Tag Archive for: The Moment of Lift

sepasang tangan dan keseimbangan dalam hubungan yang membuat kisah asmaralanggeng

Keseimbangan Hubungan yang Bikin Kamu Makin Langgeng dengan Pasangan!

Keseimbangan Hubungan. Tulisan kali ini hadir diperuntukkan para laki-laki, perempuan, dan yang sedang menjalin kisah asmara, sebelum memasuki jenjang pernikahan. “Lho, kenapa yang sudah menikah tidak diikutsertakan?” Ya, karena saya belum menikah juga! Baiklah, ini masih paragraf pertama, jadi jangan membuat letupan amarah. Maksud saya, jikalau sudah memiliki ikatan resmi secara hukum dan agama, berbeda lagi aturannya.

Latar belakang tulisan ini bisa ditulis dan muncul di layar gawai maupun laptop kalian karena saya sering menemui fenomena di dunia nyata dan maya sepasang kekasih yang mengumbar aktivitas berpacarannya. Yang perlu saya benahi bukan dari segi mempertontonkan kepada khalayak, tetapi sikap mereka dalam berhubungan yang tidak memiliki keseimbangan.

Apa maksudnya? Tulisan ini terinspirasi dari buku The Moment of Lift, karya Melinda Gates, seorang perempuan tangguh yang menceritakan sejumput kisahnya perihal transformasi wanita independen dalam hal pemikirannya, memberikan kontribusi nyata dalam ranah sosial dan kemanusiaan, dan tentunya kepeduliannya akan hak serta tanggung jawab seorang wanita itu sendiri.

Keseimbangan dalam hubungan. Kita sering kali menjadi peran yang tanpa disadari secara penuh belum bisa menempatkan posisi yang semestinya. Dalam hal ini, belum mampu memberikan tupoksi yang setara dengan pasangan kita masing-masing. Selalu ingin menang sendiri. Mementingkan perasaan diri sendiri. Jarang sekali untuk berkaca pada hubungan yang sehat itu seperti apa.

Beberapa poin sederhana di bawah ini semestinya bisa dilakukan semua pasangan. Terkecuali kalau memang sudah menjadi sebuah kesepakatan awal dan tak ada yang berat hati dari salah satu pihak. Mari kita simak bersama.

Jika Pasanganmu Membelikan Tiket Bioskop, Imbangilah dengan Membeli Snack atau Minuman

Ya, terkecuali kalau memang niatnya ditraktir, tak apa. Takkan menjadi masalah. Terlebih jika kalian masih belum ada hubungan, kan jadinya …. Heheh.

Cari amannya, ya, memang harus part-bills atau secara bergantian. Kalian belum ada kewajiban untuk membiayai satu sama lain. Jangan pula merasa tak enak jika harus membicarakan perihal pembayaran saat kencan, tapi juga jangan perhitungan yang secara berlebihan. Intinya dibicarakan senyaman mungkin. Berikan kesimbangan demi kesehatan hubunganmu.

Jangan pernah bangga menjadi seorang penerima saja, berpangku tangan kepada orang lain. Saya bukan niat hati untuk menggurui, tetapi memang keseimbangan dalam contoh kasus seperti ini belum banyak khalayak yang bisa memahaminya. Semuanya ingin enaknya saja.

Kalau Pasanganmu Marah, Jangan Ikutan Marah!

Keseimbangan Hubungan: Tolong, teruntuk Sahabat Bentang, jangan mengglorifikasikan sifat kekanak-kanakannya, ya. Belajar menyikapi suatu permasalahan dengan tenang. Emosinya perlahan dikontrol. Jangan menaruh pikiran jika pasanganmu marah berarti ia tak sayang denganmu. Tidak. Bukan begitu, kok.

Kalau pasanganmu marah, ada dua cara yang bisa kalian lakukan. (1) Kalian bisa memberikan jeda untuk dia memulihkan perasaannya. Sebelum membiarkannya sendirian, beri tahu dengan tuturan lembut. (2) Ajak diskusi santai. Sebenarnya, apa yang masing-masing dari kalian harapkan. Tuturkan secara bergantian. Saling bisa memberi ruang untuk menyampaikan argumen.

Menolak Itu Wajar, Menerima Bukan Sebuah Keharusan

Keseimbangan Hubungan: Tak jarang kita selalu kesulitan untuk mengatakan sebuah penolakan kepada pasangan kita. Kalau bahasa gaulnya, bucin atau budak cinta. Saking kita telanjur sayang dan cinta dengan pasangan, berbagai tawaran dan ajakan pun harus mengikuti keinginannya.

Seolah-olah, sebuah penolakan semacam “Maaf, aku belum bisa”, “Maaf, aku nggak mau”, atau sejenisnya, merupakan sebuah untaian dosa. Padahal, tak seperti itu jika ingin membina hubungan yang sehat. Kalian, baik perempuan ataupun laki-laki harus memiliki pendirian yang kuat. Memiliki pasangan bukan berarti meruntuhkan konsisten menjadi inkonsisten.

Seperti contoh, ketika kalian sedang kantong kering atau bujet akhir bulan sudah menipis, ya jangan dipaksakan menuruti keinginan pasangan untuk jalan ke luar. Cari alternatif lain agar tetap bisa kencan berdua dengan bujet yang seminimal mungkin. Kasus lain seperti ketika salah satu dari kalian ada yang mengajak berzina, jelas-jelas belum ada ikatan yang resmi. Saking kita cintanya, sulit rasanya jika menolak ajakan pasangan.

Baca Juga: 10 Bacaan Nonfiksi untuk Kamu yang Dijamin Nggak Bikin Ngantuk

Jangan Pernah Melontarkan Jawaban “Terserah”

Keseimbangan Hubungan: Memiliki pasangan tidak membuat kamu lantas menjadi seseorang yang manja ataupun penurut. Kalian juga harus memiliki otoritas terhadap diri sendiri. Miliki pendirian yang jelas. Jangan hanya karena keinginanmu tidak dituruti sepenuhnya oleh pasangan, membuat jawaban yang dibutuhkan pasanganmu menjadi sinis atau cuek.

Jangan pernah sesekali menambah prahara yang sudah ada sebelumnya atau memperkeruh suasana. Cobalah saling mengerti keadaan pasangan demi kelanggengan hubungan kalian. Temukan benang merah antara dirimu dengan pasanganmu.

Ketika Pasanganmu atau Kalian Berdua sedang Memiliki Banyak Planning, Diskusikan Bersama

Keseimbangan Hubungan: Menjalin hubungan tak sekadar menanyakan kabar, mengingatkannya segera makan agar tak sakit, ataupun berkencan ria. Lebih daripada itu, adanya pasangan juga berguna untuk mendiskusikan suatu hal, apa pun itu. Ketika salah satu di antara kalian sedang ingin mendiskusikan bersama, lakukan saja. Arahkan hubungan kalian dengan pasangan ke dalam hubungan yang sehat dan berkualitas. Saling memberikan feedback terkait kompleksitas hidup yang kalian hadapi.

Jangan merasa malu atau gengsi ketika bercerita. Justru, ketika pasangan kalian libatkan dalam pengambilan keputusan, pasti dirinya merasa senang dan merasa dianggap berguna serta berharga.

So, itu tadi beberapa poin sederhana yang sering kali kita abaikan. Jikalau belum memiliki kemandirian secara finansial, emosional, dan hal-hal lain yang seharusnya bisa dimiliki, jangan menaruh ekspektasi terlalu jauh kepada pasangan kita. Dikhawatirkan pula akan memberikan dampak yang serius bagi kalian kemudian hari.

Tulisan ini terinspirasi dari buku The Moment of Lift yang membahas tentang pemberdayaan perempuan dan sikap kemanusiaan yang lain. Kalian bisa mengintip kisah menarik di dalamnya melalui laman mizanstore.com.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

Kerja Tanpa Dibayar dan Dua Kali Lebih Berat

Banyak perempuan di dunia ini yang menghabiskan setiap jam dalam hidupnya untuk bekerja tanpa dibayar. Dan, pekerjaan sehari-hari itu membunuh mimpi-mimpinya seumur hidup. Ini adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan perempuan di masyarakat kini.

Apa Itu Kerja Tanpa Dibayar?

Pekerjaan reproduktif adalah pekerjaan yang dilakukan di rumah, seperti mengurus anak atau bentuk pekerjaan lainnya seperti memasak, mencuci, dan berbelanja. Di berbagai negara miskin, jutaan perempuan melakukan kerja tanpa dibayar jauh lebih banyak demi keberlangsungan kehidupan rumah tangga.

Menurut Melinda Gates dalam The Moment of Lift, rata-rata perempuan di seluruh dunia menghabiskan waktu mereka dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki untuk melakukan pekerjaan domestik yang tidak dibayar.  Di India, perempuan menghabiskan 6 jam sehari melakukan pekerjaan domestik tak berbayar, sementara laki-laki menghabiskan kurang dari 1 jam.

Rata-rata perempuan Amerika Serikat menghabiskan lebih dari 4 jam melakukan kerja tanpa dibayar  sementara rata-rata laki-laki hanya 2,5 jam. Di Norwegia, para perempuan menghabiskan 3,5 jam sehari untuk melakukan pekerjaan tanpa dibayar, sementara para laki-laki menghabiskan kira-kira 3 jam.

Dari riset tersebut, secara rata-rata para perempuan menjalani 7 tahun lebih banyak untuk bekerja tanpa dibayar daripada laki-laki. Kira-kira jumlah waktu yang diperlukan untuk meraih gelar sarjana dan master. Bayangkan betapa banyaknya waktu tersebut jika digunakan sebaik mungkin untuk mengembangkan potensi yang dimiliki perempuan untuk berkembang.

Pengakuan Atas Kerja Tak Dibayar

Ketika para perempuan dapat berkompromi dengan laki-laki untuk mengurangi waktu yang mereka habiskan untuk bekerja tanpa dibayar, bertambahlah waktu yang mereka miliki untuk melakukan kerja produktif.

Menurut Melinda, mengurangi kerja tanpa dibayar dari 5 jam sehari menjadi 3 jam saja akan meningkatkan partisipasi para perempuan dalam angkatan kerja hingga kira-kira 20 persen. Angka tersebut adalah jumlah yang signifikan untuk meningkatkan derajat perempuan dalam mencapai kesetaraan dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan.

Kerja tanpa dibayar inilah salah satu sumber tertinggalnya para perempuan untuk bersaing di berbagai sektor produktif dalam dunia kerja. Kerja tanpa dibayar yang dilakukan perempuan di rumah menjadi batu sandungan dari ragam aktivitas yang dapat meningkatkan derajat mereka. Misalnya, mengenyam pendidikan tinggi, memperoleh pendapatan dari luar, berorganisasi, dan lebih aktif menyuarakan aspirasi politiknya. Ketidakseimbangan kerja tanpa dibayar menutup jalan seorang perempuan menuju pemberdayaan diri.

Seorang ahli ekonomi bernama Marilyn Waring melihat bias yang mendalam dalam sistem kerja tak berbayar dan mulai mencari berbagai cara untuk mengubahnya. Ia berkeliling dunia untuk mempelajari praktik kerja tak berbayar dan membuat perhitungan yang mencengangkan.

Menurut Waring, jika kita mempekerjakan pegawai dengan upah yang berlaku di pasar kerja guna menangani semua pekerjaan tak dibayar yang dilakukan para perempuan, kerja tanpa dibayar akan menjadi sektor terbesar dalam ekonomi global!

Waring memaparkan dalam bukunya If Women Counted: A New Feminist Economics (1988) bahwa, “Kau membayar seseorang untuk penitipan anak, membayar gas untuk menyalakan kompor. Kau membayar pabrik untuk mengolah makanan dari gandum, membayar air yang mengalir melalui keran. Kau membayar makanan yang disajikan di restoran dan membayar pakaian yang dicuci di tempat laundryNamun, jika seorang perempuan melakukan semua itu sendirian—mengurus anak-anak, memotong kayu bakar, menggiling gandum, mengambil air, memasak, dan mencuci pakaian—tidak ada yang membayarnya untuk semua itu. Bahkan, tidak ada yang memperhitungkannya, karena itu ‘pekerjaan rumah’ dan itu seharusnya ‘gratis’!” (Tejo)

Peran Perempuan Mengubah Budaya di Tempat Kerja

Banyak perusahaan memiliki budaya di tempat kerja yang kompetitif, meledak-ledak, dan penuh argumen. Orang-orang bertengkar sampai membeberkan secara terperinci seluruh data yang ada dalam tiap kesempatan, entah hanya untuk menjatuhkanmu atau membuatmu malu.

Dalam setiap rapat, gladi resik, atau pun lokakarya keadaan kompetitif ini selalu mencoba untuk menampakkan sifat aslinya yang kejam. Jika kau tak cukup pandai mendebat dengan sengit, berarti kau tak menguasai data, tidak cerdas, atau tidak paham betul apa yang sedang kita kerjakan. Seolah dalam dunia kerja, semua orang dituntut bersifat tangguh dan tidak ada ruang bagimu untuk bersikap manusiawi seutuhnya.

Dalam kondisi kerja yang kompetitif, setiap orang enggan untuk memuji dan menyatakan rasa terima kasih kepada seseorang yang telah melakukan pekerjaan sesuatu dengan baik. Hal tersebut didasari oleh prinsip alamiah dari sistem kompetitif itu sendiri bahwa kau harus menjatuhkan lawanmu sebanyak mungkin untuk menjadi seorang pemenang.

Ekosistem kerja yang seperti ini sudah bersifat toxic bagi kesehatan mental seseorang, baik laki-laki atau perempuan. Walhasil, karena tingginya persaingan di dalam budaya kerja, sulit rasanya mencoba untuk menjadi diri sendiri di tempat kerja.

Perempuan Membuat Ekosistem Kerja menjadi Lebih Manusiawi

Perempuan dapat mengubah budaya di tempat kerja yang toxic ini ketika mereka mencoba untuk membuka tangan dan hati mereka lebar-lebar. Ketika semua orang merasa terasing oleh budaya kerja yang menganggap semua orang itu tangguh, rasional, dan kompetitif, ia dapat mempertanyakan. “Mengapa perempuan tidak boleh menangis di kantor, tetapi laki-laki boleh membentak di kantor? Respons emosional mana yang lebih dewasa?” tanya Melinda Gates dalam bukunya The Moment of Lift.

Pertanyaan ini coba dijawab oleh Melinda dalam kisahnya mengenai kolega perempuan yang mampu menciptakan budaya empati di lingkungan kerjanya di Microsoft. Namanya Patty Stonesifer, ia adalah atasan, mentor, dan sosok teladan Melinda di Microsoft.

Patty menjadi sosok teladan di Microsoft karena dianggap punya gaya yang khas sehingga menjadi magnet bagi orang-orang untuk bekerja sama dengannya. Rahasia kepemimpinannya ialah ia membiarkan seseorang untuk bisa jujur tentang kekuatan dan kelemahannya. Ia adalah seseorang yang memulai budaya baru di Microsoft untuk berani berkata, “Aku salah.” Mampu mengakui kelemahan dan kesalahan tanpa khawatir semua itu akan digunakan untuk menjatuhkan mereka adalah perasaan yang menakjubkan.

Bagi Melinda, menjadi diri sendiri mungkin terdengar sebagai sikap muluk-muluk untuk bertahan dalam sebuah budaya kerja yang agresif. Namun, hal tersebut punya maksud untuk membuat seseorang berani dan tidak menjadi pengecut hanya untuk diterima di lingkungan kerja. Dengan begitu, kita punya kesempatan untuk berani menunjukkan bakat, prinsip, pendapat, guna mempertahankan hak-hak kita. Pada saat yang bersamaan, kita juga tidak perlu mengorbankan rasa hormat kepada diri sendiri. Di situlah kekuatan muncul dan budaya yang toxic itu berangsur-angsur berubah menjadi lebih manusiawi. (Tejo)

Pernikahan Dini: Bencana bagi Perempuan


Pernikahan dini bagi perempuan adalah sebuah penderitaan atau sebuah bencana. Bagaimana tidak disebut sebagai bencana manakala ia dapat memupuskan harapan seorang anak perempuan mengembangkan bakat dan meraih cita-citanya?

Seorang anak yang masih penuh mimpi dan cita-cita besar terpaksa menikah dan dituntut mengerjakan pekerjaan domestik yang melelahkan. Sementara jikalau ia hamil, ia harus menanggung risiko kematian sebab tubuhnya belum terlalu kuat untuk mengandung. Di dunia ini, terdapat jutaan anak perempuan terpaksa berhenti bersekolah karena berbagai hal, salah satunya adalah karena pernikahan dini.

Salah satu kisah yang dibagikan Melinda Gates lewat bukunya The Moment of Lift adalah kisah perjalanannya ke India 20 tahun silam. Di sana, ia melihat potret kemiskinan paling muram dan keras di seluruh India. Kebanyakan dari mereka hidup dari mengumpulkan botol, mencari kepingan uang logam di jalanan, dan tentu saja dengan mencopet.

Sebagaimana jamaknya hidup di daerah tertinggal, angka pernikahan dini meroket tajam. Anak-anak yang baru pubertas akan dipaksa untuk meninggalkan bangku sekolah dan menikahi seseorang yang dipilihkan orang tuanya. Setelah menikah, tak jarang mereka dipukuli dan diancam oleh suaminya sendiri untuk dijual atas alasan pihak keluarga si anak memberikan maskawin yang jumlahnya kurang. Alasannya, menurut adat istiadat di India waktu itu, pihak perempuan yang harus memberikan mahar maskawin.

Kisah itu terpatri dalam ingatan Melinda sebagai pengalaman traumatik dan tragis atas pernikahan di bawah umur. Baginya, pernikahan dini merupakan kemitraan yang timpang dan berlawanan dengan kemitraan setara yang dapat meningkatkan kesehatan, kemakmuran, dan kemajuan manusia.

Kemitraan setara dapat mengangkat derajat suami dan istri di dalam hubungan rumah tangga dan hubungan sosial di masyarakat. Pernikahan di bawah umur membuat hubungan menjadi hierarkis sehingga bersifat merendahkan salah satu pihak. 

Hubungan Tak Setara Berakibat Penganiayaan

Ketika seorang anak perempuan dipaksa untuk menikah pada usia dini, ia akan terjebak dalam situasi sulit yang membuatnya tertekan. Dalam konteks pernikahan dini di India, misalnya. Semakin muda usia perempuan, semakin rendah pendidikannya, semakin sedikit pula maskawin yang harus dibayarkan keluarga perempuan itu.

Dalam situasi seperti ini, pasar memperjelas bahwa semakin lemah si gadis, semakin menarik dirinya bagi keluarga yang menerimanya. Mereka tidak menginginkan gadis yang punya suara, keterampilan, atau ide-ide. Perempuan ibarat barang dagangan sekaligus seorang hamba yang patuh dan tidak melawan.

Keadaan yang demikianlah yang dimanfaatkan oleh sang suami untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap sang istri. Mereka harus kehilangan keluarga, teman, sekolah mereka, dan segala kemungkinan untuk berkembang.

Bahkan, saat usianya yang baru genap 10 tahun, mereka sudah dihadapkan pada kenyataan hidup yang pahit—harus memasak, bertani, membersihkan rumah, memberi makan ternak, dan mengambil air—untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari.

Jika penderitaan seorang perempuan yang dipaksa menikah, kehilangan cita-cita dan masa depan, dipaksa untuk melakukan kerja berat, dan senantiasa terancam untuk dianiaya tidak bisa kita sebut sebagai tragedi, bisakah kita menyebutnya sebagai suatu bencana bagi kemanusiaan? (Tejo)

Melinda Gates dalam Pusaran Aktivisme

Nama Melinda Ann French mungkin terdengar asing di telinga kita manakala nama itu disebut. Namun, ketika nama Melinda Gates disebut, orang-orang akan mulai mengasosiasikan Melinda sebagai konglomerat karena menyandang nama “Gates” di belakangnya. Pandangan yang demikian mungkin sedikit seksis. Alasannya, Melinda sendiri sudah punya segudang prestasi untuk membuat namanya harum.

Sosok perempuan yang lahir pada 15 Agustus 1964 di Dallas, Texas, ini telah menyabet berbagai jenis penghargaan selama hidupnya. Misalnya, ia mampu menduduki peringkat 3 besar dalam daftar 100 Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia versi Forbes pada 2013, 2014, dan 2017; peringkat 4 pada 2012 dan 6 pada 2011.

Melinda muda mengawali kariernya sebagai pengajar Matematika dan Pemrograman Komputer untuk anak-anak. Setelah lulus dari Duke University, Melinda bergabung dengan Microsoft sebagai manajer pemasaran pada 1987. Di sana, ia bertanggung jawab untuk memimpin pengembangan berbagai produk multimedia Microsoft.

Karier dan kehidupan sosialnya berubah drastis pada awal 1990-an ketika ia diangkat sebagai General Manager Informasi Produk. Dan, selang empat tahun berikutnya, ia memutuskan untuk menikah dengan bos yang sekarang menjadi suaminya, Bill Gates. Setelah menikah dengan Bill, Melinda Gates berusaha mengaktualisasikan idealismenya bahwa perempuan di seluruh dunia ini harus bisa berdaya di seluruh bidang kehidupan.

Oleh karena itulah, pada tahun yang sama (1994), ia dan Bill mendirikan Yayasan Bill & Melinda Gates dengan tujuan mengatasi kesenjangan gender. Tepat saat itulah, Melinda mulai dikenal sebagai filantropis sekaligus aktivis perempuan yang banyak menginspirasi perempuan untuk berdaulat atas hidupnya sendiri. 

Mengapa Melinda Memilih Aktivisme?

Perempuan berzodiak Leo ini mempunyai passion yang luar biasa besar terhadap teknologi. Ia dan Bill meyakini dengan sepenuh hati bahwa teknologi harus bisa digunakan oleh semua orang. Mereka yakin suatu saat teknologi dapat mengubah dunia menjadi lebih baik.

Akan tetapi, sayang, dalam masyarakat yang timpang ini tidak banyak perempuan bisa meraih kesempatan untuk mendapatkan hak-hak dasarnya. Banyak perempuan tidak memiliki akses untuk memperoleh pendidikan, mencari nafkah, dan mengembangkan diri. Walhasil, perempuan-perempuan ini tak mampu untuk mengembangkan potensi terbesar dirinya.

Poin inilah yang ditekankan Melinda Gates ketika mencoba menjembatani antara privilege yang kita punya dengan keterlibatan untuk melakukan kegiatan sosial di masyarakat. 

Sebagai seorang feminis, Melinda menyadari pentingnya perempuan berjuang bersama-sama melawan ketimpangan gender. Ketika perempuan biasa memperoleh haknya, keluarganya ikut berkembang bersama dirinya—begitu pula masyarakat yang menghargai hak-hak perempuan juga akan ikut berkembang. Melinda meyakini bahwa terdapat prinsip kebenaran sederhana bahwa kesetaraan gender mengangkat harkat semua orang.

Kapan pun kita melibatkan suatu kelompok yang telah diasingkan, dianggap tidak ada, dan diminoritaskan, kita dapat mendatangkan manfaat bagi semua orang. Dan, ketika kita mau bekerja dalam skala global untuk melibatkan perempuan dan gadis, yang jumlahnya setengah dari tiap populasi, kau bekerja untuk mendatangkan manfaat bagi semua anggota dari setiap komunitas.

Seperti yang Melinda katakan dalam buku The Moment of Lift, “Jika kamu ingin memperjuangkan kemanusiaan, berdayakanlah perempuan. Sebab, ia merupakan investasi paling komprehensif, luas, dan besar dampaknya yang bisa kamu sumbangkan bagi manusia.” Dan, tentu saja di buku The Moment of Lift banyak pelajaran tentang pemberdayaan perempuan yang dapat kita teladani. (Tejo)

Buku Nonfiksi Pilihan Editor November 2019

November sudah berjalan hampir setengahnya. Judul-judul buku bagus juga terus bermunculan. Untuk memudahkan kalian memilih buku yang tepat sebagai sumber inspirasi, kali ini Tim Editor Bentang Pustaka akan merekomendasikan buku pilihannya. Inilah 4 judul buku pilihan editor.

  1. The Moment of Lift

Melinda Gates selama ini dikenal sebagai tokoh besar di Microsoft, memiliki kepedulian yang cukup besar terhadap isu perempuan. Dia bahkan mendirikan Pivotal Ventures, sebuah perusahaan investasi dan inkubasi yang bekerja untuk mendorong kemajuan sosial bagi perempuan dan keluarga di Amerika Serikat. The Moment of Lift merupakan buku pertama Melinda Gates yang menceritakan pengalamannya berkeliling dunia selama 20 tahun terakhir.

Di Malawi, para ibu berjalan sepanjang 20 km sambil berharap mendapat suntikan pengontrol kehamilan dari para yayasan penyedia vaksin, yang ternyata tak tersedia. Mereka putus asa mengingat jumlah anak yang dimiliki sudah melebihi kemampuannya memberi makan. Di Senegal, anak-anak perempuan diwajibkan untuk sunat. Tak sedikit dari mereka yang mengalami pendarahan hingga berujung kematian. Di India, semakin muda usia perempuan, semakin rendah pendidikannya, semakin sedikit pula maskawin yang harus dibayarkan keluarga perempuan itu ketika dia dinikahkan. Anak-anak perempuan ini kehilangan keluarga, teman, sekolah mereka, dan setiap peluang untuk berkembang.

Dalam perjalanan panjang ini, Melinda menyadari satu hal: jika kita semua ingin mengangkat harkat umat manusia, angkatlah harkat kaum perempuan.

 

  1. Belahan Jantungku

Andien Aisyah memang tak pernah berhenti memberikan kejutan manis bagi para penggemarnya. Selain lagu-lagunya sangat menyenangkan untuk didengar, Andien juga piawai dalam membagikan kisah kesehariannya. Ditulis secara kolaborasi bersama Kenya Sentana, buku Belahan Jantungku bercerita mengenai sosok Andien sebagai perempuan dan kini sebagai seorang ibu. Bagi seorang perempuan, penting baginya untuk selalu “sehat” secara fisik dan mental. Baginya sebagai seorang ibu, ia harus menyadari bahwa tidak semua orang akan memahami pilihan-pilihan yang dia ambil. Mengapa memilih memberikan asi eksklusif, mencoba metode makan tertentu, atau tidak menyekolahkan anak di sekolah formal, misalnya. Semua itu bagian dari perjalanan menjadi ibu. Setiap orang hanya melakukan yang sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing. Namun, seorang Andien percaya, kita bisa belajar dari satu sama lain, apa pun itu.

Reza Gunawan, Nia Umar, Tantan Kuswandi, Fonda Kuswandi, Dokter Ratih Ayu Wulandari, Irene Mongkar, Gobind Vashdev, Coach Yusa Aziz, hingga Najeela Shihab yang merupakan para ahli dalam bidangnya, turut menitipkan pesan penting melalui buku ini.

  1. Sinau Bareng Markesot

Setelah Maiyah, frasa Sinau Bareng saat ini tengah dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib. Dalam setiap forum yang beliau datangi, Sinau Bareng merepresentasikan ruang diskusi tanpa guru maupun murid, tanpa sekat, dan tanpa adanya ketakutan mengeluarkan pendapat.

Melalui buku ini, secara khusus Cak Nun ingin memanfaatkan setiap halaman untuk mengajak anak-cucunya, jemaah, dan tentu para pembaca sekalian untuk menyelami keluasan dan kedalaman Al-Quran dalam bingkai kedekatan batin manusia kepada firman Allah yang luasnya tak terkira itu. Cak Nun mengajak kita meng-iqra’, dengan terlebih dahulu meresapi betapa kata “iqra’” sendiri pun memiliki makna yang luar biasa luas.

Sebagai sebuah proses pendalaman dan tadabur kepada Al-Quran, hal-hal yang disajikan Cak Nun dalam Sinau Bareng Markesot ini amat memperkaya wawasan kita mengenai upaya memahami Al-Quran, yang tak semata-mata terwakili oleh metode-metode yang secara akademis disebut sebagai Ulumul Quran. Buku ini akan memperkaya, memperindah, dan menunjukkan betapa banyak celah tadabur yang belum kita masuki.

  1. Happiness is Homemade

Jika kamu sedang bosan membaca buku dengan banyak teks dan menginginkan suasana baru yang penuh warna, buku ini sangat cocok untukmu. Ditulis dan diilustrasikan oleh Puty Puar, seorang ilustrator, blogger, dan influencer media sosial aktif yang bercita-cita karyanya dapat membawa inspirasi dan kebahagiaan bagi banyak orang.

Buku ini bisa menjadi penyemangat pembaca saat-saat jenuh. Kadang, bahagia itu tidak harus bepergian ke tempat-tempat indah, bahagia itu sesederhana dimulai dari rumah penuh warna, gambar, dan tulisan-tulisan pendek yang nyaman dibaca serta mudah diresapi.

 

Bagaimana? Sudah tidak sabar untuk membaca salah satu judul atau semuanya? Bagi kamu yang bingung di mana bisa mendapatkan buku-buku di atas, langsung saja ke Mizanstore.com atau toko-toko buku terdekat, ya. Mari rayakan kesenangan membaca setiap harinya!

© Copyright - Bentang Pustaka