Tantangan Mengajari Anak Membaca
Perbandingan sosial membuat kita berlomba-lomba agar anak menjadi yang tercepat bisa membaca. Berbagai upaya dilakukan orangtua agar anak bisa membaca secepat dan selancar mungkin, tanpa memperhatikan esensi dari “mampu membaca”. Akibatnya, banyak anak usia prasekolah yang lancar membaca, namun minim pemahaman atas apa yang dibacanya. Padahal, tujuan utama belajar membaca yaitu agar kita bisa memahami, mengolah, menyampaikan, dan memberikan opini terhadap suatu wacana. Dengan kata lain, menjadi manusia yang terliterasi. Berdasarkan studi Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, Negara Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari 46 negara dalam kemampuan membaca. Artinya, masih banyak pr untuk para guru, orangtua, dan pemegang kebijakan dalam menjawab tantangan mengajari anak membaca sebagai proses paling awal menuju masyarakat terliterasi.
Teknologi, Membantu atau Menghambat?
Digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan turut berpengaruh terhadap dinamika perkembangan seseorang. Jika 10 tahun lalu kita perlu berjalan menuju pangkalan ojek untuk mendapatkan jasa antarjemput, sekarang kita hanya perlu satu jari hingga ojek online muncul di depan rumah.
Perkembangan digital juga telah menyentuh area anak. Bukan hal aneh lagi jika kita menemukan anak kecil yang mahir memainkan gawai. Kabar baiknya, gawai dapat menjadi media belajar yang interaktif dan inovatif. Mau belajar apapun, gawai siap menawarkan solusi. Sayangnya, penggunaan gawai pada anak turut menghambat beberapa aspek perkembangan anak. Misalnya, adanya gadget dapat mengurangi interaksi anak dengan manusia sehingga akan berdampak pada kurangnya kemampuan komunikasi verbal.
Dalam buku Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja sang penulis, Vidya Dwi Paramita, menjelaskan bahwa gawai juga membentuk pola hidup instan. Gratifikasi instan tersebut tentu saja tidak membuat anak belajar akan ketekunan untuk memperoleh sesuatu. Vidya mencontohkan, anak bisa mewarnai suatu objek dalam gawainya hanya dengan satu ketukan, tanpa harus menggerakkan tangan dan mengarsir pelan. Akibatnya, kemampuan motorik halus akan kurang mendapat stimulus (Baca: pentingnya stimulasi motorik dalam buku Dr. Montessori Own Handbook). Padahal, anak butuh kemampuan motorik menggenggam pensil untuk mempersiapkannya belajar menulis. Jadi, kita harus bijak dalam memanfaatkan gawai untuk anak agar tidak menjadi bumerang bagi perkembangannya.
Empati dan Kesabaran
Terkadang kita lupa bahwa anak belum mengerti cara huruf dan bunyinya bekerja. Maka ketika anak tak kunjung bisa membaca, orang tua dan guru jadi frustrasi dan akhirnya memarahi anak. Di sisi lain, anak juga merasa tertekan dan akhirnya menganggap bahwa belajar ialah aktivitas yang menegangkan. Jadi, merupakan tantangan tersendiri dalam mengajari anak membaca untuk dapat berempati dan bersabar. Vidya juga menekankan bahwa dalam belajar, peran guru dan orangtua ialah pendamping dan pengarah, bukannya pemberi intervensi dan pemarah.
Mari kita merefleksi yang telah kita lakukan kepada anak. Apakah sudah tepat dan efektif? Atau justru membuat anak takut belajar bersama kita? Di buku Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja Vidya Paramita akan menjelaskan seluk beluk belajar membaca yang menyenangkan. (rahma)
Trackbacks & Pingbacks
[…] Baca juga: Tantangan Mengajari Anak Membaca […]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!