Petaka Amerika dan Ironi Demokrasi

Kita tak melupa Mark Twain. Pengarang bercerita manusia-manusia dan tempat-tempat di Amerika Serikat dengan lelucon dan derita tak tertanggungkan. Ia memiliki biografi ironis tapi memberi persembahan humor untuk para pembaca cerita di Amerika Serikat dan dunia. Ia ingin Amerika Serikat girang dan tertawa saat memiliki seribu masalah. Kini, Amerika Serikat membesar dengan berita-berita pedih mengenai wabah, rasisme, dan kepongahan Trump. Kita terlalu dihajar berita ketimbang menelusuri lagi jalan-jalan cerita Amerika Serikat. Pada saat menua, Mark Twain berujar untuk warisan Amerika Serikat: “Aku tak memiliki prasangka terhadap warna kulit, kasta, atau kepercayaan.” Ia cuma mengetahui manusia adalah manusia.

Wabah belum rampung, petaka rasial tergelar di Amerika Serikat. Masalah-masalah besar itu turut “merusak” tatanan demokrasi. Kita sudah lama tak mutlak berkiblat demokrasi itu Amerika Serikat. Pada situasi tak keruan, kita berpikiran lagi identitas dan demokrasi mengalami pasang-surut di negara besar dipimpin Donald Trump. Konon, masa depan kebebasan sebagai pijakan demokrasi dipertaruhkan di  Amerika Serikat, melebihi kasus-kasus di negara-negara lain. Di alur sejarah seabad, Fareed Zakaria (2003) mengingatkan: “Kemunculan dan dominasi Amerika Serikat – negara yang politik dan budayanya sangat demokratis – telah membuat demokratisasi tampak tak terelakkan.” Pada masa setelah keberakhiran Perang Dunia II, demokrasi menjangkiti pelbagai negara. Dulu, Amerika Serikat menjadi “kiblat” tapi tak kekal. Misi besar itu menghilangkan ajakan Mark Twain agar Amerika Serikat sering tertawa ketimbang memerintah, menggertak, menghukum, dan menghina negara-negara lain.

Petaka-petaka di Amerika Serikat mula-mula dijelaskan secara sengit oleh Francis Fukuyama melalui buku berjudul Identitas: Tuntutan Atas Martabat dan Politik Kebencian. Bacaan bagi kita di rumah berlagak mengamati Amerika Serikat sedang kelimpungan menanggulangi wabah dan mendapat “kutukan” demokrasi. Buku tipis, tak semegah seperti buku The End Histoty and the Last Man. Buku terbaru mengingatkan orang-orang tentang politik identitas berlaku di Amerika Serikat, menular ke pelbagai negara di naungan demokrasi. Konon, buku berjudul Identitas diakui “mendesak” dan “wajib” dibaca mumpung Amerika Serikat semakin bermasalah rumit gara-gara omongan dan pelbagai kebijakan Trump. Episode negara besar kekurangan dan kehilangan tawa. Negara itu sangar.

Francis Fukuyama lugas mengajukan penjelasan berkaitan identitas dan politik identitas sedang seru menjadi isu global. “Pada mulanya, identitas tumbuh sebagai pembeda antara diri seseorang dan dunia luar, dengan segenap aturan dan norma sosial yang tidak cukup mampu mengenali nilai atau martabat diri seseorang tersebut,” tulis Francis Fukuyama. Di tatanan mengaku demokrasi, identitas perlahan memicu konflik-konflik. Semua dipengaruhi omongan dan ulah penguasa, diimbuhi sekian kebijakan mulai diskriminatif. Perlawanan atau kekacauan tercipta tapi mengalami tekanan mengacu ke ilusi-ilusi demi keberlangsungan kekuasaan. Politik identitas pun menguak aib-aib dan gejala keruntuhan demokrasi telanjur lama diagungkan.

Pada 2010, tragedi besar dialami Mohamed Bouazizi, memicu perlawanan berubah menjadi Musim Semi Arab. Para diktator di Dunia Arab dilawan dan dijatuhkan. Semua berlu dari tindakan polisi merampas dagangan sayur di gerobak milik Bouazizi. Peristiwa itu menjadi berita cepat beredar ke sembarang arah. Bouzazizi membakar diri. Unjuk rasa digelar di pelbagai tempat: mengubah sejarah (demokrasi) abad XXI. Francis Fukuyama mengingatkan: “negara tidak memperlakukan Bouazizi sebagai manusia.” Siapa saja patut mendapat rasa hormat dan perlakuan adil. Tindakan sembrono dan khianat atas demokrasi menghasilkan petaka besar. Kini, lakon polisi semena-mena terhadap warga berkulit hitam memicu gegeran di Amerika Serikat.

Abad XXI memiliki lakon-lakon mengejutkan dalam masalah identitas dan demokrasi. Segala kejutan mungkin harus mengacu lagi ke sejarah Revolusi Prancis. Episode itu mengakui martabat dasar manusia. Pengakuan menjadi pokok gerakan demokratis. Negara wajib menjamin hak-hak secara rasional demi membenarkan demokrasi. Pada situasi mutakhir, kita justru melihat dan mendapatkan berita demokrasi tampak di mulut dan lembaran kertas sebagai omong kosong. Di pelbagai negara, suguhan diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan, rasisme, dan lain-lain terus menodai “roman” demokrasi ingin dipamerkan Amerika Serikat dan negara-negara besar.

Pada gairah membesar dan arah berbeda, Francis Fukuyama mengamati: “Salah satu karakteristik yang mencolok dari politik global pada dekade kedua abad XXI adalah kekuatan baru yang dinamis yang membentuknya terdiri atas partai dan politisi nasionalis atau agama, dua wajah politik identitas….” Pengamatan mengarah ke Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Timur. Kita pun bisa menaruh pengamatan itu terjadi di Indonesia atau negara-negara di Asia Tenggara. Masalah-masalah rumit memicu konflik sering bermunculan berkitan tata cara demokrasi dan sosok-sosok penguasa. Kita mungkin bosan dan capek melihat dan mengikuti kiprah Trump. Dunia memang memberi “panggung” untuk segala pementasan Trump ingin menjadikan Amerika Serikat terampuh dan selalu menangan terhadap negara-negara lain.

Pada abad “menonton” melalui layar-layar, kita gampang mengetahui Amerika Serikat berkaitan demokrasi, politik identitas, Trump, dan lain-lain. Situasi mutakhir di Amerika Serikat bisa dilihat sambil diselingi membaca halaman-halaman di buku berjudul Identitas. Francis Fukuyama sempat membuat kita mengingat persembahan novel pernah memberi nubuat masa depan bergantung teknologi. Demokrasi berseru kebebasan, kebahagiaan, dan kesetaraan kadang sulit terbukti. Pembaca diajak menengok ke novel berjudul 1984 (George Orwell) dan Brave New World (Aldous Huxley) untuk mengerti kontrol dan perlawanan. Pada “roman” demokrasi berlangsung abad XXI, kita pun mengerti ada kabar buruk selain mimpi-mimpi terlalu lama dimiliki demi dunia. Begitu.

Bandung Mawardi

*Pernah dipublikasikan di Suara Merdeka, 12 Juli 2020

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta