perisapan balita masuk PAUD/Sekolah

Tip Persiapan Balita Masuk PAUD/Sekolah

Salah satu momentum menjadi orang tua adalah persiapan balita masuk PAUD/Sekolah. Ada banyak perasaan campur aduk yang akan kita rasakan. Mulai dari takut si kecil akan crancky, sedih melihat anak sudah makin besar, sekaligus excited menanti perkembangan si kecil. Semuanya muncul jadi satu.

Bahayanya, jika perasaan negatif yang lebih banyak kita rasakan, si kecil ternyata juga bisa ikut merasakannya, lho. Kalau sudah begitu, bisa-bisa pengalaman pertama mereka masuk PAUD/sekolah bisa jadi karut-marut, nih. Karena itu, Simone Davies membagikan tip spesial untuk membantu kita mempersiapkan balita masuk PAUD/sekolah:

  • Berlatih keterampilan mandiri. Misalnya, dengan mendorong si kecil mempersiapkan perlengkapannya sendiri ke dalam tas sekolah. Buatlah anak terlibat langsung dalam aktivitasnya dengan konsep bermain.
  • Berlatih keterampilan sosial. Caranya dengan mengenalkan mereka kepada berbagai macam konteks situasi mulai dari membela diri jika diperlukan, berteman dengan anak lainnya, hingga peduli kepada orang lain.
  • Berlatih perpisahan. Sebelum benar-benar berpisah selama masa sekolah.

Khusus untuk tip nomor 3, harus dilatih jauh-jauh hari agar persiapan balita masuk PAUD/sekolah lebih maksimal, ya. Karena biasanya, di usia balita si kecil memang cenderung tidak ingin bermain sendirian. Sering kali mereka tidak akan membiarkan kita meninggalkan ruangan, bahkan sekadar ke toilet. Semakin sering kita membuat jarak dengan mereka, yang ada mereka akan semakin menempel. Dalam budaya Jawa fenomena ini biasa digambarkan dengan istilah “bau tangan”.

Agar persiapan balita masuk PAUD/sekolah lancar, kita harus memastikan terlebih dahulu apa saja yang menjadi penyebab “bau tangan” itu. Berikut ini adalah beberapa alasan umumnya:

  • Perjalanan, perubahan rutinitas, sakit, perubahan dalam situasi kerja, tempat penitipan anak yang baru. Perubahan-perubahan besar seperti ini bisa membuat anak waswas.
  • Temperamen anak. Beberapa anak lebih suka merasa aman dengan ditemani oleh orang tua mereka.
  • Kita memusatkan perhatian pada hal lain, misalnya ketika kita memasak atau membalas chat di grup Whatsapp.
  • Mereka masih bergantung pada orang dewasa untuk melakukan sesuatu bagi mereka karena belum mempunyai kemampuan atau akses yang dibutuhkan

Lalu gimana cara agar anak jadi tidak bau tangan dan siap masuk PAUD/sekolah tanpa drama? Begini, nih, caranya menurut Simone Davies dalam buku The Montessori Toddler.

  1. Bermain lebih sering dengan anak dan biarkan dia yang memimpin permainan. Lambat laun, kita bisa duduk sedikit lebih jauh sambil tetap menonton mereka bermain.
  2. Seperti lagunya Elo, kita harus sering membiasakan pamit kepada si kecil ketika ingin pergi meninggalkannya, dan sesegera mungkin kembali setelah urusan selesai, ya. Hal ini akan membuat si kecil merasa tenang dan terbiasa karena ditepati janjinya.
  3. Ciptakan suasana membosankan jika si kecil memang masih ingin bersama kita.

Akan tetapi, jangan lupa sisipkan juga mindset positif pada diri kita bahwa pada kenyataannya, balita memang ingin selalu berada di dekat kita, ya. Jadi, jangan sampai demi mempersiapkan anak masuk PAUD/sekolah, kita malah menjaga jarak berlebihan dengan anak. Jangan lupa perbanyak informasi juga mengenai bagaimana cara memilih sekolah yang tepat untuk balita

Intinya, yuk nikmati perjalanan parenting kita! (Radyastuti)

Memahami Penyebab Pertengkaran Antara Anak

Dalam sesi seminar parenting, sering sekali orang tua bertanya bagaimana mengatasi anak yang suka bertengkar, atau bagaimana cara mempersiapkan anak pertama menjadi seorang kakak. Dua hal ini menjadi masalah umum dalam pengasuhan. Sebagai orang tua dan keluarga, menyambut anggota keluarga baru adalah sebuah momen yang sangat dinantikan. Berharap anak kita memiliki teman di masa depannya setelah kita tidak ada. Akankah hal yang sama dirasakan oleh anak pertama? Jawabannya adalah belum tentu. Anak pertama akan merasa bahwa ia akan memiliki saingan dan cinta yang diberikan orang tua tidak cukup baginya. Oleh karena itu, ia menciptakan berbagai drama.

Ketika anak kedua lahir, mereka tumbuh dan di besarkan oleh orang tua yang sama dan dengan pola asuh yang sama. Tapi mengapa mereka sering mengalami pertengkaran dan bersaing? Orang tua merasa bahwa ia telah cukup dan banyak cinta untuk dibagikan kepada anak-anaknya. Tetapi, anak belum tentu merasakan hal itu.

Untuk mengatasi penyebab dari pertengkaran antara anak, kita perlu mengetahui penyebab yang memicunya. Dalam buku Gentle Discipline yang ditulis oleh Sarah Ockwell-Smith, disebutkan bahwa setidaknya ada beberapa penyebab pertengkaran anak.

Kurangnya Perhatian Individu

Berusaha untuk memberikan perhatian penuh secara personal kepada anak lebih dari satu adalah hal yang tidak mudah. Terlebih jika orang tua bekerja. Namun, hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan. Orang tua bisa membuat jadwal untuk mengajak anak pertama saja untuk sekadar jalan- jalan bertiga. Lalu, minggu selanjutnya membawa anak kedua untuk jalan-jalan bertiga dengan orang tua. Hal tersebut akan membuat anak merasa dianggap dan dipedulikan. Keluarga juga harus sering melakukan kegiatan bersama di tengah-tengah kesibukan. Kegiatan tersebut bisa membantu untuk mengurangi pertengkaran anak.

Membandingkan

Sebagai orang tua, kita sering melihat perilaku beragam dari anak-anak kita. Setiap anak dengan perilaku dan tingkahnya masing-masing. Tidak semua perilaku dan tingkah anak disukai oleh orang tua. Ketika orang tua mulai membandingkan baik dan buruk antara satu anak dengan saudaranya, saat itu juga orang tua sudah merusak hubungan antara anak-anaknya. Membandingkan akan membuat anak terputus dari orang tuanya dan pasti akan menyimpan iri kepada saudaranya, sehingga timbullah pertengkaran antara anak. Jika ingin melindungi hubungan anak dengan saudara kandungnya, hindari membandingkan mereka.

Melabeli

Dalam lingkup keluarga, memberi label adalah hal yang biasa. Mengatakan anak dengan “si lucu”, “anak yang nakal”, dan label lainnya yang terkadang disampaikan langsung di depan salah seorang dari anak kita. Hal ini jelas akan menimbulkan pertengkaran antara anak. Setidaknya ada dua masalah yang akan timbul ketika memberikan label pada anak yaitu, harapan yang tidak disadari dan menumbuhkan pola pikir permanen.

Terlalu Banyak Tekanan pada Anak Sulung

Terkadang orang tua meminta anak sulungnya untuk menjaga adik-adiknya, menjadi contoh terbaik, harus lebih memiliki pemahaman lebih, dan keinginan lainnya yang seakan harus ada pada anak sulung. Beberapa anak sulung akan menerima hal tersebut dan sebagian mereka merasa keberatan karena mendapat tanggung jawab dan tugas ekstra. Terlalu banyak kewajiban dan tekanan pada anak sulung akan memicu pertengkaran antara anak karena anak sulung merasa tidak adil dalam pembagian peran tertentu. (Annisa)

Sekolah Montessori untuk Anak, Yes or No?

“Bayar mahal-mahal di sekolah Montessori, kok anakku malah disuruh beberes, sih?”

Hayo, siapa nih, yang anaknya sekolah di Montessori dan suka bertanya-tanya seperti ini? Pastinya hampir semua montessorian newbie pernah, deh. Karena memang aneh bagi kita yang sudah biasa terpapar metode pendidikan teacher center ketika melihat konsep mengajar di sekolah Montessori yang menggunakan metode pendidikan follow the child.

Kesan pertama yang akan kita dapatkan biasanya, “kok anakku dibiarkan tanpa pengawasan, ya? kok gurunya cuma diam aja? Ih, kok, ada praktik beberes rumah, sih?”

Eits, tenang dulu. Begini lho, penjelasannya….

Masa usia dini adalah masa saat anak-anak harus mendapatkan kesempatan untuk bisa mengeksplorasi banyak hal. Termasuk aktivitas beberes rumah, yah. Karena, ternyata dari aktivitas beberes rumah ini, kita bisa mengasah  kecerdasan majemuk anak. Salah satu contohnya adalah membiasakan mereka mencuci sendiri peralatan makan yang digunakan.

Dalam buku Montessori for Multiple IntelligencesIvy Maya Savitri menjelaskan bahwa aktivitas ini bertujuan untuk mengajarkan mereka cara mencuci peralatan makanan yang benar dengan mengembangkan sikap disiplin sejak dini. Itu sebabnya kita bisa menemukan aktivitas seperti ini di sekolah Montessori. Begitu pula di sekolah-sekolah umum yang sudah mulai terbuka dengan metode pendidikan follow the child.

Lebih lanjut, Ivy Maya Savitri selaku penulis dan founder sekolah Rumah Montessori menambahkan, kita juga bisa melihat ada keterampilan motorik kasar yang tanpa sadar sedang kita latih dari aktivitas mencuci peralatan makan. Misalnya ketika anak-anak menggenggam peralatan mereka. Selain itu ada stimulus motorik halus yang juga sedang kita asah dimana anak-anak bisa mengevaluasi kebersihan mereka sendiri.

Jadi bukan tanpa alasan ya, sekolah Montessori mengharuskan muridnya untuk mencuci peralatan makannya sendiri di sekolah. Karena memang terbukti membawa pengaruh positif bahkan bisa mengasah kecerdasan majemuk juga!

Dalam bukunya yang berjudul Montessori for Multiple Intelligences, Ivy menjelaskan aktivitas mencuci peralatan makanan bisa mengasah kecerdasan logika matematika anak, loh. Anak akan dikenalkan pada konsep sebab-akibat melalui pengalaman langsung. Aktivitas ini akan membuat anak menganalisis semua hal yang dikerjakan. Misalnya, jika sabun yang diberikan hanya sedikit bercampur dengan air terlalu banyak, maka busa yang dihasilkan juga sedikit. Tanpa sadar, mereka sudah mengasah kecerdasan logika matematikanya.

Masih ada juga kecerdasan visual, kinestetik, natural, hingga musik. Ternyata semua kecerdasan itu bisa diasah juga dari aktivitas mencuci peralatan makanan!

Nah, jadi jangan berburuk sangka dulu ya dengan sistem pendidikan di sekolah Montessori. Jika memang tertarik menyekolahkan si kecil di sekolah Montessori, jangan ragu untuk menanyakan lebih jelas. (Radyastuti)

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta