Perbedaan Pandang Hukum Islam itu Hal yang Wajar, Gausah Ribut!

Sobat Bentang pasti pernah bingung melihat ustaz A bilang haram tapi ustaz C bilang boleh? Temen A shalat pakai qunut sedangkan temen B ngga pakai. Belum lagi melihat perdebatan perihal perbedaan pandang hukum Islam yang sering terjadi di media sosial atau anggapan bahwa aturan-aturan agama Islam yang tidak sesuai dengan masyarakat modern. Perbedaan dan perbedaan penerapan hukum Islam tidak hanya terjadi di zaman sekarang, melainkan juga saat zaman kepemimpinan Rasulullah saw dan juga para sahabat.

Photo by Alena Darmel: https://www.pexels.com/photo/books-on-brown-wooden-shelves-8164399/

Mengapa perbedaan hukum Islam menjadi hal yang wajar dalam Islam?

Perbedaan penerapan hukum Islam di Indonesia saja ada perbedaan. Ternyata perbedaan itu memang sudah ada sejak zaman nabi hingga sahabat nabi (masa Khulafaur Rasyidin). Perbedaan pandangan perihal aturan Islam itu sering bahkan biasa terjadi. Jika di antara para sahabat Rasulullah saw terjadi perbedaan pandangan, justru itu adalah hal baik karena kita mengalami dan memiliki berbagai opsi alternatif dalam memilih pendapat mereka. 

Misalnya, pada kasus perempuan yang belum selesai masa iddah (masa perempuan yang telah menikah kemudian ditalak dan harus mengalami masa penantian) tetapi sudah menikah lagi dengan lelaki lain. Umar bin Khaththab membatalkan pernikahan tersebut dan memutuskan bahwa lelaki haram menikahi perempuan tersebut. Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib yang menyangkal haramnya lelaki tersebut untuk menikahi perempuan. Menurutnya, setelah masa iddah lelaki tersebut boleh menikahi sang perempuan (Al Fikr Al Sami, 2/47).

Hukum Islam yang Tekstual dan Kontekstual

Sumber hukum Islam ada empat, tak hanya berasal dari Al-Qur’an dan hadis, melainkan juga ada ijma’ dan qiyas. Memahami Islam tidak hanya cukup melalui tekstual ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, tetapi juga harus memahami dan menyesuaikan dengan konteks. Memahami teks dan konteks merupakan upaya mempertahankan nilai lama yang masih relevan dan terus membuka diri untuk menerima ide dan gagasan baru yang lebih baik. Karena bagaimana pun fikih atau dalam ini penetapan hukum islam sebagai aturan dan ajaran Islam ada untuk kemaslahatan umat manusia.

Baca Juga: Resep Kepemimpinan Ala Rasulullah, Pemimpinmu Seperti Ini, Nggak?

Mudah Mengkafirkan Orang Lain Hanya Karena Berbeda Pandang Hukum Islam

Perdebatan yang terjadi akibat berbeda pandang mengenai hukum, aturan, dan ajaran Islam sering terjadi. Namun, sesuai salah satu judul bab dalam buku Ngaji Fikih, Berbeda itu Tidak Berarti Bermusuhan. Dalam bab tersebut Nadirsyah Hosem (Gus Nadir) sebagai penulis pun bertanya-tanya, “Kenapa kita lebih suka mengambil wewenang Allah ketimbang menjalankan tugas kita sebagai manusia?” Karena sering dan banyaknya manusia yang menganggap dirinya maha benar dan maha adil.

Sobat Bentang pernah merasa bingung, pusing dengan segala aturan atau ajaran agama Islam? Tetapi di sisi lain ingin mendalami segala aturan dan ajaran-Nya? Buku Ngaji Fikih karya Nadirsyah Hosen bisa jadi buku dialog yang dapat mengantarkan Sobat Bentang untuk memahami fikih yang tak hanya secara tekstual tapi juga aplikatif dan kontekstual. 

Buku Ngaji Fikih karya Gus Nadir ini merupakan hasil observasi dan dialog bersama ayahnya. Ayah Gus Nadir pernah menjabat sebagai ketua MUI sejak tahun 1981-2000 sekaligus pendiri Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jakarta, Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L. Buku Ngaji Fikih tersedia dalam cover baru, lho! Penasaran? Atau pingin langsung punya? Bisa mampir ke Shopee Bentang Official Shop, ya!

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta