Petuah Jawa dari Cak Nun: Rumongso Biso atau Biso Rumongso

Petuah Jawa dari Cak Nun. Sejalan dengan peribahasa, Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso, yang berarti ‘jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa’ adalah sebuah teguran agar kita jauh dari kesombongan dan kebohongan. Melakukan segala sesuatu hanya mengandalkan ego secara berlebihan, tanpa mengerjakannya dengan hati dan perasaan, terutama kejujuran, dapat membuahkan hasil yang tidak maksimal, bahkan secara tidak langsung dapat merugikan orang lain.

“Petuah: Siapa-siapa yang dianggap benar sehingga dia ‘pro’ maka disimpulkan benar 100%, sedangkan yang salah pasti salah 100%. Manusia zaman sekarang, memang senangnya ‘rumongso biso’ bukannya ‘biso rumongso.’” ―Emha Ainun Nadjib

Merasa bisa dapat dianggap sebagai suatu sikap yang gegabah, apalagi merasa bisa berkonotasi belum tentu bisa. Bahkan, yang lebih bahaya lagi apabila merasa belum bisa, tetapi mengaku bisa. Tentu saja hal ini juga menyangkut sebuah kebohongan. Berikut petuah dari Cak Nun.

Petuah Cak Nun

Petuah Jawa dari Cak Nun. Sejalan dengan peribahasa, Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso, yang berarti ‘jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa’ adalah sebuah teguran agar kita jauh dari kesombongan dan kebohongan. Melakukan segala sesuatu hanya mengandalkan ego secara berlebihan, tanpa mengerjakannya dengan hati dan perasaan, terutama kejujuran, dapat membuahkan hasil yang tidak maksimal, bahkan secara tidak langsung dapat merugikan orang lain.

Indonesia Tidak Belajar kepada Yogya

Dalam salah satu judul bab yang ada di dalam buku terbaru Cak Nun, terdapat bahasan materi yang berjudul Indonesia Tidak Belajar kepada Yogya. Di dalamnya, terdapat percakapan antara Simbah dan anak-cucunya yang membahas persoalan sikap manusia zaman kini.

Tiba-tiba, Beruk menyeletuk, bahwa orang sekarang cenderung merasa lebih hebat daripada orang dulu. Masyarakat sekarang merasa lebih maju daripada masyarakat dulu. Peradaban manusia sekarang diam-diam memastikan di dalam dirinya bahwa mereka lebih pandai daripada manusia zaman dulu.

Parameter landasan rasa lebih hebat itu terutama sekolah, teknologi, dan gebyar hedonism materialistis mereka. Ini suatu tema luas dan rentang pembicaraannya sangat panjang, serta complicated mozaik konteksnya. Beruk bilang tidak ingin berdebat soal ini, terutama karena setiap orang yang berdebat di dunia modern hampir selalu hadir dengan parameter subjektifnya.

Orang Zaman Sekarang

Orang zaman sekarang tidak merasa perlu belajar, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan nafsu dan kemewahan hidup mereka. Tidak punya kemampuan untuk berdialog dengan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kebenaran pada setiap manusia itu bersifat relatif. Mereka tidak siap untuk “sinau bareng”. Kalau bertemu, niat mereka mempertahankan kebenaran yang dipahami, kemudian diam-diam memaksakannya kepada orang lain.

Mereka tidak punya kebiasaan untuk mencari kebenaran bersama-sama. Tidak cenderung datang dengan “biso rumongso” atau bisa merasa. Malah menanantang siapa saja di luar dirinya dengan sikap mental “rumongso biso” atau merasa bisa, merasa unggul, merasa paling benar, merasa pasti masuk surga, dan semua yang akan ditemuinya adalah para penghuni neraka. Itu pun mereka sibuk dan selalu ribut dengan menyimpulkan “apa yang benar” dan “siapa yang salah”. Siapa-siapa yang dianggap benar, sehingga dia “pro” maka disimpulkan benar 100%, sedangkan yang salah pasti salah 100%.

Baca Juga: Piweling Syukur dari Cak Nun untuk Jamaah Maiyah

Lebih parah lagi, pemenang pada setiap persaingan disimpulkan sebagai yang benar. Yang benar pasti berkuasa. Lalu, yang berkuasa pasti baik. Akhirnya, yang baik pasti tidak sedikit pun ada buruknya. Bahkan, variabelnya berkembang-kembang: yang kaya itulah yang menang, benar, baik, sukses, ditambah diridai Allah dan masuk surga. Sampai-sampai almarhum Asmuni dalam sebuah episode Srimulat berkata lantang, “Saya, kan, kaya maka saya lurah. Lurah yang kaya tidak mungkin salah, tidak mungkin buruk, tidak mungkin kalah .…”

Petuah Jawa dari Cak Nun: Gadjah Mada

Setiap kali berkunjung ke Yogya, Mahapatih (Perdana Menteri) Gadjah Mada bahkan diam-diam bergumam, “Di mana letak saya di universitas kebanggaan cucuku Yogya ini? Saya tidak menemukan diri saya dalam prinsip mereka. Tapi, saya tidak berdetak bersama jantung mereka. Juga, saya tidak mengalir di darah mereka. Dan, saya tidak merupakan tiang utama peta berpikir mereka. Kenapa sekolah ini diberi nama menggunakan nama saya? Namun, untunglah namanya bukan Ratu Shima atau Pangeran Padma sehingga tidak lebih runyam lagi harkat rohani nenek dan kakek saya itu.”

Kita ketahui sendiri―bahkan bisa jadi kita menjadi bagian―manusia-manusia zaman sekarang yang sungguh mengherankan. Gadjah Mada bodoh kalau menuntut Lembaga Gadjah Mada beserta para kaum terpelajarnya yang belajar kepadanya. Sementara itu, Indonesia didirikan dengan “didukuni” oleh Yogyakarta, ditraktir mengaji pemerintahannya pada tahun-tahun awal, dipinjami tanah, gedung, dan fasilitas-fasilitas, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa Indonesia belajar kepada Yogyakarta.

Siapa itu Indonesia?

Entah anak siapa Indonesia itu. Tiba-tiba, lahir sebagai republik, sebagai negara, bersifat kesatuan, dengan tata aturan yang tidak terkait dengan asal-usul sejarah yang melahirkannya. Tanpa pernah bertanya atau belajar kepada para leluhurnya. NKRI ini lahir dari Ibu Pertiwi, tetapi seakan-akan bapaknya bukanlah bangsa Indonesia, yang kandungan nilai sejarah selama hampir tiga milenium demikian dahsyatnya.

Sekali lagi saya tekankan, manusia memang haus akan “jatah tambahan”. Kebanyakan dari kita bukan haus akan ilmu kehidupan, melainkan haus akan fenomenal, keviralan, dan harta duniawi yang memabukkan. Rumongso biso sesungguhnya tipu daya duniawi yang sering kali melekat dalam jiwa dan pikiran manusia. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan eksistensinya. Mereka ingin dianggap ada, dianggap merasa paling bisa.

Kebalikannya?

Kebalikannya, biso rumongso merupakan jati diri manusia yang haus akan ilmu pengetahuan di dalam kehidupan. Mereka bisa melakukannya, tetapi juga tak selalu ingin tampak. Bekerja dengan aksi, bukan hanya bualan-bualan yang dipolitisasi.

Kalian dapat berjumpa dengan ilmu-ilmu kehidupan yang dituturkan oleh Emha Ainun Nadjib dalam buku terbarunya berjudul Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pra-pesannya melalui laman Cak Nun Mencari Kebenaran.

Terus gerilyakan segala kemampuanmu pada dunia. Buktikan bahwa aksi nyata memang ada. Kurangi angkuhmu, perkecil tamakmu, dan perbesar langkah kontribusimu. Ambisimu terlalu berharga untuk direndahkan, tetapi jangan pula untuk meninggikan tanpa tahu batasan.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

1 reply

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] Baca Juga: Petuah Jawa dari Cak Nun: Rumongso Biso atau Biso Rumongso […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta