Jatuh 7x Bangkit 8x: Tak Terhenti Oleh Keterbatasan

Demi menyandang predikat sebagai istri yang smart, seorang Ibu gemar menawar untuk mendapatkan harga barang belanja semurah mungkin. Suatu hari, ia bertemu dengan lelaki tua yang menjual bibit mawar seharga Rp25.000 per pot. Sang Ibu tertarik, namun menurutnya harga tersebut terlalu mahal. Ia menawar Rp10.000 untuk setiap pot. Setelah proses tawar-menawar yang alot, Si Ibu akhirnya mendapatkan harga yang diinginkan. Ia lalu menyuruh lelaki tua itu untuk mengangkat seluruh pot ke bagasi mobilnya.

Di dalam mobil, Si Ibu berkata bangga kepada suaminya, “Keren, kan, Yang. Aku dapet lima pot bibit mawar dengan harga murah. Pedagangnya tadi nawarin Rp25.000 per pot, aku dapat Rp50.000 untuk lima pot!”

Seketika sang suami kaget dan marah, “Sadis kamu! Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu susul bapak itu sekarang. Kamu bayar dia Rp125.000, tambah upah bawain ke mobil Rp25.000. Nih, kamu kejar dan kasih dia Rp150.000!”. Melihat sang istri kebingungan, ia kembali berujar “Cepatan susul, tunggu apa lagi!”

Si Ibu turun dari mobil dan mengejar si lelaki tua. Ketika menerima uang, Bapak tua itu tiba-tiba menangis. “Makasih banyak, Neng. Ini jawaban doa Bapak sedari pagi. Seharian tadi jangankan membeli, menoleh ke dagangan Bapak saja tak ada yang sudi. Anak-istri Bapak lagi sakit di rumah. Nggak ada uang buat berobat. Pas Neng nawar, Bapak pikir nggak apa-apa harga segitu asal ada uang buat beli beras. Ini Bapak mau buru-buru pulang, kasihan mereka nunggu. Makasih, ya, Neng. Suami Neng orang baik. Neng juga baik, jadi istri nurut sama suami. Alhamdulillah. Bapak pamit, Neng.”

Si Istri hanya bisa dibuat tercenggang. Ia terisak karena merasa bersalah telah menghargai jerih payah orang dengan harga rendah.

Anekdot di atas adalah satu di antara anekdot yang membuka setiap bab “Jatuh 7x Bangkit 8x” karya J. Sumardianta dan G. Sutarto. Lalu apa hubungan anekdot-anekdot tersebut dengan kisah utama yang dihadirkan penulis? Rupanya cerita hidup Tarto, tokoh sentral dalam buku ini, tidak jauh berbeda dengan kisah-kisah pembuka tersebut.

Tarto adalah seorang laki-laki yang dilahirkan dalam kondisi keluarga yang dikepung keterbatasan. Sejak kecil, Tarto harus membantu orang tuanya bertani, berdagang, dan melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk bertahan. Masa kecil Tarto bukan masa kecil yang bahagia, namun keadaan serba sulit itu lah yang membentuk Tarto sebagai pribadi yang kuat dan bijaksana. Jika ada satu keberlimpahan dalam hidup Tarto, maka hal tersebut adalah semangat dan kegigihan.

Tarto menemukan harapan melalui pendidikan. Walaupun ia kerap di-bully oleh teman-temannya serta diperlakukan keras oleh para guru, semangat Tarto tidak surut. Risakan yang diterima melatihnya untuk bersabar dan mengendalikan diri. Sementara itu, teguran atas lima menit keterlambatan dari guru membuat ia mendapat pelajaran mengenai mengakui kesalahan dan displin. Melewati berbagai perjuangan, Tarto berhasil kuliah di Univesitas Negeri Surakarta dan menjadi sarjana pertama di kampungnya. Ia kemudian menjadi seorang pendidik yang berdedikasi di SMA Kanisius Jakarta.

Berbagai kesukaran yang dilewati Tarto tidak membuatnya getir dan menyalahkan kehidupan. Sejak kecil, Bapak dan Ibu Tarto telah berjasa dalam melatih anaknya menjadi manusia bermental pemenang. Tarto dididik untuk selalu menjadi solusi, bukan bagian dari masalah. Pesan utama pada buku ini adalah pentingnya kegagalan dan tantangan dalam hidup karena tidak ada proses belajar tanpa kegagalan.

“Jatuh 7x Bangkit 8x” telah bisa didapatkan dengan harga Rp54.000 di toko buku terdekat atau pesan melalui mizanstore.com.

Tentang penulis: J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta; kolumnis Jawa Pos, Koran Tempo, dan Kedaulatan Rakyat; pembicara di pelbagai forum; fasilitator di pelbagai pelatihan; penulis buku Guru Gokil Murid Unyu (2013), Habis Galau Terbitlah Move On (2014), dan bersama Dhitta Puti Sarasvati menulis buku Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016). 

Demi menyandang predikat sebagai istri yang smart, seorang Ibu gemar menawar untuk mendapatkan harga barang belanja semurah mungkin. Suatu hari, ia bertemu dengan lelaki tua yang menjual bibit mawar seharga Rp25.000 per pot. Sang Ibu tertarik, namun menurutnya harga tersebut terlalu mahal. Ia menawar Rp10.000 untuk setiap pot. Setelah proses tawar-menawar yang alot, Si Ibu akhirnya mendapatkan harga yang diinginkan. Ia lalu menyuruh lelaki tua itu untuk mengangkat seluruh pot ke bagasi mobilnya.

Di dalam mobil, Si Ibu berkata bangga kepada suaminya, “Keren, kan, Yang. Aku dapet lima pot bibit mawar dengan harga murah. Pedagangnya tadi nawarin Rp25.000 per pot, aku dapat Rp50.000 untuk lima pot!”

Seketika sang suami kaget dan marah, “Sadis kamu! Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu susul bapak itu sekarang. Kamu bayar dia Rp125.000, tambah upah bawain ke mobil Rp25.000. Nih, kamu kejar dan kasih dia Rp150.000!”. Melihat sang istri kebingungan, ia kembali berujar “Cepatan susul, tunggu apa lagi!”

Si Ibu turun dari mobil dan mengejar si lelaki tua. Ketika menerima uang, Bapak tua itu tiba-tiba menangis. “Makasih banyak, Neng. Ini jawaban doa Bapak sedari pagi. Seharian tadi jangankan membeli, menoleh ke dagangan Bapak saja tak ada yang sudi. Anak-istri Bapak lagi sakit di rumah. Nggak ada uang buat berobat. Pas Neng nawar, Bapak pikir nggak apa-apa harga segitu asal ada uang buat beli beras. Ini Bapak mau buru-buru pulang, kasihan mereka nunggu. Makasih, ya, Neng. Suami Neng orang baik. Neng juga baik, jadi istri nurut sama suami. Alhamdulillah. Bapak pamit, Neng.”

Si Istri hanya bisa dibuat tercenggang. Ia terisak karena merasa bersalah telah menghargai jerih payah orang dengan harga rendah.

Anekdot di atas adalah satu di antara anekdot yang membuka setiap bab “Jatuh 7x Bangkit 8x” karya J. Sumardianta dan G. Sutarto. Lalu apa hubungan anekdot-anekdot tersebut dengan kisah utama yang dihadirkan penulis? Rupanya cerita hidup Tarto, tokoh sentral dalam buku ini, tidak jauh berbeda dengan kisah-kisah pembuka tersebut.

Tarto adalah seorang laki-laki yang dilahirkan dalam kondisi keluarga yang dikepung keterbatasan. Sejak kecil, Tarto harus membantu orang tuanya bertani, berdagang, dan melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk bertahan. Masa kecil Tarto bukan masa kecil yang bahagia, namun keadaan serba sulit itu lah yang membentuk Tarto sebagai pribadi yang kuat dan bijaksana. Jika ada satu keberlimpahan dalam hidup Tarto, maka hal tersebut adalah semangat dan kegigihan.

Tarto menemukan harapan melalui pendidikan. Walaupun ia kerap di-bully oleh teman-temannya serta diperlakukan keras oleh para guru, semangat Tarto tidak surut. Risakan yang diterima melatihnya untuk bersabar dan mengendalikan diri. Sementara itu, teguran atas lima menit keterlambatan dari guru membuat ia mendapat pelajaran mengenai mengakui kesalahan dan displin. Melewati berbagai perjuangan, Tarto berhasil kuliah di Univesitas Negeri Surakarta dan menjadi sarjana pertama di kampungnya. Ia kemudian menjadi seorang pendidik yang berdedikasi di SMA Kanisius Jakarta.

Berbagai kesukaran yang dilewati Tarto tidak membuatnya getir dan menyalahkan kehidupan. Sejak kecil, Bapak dan Ibu Tarto telah berjasa dalam melatih anaknya menjadi manusia bermental pemenang. Tarto dididik untuk selalu menjadi solusi, bukan bagian dari masalah. Pesan utama pada buku ini adalah pentingnya kegagalan dan tantangan dalam hidup karena tidak ada proses belajar tanpa kegagalan.

“Jatuh 7x Bangkit 8x” telah bisa didapatkan dengan harga Rp54.000 di toko buku terdekat atau pesan melalui mizanstore.com.

Tentang penulis: J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta; kolumnis Jawa Pos, Koran Tempo, dan Kedaulatan Rakyat; pembicara di pelbagai forum; fasilitator di pelbagai pelatihan; penulis buku Guru Gokil Murid Unyu (2013), Habis Galau Terbitlah Move On (2014), dan bersama Dhitta Puti Sarasvati menulis buku Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016).Bentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta