Luncurkan Novel Grafis, Sujiwo Tejo Sempurna Jadi Dalang

simbah 1

Setelah sukses menulis romansa cinta antara Rahwana, Sinta, dan Rama melalui dua bukunya, Rahvayana: Aku Lala Padamu (2014) dan Rahvayana: Antara Ada dan Tiada (2015), dalang, penulis, dan seniman ulung, Sujiwo Tejo, bersiap meluncurkan buku terbarunya, Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati. Kali ini Sujiwo tampil beda. Untuk pertama kalinya, ia menulis buku yang bukan sekedar novel biasa, tapi berupa novel grafis. Artinya, tak hanya merangkai diksi menjadi kalimat saja, tetapi, dalam buku terbarunya, Sujiwo mengusung ilustrasi hasil karyanya sendiri.

Keputusan Sujiwo untuk menulis novel grafis bukan merupakan alasan sepele. Hal itu didasari dari pemahaman dirinya akan filosofi dalang. “Dalang itu seperti laut, muara dari bermacam sungai. Sungai tersebut terdiri dari sungai musik, sampai sungai seni rupa seperti novel grafis,” katanya.

Sejauh ini, Sujiwo sudah mencetak namanya di berbagai album musik, mulai dari album pertamanya, Pada Suatu Ketika (Titi Kolo Mongso) yang diluncurkan tahun 1998, hingga album Rahvayana yang rilis berbarengan dengan terbitnya buku Rahvayana. Tak hanya itu, Sujiwo juga sudah menulis sastra berupa kisah-kisah aktual nusantara dengan sudut pandang wayang, yang ia beri judul Wayang Durangpo. Sastra ini dimuat mingguan oleh Jawa Pos sejak tahun 2009. Pun, beberapa pentas teater telah Sujiwo gubah. Mulai dari Maha Cinta Rahvana, sampai Sinden Republik. “Nah, seni rupanya yang belum. Maka aku bikinlah novel grafis seperti Serat Tripama ini,” imbuhnya.

Meskipun baru akan terbit tahun 2016, sungai seni rupa berupa Serat Tripama ini tak sekonyong-konyong Sujiwo kerjakan. Sejak tahun 1988, Sujiwo sudah kerap menggelar pameran lukisan tentang wayang batik di Jakarta, Yogyakarta, hingga Surabaya. “Tapi, entah kenapa, kemudian aku pengin menggambarnya secara urut menjadi sebuah lakon. Bikin komiklah, Heuheuheu,” tuturnya sambil terkekeh.

Buku yang rencananya terbit akhir Maret ini merupakan ungkapan spesial Sujiwo tentang cerita pewayangan. Sujiwo ingin, pembaca tidak hanya menyimak ceritanya melulu dari kata-kata, tetapi juga dari gambar-gambar yang, sebenarnyya, tanpa kata-kata pun sudah bisa berbicara sendiri. Katanya, “Banyak yang tidak bisa aku ungkapkan melalui kata-kata, tapi mungkin ekspresi dan setting para tokoh di dalamnya sudah bisa berbicara sendiri.”

Fitria Farisa simbah 1

Setelah sukses menulis romansa cinta antara Rahwana, Sinta, dan Rama melalui dua bukunya, Rahvayana: Aku Lala Padamu (2014) dan Rahvayana: Antara Ada dan Tiada (2015), dalang, penulis, dan seniman ulung, Sujiwo Tejo, bersiap meluncurkan buku terbarunya, Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati. Kali ini Sujiwo tampil beda. Untuk pertama kalinya, ia menulis buku yang bukan sekedar novel biasa, tapi berupa novel grafis. Artinya, tak hanya merangkai diksi menjadi kalimat saja, tetapi, dalam buku terbarunya, Sujiwo mengusung ilustrasi hasil karyanya sendiri.

Keputusan Sujiwo untuk menulis novel grafis bukan merupakan alasan sepele. Hal itu didasari dari pemahaman dirinya akan filosofi dalang. “Dalang itu seperti laut, muara dari bermacam sungai. Sungai tersebut terdiri dari sungai musik, sampai sungai seni rupa seperti novel grafis,” katanya.

Sejauh ini, Sujiwo sudah mencetak namanya di berbagai album musik, mulai dari album pertamanya, Pada Suatu Ketika (Titi Kolo Mongso) yang diluncurkan tahun 1998, hingga album Rahvayana yang rilis berbarengan dengan terbitnya buku Rahvayana. Tak hanya itu, Sujiwo juga sudah menulis sastra berupa kisah-kisah aktual nusantara dengan sudut pandang wayang, yang ia beri judul Wayang Durangpo. Sastra ini dimuat mingguan oleh Jawa Pos sejak tahun 2009. Pun, beberapa pentas teater telah Sujiwo gubah. Mulai dari Maha Cinta Rahvana, sampai Sinden Republik. “Nah, seni rupanya yang belum. Maka aku bikinlah novel grafis seperti Serat Tripama ini,” imbuhnya.

Meskipun baru akan terbit tahun 2016, sungai seni rupa berupa Serat Tripama ini tak sekonyong-konyong Sujiwo kerjakan. Sejak tahun 1988, Sujiwo sudah kerap menggelar pameran lukisan tentang wayang batik di Jakarta, Yogyakarta, hingga Surabaya. “Tapi, entah kenapa, kemudian aku pengin menggambarnya secara urut menjadi sebuah lakon. Bikin komiklah, Heuheuheu,” tuturnya sambil terkekeh.

Buku yang rencananya terbit akhir Maret ini merupakan ungkapan spesial Sujiwo tentang cerita pewayangan. Sujiwo ingin, pembaca tidak hanya menyimak ceritanya melulu dari kata-kata, tetapi juga dari gambar-gambar yang, sebenarnyya, tanpa kata-kata pun sudah bisa berbicara sendiri. Katanya, “Banyak yang tidak bisa aku ungkapkan melalui kata-kata, tapi mungkin ekspresi dan setting para tokoh di dalamnya sudah bisa berbicara sendiri.”

Fitria Farisabentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta