Allah Menjanjikan Kembalinya Khilafah, Benarkah?

Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan soal khilafah terus memanas, khususnya di Indonesia. Bahkan, pemerintah sempat harus membubarkan sebuah organisasi masyarakat (ormas) yang berpaham khilafah. Ormas tersebut adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap berbahaya bagi keutuhan bangsa. Pasalnya, mereka berusaha untuk menggantikan ideologi Pancasila menjadi khilafah versi mereka.

Adapun ayat andalan yang sering mereka nukil dalam setiap aktivitas dakwahnya adalah Surat An-Nur ayat (55). Ayat tersebut memiliki arti sebagai berikut:

“Dan, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan, barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Lantas benarkah ayat tersebut merupakan janji Allah untuk mengembalikan khilafah di muka bumi?

Perdebatan di antara Mufasir

Nadirsyah Hosen dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Quran di Medsos mengatakan bahwa pihak-pihak yang menukil ayat tersebut dengan misi menegakkan khilafah merupakan kegiatan mengelabui publik. Beberapa golongan berani mengeklaim bahwa jika tidak percaya dengan janji Allah akan kedatangan khilafah sama saja telah murtad. Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa berdasarkan kajian komparasi sejumlah kitab tafsir klasik dan kontemporer nyatanya menunjukkan bahwa pemahaman seperti di atas merupakan pemahaman yang keliru besar.

Adapun janji Allah dalam ayat di atas sebenarnya sudah terpenuhi pada masa Nabi Muhammad Saw. dalam peristiwa Fathu Makkah. Saat itu, Nabi dan pasukannya memasuki Kota Mekah tanpa perlawanan. Sebagian kitab tafsir juga mengatakan bahwa janji tersebut sudah tuntas pada masa Nabi Muhammad dan Kulafaur Rasyidin. Hal tersebut berlandaskan pada hadis sahih Nabi yang mengatakan kekhilafahan hanya berlangsung selama 30 tahun.

Tafsir Al-Razi justru mengatakan bahwa periode khilafah hanya terjadi pada masa tiga khalifah pertama karena pada masa tersebut ekspansi Islam terus meluas, sedangkan pada masa Sayyidina Ali lebih disibukkan pada perpecahan dan perang saudara. Tafsir ini juga menyebutkan adanya pendapat yang menentang memasukkan periode Khulafaur Rasyidin dalam kandungan ayat tersebut. Sebab, penggalan ayat selanjutnya adalah “sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa” padahal kekuasaan sebelum Islam itu tidak datang lewat kekhilafahan. Jadi, ayat hanya mencakup pada periode Nabi Muhammad. 

Ada juga tafsir yang mengatakan bahwa janji Allah pada ayat tersebut konteksnya adalah pada dakwah, alih-alih soal kekhilafahan.

Menariknya, dari sekian tafsir yang ada, tidak satu pun yang menyinggung akan kembalinya ‘ala minhajin nubuwwah seperti yang sering digelorakan oleh kelompok pro-khilafah. Para ulama tafsir itu bahkan tidak mengutip Riwayat Musnad Ahmad mengenai hal ini yang amat populer di kalangan HTI. Sebab, sanadnya pun lemah dan bermasalah.

Khilafah yang Sebenarnya

Dari sekian tafsir yang ada, dapat disimpulkan bahwa konteks Surah An-Nur (55) ini tidak membahas mengenai institusi atau sistem pemerintahan khilafah. Al-Quran memang tidak pernah menyinggung sistem kenegaraan secara detail, begitu pun dengan ayat ini. Tidak ada janji Allah mengenai akan kembalinya sistem khilafah seperti yang banyak dikatakan oleh orang-orang pro-khilafah.

Adapun cara umat Islam dapat berkuasa menurut ayat tersebut dan ayat selanjutnya adalah dengan jalan beriman dan beramal saleh, tidak menyekutukan-Nya, menegakkan salat, membayar zakat, serta taat kepada Rasulullah Saw. Cara itulah yang akan membuat Allah meridai, memberikan rasa aman, serta memberi kita rahmat. Namun, siapa saja yang kufur terhadap nikmat-Nya maka orang-orang itu termasuk orang fasik sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam ayat ini.

Dengan begitu, tidak mensyukuri nikmat tinggal di NKRI yang damai dan tenteram juga termasuk kufur. Oleh karena itu, langkah paling tepat adalah dengan terus bekerja dalam mewujudkan masyarakat yang adil sesuai amanat Pembukaan UUD 1945.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

 

Inilah Kosakata Nusantara yang Ada dalam Al-Quran

Ada pertentangan di kalangan ulama soal bahasa yang dipakai dalam Al-Quran. Ada yang berpendapat bahwa kosakata di dalam Al-Quran sepenuhnya berasal dari bahasa Arab, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa terdapat kosakata yang berasal dari bahasa non-Arab.

Imam Al-Qurthubi misalnya, menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai Al-Quran yang berisikan kata yang disusun dari term dan nama yang berasal dari non-Arab. Imam Al-Qurthubi menyebut beberapa ulama seperti Qadhi Ibn At-Thayyib dan At-Thabari percaya bahwa Al-Quran murni terdiri atas bahasa Arab dan tidak ada kosakata non-Arab di dalamnya. Meskipun ada kata yang tersusun dari bahasa non-Arab hanya terdapat kesamaan antara bahasa Arab dan non-Arab. Misalnya seperti Habasyah, Persia, dan lainnya.

Akan tetapi, Al-Qurthubi menyebutkan ada juga yang berpendapat jika ada kosakata non-Arab, jumlahnya sangat sedikit dan tidak sampai menghapus kenyataan bahwa Al-Quran murni berbahasa Arab.

Soal bahasa-bahasa non-Arab, Ibn ‘Athiyyah memang mengatakan bahwa pada dasarnya bahasa tersebut asing. Namun, orang-orang Arab sudah biasa menggunakannya sehingga kosakata tersebut dianggap juga sebagai bahasa Arab.

Akan tetapi, bahasa adalah sesuatu yang dinamis. Misalnya bahasa Indonesia seperti kata rakyat, musyawarah, wakil, tunggal, mutakhir, adil, introspeksi, dan lain sebagainya. Kosakata tersebut ada yang diserap dari bahasa Arab, Inggris, Sanskerta, Melayu, dan lainnya.

Akan tetapi siapa sangka, ternyata ada kosakata Nusantara yang diadopsi oleh Al-Quran. Kosakata tersebut terdapat pada Surah Al-Insan ayat kelima yang artinya, Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.

Perdagangan Kapur Barus

Sejak abad keempat Masehi kapur barus yang berasal dari daerah Barus di Sumatra telah terkenal di dunia Arab dan Asia. Itulah sebabnya Al-Quran mengadopsi kata kafur dalam ayat di atas. Al-Quran menyebutkan bahwa penduduk surga akan minum dari mata air sejernih, seputih, sewangi, dan sedingin kapur barus. Namun, air tersebut tidak berasa dan berbahaya.

Pada zaman dahulu, kapur barus merupakan komoditas yang sangat mahal, bahkan konon seharga emas. Komoditas ini juga dicari oleh banyak orang. Kafur saat itu digunakan sebagai wewangian, bumbu masak, bahkan untuk keperluan obat-obatan. Nah, nantinya, di surga, minuman yang akan dihidangkan kepada orang-orang beriman ini akan dicampur dengan kafur yang merupakan simbol kemewahan.

Interaksi awal perdagangan kafur antara Nusantara dan dunia Arab bisa dilacak dari diserapnya kosakata ini ke dalam tradisi Arab sehingga turut pula masuk ke bahasa Al-Quran. 

Manfaat dari Kapur Barus

Untuk saat ini, kapur barus di Indonesia dikenal dengan kamper atau camphor. Penggunaan kapur barus sendiri untuk saat ini lebih untuk keperluan wewangian yang biasa digunakan di dalam lemari pakaian. Penelitian University of Texas  mengungkapkan bahwa kamper bisa menyembuhkan batuk, gatal-gatal di kulit, dan bisa pula membantu untuk menumbuhkan rambut. Bahkan, ada orang yang mencampur kapur barus dengan teh supaya bisa menikmati manfaatnya. Namun, para peneliti mengingatkan bahayanya bila konsumsinya tidak terkontrol.

Diserapnya kosakata Nusantara ini ke dalam bahasa Arab juga merupakan salah satu dampak dari hubungan antara bangsa Arab dan Nusantara pada masa silam. Hal tersebut menunjukkan bahwa relasi antara Nusantara dan Arab sudah terjadi sebelum turunnya Al-Quran sebagai wahyu Nabi Muhammad Saw.

Pada lain sisi, diadopsinya kosakata Nusantara oleh Al-Quran juga menunjukkan betapa dinamisnya bahasa itu. Kita melihat banyak kosakata Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, dan kosakata Nusantara juga diadopsi serta diabadikan menjadi salah satu bagian di dalam ayat suci Al-Quran.

Ketahui lebih banyak tentang Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

Sebagian Walisongo Keturunan Tionghoa?

Sejarah terkait beberapa Walisongo adalah keturunan Tionghoa masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Meskipun demikian, dengan catatan sejarah yang ditemui, rasa-rasanya sulit membantah kalau beberapa dari Walisongo merupakan keturunan Tionghoa.

Hew Wai Weng, dalam bukunya yang berjudul Berislam ala Tionghoa mengungkapkan setidaknya ada empat dari sembilan Walisongo yang merupakan keturunan Tionghoa. Mereka adalah Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan Bonang, serta Sunan Muria.

Seorang sejarawan Jawa, Slamet Muljana, yang merujuk pada Malay Annals dan sumber-sumber sejarah lokal lainnya seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda mengungkapkan dalam bukunya bahwa Tionghoa Muslim memiliki andil penting dalam pembentukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Bahkan beberapa dari Walisongo memiliki asal-usul Tionghoa.

Mbah Pringgis alias So Khing Hok, seorang musisi amatir dan peramal yang juga Tionghoa Muslim di Semarang membuat lagu berbahasa Jawa yang jika diartikan ke bahasa Indonesia, liriknya berbunyi: Sebelum zaman Belanda, Sam Poo Tay Jin (Cheng Ho) dari Cina mendarat di Jawa untuk berdagang dan syiar Islam. Menjalin kasih Cina dan Jawa.

Menurut Mbah Pringgis, lirik lagu berjudul “Tembang Dulur Tuwa” ini menggambarkan perjalanan Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok dalam menyebarkan Islam di Jawa. Arti dari Dulur Tuwa (saudara lama) dalam lagu tersebut adalah Cheng Ho.

Peran Cheng Ho dalam Dakwah Islam

Para pendakwah Tionghoa Muslim, seperti Tan Mei Hwa, juga selalu menyinggung peran Cheng Ho dalam dakwah Islam. Mereka menekankan bahwa beberapa dari Walisongo di Jawa adalah keturunan Tionghoa. Dalam sebuah ceramah di Surabaya pada 2008, dia menyampaikan: Di antara mereka yang kali pertama membawa Islam ke Jawa adalah Laksamana Cheng Ho. Cheng Ho memang diperintahkan kembali ke Tiongkok, tetapi sejumlah pengikutnya tinggal di Jawa. Salah satunya adalah Bun Sui Ho. Anak dan cucu laki-lakinya, Sunan Bonang dan Sunan Ampel adalah anggota Walisongo yang dihormati yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Nama asli Sunan Bonang adalah Bun An, tetapi dalam bahasa Jawa berbunyi Bonang. Ini adalah fakta sejarah yang tidak dapat ditolak.

Bahkan dalam sebuah artikel di Suara Baru, majalah dua bulanan yang diterbitkan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), menyebutkan 8 dari 9 Walisongo merupakan keturunan Tionghoa. Dalam sebuah ceramah pada Oktober 2008, Tan Mei Hwa juga memberikan argumen yang menguatkan bahwa Tionghoa Muslim memiliki andil penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.

Berislam ala Tionghoa

Nabi Muhammad menganjurkan kepada kita untuk mencari ilmu hingga ke negeri Tiongkok. Namun, karena sudah banyak orang Tionghoa yang menetap di Indonesia, umat Islam di Indonesia cukup beruntung. Kita dapat belajar dari mereka tanpa harus berkunjung ke negeri Tiongkok,” ujar Tan Mei Hwa dalam ceramah tersebut.

Akan tetapi, dakwahnya ini bukan tanpa kontroversi. Beberapa pihak melontarkan kritikan atas materi yang dibawakan oleh Tan Mei Hwa. Bahwa materi-materi tersebut lebih bersifat menghibur ketimbang untuk berdakwah. Di samping itu, latar belakang pendidikan agama Tan Mei Hwa yang dianggap kurang kuat juga tidak luput dari kritikan. Terlebih lagi dia adalah seorang perempuan.

Sementara itu, Hew Wai Weng berpandangan bahwa dengan mempromosikan peran Laksamana Cheng Ho dalam penyebaran Islam dan mengeklaim bahwa sebagian dari Walisongo adalah keturunan Tionghoa, Tionghoa Muslim mencoba mendefinisikan ulang posisi mereka sebagai minoritas, mendakwahkan Islam kepada non-Muslim, dan untuk memperluas makna ketionghoaan.

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info selengkapnya tentang buku tersebut di sini.


Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: RomaDecade

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta