih untuk anak kecil. Orang tua sering kali kelabakan ketika anaknya memberikan pertanyaan mengejutkan tentang seks. Dalam satu hal mungkin mereka ingin memberikan perlindungan kepada anak dari dampak negatif akibat seks bebas, tapi di sisi lain hal itu membuat anak tidak mempunyai tempat yang aman dan nyaman untuk mengakses pendidikan seks yang komprehensif.

Dalam pendidikan formal di sekolah, anak juga tidak mudah mendapatkan pendidikan seks yang komprehensif. Sekolah sering kali hanya memberikan kelas-kelas parsial dan tidak berkelanjutan dalam membahas seks. Hal itu membuat pemahaman anak juga tidak utuh. Lalu, untuk melengkapi informasi-informasi itu, guru-guru juga kesulitan dalam menjawabnya. Mereka tidak bisa memahami kesehatan seksual dan perkembangan seksualnya secara komprehensif.

Hal itu membuat anak makin berpotensi besar mengalami dampak negatif dari perilaku seks berisiko. Ketidaktahuannya terhadap seksualitas dan kebingungannya harus bertanya ke mana membuat anak mengeksplorasi pada sumber-sumber yang tidak kredibel di luar instansi pendidikan formal (sekolah) dan informal keluarga.

Seks dan Perkembangan

Dalam menapaki tiap tahapan perkembangan usia, anak mengalami perubahan-perubahan dalam seksualitasnya. Mereka mengalami banyak hal baru yang membuat bingung sekaligus penasaran apa yang sedang terjadi. Di sinilah sebenarnya orang tua mempunyai posisi strategis dalam memberikan informasi pertama tentang seks. Dalam metode Montessori diajarkan bagaimana pendekatan yang efektif dan efisien untuk memberi pendidikan seks pada anak.

Dalam buku The Montessori Child karya Simone Davies dan Junnifa Uzodike, membicarakan seks pada anak haruslah jujur dan terbuka. Dengan begitu kita membantu anak-anak untuk memiliki hubungan yang sehat dengan tubuh mereka, menghormati tubuh orang lain, dan membantu meruntuhkan tabu atau trauma yang mungkin tertanam dalam diri kita sendiri semasa kanak-kanak (The Montessori Child, hlm. 241).

Dengan makin berkembangnya teknologi informasi, maka probabilitas anak terpapar dengan informasi, gambar, tulisan, dan percakapan seks akan makin besar. Apabila orang tua bisa memberikan informasi utama tentang seks, itulah yang akan dijadikan acuan utama.

Memberikan pendidikan seks kepada anak memang tidaklah mudah. Bagaimana kita mengemas informasi yang jujur tapi dengan bahasa yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif dan bahasa anak adalah suatu keterampilan yang perlu dipelajari dan harus selalu dilatih. Beberapa tip yang bisa dilakukan adalah:

  • Komunikasi terbuka. Orang tua membiasakan anak untuk dapat berbicara secara terbuka terkait seksualitasnya. Hal itu demi lancarnya komunikasi dengan anak tanpa membuat informasi bohong. Apabila belum bisa menjawab pun, orang tua harus jujur bahwa pertanyaan itu belum bisa dijawab hari ini dan meminta waktu beberapa hari untuk bisa menjawabnya dengan jawaban terbaik.
  • Persetujuan (consent). Perihal pertama dan utama untuk mejaga anak dari aktivitas seks berisiko dan juga pelecehan seksual adalah dengan mengajarkan mereka persetujuan. Sebagai orang dewasa, kita harus memberikan teladan bagaimana kita harus meminta izin dalam menyentuh dan memegang bagian tubuh walaupun itu anak kita sendiri. Untuk memindahkan anak ke kursi misalnya, kita juga memindahkannya dengan pelan alih-alih menariknya tanpa aba-aba.
  • Penggunaan bahasa standar. Selain tentang persetujuan, dalam metode Montessori juga mengatur tentang bagaimana menyebut anggota tubuh dengan nama akurat sesuai standar ilmiah. Hal itu membantu anak memahami anggota tubuhnya sendiri beserta fungsinya. Jika anak sudah memahami secara komprehensif, mereka akan mempunyai kesadaran untuk menjaga kebersihan dan kesehatan semua anggota tubuhnya.
  • Teladan. Orang tua bisa memberi teladan bagaimana berinteraksi dengan pasangan dalam kehidupan sehari-hari. Percakapan tentang seksualitas dan mengajarkan inklusivitas gender bisa dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Orang tua bisa belajar mengomunikasikan hal yang mungkin masih tabu dengan memilih kata dan gaya bahasa yang dipahami anak.

Keterbukaan tentang seksualitas dalam pendekatan Montessori membuat anak tidak canggung menceritakan pengalaman seksualitasnya, misalnya tentang mensturasi. Di sisi lain anak juga diperkenankan belajar dari cerita orang tuanya.

Pendidikan seks yang komprehensif akan memberi perlindungan internal pada anak untuk terhindar dari perilaku seks berisiko dan kekerasan seksual. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang pendekatan Montessori terhadap pendidikan seks pada anak, alangkah baiknya membaca buku The Montessori Child: Panduan Orang Tua dalam Membesarkan Anak yang Berdaya, Berpikir Kreatif, dan Berhati Welas Asih karya Simone Davies dan Junnifa Uzodike. Buku ini bisa dipesan di website www.bentangpustaka.com

gejala stres anak

Memupuk Perkembangan Sosial dan Moral Anak

Keterampilan sosial alangkah baiknya jika diajarkan sejak anak masih kecil. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka dibutuhkan strategi dan pelatihan yang tepat. Dalam hal ini, metode Montessori menyediakan cara untuk melatih perkembangan sosial dan moral anak melalui kegiatan sehari-hari secara komprehensif dan aplikatif.

Keterampilan bersosialisasi akan mudah jika anak sudah dikenalkan cara bersosialisasi dengan baik. Proses sosialisasi akan lancar jika anak mampu dengan lebih baik memahami kondisi orang lain. Dengan memahami orang lain, anak akan mengembangkan satu sikap penting dalam kehidupan yaitu menghormati orang lain.

Sebagai model pengasuhan, metode Montessori sangat mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang dapat melatih anak untuk mengembangkan dan memperkuat sikap saling menghormati orang-orang di sekitarnya. Metode parenting yang dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori ini memuat cara-cara bersosialisasi mulai dari lingkungan terdekat yaitu orang tua, teman, dan orang-orang baru yang ditemuinya di lingkungan yang lebih luas.

Dalam buku The Montessori Child, Simone Davies dan Junnifa Uzodike memberikan langkah-langkah yang praktis dan konseptual untuk merangsang latihan fisik, afeksi, dan kognitif guna mengembangkan hubungan saling menghormati di dalam lingkungan keluarga hingga ke lingkungan yang lebih luas.

Poin-poin yang dibahas antara lain memahami cara anak berinteraksi, cara merespons situasi baru, orang tua dan orang dewasa lain, cara merespons dalam kelompok, cara menyelesaikan perselisihan, cara bertenggang rasa, hingga mengamati kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk perkembangan sosial anak. Davies dan Uzodike mengajak pembaca memahami secara komprehensif apa saja yang terjadi dalam proses belajar bersosialisasi anak.

Dr. Montessori menekankan pentingnya membangun kohesi sosial yaitu ketika semua masyarakat saling bekerja sama membangun lingkungan sekitar demi kebaikan semua. Hal ini menunjukkan bahwa metode Montessori bersifat sosial dan universal. Untuk menanamkan semangat tersebut pada anak, kita perlu memahamkan anak bahwa setiap makhluk hidup yang ada di bumi saling terkait.

“Pada ranah perkembangan pertama, anak bukan sekadar menyerap bahasa dan budaya—dia juga menyerap nilai-nilai dan keyakinan yang akan menjadi fondasi perkembangan moralnya” (The Montessori Child, hlm. 137). Faktor inilah yang membuat anak akan sangat membutuhkan teladan moral dari orang-orang di sekitar, alih-alih sekadar perintah apalagi ancaman. Bagi umat beragama, agama juga sangat bermanfaat untuk menanamkan moral pada anak.

Pada tahap perkembangan anak usia 6–12 tahun, Dr. Montessori menyebutnya sebagai “usia tidak sopan”. Pada usia ini sering kita temui anak suka:

  • mengadu dan melaporkan orang lain pada orang tua;
  • mengeksplorasi batas antara perilaku sopan dan tidak sopan;
  • menentang perilaku orang lain padanya yang membuatnya tidak nyaman.

Walaupun begitu, orang tua harus tetap tenang menghadapi ini. Sebab, di samping sifat anak yang kurang sopan, anak juga mulai memiliki akal budi dan imajinasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengajak anak berempati, menganalisis, dan mengeksplorasi berbagai macam perilaku dan kemungkinan.

Dalam metode Montessori, orang tua dilarang memaksakan sopan santun dan tata krama. Orang tua harus mencari cara alternatif yang lebih halus yaitu menjaga sikap saling menghormati sekaligus memberi contoh sikap sopan santun dan tata krama dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kecilnya adalah orang tua tidak menggunakan kata-kata kasar dalam berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk kepada teman akrab yang sedang bermain di rumah ataupun ketika sedang marah.

Adapun kendala moral seperti berbohong kepada anak, orang tua juga harus lebih berhati-hati dan tetap tenang untuk menyikapinya. Tidak diperkenankan untuk menyudutkan dan memarahi anak. Tetapi, kita cari alasan mengapa mereka melakukan itu.

“Anak biasanya berbohong bukan dengan niat jahat. Terkadang dia berbohong secara spontan demi melindungi diri. Terkadang dia menguji kita untuk mencari tahu akankah dia ketahuan atau dimaklumi.” (The Montessori Child, hlm. 147)

Menjadi Makhluk Sosial

Untuk menanamkan lingkungan yang bersifat sosial maka semua keunikan anak harus diakui. Setiap anak harus merasa diterima apa adanya. Anak juga diajari untuk memahami dan menghargai identitas orang lain. Orang tua bisa memberikan pengalaman langsung untuk mengenal orang dari berbagai macam latar belakang dan strata ekonomi.

Anak-anak sedang belajar bersama mengenyam pendidikan

Dengan bertemu orang dari berbagai macam suku dan budaya, anak akan bisa menekan prasangka dan rasa takut. Dalam konteks ini anak juga bisa belajar tentang keadilan. Anak bisa mengenali perasaan betapa tidak menyenangkannya diperlakukan tidak adil. Oleh sebab itulah di sini sangat strategis untuk memberi pemahaman terhadap anak agar selalu berbuat adil kepada siapa pun tanpa terkecuali.

Dengan pemahaman konsep keadilan yang konkret dari metode Montessori maka anak akan lebih mudah membangun hubungan sosial yang penuh hormat dengan orang-orang di sekitarnya. Untuk dapat membaca lebih detail dan menyeluruh tentang metode Montessori, pembaca bisa memesan buku terbitan Bentang Pustaka, The Montessori Child: Panduan Orang Tua dalam Membesarkan Anak yang Berdaya, Berpikir Kreatif, dan Berhati Welas Asih karya Simone Davies dan Junnifa Uzodike. Buku ini bisa didapatkan di toko buku terdekat atau bisa dipesan secara online melalui website www.bentangpustaka.com

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta