Metode Montessori dalam Pendidikan Seks untuk Anak

Seks adalah sesuatu yang masih tabu dibicarakan di Indonesia, terlebih-lebih untuk anak kecil. Orang tua sering kali kelabakan ketika anaknya memberikan pertanyaan mengejutkan tentang seks. Dalam satu hal mungkin mereka ingin memberikan perlindungan kepada anak dari dampak negatif akibat seks bebas, tapi di sisi lain hal itu membuat anak tidak mempunyai tempat yang aman dan nyaman untuk mengakses pendidikan seks yang komprehensif.

Dalam pendidikan formal di sekolah, anak juga tidak mudah mendapatkan pendidikan seks yang komprehensif. Sekolah sering kali hanya memberikan kelas-kelas parsial dan tidak berkelanjutan dalam membahas seks. Hal itu membuat pemahaman anak juga tidak utuh. Lalu, untuk melengkapi informasi-informasi itu, guru-guru juga kesulitan dalam menjawabnya. Mereka tidak bisa memahami kesehatan seksual dan perkembangan seksualnya secara komprehensif.

Hal itu membuat anak makin berpotensi besar mengalami dampak negatif dari perilaku seks berisiko. Ketidaktahuannya terhadap seksualitas dan kebingungannya harus bertanya ke mana membuat anak mengeksplorasi pada sumber-sumber yang tidak kredibel di luar instansi pendidikan formal (sekolah) dan informal keluarga.

Seks dan Perkembangan

Dalam menapaki tiap tahapan perkembangan usia, anak mengalami perubahan-perubahan dalam seksualitasnya. Mereka mengalami banyak hal baru yang membuat bingung sekaligus penasaran apa yang sedang terjadi. Di sinilah sebenarnya orang tua mempunyai posisi strategis dalam memberikan informasi pertama tentang seks. Dalam metode Montessori diajarkan bagaimana pendekatan yang efektif dan efisien untuk memberi pendidikan seks pada anak.

Dalam buku The Montessori Child karya Simone Davies dan Junnifa Uzodike, membicarakan seks pada anak haruslah jujur dan terbuka. Dengan begitu kita membantu anak-anak untuk memiliki hubungan yang sehat dengan tubuh mereka, menghormati tubuh orang lain, dan membantu meruntuhkan tabu atau trauma yang mungkin tertanam dalam diri kita sendiri semasa kanak-kanak (The Montessori Child, hlm. 241).

Dengan makin berkembangnya teknologi informasi, maka probabilitas anak terpapar dengan informasi, gambar, tulisan, dan percakapan seks akan makin besar. Apabila orang tua bisa memberikan informasi utama tentang seks, itulah yang akan dijadikan acuan utama.

Memberikan pendidikan seks kepada anak memang tidaklah mudah. Bagaimana kita mengemas informasi yang jujur tapi dengan bahasa yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif dan bahasa anak adalah suatu keterampilan yang perlu dipelajari dan harus selalu dilatih. Beberapa tip yang bisa dilakukan adalah:

  • Komunikasi terbuka. Orang tua membiasakan anak untuk dapat berbicara secara terbuka terkait seksualitasnya. Hal itu demi lancarnya komunikasi dengan anak tanpa membuat informasi bohong. Apabila belum bisa menjawab pun, orang tua harus jujur bahwa pertanyaan itu belum bisa dijawab hari ini dan meminta waktu beberapa hari untuk bisa menjawabnya dengan jawaban terbaik.
  • Persetujuan (consent). Perihal pertama dan utama untuk mejaga anak dari aktivitas seks berisiko dan juga pelecehan seksual adalah dengan mengajarkan mereka persetujuan. Sebagai orang dewasa, kita harus memberikan teladan bagaimana kita harus meminta izin dalam menyentuh dan memegang bagian tubuh walaupun itu anak kita sendiri. Untuk memindahkan anak ke kursi misalnya, kita juga memindahkannya dengan pelan alih-alih menariknya tanpa aba-aba.
  • Penggunaan bahasa standar. Selain tentang persetujuan, dalam metode Montessori juga mengatur tentang bagaimana menyebut anggota tubuh dengan nama akurat sesuai standar ilmiah. Hal itu membantu anak memahami anggota tubuhnya sendiri beserta fungsinya. Jika anak sudah memahami secara komprehensif, mereka akan mempunyai kesadaran untuk menjaga kebersihan dan kesehatan semua anggota tubuhnya.
  • Teladan. Orang tua bisa memberi teladan bagaimana berinteraksi dengan pasangan dalam kehidupan sehari-hari. Percakapan tentang seksualitas dan mengajarkan inklusivitas gender bisa dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Orang tua bisa belajar mengomunikasikan hal yang mungkin masih tabu dengan memilih kata dan gaya bahasa yang dipahami anak.

Keterbukaan tentang seksualitas dalam pendekatan Montessori membuat anak tidak canggung menceritakan pengalaman seksualitasnya, misalnya tentang mensturasi. Di sisi lain anak juga diperkenankan belajar dari cerita orang tuanya.

Pendidikan seks yang komprehensif akan memberi perlindungan internal pada anak untuk terhindar dari perilaku seks berisiko dan kekerasan seksual. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang pendekatan Montessori terhadap pendidikan seks pada anak, alangkah baiknya membaca buku The Montessori Child: Panduan Orang Tua dalam Membesarkan Anak yang Berdaya, Berpikir Kreatif, dan Berhati Welas Asih karya Simone Davies dan Junnifa Uzodike. Buku ini bisa dipesan di website www.bentangpustaka.com

gejala stres anak

Memupuk Perkembangan Sosial dan Moral Anak

Keterampilan sosial alangkah baiknya jika diajarkan sejak anak masih kecil. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka dibutuhkan strategi dan pelatihan yang tepat. Dalam hal ini, metode Montessori menyediakan cara untuk melatih perkembangan sosial dan moral anak melalui kegiatan sehari-hari secara komprehensif dan aplikatif.

Keterampilan bersosialisasi akan mudah jika anak sudah dikenalkan cara bersosialisasi dengan baik. Proses sosialisasi akan lancar jika anak mampu dengan lebih baik memahami kondisi orang lain. Dengan memahami orang lain, anak akan mengembangkan satu sikap penting dalam kehidupan yaitu menghormati orang lain.

Sebagai model pengasuhan, metode Montessori sangat mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang dapat melatih anak untuk mengembangkan dan memperkuat sikap saling menghormati orang-orang di sekitarnya. Metode parenting yang dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori ini memuat cara-cara bersosialisasi mulai dari lingkungan terdekat yaitu orang tua, teman, dan orang-orang baru yang ditemuinya di lingkungan yang lebih luas.

Dalam buku The Montessori Child, Simone Davies dan Junnifa Uzodike memberikan langkah-langkah yang praktis dan konseptual untuk merangsang latihan fisik, afeksi, dan kognitif guna mengembangkan hubungan saling menghormati di dalam lingkungan keluarga hingga ke lingkungan yang lebih luas.

Poin-poin yang dibahas antara lain memahami cara anak berinteraksi, cara merespons situasi baru, orang tua dan orang dewasa lain, cara merespons dalam kelompok, cara menyelesaikan perselisihan, cara bertenggang rasa, hingga mengamati kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk perkembangan sosial anak. Davies dan Uzodike mengajak pembaca memahami secara komprehensif apa saja yang terjadi dalam proses belajar bersosialisasi anak.

Dr. Montessori menekankan pentingnya membangun kohesi sosial yaitu ketika semua masyarakat saling bekerja sama membangun lingkungan sekitar demi kebaikan semua. Hal ini menunjukkan bahwa metode Montessori bersifat sosial dan universal. Untuk menanamkan semangat tersebut pada anak, kita perlu memahamkan anak bahwa setiap makhluk hidup yang ada di bumi saling terkait.

“Pada ranah perkembangan pertama, anak bukan sekadar menyerap bahasa dan budaya—dia juga menyerap nilai-nilai dan keyakinan yang akan menjadi fondasi perkembangan moralnya” (The Montessori Child, hlm. 137). Faktor inilah yang membuat anak akan sangat membutuhkan teladan moral dari orang-orang di sekitar, alih-alih sekadar perintah apalagi ancaman. Bagi umat beragama, agama juga sangat bermanfaat untuk menanamkan moral pada anak.

Pada tahap perkembangan anak usia 6–12 tahun, Dr. Montessori menyebutnya sebagai “usia tidak sopan”. Pada usia ini sering kita temui anak suka:

  • mengadu dan melaporkan orang lain pada orang tua;
  • mengeksplorasi batas antara perilaku sopan dan tidak sopan;
  • menentang perilaku orang lain padanya yang membuatnya tidak nyaman.

Walaupun begitu, orang tua harus tetap tenang menghadapi ini. Sebab, di samping sifat anak yang kurang sopan, anak juga mulai memiliki akal budi dan imajinasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengajak anak berempati, menganalisis, dan mengeksplorasi berbagai macam perilaku dan kemungkinan.

Dalam metode Montessori, orang tua dilarang memaksakan sopan santun dan tata krama. Orang tua harus mencari cara alternatif yang lebih halus yaitu menjaga sikap saling menghormati sekaligus memberi contoh sikap sopan santun dan tata krama dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kecilnya adalah orang tua tidak menggunakan kata-kata kasar dalam berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk kepada teman akrab yang sedang bermain di rumah ataupun ketika sedang marah.

Adapun kendala moral seperti berbohong kepada anak, orang tua juga harus lebih berhati-hati dan tetap tenang untuk menyikapinya. Tidak diperkenankan untuk menyudutkan dan memarahi anak. Tetapi, kita cari alasan mengapa mereka melakukan itu.

“Anak biasanya berbohong bukan dengan niat jahat. Terkadang dia berbohong secara spontan demi melindungi diri. Terkadang dia menguji kita untuk mencari tahu akankah dia ketahuan atau dimaklumi.” (The Montessori Child, hlm. 147)

Menjadi Makhluk Sosial

Untuk menanamkan lingkungan yang bersifat sosial maka semua keunikan anak harus diakui. Setiap anak harus merasa diterima apa adanya. Anak juga diajari untuk memahami dan menghargai identitas orang lain. Orang tua bisa memberikan pengalaman langsung untuk mengenal orang dari berbagai macam latar belakang dan strata ekonomi.

Anak-anak sedang belajar bersama mengenyam pendidikan

Dengan bertemu orang dari berbagai macam suku dan budaya, anak akan bisa menekan prasangka dan rasa takut. Dalam konteks ini anak juga bisa belajar tentang keadilan. Anak bisa mengenali perasaan betapa tidak menyenangkannya diperlakukan tidak adil. Oleh sebab itulah di sini sangat strategis untuk memberi pemahaman terhadap anak agar selalu berbuat adil kepada siapa pun tanpa terkecuali.

Dengan pemahaman konsep keadilan yang konkret dari metode Montessori maka anak akan lebih mudah membangun hubungan sosial yang penuh hormat dengan orang-orang di sekitarnya. Untuk dapat membaca lebih detail dan menyeluruh tentang metode Montessori, pembaca bisa memesan buku terbitan Bentang Pustaka, The Montessori Child: Panduan Orang Tua dalam Membesarkan Anak yang Berdaya, Berpikir Kreatif, dan Berhati Welas Asih karya Simone Davies dan Junnifa Uzodike. Buku ini bisa didapatkan di toko buku terdekat atau bisa dipesan secara online melalui website www.bentangpustaka.com

Belajar Menghormati ala Montessori

Belajar Menghormati ala Montessori

Sikap saling menghormati yang terbentuk dengan baik di lingkungan keluarga akan menjadikan suasana yang kondusif dan menyenangkan. Tentunya hal ini tidak bisa tercipta atau terbentuk dengan sendirinya. Sikap saling menghormati sangat dipengaruhi dari bagaimana anak mendapatkan pengasuhan dan juga pengalaman yang dialaminya sejak kecil. Di sinilah metode Montessori bisa menjadi acuan utama dalam membentuk hubungan saling menghormati di lingkungan keluarga ataupun lingkungan yang lebih luas.

Kebanyakan orang menyangka mengasuh dan membesarkan anak adalah keterampilan alami sehingga tidak perlu dipelajari secara formal. Hal itulah yang membuat kebanyakan orang tidak mempersiapkan dengan baik pada saat akan menjadi orang tua. Hal itu berdampak signifikan ketika mereka melewatkan masa saat anak di usia seharusnya mendapatkan stimulus sehingga keterampilan sosialnya yang penuh hormat tidak terasah dengan maksimal.

Metode Montessori memberikan perincian yang komprehensif sekaligus aplikatif dalam upaya membangun hubungan saling menghormati antaranggota keluarga. Hal itu akan mempermudah penerapannya di lingkup keluarga.

Belajar Menghormati ala Montessori

Menghormati Saudara

Untuk menstimulus hubungan yang baik dan saling menghormati antara kakak dan adik, metode Montessori memberikan langkah-langkah yang sangat lengkap dan komprehensif. Pakar pendidikan dan pengasuhan dengan pendekatan Montessori, Simone Davies dan Junnifa Uzodike dalam bukunya yang terbaru berjudul The Montessori Child: Panduan Orang Tua dalam Membesarkan Anak yang Berdaya, Berpikir Kreatif, dan Berhati Welas Asih (Bentang Pustaka, 2024) memaparkan urutannya sebagai berikut: Memulai sejak dini, memupuk kedekatan dengan kakak, tidak membanding-bandingkan, menyediakan tempat bermain bersama, tetap netral ketika kakak adik berselisih pendapat, menjalin kedekatan dengan masing-masing secara individual, mengutamakan keadilan dan kesetaraan, mendorong anak-anak untuk mengekspresikan perasaan terhadap satu sama lain, dan melakukan observasi jika ada pertengkaran.

Sikap menghormati antarsaudara juga bisa dipupuk dengan aktivitas saling berbagi. Dengan berbagi dan antre menggunakan barang atau mainan, anak juga belajar bersabar dan menghargai pekerjaan orang lain. Oleh sebab itu, akan sangat baik jika ada kesepakatan yang jelas di rumah tentang cara berbagi agar mudah dipahami oleh anak.

Memperkenalkan cara menyela atau meminta perhatian juga bisa diajarkan sejak kecil. Misal jika orang tua sedang menelepon, anak diajari untuk menyentuh pundak sebelum berbicara atau menyela untuk mendapatkan perhatian.

Menghormati saudara yang lebih muda juga ditekankan untuk menghilangkan egoisme senioritas pada kakak. Misalnya kita bisa memberi pemahaman bagaimana bersikap adil dalam berbagi.

Berbagi

Metode Montessori sangat menekankan sikap atau perilaku berbagi. Hal ini sesuai dengan prinsip Montessori yang mendorong untuk hidup dengan semangat kebersamaan. Disebutkan pula dalam buku The Montessori Child: Panduan Orang Tua dalam Membesarkan Anak yang Berdaya, Berpikir Kreatif, dan Berhati Welas Asih bahwa Dr. Maria Montessori meyakini dengan belajar berbagi, anak akan belajar bersabar dan menghormati pekerjaan orang lain sekaligus menekan rasa kompetitif yang negatif (The Montessori Child, hlm. 151).

Perilaku berbagi ini meliputi kesepakatan tentang barang atau perangkat yang digunakan di rumah, barang istimewa untuk tiap anak, menyimpan barang yang akan dibagi ketika ada tamu, dan bagaimana cara menyelesaikan perselisihan yang mengemuka.

Dalam berbagi, orang tua juga bisa mengajak anak-anak untuk bernegosiasi tentang kegiatan-kegiatan di luar rumah. Misalnya dalam kegiatan olahraga di lapangan, kita bisa mengajari anak untuk bernegosiasi untuk menentukan siapa yang akan menendang bola terlebih dahulu, siapa yang menempati posisi penendang atau kiper, atau membuat giliran siapa yang melempar dan siapa yang memukul.

Metode pengasuhan Montessori tentang berbagi sebagai usaha membangun sikap hormat kepada anggota keluarga dan lingkungan sekitar ini dengan terperinci dijelaskan dalam buku berjudul The Montessori Child: Panduan Orang Tua dalam Membesarkan Anak yang Berdaya, Berpikir Kreatif, dan Berhati Welas Asih karya Simone Davies dan Junnifa Uzodike. Buku yang diterbitkan Bentang Pustaka ini dapat dibeli di toko-toko buku terdekat atau dipesan melalui website: www.bentangpustaka.com

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta