Radhar Panca Dahana, Si Genius Sastrawan Termuda Indonesia

“Ia memulai debutnya sebagai sastrawan sejak berusia 10 tahun. Karyanya yang berjudul “Tamu Tak Diundang” dimuat di harian Kompas. Itulah fakta yang kerap disebut ketika bicara mengenai sastrawan kawakan Indonesia, Radhar Panca Dahana.

Sejenius apa, Radhar Panca Dahana ini hingga karyanya sebagai anak berumur 10 tahun dapat dimuat di harian Kompas yang cakupannya nasional? Sebrilian apa, Radhar Panca Dahana ini hingga pada umur 12 tahun ia sudah menjadi redaktur tamu di majalah Kawanku? Terlalu jenius. Terlalu brilian.

manusia istanaBulan ini, salah satu buku karya Radhar Panca Dahana akan diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Buku yang berjudul Manusia Istana ini berisikan puisi politik. Di dalamnya tersirat ajakan Radhar Panca Dahana kepada keutuhan dunia politik untuk tidak terlalu pragmatis dan praktis. Untuk menyisipkan unsur estetika dalam berbahasa. Untuk melihat simbol-simbol linguistik dalam berpolitik.

Memang, dunia politik merupakan dunia yang serba praktis. Segalanya harus serba jelas dan tertata agar negara dapat berjalan. Agar hajat hidup masyarakat dapat dipenuhi. Akan tetapi ketika politisi terbiasa dengan estetika, dengan keindahan. Mungkin, ia akan mempertimbangkan unsur estetika pula dalam bertindak. Tentu saja, ketika keindahan menjadi bagian pertimbangan, bukan semata pertimbangan cost and benefit, maka politik akan lebih hati-hati. Politisi akan menimbang dengan matang apakah suatu kebijakan akan membawa masyarakat kedalam keadaan yang indah? Ke dalam kedamaian yang indah?

Bukankah ini sama halnya dengan yang terjadi dalam diri seorang manusia; menggunakan otak semata tidak cukup dalam menentukan suatu keputusan. Hati pun baiknya turut terlibat, mencari unsur estetika dalam sebuah keputusan. Indah kah keputusan itu rasanya? Indah kah ketika keputusan itu dijalankan?

Mungkin ini yang dimaksud oleh Radhar Panca Dahana, bahwasanya ada baiknya kita berpolitik dengan hati, bukan hanya otak. Bahwasanya ada baiknya kita berpolitik dengan idealis, tidak melulu pragmatis.

Pada akhirnya, mau tidak mau saya harus mengakui kejeniusan Radhar Panca Dahana. Bukan semata karena ia telah menggeluti dunia sastra sejak ia masih terlampau hijau. Namun juga karena ia menyoroti sesuatu yang nampaknya musykil disandingkan bersama: Puisi dan Politik. Sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan, namun di tangan Radhar Panca Dahana, keduanya padu. Indah.

Talitha Fredlina Azalia | @tithawesome “Ia memulai debutnya sebagai sastrawan sejak berusia 10 tahun. Karyanya yang berjudul “Tamu Tak Diundang” dimuat di harian Kompas. Itulah fakta yang kerap disebut ketika bicara mengenai sastrawan kawakan Indonesia, Radhar Panca Dahana.

Sejenius apa, Radhar Panca Dahana ini hingga karyanya sebagai anak berumur 10 tahun dapat dimuat di harian Kompas yang cakupannya nasional? Sebrilian apa, Radhar Panca Dahana ini hingga pada umur 12 tahun ia sudah menjadi redaktur tamu di majalah Kawanku? Terlalu jenius. Terlalu brilian.

manusia istanaBulan ini, salah satu buku karya Radhar Panca Dahana akan diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Buku yang berjudul Manusia Istana ini berisikan puisi politik. Di dalamnya tersirat ajakan Radhar Panca Dahana kepada keutuhan dunia politik untuk tidak terlalu pragmatis dan praktis. Untuk menyisipkan unsur estetika dalam berbahasa. Untuk melihat simbol-simbol linguistik dalam berpolitik.

Memang, dunia politik merupakan dunia yang serba praktis. Segalanya harus serba jelas dan tertata agar negara dapat berjalan. Agar hajat hidup masyarakat dapat dipenuhi. Akan tetapi ketika politisi terbiasa dengan estetika, dengan keindahan. Mungkin, ia akan mempertimbangkan unsur estetika pula dalam bertindak. Tentu saja, ketika keindahan menjadi bagian pertimbangan, bukan semata pertimbangan cost and benefit, maka politik akan lebih hati-hati. Politisi akan menimbang dengan matang apakah suatu kebijakan akan membawa masyarakat kedalam keadaan yang indah? Ke dalam kedamaian yang indah?

Bukankah ini sama halnya dengan yang terjadi dalam diri seorang manusia; menggunakan otak semata tidak cukup dalam menentukan suatu keputusan. Hati pun baiknya turut terlibat, mencari unsur estetika dalam sebuah keputusan. Indah kah keputusan itu rasanya? Indah kah ketika keputusan itu dijalankan?

Mungkin ini yang dimaksud oleh Radhar Panca Dahana, bahwasanya ada baiknya kita berpolitik dengan hati, bukan hanya otak. Bahwasanya ada baiknya kita berpolitik dengan idealis, tidak melulu pragmatis.

Pada akhirnya, mau tidak mau saya harus mengakui kejeniusan Radhar Panca Dahana. Bukan semata karena ia telah menggeluti dunia sastra sejak ia masih terlampau hijau. Namun juga karena ia menyoroti sesuatu yang nampaknya musykil disandingkan bersama: Puisi dan Politik. Sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan, namun di tangan Radhar Panca Dahana, keduanya padu. Indah.

Talitha Fredlina Azalia | @tithawesomeBentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta