mendisiplinkan anak

Mitos Mendisiplinkan Anak dengan Ancaman

Cerita Ibu Ajeng ….

“Sering kali anak saya berperilaku tidak sopan dan suka membantah. Kalau tidak dengan hukuman, mau didisiplinkan bagaimana lagi? Sepertinya cara lembut malah tidak mempan untuk dia.”

Jadi gimana, benar, nggak sih, sudah tidak ada cara lain untuk mendisiplinkan anak selain melalui hukuman?

Hmmm, kalau kita malas mencari jawaban dan ilmu, sih, sepertinya jadi benar-benar saja, ya. Namun, kenyataannya, pola pikir seperti Ibu Ajeng ini yang justru akhirnya benar-benar membuat mendisiplinkan anak tanpa hukuman jadi mitos!

Seperti yang ditulis Sarah Ockwell-Smith dalam bukunya Gentle Discipline, untuk mendisiplinkan anak, kita harus tahu dulu akar permasalahan kenapa dia berperilaku buruk. Dan, akar permasalahan ini dibagi Sarah ke dalam 3 faktor: Neurologis, Fisiologis, dan Psikologis.

Ketiga faktor ini adalah pemicu perilaku anak yang sebenarnya sudah banyak kita ketahui, tetapi tidak dipahami, lo. Alhasil ancaman dan hukuman, deh, yang jadi last option.

Padahal, dengan mencoba memahami faktor Neurologis anak berperilaku buruk, kita bisa jadi “melek” bahwa pada hakikatnya otak manusia itu berbeda secara dramatis dari bayi ke remaja, ke dewasa, yang berarti nggak realistis, dong, kalau kita mengharapkan anak berperilaku sama dengan orang dewasa???

Nah, setelah merenung dari faktor Neurologis, kita bergeser ke faktor Fisiologis, ya. Faktor ini pastinya sudah banyak yang tahu kan, seperti anak akan jauh lebih rewel ketika mereka sedang lapar atau capek gitu. Berbeda lagi dengan psikologis, kalau faktor ini biasanya dipicu karena anak kurang memiliki kendali terhadap kehidupan mereka sendiri. Bisa juga karena ada perilaku orang lain yang tidak mereka inginkan, atau anak merasa rendah harga diri.

Dengan memahami faktor ini, kita jadi sadar, deh, cara mendisiplinkan anak dengan ancaman atau hukuman sama sekali salah. Bahkan, pemicu perilaku buruk anak yang sering kali dikatakan karena faktor “Hormon” itu hanya mitos!

Terus, kalau sudah paham dengan faktor-faktornya, langkah apa lagi, nih, yang perlu kita ambil untuk bisa mendisiplinkan anak dengan lembut dan efektif?

Buat hierarki kebutuhan anak pakai konsep Abraham Maslow. Nah lo, kira-kira masih pada ingat seperti apa? Hehehe.

Oke, next step-nya apalagi, nih? Yuk, cari tahu dalam buku Gentle Discipline karya Sarah Ockwell-Smith.

Sudah tersedia di seluruh toko buku Indonesia!

 

Mendisiplinkan Anak

Yes or No, Mendisiplinkan Anak dengan Hukuman?

Cerita Ibu Mona ….

Sejak punya dua toddler di rumah, Mona mulai jadi waswas tentang hari esok. Dia mulai merasa kesulitan untuk mendisiplinkan anak yang makin lama makin susah diprediksi kemauannya. Alhasil, Mona pun mulai menerapkan sistem hukuman dan ancaman demi bisa membentuk perilaku anak yang lebih baik.

Namun, apa iya, sistem hukuman dan ancaman benar ampuh untuk mendisiplinkan anak?

Menurut psikolog parenting Sarah Ockwell-Smith, ancaman dan hukuman itu bukan jawaban yang tepat untuk mendisiplinkan anak. Ketika kita sibuk memberikan hukuman dan ancaman, apa yang kita lakukan itu sebenarnya hanya untuk mengendalikan perilaku anak pada saat itu saja, lo. Hal tersebut tidak memberikan efek jangka panjang.

Kenapa? Ya, karena kita menggunakan jalan pintas.
Menggunakan hukuman, tandanya kita membuat perasaan anak-anak terputus dari kita akibat bentakan atau sebuah pukulan yang mungkin saja kita layangkan. Cara ini nyatanya cuma meningkatkan potensi timbulnya perilaku yang tidak diinginkan dan membuat anak merasa lebih buruk, lo.

Adapun dengan memberikan ancaman seperti, “Kalau nangis terus nanti Mama nggak belikan es krim, ya,” ternyata juga sama aja, nih. Penggunaan es krim mungkin bisa mengendalikan anak untuk sementara waktu, tetapi tidak bisa meningkatkan motivasi intrinsik bagi anak untuk berperilaku seperti yang kita harapkan, ya.

Jadi, bisa diambil kesimpulan, nih, kalau sistem hukuman dan ancaman sudah nggak ampuh lagi, ya, untuk mendisiplinkan anak. Terus, apa dong yang ampuh?

Sebagai orang tua dari empat anak, Sarah Ockwell-Smith paham betul, nih, betapa beratnya harus bekerja bersama anak-anak, terutama ketika mereka sedang menguji kesabaran. Oleh karena itu, dirinya merumuskan sebuah jurus jitu yang dikenal sebagai Gentle Discipline!

Gentle Discipline ini adalah metode modern yang berfokus mendisiplinkan anak dengan memadukan praktik belajar-mengajar ketimbang menghukum. Nah, kita sebagai orang tua, diajak untuk membiasakan adanya keseimbangan kuasa, ya. Caranya dengan bersikap positif dan memahami penyebab perilaku buruk anak sebagai titik awal untuk mengetahui cara memperbaikinya.

Ada lima langkah yang dia jelaskan untuk menuju disiplin yang lembut, tetapi juga efektif. Apa saja kelima langkah tersebut?

Yuk, cari tahu dalam buku Gentle Discipline karya Sarah Ockwell-Smith.

Sudah tersedia di seluruh toko buku Indonesia!

 

Implementasi Teori Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk) pada Montessori

Teori multiple intelligences atau kecerdasan majemuk kali pertama diperkenalkan oleh Dr. Howard Gardner, seorang psikolog sekaligus profesor pendidikan dari Harvard University pada 1983. Ia adalah seorang tokoh populer yang menentang gagasan bahwa IQ merupakan ukuran inteligensi yang terbaik. Menurutnya, indikator kecerdasan tidak hanya seputar persoalan matematika dan bahasa seperti yang ada pada tes IQ pada umumnya.

Menurut penelitian yang ia lakukan yang dikutip dalam buku You Are Smarter Than You Think, oleh Thomas Armstrong, Ph.D., setiap anak memiliki setidaknya delapan jenis kecerdasan. Kemajemukan kecerdasan yang dimiliki manusia itulah yang kemudian memunculkan istilah kecerdasan majemuk. Delapan jenis tersebut adalah Kecerdasan Bahasa, Kecerdasan Logika-Matematika, Kecerdasan Visual-Spasial, Kecerdasan Kinestetik, Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Naturalis, dan Kecerdasan Musikal.

Filosofi dalam Montessori ternyata juga memiliki nilai-nilai yang dipahami sama dengan teori kecerdasan majemuk. Itulah mengapa output sistem pendidikan Montessori dianggap berbeda dari yang lain. Kebanyakan sistem pendidikan, khususnya di Indonesia, menitikberatkan pada kecerdasan intelektual saja. Lain halnya dengan Montessori yang dapat membentuk karakter anak dan mengasah keterampilan praktis yang bermanfaat untuk kehidupannya, seperti kedisiplinan, keteraturan, toleransi, hingga menumbuhkan kecintaan pada proses belajar itu sendiri.

Salah satu prinsip dalam Montessori yang selaras dengan teori kecerdasan majemuk adalah bahwa Montessori memandang setiap anak itu unik. Sebelum orang tua menerapkan pendidikan Montessori untuk anak, orang tua harus terlebih dahulu mengubah konsep berpikirnya. Teori kecerdasan majemuk meyakini bahwa potensi dan kadar optimal kecerdasan seseorang dengan yang lain dapat berbeda-beda, terlebih ada delapan jenis kecerdasan pada manusia. Hal ini selaras dengan prinsip Montessori yang meyakini bahwa setiap anak adalah unik dan memiliki kebutuhan dalam mengembangkan potensinya dengan cara yang berbeda-beda.

Yang kedua adalah bahwa Montessori merupakan pendidikan yang melibatkan semua indra, gerakan tubuh melalui penggunaan self-corrected didactic materials. Sebagaimana diyakini bahwa usia 0-6 tahun merupakan periode sensitif anak, maka ia memerlukan berbagai stimulus sehingga Montessori menggunakan seluruh indra dan gerakan tubuh untuk mengikuti kebutuhan anak tersebut. Berbagai rangsangan yang diterima anak secara tidak langsung akan mengasah potensi kecerdasan majemuk yang ia miliki dan menyeimbangkan kemampuan pada seluruh aspek yang ada.

Ada banyak hal lain yang dapat dibahas mengenai prinsip-prinsip dan metode Montessori yang mendukung pengembangan kecerdasan majemuk anak. Topik ini akan dikupas secara mendalam dalam buku yang akan terbit dari Bentang Pustaka berjudul Montessori for Multiple Intelligences yang ditulis oleh Ivy Maya Savitri. Nantikan informasi selengkapnya di Instagram @bentangkids!

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta