Tag Archive for: Ramadan

buku bacaan ramadan

“Ngabuburit” Online Semasa Covid-19 saat Bulan Ramadan

Marhaban Ya Ramadan!

Umat Muslim tentunya bersorak gembira dalam menyambut Bulan Suci. Bagaimana tidak, Ramadan banyak menawarkan sejumlah keagungan yang tentunya dapat membawa kita semua ke dalam keberkahan yang sebenarnya. Beberapa hal yang menjadikan Ramadan amatlah ditunggu-tunggu umat Muslim karena saat Ramadan, disebut malam-malam penuh kebaikan, kesempatan bertobat sangat besar, pintu kebaikan dibuka seluas-luasnya, segala doa yang terpanjatkan akan dikabulkan, dan masih banyak lagi.

Amat disayangkan, Ramadan tahun ini cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sejak dua bulan yang lalu, Indonesia dan hampir seluruh belahan dunia mendapatkan wabah yang bisa dikatakan tidak ada yang mengharapkannya. Ya, covid-19. Bahkan, hingga sejauh ini di Indonesia sendiri masih belum sampai pada titik puncak pandemi. Sementara itu, korban yang didiagnosis sudah mencapai ribuan. Sangat memprihatinkan jika bulan depan yang notabenenya sudah Idulfiri harus merasakan hal yang demikian pula layaknya sekarang.

Maka dari itu, himbauan dari WHO dan pemerintah pun terus diserukan agar tetap menjaga diri, physical distancing, #dirumahaja, dilarang pulang kampung atau mudik, selalu menyemprotkan disinfektan untuk pakaian dan barang-barang rumah, dan sebagainya. Alasannya, kita ketahui sendiri, virus sangat cepat penyebarannya untuk berpindah dan berkembang. Bahkan, bisa saja orang yang tampaknya sehat jasmani, ternyata dia seorang carrier setelah dites.

Covid-19 sangat memberikan dampak bagi kita semua. Mulai dari aktivitas saat Ramadan yang seharusnya bisa shalat Tarawih, tadarus, dan berbagi takjil di masjid, kini harus dilakukan dari rumah saja. Meskipun begitu, kita tidak boleh berhenti utnuk menebarkan kebaikan agar terus mengisi keseharian dengan keberkahan Ramadan. Berikut adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan secara online semasa Covid-19 saat Ramadan.

Membaca Al-Qur’an

Kegiatan yang menjadi kewajiban umat Muslim selain ibadah lima waktu ini sangat bagus untuk diterapkan. Pasalnya, membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an di luar waktu Ramadan saja akan mendapatkan pahala besar, bagaimana dengan membaca saat Ramadan? Tentunya akan berlipat ganda pahala dan kedamaian dalam batin yang kita dapatkan.

Kegiatan membaca Al-Qur’an bisa dilakukan di rumah bersama keluarga secara bergantian dan saling menyimak. Selain itu, kita bisa saling mengoreksi bacaan-bacaan yang sekiranya ada kesalahan dalam pengucapan dan penekanan huruf.

Selain dengan keluarga di rumah, kegiatan membaca Al-Qur’an bisa juga dengan sanak saudara, teman, atau kerabat jauh yang sedang tidak bisa berkumpul bersama. Kegiatan ini bisa dengan menggunakan aplikasi penunjang, seperti Gmeet, Skype, atau jenis panggilan video yang lain. Tentunya, pastikan terlebih dahulu jaringan koneksinya tersambung dengan lancar dan suasana sekitar hening atau tidak gaduh agar kegiatan membaca Al-Qur’an bersama bisa khidmat.

Mengikuti Kajian Online

Penunjang selanjutnya dalam rangka memperkaya ilmu keagamaan kita saat Ramadan adalah dengan cara mengikuti kajian. Bisa dalam bentuk forum keluarga di rumah dengan ayah atau ibu yang berbagi cerita dengan anak-anaknya, mengikuti seminar yang diadakan dari ustaz di media sosial, atau bersama pakar agama yang sudah bisa dipertanggungjawabkan segala ceramah yang dibicarakan.

Jangan sampai salah memilih pembicara atau masuk ke dalam kelas kajian yang pembicaranya memberikan hadis-hadis tak jelas atau penipuan ayat-ayat. Justru hal tersebut akan menyayangkan waktu kita untuk hal-hal yang dapat menjerumuskan dalam kebatilan.

Lebih bagus lagi, jika mengikuti kajian online tersebut kita memahami dan mencatat pula poin-poin penting yang dapat kita pelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya, sekaligus memberikan pencerahan kita dalam mencari jalan kebenaran.

Berbagi kepada Sesama

Covid-19 bukan menjadi penghalang untuk terus menebarkan hal-hal baik dan positif terhadap sesama, khususnya orang-orang yang memang perlu kita bantu. Terlebih, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan karena tempat mereka bekerja memberikan surat PHK. Alhasil, banyak dari kita yang mulai terdampak perihal faktor ekonominya.

Begitu juga dengan para pembuka lapak yang perlahan demi perlahan kehilangan pelanggan dan sepi pengunjung atau pembeli, seperti para ojek online, lapak jalanan, dan jenis lainnya. Oleh karena itu, bisa kita berbagi dengan cara menggalang dana untuk mereka yang sangat membutuhkan. Tak hanya soal materi, bisa dengan berbagi hal lain, seperti sembako atau masker kepada orang-orang yang masih tetap berada di luar untuk menyambung hidup.

Membaca Buku-Buku Bernuansa Islami

Memperkaya ilmu pengetahuan keagamaan rohani selain dengan mengikuti kajian online, bisa dengan mulai membeli, lalu membaca buku-buku. Sudah banyak beredar buku yang dijual di marketplace.

Dengan membaca buku-buku tersebut, kita juga bisa menyebarkan ilmu yang terkandung di dalamnya kepada keluarga di rumah agar ikut mengerti dan memahami lebih lanjut tentang keislaman. Khususnya anak-anak, mereka perlu dididik, dituntun, dan diperkenalkan dengan keislaman. Sedari dini sangat perlu untuk diberikan pengajaran yang aplikatif, edukatif, tetapi juga bisa dikombinasikan dengan pengajaran yang tidak membosankan.

Ada beberapa rekomendasi bagi sang buah hati untuk diberikan sarana media pembelajaran yang bermutu dan berkualitas berupa buku-buku Kisah 25 Nabi dan Rasul yang Wajib Diimani, Sahabat Kesayangan Rasulullah, Seri Hijaiyah Wipe and Clean, dan Seri Asmaul Husna.

Beberapa buku rekomendasi di atas memberikan cerita atau kisah-kisah rasul pada zaman dahulu dan perannya dalam kontribusi keislaman. Meski begitu, pengemasan bahasa dan kalimatnya sangat ringan. Sang buah hati tentunya akan lebih mudah mengerti secara perlahan, tetapi pasti nilai-nilai yang disampaikan dalam buku tersebut.

Akhir kalimat, itulah beberapa kegiatan rekomendasi yang dapat dilakukan selama Ramadan saat masa Coronavirus belum berakhir. Bagaimanapun keadaannya, Ramadan harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang dapat memicu secara lebih, keakraban kita dengan Allah Swt. agar Bulan Suci ini dapat kita maknai sebagai sebuah perjalanan umat Islam menuju kehidupan yang lebih baik.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra.

Aktivitas Ramadan

Aktivitas Islami Seru untuk Anak Selama Ramadan

Melihat orang tua melakukan aktivitas yang berbeda selama bulan Ramadan membuat anak sering bertanya apa itu Ramadan, apa itu puasa, dan bahkan apa itu Islam. Orang tua akan dengan senang hati menjelaskan panjang lebar. Sayangnya, yang anak-anak butuhkan bukanlah kultum tentang agama, melainkan aktivitas dan perkenalan yang seru. Dengan begitu, anak semakin termotivasi untuk mempelajari agama tanpa rasa bosan.

Aktivitas islami sangat tepat untuk Ramadan, Bulan Suci untuk memupuk iman dan amal. Bagi anak-anak, Ramadan adalah hal yang masih cukup asing. Bukan hanya tentang Ramadan, melainkan juga tentang Islam secara umum.  Oleh karena itu, anak perlu diperkenalkan dengan hal tersebut sejak dini sebagai fondasi moral anak. Mereka juga akan lebih mudah untuk belajar puasa ketika mereka sudah dekat dengan hal yang berkaitan dengan agama.

Akan tetapi, membantu anak belajar agama tidak bisa dibilang mudah. Selain harus menjaga dan mendorong motivasi anak untuk belajar, kita juga harus mengerti agama. Orang tua harus yakin bahwa apa yang disampaikan tidak melenceng dari ajaran sebenarnya. Untuk mengatasi hal tersebut, orang tua perlu banyak membaca dari sumber tepercaya. Jika anak diberi buku bacaan, orang tua juga harus yakin terlebih dahulu kalau isi buku tersebut dapat dipercaya. Sementara itu, aktivitas islami yang seru merupakan kunci memotivasi anak untuk belajar agama. Berikut tiga aktivitas islami yang bisa anak lakukan selama Ramadan dan beberapa buku rekomendasi tepercaya.

Belajar Mengaji dengan Wipe and Clean Book

Belajar mengaji tidak hanya bisa dilakukan bersama pak ustad di musala. Di rumah, anak juga bisa mulai belajar mengaji. Bahkan, akan lebih baik lagi jika anak mulai belajar mengaji di rumah sebelum aktif mengaji di musala. Tujuannya mengenalkan anak aktivitas mengaji sehingga anak tahu apa yang akan mereka lalukan di masjid. Selain itu, mengaji dengan orang tua juga akan membantu bonding orang tua dengan anak sembari memperkenalkan Islam.

Belajar mengaji di rumah akan lebih seru jika dilakukan dengan wipe and clean book. Wipe and clean book adalah jenis buku yang dapat ditulis dengan spidol dan dihapus dengan mudah. Dalam wipe and clean book juga terdapat tracing sehingga anak dapat menulis tulisan Arab sesuai pola yang ada di buku. Wipe and clean book yang digunakan untuk belajar mengaji dapat berupa buku belajar angka Arab dan huruf hijaiyah. Untuk belajar angka Arab, anak dapat menggunakan buku Belajar Angka Arab Bersama Alif dan Alika. Sementara itu, anak dapat menggunakan buku Belajar Huruf Hijaiyah Bersama Alif dan Alika untuk belajar huruf Arab.

Belajar mengaji menggunakan wipe and clean book akan sangat menyenangkan karena anak bisa langsung praktik menulis Arab. Selain itu, buku wipe and clean juga berisi ilustrasi, bahkan cerita. Sebagai bonus, anak juga dapat belajar bahasa Inggris dan Arab karena buku tersebut merupakan trilingual book.

Mengenal Asmaul Husna

Mengenal Islam berarti juga harus mengenal Allah. Untuk mulai memperkenalkan Allah kepada anak, orang tua perlu menjelaskan terlebih dahulu Allah itu seperti apa. Yang pasti, tidak ada manusia yang mengetahui wujud Allah. Hal tersebut akan sedikit membuat anak kesulitan mengenal-Nya karena anak tidak dapat memvisualisasikan wujud Allah. Oleh karena itu, alternatif lain untuk mengenalkan Allah kepada anak adalah dengan mengenalkan Asmaul Husna. Dengan mengenal Asmaul Husna, anak dapat lebih mengenal Allah karena mereka telah mengenal sifat Allah. Terlebih lagi, mengenal Asmaul Husna membantu mereka melihat kebesaran Allah.

Bagi anak-anak, 99 Asmaul Husna memang sangat banyak untuk dipelajari. Kabar baiknya, mereka tak harus langsung hafal 99 Asmaul Husna. Yang perlu mereka pelajari adalah sifat dan arti dari setiap nama. Mereka juga tidak harus mengenal 99 Asmaul Husna sekaligus. Ajari mereka Asmaul Husna secara perlahan.

Cara mengenalkan Asmaul Husna juga tidak hanya dengan menyebutkan bahasa Arab dan artinya dalam bahasa Indonesia. Orang tua perlu menyampaikan nilai yang dapat diambil dari arti tersebut. Cara yang paling mudah dan seru adalah dengan menggunakan activity book seri Asmaul Husna. Salah satu judul activity book seri Asmaul Husna yaitu Alif dan Alika Mengenal Asmaul Husna: Ar-Rahman. Buku yang dilengkapi dengan cerita, ilustrasi, puzzle, dan bahkan wipe and clean membuat belajar Asmaul Husna menjadi lebih seru. Selain itu, melalui cerita dari buku tersebut, anak dapat mengambil nilai dan pesan moral dari setiap nama Allah.

Mengenal Kisah Nabi dan Rasul Islam

Selain mengenal Allah, anak juga perlu mengenal nabi dan rasul Islam seperti Nabi Muhammad Saw. Mengenalkan nabi dan rasul kepada anak sama dengan mengenalkan sejarah Islam dan memberi teladan kepada mereka. Mengenalkan kisah nabi dan rasul itu cukup mudah karena kisah mereka menyenangkan untuk diikuti.

Akan tetapi, orang tua tetap harus menggunakan alat bantu dalam mengenalkan kisah nabi dan rasul. Tujuannya supaya minat anak tidak semakin berkurang. Selain itu, orang tua juga harus bisa memaksimalkan kisah para nabi dan rasul untuk memberikan teladan kepada anak. Jangan sampai anak hanya mengetahui kisah mereka, tapi tidak ada pesan moral yang mereka dapatkan.

Untuk memaksimalkan kesempatan tersebut, orang tua dapat menggunakan buku Kisah Penuh Hikmah para Sahabat Kesayangan Rasulullah dan Kisah Menakjubkan 25 Nabi dan Rasul yang Wajib Diimani. Dengan menggunakan buku sebagai alat bantu, orang tua bisa memaksimalkan aktivitas ini karena terdapat pojok teladan pada setiap akhir cerita. Ditambah lagi, dengan ilustrasi dan bonus video narasi, mengenal kisah para nabi dan rasul akan semakin menarik bagi anak-anak.

Hal terpenting dalam melakukan aktivitas islami adalah membuat aktivitas tersebut tidak membosankan. Dengan begitu, anak akan memiliki motivasi intrinsik untuk melakukannya. Aktivitas islami juga penting untuk dilakukan sejak dini supaya anak dapat tumbuh dengan nilai Islam dan memiliki fondasi Islam yang kuat. Ketiga aktivitas islami di atas juga tidak hanya bisa dilakukan saat Ramadan. Setelah Ramadan, anak-anak masih dapat melakukannya selama orang tua merasa anak masih perlu belajar dari aktivitas tersebut.

puasa menurut bahasa

Orang Berpuasa atau Manusia Puasa

Puasa adalah sebuah istilah yang kita pinjam dari bahasa Sanksekerta, yakni “Upavasa”. Kata “Upa” berarti dekat dan “vas” berarti hidup. Penggabungan dua kata tersebut memiliki makna yang lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, konon menurut para Resi dan Biksu, kata “upavasa” berarti hidup yang terbiasa dekat dengan Sang Pencipta melalui doa dan berpegang teguh dalam hal tersebut. Kalangan spiritualis dulu berpandangan, aktivitas yang menyenangkan fisik jasmani seperti makan, minum serta berhubungan badan sangat bersifat duniawi sehingga dipercaya cenderung menjauhkan atau melupakan kehadiran Sang Pencipta.

Dipergunakannya istilah “Puasa” dalam bahasa Indonesia (bukan Shiyam atauShoum), seperti populernya istilah “sembahyang” ketimbang sholat, menggambarkan bahwa beberapa unsur peradaban nusantara masa lalu masih diterima dalam kosakata kita, negeri yang jumlah umat Islamnya mayoritas. Penggunaan istilah puasa ini juga menjadi bukti bahwa laku berpantang makan minum ini telah berjalan jauh sebelum syariat Shiyam Ramadlan diturunkan kepada Rasulullah saw. Qur`an menegaskan …”diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”…(QS 2:183).

Adapun istilah orisinal yang diperkenalkan Qur`an dalam konteks berpuasa adalah Shiyam dan Shoum. Keduanya dari segi bahasa bermakna “menahan”, namun bila dielaborasi lebih jauh nuansa kedua istilah itu tidaklah identik persis. Shiyam adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seks karena Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Shiyam merupakan aturan administratif ibadah yang harus dijalani selama bulan Ramadlan. Sedangkan istilah Shoum digunakan Qur`an dalam konteks lain. Dalam Qur`an surat Maryam ayat 26, Ibunda Nabi Isa a.s dipesankan Allah untuk melakukan shoum, yakni menahan diri dengan tidak berbicara kepada kaumnya ketika putranya lahir tanpa ayah. Di ayat tersebut kata ‘shoum’ bahkan tidak terkait dengan larangan makan dan minum, karena pada awal ayatnya justru memerintahkan Maryam untuk makan dan minum. Secara bebas, shoum berarti menahan diri untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya berhak dilakukan.

Menariknya, ketika hendak memulai puasa, lafaz ikrar do’a memulai puasa yang populer menggunakan istilah Shoum, itu berarti antara ritual shiyam dan nilai shoum keduanya harus berjalan bersama-sama saling komplementer. Shiyam harus berkonten Shoum. Shiyam tanpa nilai shoum adalah praktik puasa yang muspra. Sebuah hadits Nabi, dikatakan ”Betapa banyak orang yang melakukan SHIYAM namun yang didapatnya hanyalah rasa lapar dan dahaga saja”. Dalam kesempatan lainnya misalnya Nabi mengatakan “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan” Bila shiyam kita jalani selama 29 atau 30 hari di bulan Ramadlan, maka Shoumhendaknya menjadi ahklak yang dapat dijalankan sepanjang masa hidup kita. Shoum berkaitan dengan kecerdasan mental dalam mengendalikan diri.

Dalam term biologi, manusia digolongkan sebagai mahkluk omnivora: bisa makan apa saja. Meski dapat mengkonsumsi apa saja, kita membatasi diri dalam mengkonsumsi jumlah dan jenis suatu makanan, itulah shoum. Kita bisa ngomong apapun, bisa berbicara sebebas-bebasnya, tapi kita mengendalikan diri untuk lebih memilih mengatakan hal-hal yang baik-baik saja dan yang bermanfaat saja, itulah nilai shoum. Bahwa hidup tidak dijalani berdasarkan kebebasan ekstrem dan memperturuti selera saja, tapi membuat batasan-batasan yang baik dan wajar yang harusnya dijalani. Dalam kurikulum Maiyah diajarkan, hidup bukan melulu soal senang tak senang, suka tidak suka, tapi yang terpenting adalah baik atau tidak, benar apa salah.

Mengendalikan Vs Melampiaskan

Dalam suatu acara Maiyah kurang lebihnya Mbah Nun pernah menyampaikan bahwa: “ibadah puasa pada hakikatnya merupakan aturan yang sangat dibutuhkan manusia, tapi aslinya tidak disukai manusia”. Tidak enak itu rasanya menahan lapar, tidak mudah itu menahan dahaga, tidak enak pula kenapa harus diatur-atur bergaul dengan pasangan yang sah, kenapa harus bersahur bangun dini hari, kenapa harus ada batasan-batasan, pengekangan, pagar dan rambu-rambu? Lebih tepatnya, praktik berpuasa itu aslinya tidak disukai oleh kecenderungan syahwat manusia. Diwajibkan puasa Ramadlan itu telah menjelaskan bahwa metode ini pada dasarnya tidak kompatibel dengan syahwat, keinginan daan nafsu. Bila memang secara default sesuatu itu disenangi, maka tanpa disuruh-suruh atau diwajib-wajibkanpun akan dijalani manusia secara suka rela. Buat manusia, “mengendalikan diri jauh lebih sulit ketimbang melampiaskan keinginan” Argument-argumen dari hikayat genealogis, fakta fisiologis, kecendrungan psikologis akan mendukung pandangan ini.

Sejak bayi, anak manusia sudah terbiasa melampiaskan apa yang ia inginkan. Bila ingin makan dan minum anak bayi akan menangis menuntut dipenuhi segera keinginannya secara instant. Dan bayi memang berhak atas itu. Bila sang bayi akan buang hajat, ia akan lakukan kapan saja dimanapun saja, tanpa perlu minta izin. Beranjak kanak-kanak, keinginan itupun semakin berkembang. Lihatlah bagaimana seorang anak akan “setengah memaksa” atau bila perlu merajuk, merengek untuk dibelikan sesuatu yang ia sukai walau sebenarnya tidak ia butuhkan. Orangtua yang memiliki konsep parenting dalam mendidik anak, tentu tidak akan pernah memenuhi segala keinginan anaknya, meski mereka sanggup memenuhinya.

Bercermin dalam hikayat leluhur pun, pelanggaran yang dilakukan nenek moyang manusia, Adam di surga juga berhubungan dengan “ketidakmampuan mengendalikan diri”. Syahdan Adam dan Hawa dahulunya berdiam di surga, dan di sana mereka bebas untuk menikmati apapun fasilitas yang ada di taman syurga kecuali satu saja, “hanya sebuah pohon!”. Larangan yang “hanya satu” itu pun pada akhirnya dilanggar! Pesan moral dari kisah itu menjelaskan bahwa: dasar kelemahan manusia adalah ketidakmampuan mengendalikan diri. Maka kita sebagaimana leluhur kita, juga punya kecenderungan yang sama yakni gampang tergoda. Kita semua punya kemungkinan melanggar larangan Allah, melupakan janji setia kita dahulu dan kemudian akhirnya tergelincir jatuh tidak terhormat. Kita dapat saja terkecoh oleh sesuatu yang sepintas lalu menyenangkan dan menarik, padahal di belakang hari nanti akan membawa malapetaka. Kita semua bani Adam ini punya potensi untuk jatuh tidak terhormat kalau kita tidak tahu batas & tidak bisa menahan diri.

Dan bila merujuk pada sistem anatomi dan fisiologi manusia, lagi-lagi kita akan menemukan simpulan bahwa “pengendalian itu jauh lebih sulit dari pelampiasan”. Mekanisme kontrol tubuh manusia dilakukan oleh sistim syaraf, yang terdiri dua bagian besar yakni syaraf sadar dan syaraf otonom (tidak sadar). Syaraf otonom ini mengontrol dan mengendalikan seluruh mekanisme internal didalam tubuh kita, sejak denyut jantung, gerakan usus atau kandung kemih hingga reflek-reflek penyelamatan diri. Sistem ini dibagi atas dua bagian, syaraf simpatis dan syaraf parasimpatis; yang bekerja secara antagonis. Simpatis bekerja “memacu”, parasimpatis berfungsi “mengendalikan”. Analogi kerja tersebut, mirip-mirip fungsi gas dan rem dalam sebuah kenderaan. Tanpa gas, kenderaan tak mungkin berjalan. Semakin pedal gas ditekan dalam maka laju kecepatan kenderaan semakin tinggi. Namun kenderaan yang berjalan tanpa rem jelas membahayakan penumpang. Faktanya kemudian, tidak seperti syaraf parasimpatis yang semakin menurun kemampuannya sejalan dengan pertambahan usia, syaraf simpatis relatif tetap terpelihara. Dus, karena itu syaraf parasimpatis ini perlu “dilatih” agar ia tetap dapat menyeimbangkan kerja simpatis yang mendorong dan memacu irama kerja tubuh. Kerja simpatis yang berlebihan dan tidak diimbangi, lamban laun segera akan menghancurkan konsitusi kesehatan, menurunkan imunitas dan mempercepat proses penuaan. Ibarat kenderaan yang hanya memiliki pedal gas, sementara remnya blong maka kehancuran dari kenderaan itu mernjadi hal yang tidak terelakkan. Bukti-bukti empiris lainnya masih banyak lagi untuk membuktikan bahwa mengendalikan diri itu jauh lebih sulit dari melampiaskan diri.

Relevan dengan ini, dari madrasah Ramadlanlah kita dapat memperoleh pelatihan-pelatihan untuk self control tersebut lewat BERPUASA. Ramadlan tidak saja disebut sebagai bulan suci, tapi juga bulan yang mensucikan. Kata “Ramadlan” sendiri secara generik bermakna “membakar”. Kita selalu menemukan asosiasi dari kata “membakar” dengan pembersihan atau membentuk suatu yang baru untuk meningkatkan suatu fungsi. Sebagai contoh misalnya, sampah bila dibakar akan bersih, makanan bila dibakar (dioksidasi) akan menghasilkan energi, logam bila dibakar dapat diubah menjadi mesin atau bentuk lainnya seperti pesawat yang memiliki manfaat lebih besar untuk dipergunakan dalam kehidupan. Sebulan di gembeleng dalam institusi ramadhan, kita dilatih untuk mengontrol diri ini, dididik menahan keinginan untuk dapat menanamkan nilai-nilai shoum dalam dimensi yang lebih luas dan komprehensif.

Mbah Nun pernah mengungkapkan ilustrasi betapa uniknya ibadah puasa ini dibandingkan model-model ibadah lainnya dalam hal relasi kita dengan dunia. Jika dalam sholat kita menginterupsi dunia sejenak- saat takbiratul ihram kita memutus matarantai komunikasi sosial untuk fokus beraudiensi dengan sang Pencipta. Interupsi itu kemudian berakhir saat kita mengucapkan salam ke kanan dan kekiri, menegaskan bahwa kita siap membawa pesan damai ke seluruh lingkungan kita. Jika melakukan zakat, dunia malah kita cari, agar sebagian perbendaharaannya nanti bisa kita distribusikan kepada saudara-saudara kita yang berhak menerimanya. Sementara ketika berhaji, kita sudah talak tiga dengan dunia. Kita tinggalkan kampung halaman sanak famili handai tolan, dengan berbekal kain putih sederhana tak berjahit kita sambut panggilan ilahi pergi ke tanah suci menyeru labbaik allahuma labbaik tanpa atribut duniawi apapun. Namun ketika berpuasa, dunia tidak kemana-mana melainkan ada dihadapan kita, NAMUN KITA TIDAK DIPERKENANKAN UNTUK MENYENTUHNYA. Pesan moralnya adalah apabila suatu ketika dunia datang dengan segala glamour kemilaunya menggoda prinsip-prinsip hidup dan idealisme kita, puasa telah menanamkan pada diri kita sebuah imunitas, ketangguhan mental dalam mengendalikan diri terhadap segala godaan dunia.

Kurikulum pendidikan Shiyam Ramadlan dalam 3 jenjang

Selama sebulan atau tiga puluh hari berpuasa ini, para ulama sering membagi puasa menjadi 3 bagian dalam rentang per-10 hari-an, yang memiliki titik tekan dan pencapainnya masing-masing. 10 hari pertama adalah masa adaptasi secara fisik, yakni jenjang puasa jasmani (berdimensi fisik). Inilah periode saat beradaptasi terhadap irama jadwal makan yang baru saat sahur dan waktu berbuka, juga penyesuaian dalam konteks mengurangi jumlah asupan makanan. Demikian pula ada adaptasi biologis terhadap irama tidur. Periode ini mewakili fase pendisiplinan terhadap fisik jasmani kita.

Dalam dunia kesehatan, kini telah terbukti luas manfaat puasa bagi kesehatan jasmani. Penelitian terbaru misalnya, Prof.Dr.Noboru Mizushima dari Tokyo Medical University mengatakan “orang yang menjalani proses kelangkaan makanan, ia telah memfasilitasi mekanisme daur ulang bagi sel-sel didalam tubuhnya untuk menyapu sel-sel yang aus dan rusak. Dalam tinjauan biokimiawi terbaru, berpuasa itu mengaktifkan proses autofag seluler (pencernaan sampah dalam sel) & apoptosys, mengakibatkan terjadi proses detoksifikasi dengan membersihkan sampah-sampah seluler (zombie sel).”. segudang fakta klinis lain yang akan panjang lebar untuk membahas hikmah puasa dari kesehatan ini. Dan bukankah Rasulullah saw sendiri juga mengatakan secara eksplisit “Berpuasalah niscaya kamu sehat”.

Pada 10 hari kedua, diharapkan kita naik kelas masuk pada fase jenjang puasa nafsani (berdimensi psikologis). Di fase ini kita melatih kedisiplinan diri khususnya dari segi mental kejiwaan. Dari segi psikologis, puasa tentu tidak sekedar menahan makan dan minum atau sekedar persyaratan sah secara fiqih saja. Namun puasa harus disertai peningkatan pemahaman tentang apa yang sesungguhnya harus kita tahan selama kita menjalani ibadah shiyam ini. Nabi saw menjelaskan keharusan yang semestinya dijalani melebihi sekedar makan minum dalam berpuasa ini dengan mengatakan “Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Tetapi puasa adalah menahan diri dari lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya ‘Aku sedang berpuasa, sedang puasa””. Mengontrol emosi, meninggalkan perbuatan yang tidak produktif, menjauhi aktivitas yang tidak menambah nilai kemanusiaan, meninggalkan perbuatan-perbuatan negatif lainnya seperti : dusta- perilaku kasar agresif- bergihibah- berdusta- mengumpat- berkata-kata kosong dsb.

Puasa yang tidak memberi dampak terhadap fisik dan kejiwaan, hanyalah puasa yang ibaratnya hanya mengubah jadwal makan minum & istirahat saja. Kini popular istilah sinisme dalam dunia politik :”kampret vs cebong”. Saya tergoda untuk merenungkan, bagaimana bila fenomena istilah cebong-kampret ini bukan sekadar meme sarkastik politik? Bagaimana jika ini sebuah pertanda isyarat atau amsal zaman? Yang jelas menjadi cebong dan kampret di dunia hewan adalah suratan Ilahi, itu merupakan kemuliaan bagi mereka. Tapi berlaku seperti cebong atau kampret, atau mengatribusikan percebongan dan perkampretan pada manusia adalah pelecehan terhadap kemanusiaan.

Dalam kaitan dengan puasa, hindarilah “model puasa kampret dan cebong”. Kampret berpuasa pada siang hari, namun justru “berpesta pora” divmalam hari. Manusia adalah makhuk diurnal bukan species nokturnal seperti kampret. Sistem pencernaan manusia secara fisiologis dirancang untuk mengkonsumsi secara baik bagi kesehatannya pada siang hari bukan pada malam hari. Jadi berpuasa disiang hari dan melampiaskan konsumsi dimalam hari adalah seperti pola kampret yang nokturnal.

Lalu bagaimana pula model puasa yang dijalani kecebong? Ternyata menurut literatur, kecebong yang aslinya mahkluk herbivora ketika mengalami krisis makanan berubah tabiatnya menjadi pemakan segalanya bahkan bersifat kanibalis (memangsa saudaranya sendiri) Ramadlan-lah saatnya kita kembalikan marwah dan kehormatan manusia dengan tidak melabel pada sesame saudara-saudara kita dengan gelar-gelar yang tidak simpatik yang menurunkan derajat kemanusiaan.

Dan pada 10 hari ketiga terakhir, diharapkan kita akan sampai pada level yang bersifat Rabbany (level spiritual), yakni perolehan prestasi secara ruhani. Dengan mujahadah (berjuang sungguh-sungguh) kita berharap meraih pencapaian prestasi ruhani itu seperti yang disimbolkan dalam pertemuan dengan Laylat al-Qadr. Laylat al-Qadr sendiri digambarkan sebagai malam yang mampu “melipat ruang dan waktu secara quantum” yang analog dengan waktu bernilai lebih baik dari 1000 bulan. Tentunya bagi yang mendambakan ampunan Ilahi, limpahan pahala dan kesempatan melipatgandakan kebaikan, dan merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, malam Laylatul Al-Qadr merupakan moment yang sangat istimewa dan ditunggu-tunggu..

Bila kita mampu melampaui tiga jenjang hirarki dalam per-sepuluhan disaat Puasa maka diharapkan saat memasuki satu Syawal kita akan terlahir kembali menjadi manusia atau disebut menjemput kembali fitrah asli kemanusiaan kita. Jika Ramadlan bermakna “membakar”, maka Syawal secara generik artinya “meningkat”. Diharapkan memasuki bulan Syawal terjadi peningkatan kwalitas diri, penambahan bobot kepribadian bukan peningkatan berat badan. Hidup harus dijalani secara progresif berubah hari demi hari waktu demi waktu menuju perbaikan. Orang beriman pantang berprinsip “aku masih seperti yang dulu”. Para muballigh sering membuat perumpamaan, jika pada Bulan Sya’ban kita masih seperti ulat yang rakus dan menjijikkan maka memasuki Ramadlan kita di gembleng-ditatar-dididik dengan institusi Ramadlan untuk menjadi kepompong, hingga pada akhirnya memasuki bulan Syawal kita laksana menjadi kupu-kupu yang berpenampilan indah dan membawa kemanfaatan bagi kehidupan.

Dan sesungguhnya, nilai puasa (shoum) sebenarnya baru akan teruji dan dimulai justru ketika Ramadlan berakhir.

Wallahu’alam bi al shawab.

Sangatta, 12 Mei 2019


Artikel ini ditulis oleh dr. Ade Hahsman, Sp. An. dan pertama kali dipublikasikan di https://www.caknun.com/2019/orang-berpuasa-atau-manusia-puasa/

© Copyright - Bentang Pustaka