Tag Archive for: ngaji fikih

Perbedaan Pandang Hukum Islam itu Hal yang Wajar, Gausah Ribut!

Sobat Bentang pasti pernah bingung melihat ustaz A bilang haram tapi ustaz C bilang boleh? Temen A shalat pakai qunut sedangkan temen B ngga pakai. Belum lagi melihat perdebatan perihal perbedaan pandang hukum Islam yang sering terjadi di media sosial atau anggapan bahwa aturan-aturan agama Islam yang tidak sesuai dengan masyarakat modern. Perbedaan dan perbedaan penerapan hukum Islam tidak hanya terjadi di zaman sekarang, melainkan juga saat zaman kepemimpinan Rasulullah saw dan juga para sahabat.

Photo by Alena Darmel: https://www.pexels.com/photo/books-on-brown-wooden-shelves-8164399/

Mengapa perbedaan hukum Islam menjadi hal yang wajar dalam Islam?

Perbedaan penerapan hukum Islam di Indonesia saja ada perbedaan. Ternyata perbedaan itu memang sudah ada sejak zaman nabi hingga sahabat nabi (masa Khulafaur Rasyidin). Perbedaan pandangan perihal aturan Islam itu sering bahkan biasa terjadi. Jika di antara para sahabat Rasulullah saw terjadi perbedaan pandangan, justru itu adalah hal baik karena kita mengalami dan memiliki berbagai opsi alternatif dalam memilih pendapat mereka. 

Misalnya, pada kasus perempuan yang belum selesai masa iddah (masa perempuan yang telah menikah kemudian ditalak dan harus mengalami masa penantian) tetapi sudah menikah lagi dengan lelaki lain. Umar bin Khaththab membatalkan pernikahan tersebut dan memutuskan bahwa lelaki haram menikahi perempuan tersebut. Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib yang menyangkal haramnya lelaki tersebut untuk menikahi perempuan. Menurutnya, setelah masa iddah lelaki tersebut boleh menikahi sang perempuan (Al Fikr Al Sami, 2/47).

Hukum Islam yang Tekstual dan Kontekstual

Sumber hukum Islam ada empat, tak hanya berasal dari Al-Qur’an dan hadis, melainkan juga ada ijma’ dan qiyas. Memahami Islam tidak hanya cukup melalui tekstual ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, tetapi juga harus memahami dan menyesuaikan dengan konteks. Memahami teks dan konteks merupakan upaya mempertahankan nilai lama yang masih relevan dan terus membuka diri untuk menerima ide dan gagasan baru yang lebih baik. Karena bagaimana pun fikih atau dalam ini penetapan hukum islam sebagai aturan dan ajaran Islam ada untuk kemaslahatan umat manusia.

Baca Juga: Resep Kepemimpinan Ala Rasulullah, Pemimpinmu Seperti Ini, Nggak?

Mudah Mengkafirkan Orang Lain Hanya Karena Berbeda Pandang Hukum Islam

Perdebatan yang terjadi akibat berbeda pandang mengenai hukum, aturan, dan ajaran Islam sering terjadi. Namun, sesuai salah satu judul bab dalam buku Ngaji Fikih, Berbeda itu Tidak Berarti Bermusuhan. Dalam bab tersebut Nadirsyah Hosem (Gus Nadir) sebagai penulis pun bertanya-tanya, “Kenapa kita lebih suka mengambil wewenang Allah ketimbang menjalankan tugas kita sebagai manusia?” Karena sering dan banyaknya manusia yang menganggap dirinya maha benar dan maha adil.

Sobat Bentang pernah merasa bingung, pusing dengan segala aturan atau ajaran agama Islam? Tetapi di sisi lain ingin mendalami segala aturan dan ajaran-Nya? Buku Ngaji Fikih karya Nadirsyah Hosen bisa jadi buku dialog yang dapat mengantarkan Sobat Bentang untuk memahami fikih yang tak hanya secara tekstual tapi juga aplikatif dan kontekstual. 

Buku Ngaji Fikih karya Gus Nadir ini merupakan hasil observasi dan dialog bersama ayahnya. Ayah Gus Nadir pernah menjabat sebagai ketua MUI sejak tahun 1981-2000 sekaligus pendiri Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jakarta, Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L. Buku Ngaji Fikih tersedia dalam cover baru, lho! Penasaran? Atau pingin langsung punya? Bisa mampir ke Shopee Bentang Official Shop, ya!

Ternyata Fikih itu Engga Sekedar Halal dan Haram, Penasaran?

Apa yang terlintas dalam pikiran Sobat Bentang ketika mendengar kata “Fikih”?. Fatwa ulama yang berkaitan dengan najis atau suci atau soal halal dan haram?. Sebagai sebuah ilmu, Fikih bisa dipelajari. Belajar atau ngaji Fikih itu bukan sekedar halal atau haram, suci atau najis. Namun, juga masalah bagaimana caranya memahami petunjuk yang ada dalam Qur’an dan hadis, memahami pandangan ulama dan mengaplikasikannya dalam konteks kehidupan manusia saat ini. 

 

Kalau kata Gus Nadir, dalam buku Ngaji Fikih, “Memahami Fikih memang membutuhkan pemahaman tekstual (Al-Qur’an dan hadis) tapi harus diimbangi dengan aplikasi yang kontekstual.”

Apa yang dimaksud dengan Fikih?

Fikih adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nas yang zhanni. Nas zhanni adalah ayat Al-Qur’an yang lafalnya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Contoh ayat QS Al-Baqarah: 228 yang terbuka untuk ditafsirkan perihal menyentuh wanita dalam keadaan wudhu. Kata “aw lamastumun nisa” dalam ayat tersebut terbuka untuk ditafsirkan. Berbeda dengan nas qathi di mana ayat yang lafalnya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Contohnya, ayat yang berkaitan dengan kewajiban shalat. Kewajiban shalat itu tidaklah dapat disangkal lagi.

 

Dalil Fikih tak hanya berdasar pada ayat Al-Qur’an dan Hadis. Namun, ada  juga ijma’ yakni keputusan para ulama dalam menetapkan hukum dan qiyas yakni olah pikir ulama menggunakan metode analogi. 

Fikih membuka ruang perbedaan pendapat

Karena metodenya tidak hanya berasal dari Qur’an dan hadis tapi juga ada ijma’ dan juga qiyas. Kajian Fikih membuka ruang perbedaan pendapat dan diskusi. Dalam buku Ngaji Fikih, terdapat penjelasan mengapa ulama sering berbeda pendapat. Bahkan kalau Sobat Bentang mengamati kisah para sahabat Nabi pun, mereka sering berbeda pendapat dalam memandang suatu kejadian atau masalah. 

 

Beberapa hal yang diurai dalam buku ngaji Fikih mengenai perbedaan pendapat para ulama adalah. Pertama, karena faktor perbedaan dalam memahami Al-Qur’an. Kedua, berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadis. Dan ketiga, perbedaan dalam metode ijtihad. Walaupun berbeda pendapat tapi satu yang harus dipahami, yakni ukhwah (persaudaraan) harus tetap terjaga. Itulah sebabnya, Fikih di setiap negara berbeda-beda, karena menyesuaikan dengan mahzab yang dianut dan konteks masyarakat yang ada. 

Beragama jadi lebih mudah karena Fikih

Kalau sedang dalam perjalanan jauh dan tidak memungkinkan untuk beribadah shalat. Dalam Islam diperbolehkan untuk meng-qashar shalat bagi musafir (sebutan kepada seseorang yang sedang dalam perjalanan jauh). Dalam pemikiran banyak orang yang menganggap aturan agama Islam itu ribet, Islam justru membuat hidup mudah. Kalau kata Gus Nadir dalam buku Ngaji Fikih, “Banyak yang mengeluh mengapa hidupnya terasa sulit. Mungkin karena kita sendiri yang bikin orang lain susah. Gara-gara kita hidup mereka jadi susah. Cobalah permudah hidup orang lain!”.

 

Islam memiliki tujuh prinsip kemudahan. Selain punya prinsip yang memudahkan para penganutnya, Islam menerapkan aturannya dengan bertahap sambil mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana hukum itu akan diterapkan. Misalnya, penerapan hukum atas khamar yang tidak langsung diputuskan aturan haram!. Namun, secara bertahap alias berangsur-angsur. 

 

Sobat Bentang yang ingin mengimbangi pemahaman agama dan spiritualitasnya dengan belajar Fikih. Namun dengan pembahasan dan bahasa yang engga berat-berat atau yang kaku-kaku amat, buku Ngaji Fikih adalah jawabannya. Engga hanya membahas hukum-hukum agama yang lalu, Ngaji Fikih juga menyajikan permasalahan manusia zaman now dan bagaimana solusi dari perspektif Islam. Buku ini juga mengajak kita untuk berkaca pada cara Rasulullah dan sahabat menyelesaikan masalah agama yang disesuaikan dengan konteks. Misalnya soal vaksin yang saat pandemi lalu sempat dikabarkan haram!. 

Biar Sobat Bentang engga terjebak pada fatwa atau aturan-aturan agama yang instan dan mudah menghakimi orang lain. Buku Ngaji Fikih bisa jadi teman perjalanan Sobat Bentang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan ketenangan hati, asyek. Bisa langsung check out di Shopee Official Bentang Shop, Sobat Bentang!

mutawatir ijmak qathi

Ngaji Fikih: Mutawatir, Ijmak, dan Qathi Al-Dalalah

Lazim diketahui bahwa hukum Islam mengandung aspek absolut di satu sisi dan aspek relatif di sisi lain. Keabsolutan syariah Islam biasanya berasal dari konsep mutawatir, ijmak, dan qathi al-dalalah. Diskusi dan perdebatan berhenti seketika saat diketahui bahwa topik yang dibahas merupakan ruang lingkup salah satu dari tiga konsep tersebut. Ketiga konsep ini telah berhasil “menjaga gawang” akidah dan syariah umat Islam selama berabad-abad. Ijtihad dinyatakan tidak berlaku terhadap persoalan yang ternyata didukung oleh salah satu dari ketiga hal tersebut.

Kali ini kita mencoba untuk membuktikan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan seputar ketiga konsep di atas. Catatan singkat ini hendak menunjukkan bahwa ketiga konsep itu lahir dari pemahaman ulama dan karenanya mengandung perbedaan pendapat; dan perbedaan pendapat tentu saja berpijak pada sisi relativisme ajaran Islam ketimbang sisi absolutnya. Dengan pendekatan lintas mazhab, satu per satu ketiga konsep tersebut akan di-“bongkar” atau dilakukan dekonstruksi terhadap keabsolutan ketiganya.

Pengertian Mutawatir, Ijmak, dan Qathi Al-Dalalah

mutawatir ijmak qathi

Penjelasan Mutawatir, Qathi Al-Dalalah, dan Ijmak,

Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir bermakna ‘banyak, terkenal atau umum’. Istilah mutawatir biasanya digunakan dalam konteks periwayatan. Tidak heran kalau istilah ini paling sering digunakan oleh ulama hadis, khususnya ketika bicara mengenai Hadis Mutawatir.

Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat hadis sampai kepada Rasulullah Saw.), yang secara logika dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para periwayat itu mustahil bersepakat untuk berdusta [Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, “Usul al-Hadis:’ulumuh wa musthalahuh”, h. 301]. Ulama ushul al-fiqh menggunakan istilah mutawatir untuk “khabar yang disampaikan oleh banyak orang yang dengan sendirinya memberi suatu keyakinan/kepastian” [Muhammad Baqir al-Shadr, “Durus fi ‘Ilm al-Usul”, juz 1, h. 197].

Jikalau kita cermati definisi di atas maka kata kuncinya adalah pada kata “banyak orang”. Persoalannya, berapa orang yang bisa dianggap memenuhi kata “banyak” tersebut? Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah minimalnya adalah empat orang dengan meng-qiyas-kan kepada jumlah saksi yang diperlukan dalam satu perkara (misalnya tuduhan zina). Ada pula yang mengatakan jumlah minimalnya adalah sepuluh karena bilangan itu merupakan jumlah minimal jam’ al-kasrah (kelompok yang banyak). Di samping itu, ada pula ulama yang mengatakan bahwa jumlah minimalnya 20 orang, 40 orang, dan 70 orang; bahkan ada yang menetapkan lebih dari itu [Lihat Muhammad Taqi al-Hakim, “al-Usul al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqarin,” h. 195; Mahmud al-Tahhan, “Taysir Mustalah al-Hadis”, h. 19]. Perbedaan ini terjadi karena tidak ada nash yang mengatur soal ini secara tegas.

Persoalan dan Konsekuensi Logis

Konsekuensi logis dari perdebatan ini adalah adanya sebuah hadis yang dinilai mutawatir oleh sebagian ulama―sesuai kriteria yang mereka tetapkan―tetapi boleh jadi dipandang tidak mutawatir oleh ulama lain, yang memiliki kriteria berbeda dalam menentukan mutawatir atau tidaknya suatu riwayat. Contohnya adalah hadis mengenai rukun iman dan rukun Islam yang terdapat dalam Shahih Muslim (Hadis nomor 9), juga diriwayatkan dalam Sunan al-Nasa’i, kitab al-Iman wa Syara`i’ih, HN: 4,904; Sunan Ibn Majah, kitab al-Muqaddimah, HN: 62; Musnad al-Imam Ahmad, kitab Baqi Musnad al-Muksirin, HN: 8,765. Hadis ini diriwayatkan oleh delapan sahabat. Tentu saja bagi yang berpendapat bahwa empat orang saja sudah memenuhi kriteria mutawatir, hadis ini dipandang mutawatir. Namun, tidak demikian halnya dengan yang berpendapat 10, 20, atau bahkan harus 70 orang.

Ada persoalan lain yang juga diperselisihkan para ulama (mukhtalaf fih) yang menambah keyakinan kita bahwa meskipun hadis mutawatir bernilai qat’i al-tsubut, tetapi ternyata tidak “mutawatir” dalam hal kriteria menentukan ke-mutawatir-an suatu riwayat. Persoalan dimaksud adalah apakah periwayat yang banyak itu tidak hanya berasal dari satu kaum atau satu negeri, tetapi dari berbagai kaum atau berbagai negeri? Apakah periwayat yang banyak itu terdiri atas orang Islam yang adil dan dapat diterima kesaksiannya? Para ulama berdebat panjang dalam persoalan-persoalan ini.

Ijmak

Dalam Islam tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Yang ada adalah sebuah hadis senada yang menyebutkan bahwa tidak mungkin umatku bersepakat pada kesesatan atau kesalahan (Sunan Ibn Majah, Hadis Nomor 3940). Sepeninggal Nabi Muhammad Saw.―yang dipercaya sebagai tokoh yang ma’shum, tanpa kesalahan―umat Islam hanya bisa mencapai derajat ma’shum lewat kesepakatan total di antara mereka. Inilah yang kemudian melahirkan doktrin Ijmak dalam struktur hukum Islam. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa umat Islam sendiri memiliki perbedaan pendapat soal kesepakatan ini sampai pada hal yang sangat teknis. Walhasil, tidak dicapai Ijmak (kesepakatan) dalam merumuskan apa itu Ijmak [‘Ali ‘Abd al-Raziq, al-Ijma’ fi al-Syari’ah al-Islamyah, h. 6].

Ijmak―menurut satu definisi―adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad Saw. pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw., terhadap suatu hukum syara’. Definisi ini ditolak oleh ulama lain.

Qathi Al-Dalalah

Al-Qur’an dari sisi altsubut-nya telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai qathi. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini; bahkan diyakini bahwa hal ini telah memasuki lapangan teologi, artinya pengingkaran qathi al-tsubut-nya Al-Qur’an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat Al-Qur’an ada yang qathi dan ada pula yang zanni. Begitu pula halnya dengan hadis, ada yang mengandung muatan qathi al-dalalah dan ada pula yang zanni al-dalalah. Pada bagian qathi al-dalalah inilah uraian di bawah ini terfokus.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, nash Al-Qur’an dan hadis yang bersifat qathi al-dalalah merupakan nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut. [Abdul Wahhab Khallaf, “Ilm Usul al-Fiqh”, h. 35; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, “Usul al-Fiqh al-Islami,” juz 1, h. 441] Contohnya adalah ketentuan jilid seratus kali bagi pezina (QS 24:2). Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan ta’wil dan atau pemahaman lain. Dengan demikian, ayat ini bersifat qat’i al-dalalah.

Baca juga: Tiga Buku Gus Nadir tentang Seri Belajar Islam yang Wajib Dibaca

Lalu bagaimana kita memberi batasan atau kriteria suatu nash itu qathi al-dalalah atau sebaliknya, zanni al-dalalah? Ada ulama yang menyusun sepuluh kriteria, yaitu diriwayatkan secara mutawatir, tidak mengandung al-majaz (kiasan), al-isytira’ (mengandung dua makna), al-naql, al-idhmar (samar/tersembunyi), al-taqdim, al-ta’khir, al-nasakh, al-takhshish, dan ta’arud al-aqli [M. Abu Nur Zuhair, “Mudzakarah fi Usul al-Fiqh li Ghair al-Ahnaf”, juz 1, h. 28-29].

Sedikit berbeda dengan kriteria di atas adalah yang dikemukakan oleh al-Syatibi: naql lughat (transfusi bahasa), al-nahw (gramatika) wa ‘adam al-Isytirak, ‘adam al-majaz, naql al-syar’i aw al-‘adi, al-idhmar, al-takhshish li al-‘umum, al-taqyid li al-muthlaq, ‘adam al-nasikh, al-taqdim wa al-ta’khir dan terakhir, al-ma’aridh al-‘aqli. [al-Syatibi, “al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam”, jilid 1, h. 35-36].

Mengenal Lebih Lanjut tentang Qathi Al-Dalalah

Dari keterangan di atas, kriteria qathi al-dalalah itu bisa disederhanakan dengan: pertama, adanya problematika bahasa (susunan kalimat yang diawalkan atau diakhirkan, perbedaan gramatika, kiasan, mengandung makna ganda, dan lainnya); kedua, adanya kondisi tambahan semisal takhshish, taqyid, ataupun nasik-mansukh; dan ketiga, adanya indikasi bertentangan dengan nalar atau akal.

Dari pembahasan di atas, kalau kita mau jujur, tentu amatlah sulit untuk mencari teks atau lafaz Al-Qur’an dan hadis yang mencapai derajat qathi al-dalalah. Sebagai contoh, sering kali umat Islam mengatakan kewajiban shalat lima waktu secara qat’i diraih melalui ayat “aqim al-shalat” yang mengandung lafaz amr (perintah). Padahal, lafaz amr itu tidak semuanya bermakna qat’i; adakalanya amr itu mengandung makna mubah dan sunah. Jadi, dari sisi dalalah dan kriteria di atas, lafaz “aqim al-shalat” tidaklah qathi. [Perdebatan para ulama soal makna dasar amr itu (al-ashlu fi al-amri.) bisa dilihat, salah satunya, dalam Ibn al-Najjar, “Syarh al-Kawkab al-Munir”, khususnya jilid ketiga].

Al-Syatibi memberi solusi terhadap persoalan ini. Kesepuluh premis yang diajukannya juga menghasilkan kesulitan untuk mencapai derajat qathi al-dalalah. Untuk itu beliau mengajukan konsep “mutawatir maknawi”, yakni sekumpulan ayat yang zanni tentang suatu tema (shalat, misalnya) saling membantu dan menguatkan akan kewajiban shalat. Ketika ayat-ayat tentang shalat dikumpulkan, ternyata tidak satu pun yang mengindikasikan ketidakwajiban shalat. Dengan demikian, kewajiban shalat bersifat qathi. Jika hanya mengandalkan satu ayat maka hasilnya adalah zanni, tetapi karena dibantu oleh sekumpulan ayat senada maka ia menjadi semacam “mutawatir maknawi”.

Bahasan serupa di atas dapat kalian temukan di mizanstore.com dan berkenaan dengan program Best Writer Best Deal, setiap pembelian buku berhak mendapatkan diskon 25% berlaku untuk semua buku Gus Nadir.

Sumber:

Buku Ngaji Fikih

Bagaimana Memahami Konsep Mutawatir, Ijma’ dan Qat’i Al-Dalalah

Bagaimana Buku Ngaji Fikih Diciptakan?

Bagi pembaca setia buku Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), pasti tak asing dengan buku-buku beliau sebelumnya seperti Tafsir Al-Quran di Medsos dan Saring Sebelum Sharing. Tak lama lagi, buku ketiga beliau akan terbit, yakni Ngaji Fikih, merupakan representasi dari kajian fikih yang selama ini Gus Nadir pelajari dari sang abah, Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L. Abah Ibrahim Hosen merupakan seorang ahli fikih ternama di Indonesia, bahkan kepiawaiannya dalam menentukan hukum fikih membawa beliau menjadi salah seorang pengurus Komisi Bidang Fatwa di Majelis Ulama Indonesia pada 1980 hingga 2000. Sementara itu, Gus Nadir sendiri merupakan Rais Syuriah PCI Nadhlatul Ulama Australia dan New Zealand, serta dosen tetap di Monash Law School di Monash University, Australia. Duet bapak-anak dalam bidang fikih ini dinilai cukup penting karena selain menjadi tonggak dalam sepak terjang kepenulisan hukum seputar fikih di Indonesia, juga memetik sebuah hikmah―bagaimana sebuah ilmu (khususnya ilmu agama) dapat diwariskan dari orang tua kepada anaknya. Sungguh betapa mulianya hakikat mencari ilmu tersebut.

Gus Nadir yang merupakan lulusan santri pondok, banyak menerjemahkan berbagai kitab-kitab yang diciptakan oleh para perawi, tabi’in, hingga ulama, kemudian mengemasnya ke dalam bentuk bacaan yang disesuaikan oleh pembaca zaman sekarang, khususnya para pengguna medsos, yang cenderung lebih tertarik pada hal-hal yang ringkas serta mudah diaplikasikan.

Selain itu, Gus Nadir juga memiliki misi mulia dalam menerbitkan buku Ngaji Fikih ini. Buku yang diharapkan dapat menjadi pelengkap dari dua karya besar beliau sebelumnya dalam mewarnai khazanah Islam yang rahmatan lil ‘alamin, khususnya di Indonesia. Jika buku Tafsir Al-Quran di Medsos merupakan bentuk kajian Al-Quran yang dibahas secara mendalam dengan konteks kekinian, lalu buku Saring Sebelum Sharing sebagai bentuk kajian beberapa hadis sahih maka buku Ngaji Fikih menjadi pelengkap atas kajian ilmu fikih yang tentu tak bisa dilepaskan dari penerapan hukum-hukum Islam itu sendiri.

Ushul Fiqh atau ilmu fikih adalah cabang hukum Islam yang mempelajari teori serta sumber Islam dalam rangka menghasilkan hukum-hukum agama yang sejalan dengan prinsipnya, serta baik bagi kemaslahatan umat. Jika hukum-hukum yang berasal dari Al-Quran dan hadis disebut syariat maka hukum-hukum yang berasal dari ijmak, qiyas, serta sumber lainnya disebut fikih. Dan ilmu fikih inilah yang justru melibatkan banyak pendapat para ulama dari masing-masing mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), sebelum kemudian diputuskan menjadi sebuah ketetapan hukum.

Proses perumusan hukum fikih yang melalui diskursus panjang, juga memuat berbagai hikmah, salah satunya adalah bagaimana sikap tawaduk senantiasa dimiliki para sahabat serta ulama dalam mengkaji, berpendapat, hingga memutuskan satu perkara yang melibatkan kepentingan khalayak tersebut.

Maka, melalui buku ini, Gus Nadir tak hanya menyajikan prinsip hukum fikih dan cara memutuskan perkara yang benar, tetapi juga mengulas sejarah hukum fikih, bagaimana ilmu fikih bekerja, hingga pertanyaan-pertanyaan hukum Islam yang diajukan warganet pada era Milenial ini, yang tentu disusun secara tekstual agar dapat dipraktikkan secara kontekstual.

Semuanya dijawab secara tuntas oleh Gus Nadir, bahkan disampaikan secara santai tanpa mengurangi nilai serta hakikat mencari ilmu agama yang selama ini menjadi modal berkembangnya Islam di dunia. Ini menjadi penting karena jarang sekali ulama fikih yang membahas hukum-hukum melalui teknik pendekatan khususnya kepada para Milenial.

Apalagi ilmu fikih yang disampaikan oleh Gus Nadir ini juga berasal dari sumber kitab-kitab fikih yang justru belum banyak diketahui orang sebelumnya sehingga menjadi nilai tambah, sekaligus kemudahan bagi pembaca dalam memahami konteks dan isinya.

Gus Nadir yang juga seorang akademisi berharap besar melalui buku ini agar para pembaca dapat memilih “guru ngaji” yang tepat pada era media sosial ini. Juga pembaca tak sampai tersesat dalam memahami hukum fikih dan hukum syariat yang sebenarnya karena sejatinya Islam adalah agama yang memudahkan.

© Copyright - Bentang Pustaka