Ketimpangan dalam Demokrasi Liberal

Dalam demokrasi liberal modern, prinsip kedua, kesetaraan, jarang dipahami untuk menyiratkan komitmen terhadap kesetaraan ekonomi atau sosial yang substantif. Rezim sosialis yang mencoba menjadikannya kenyataan segera mendapati diri mereka sendiri bertentangan dengan prinsip pertama, kebebasan, yang diperlukan ketika mereka melakukan kontrol negara besar besaran atas kehidupan warga masyarakat.

Ekonomi pasar bergantung pada upaya mengejar kepentingan pribadi tiap individu yang mengarah pada ketimpangan kekayaan karena kemampuan orang yang berbeda-beda dan kondisi kelahiran mereka. Kesetaraan dalam demokrasi liberal modern selalu lebih berarti semacam kesetaraan kebebasan. Ini berarti kebebasan negatif dari kekuasaan pemerintah yang kejam dan kebebasan positif yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sendiri dan pertukaran ekonomi.

Demokrasi liberal modern melembagakan prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan itu dengan menciptakan negara yang cakap yang dibatasi aturan hukum dan akuntabilitas demokratis. Aturan hukum membatasi kekuasaan dengan memberikan warga negara hak-hak dasar: dalam wilayah tertentu seperti bicara, pergaulan, properti, dan keyakinan agama, negara tidak boleh membatasi pilihan individu. Aturan hukum juga melayani prinsip kesetaraan dengan menerapkan aturan-aturan tersebut secara merata kepada semua warga negara, termasuk mereka yang memegang jabatan politik tertinggi dalam sistem.

Demokrasi Liberal

Kebebasan dan kesetaraan yang digaungkan ternyata hanya bualan semata.

Kontradiksi dalam Kelas Kapitalis

Pada era kapitalisme transnasional ini, kontradiksi dalam kapital pun semakin tajam. Pertama, karena kompetisi oligopolistik antara perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Corporations/TNCs) yang meningkat sejak 1970-an dan kedua, karena TNCs telah menjadi tantangan besar bagi korporasi yang lebih kecil, yang notabene perusahaan-perusahaan nasional. Korporasi transnasional dapat mengakumulasikan kapital dengan menarik keuntungan dari korporasi kecil (nasional) melalui beberapa cara. TNC biasanya memilih pemasoknya dari perusahaan-perusahaan nasional yang bersaing satu sama lain dan saling menurunkan harga agar terpilih. Padahal, perusahaan nasional ini memiliki teknologi produksi yang lebih rendah dan menanggung biaya tenaga kerja yang relatif lebih tinggi.

Kondisi ini tentunya menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih kecil bagi perusahaan pemasok nasional, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan dan investasi teknologi mereka. Pada sisi lain, kondisi ini membawa keuntungan bagi perusahaan transnasional yang dapat menjual produk mereka (misalnya, teknologi canggih) dengan harga monopoli ke perusahaan-perusahaan nasional. Sebagai akibatnya, perusahaan transnasional menjadi lebih besar dan mampu membayar karyawan mereka dengan upah lebih tinggi, sementara perusahaan nasional dengan kapital yang lebih kecil “dipaksa” oleh kekuatan pasar untuk menekan upah dan mencoba menghindari pajak.

Baca juga: Politik Identitas dan Demokrasi Liberal

Konsekuensi Demokrasi Liberal

Konsekuensinya adalah munculnya keberadaan tenaga kerja yang tidak dinyatakan (undeclared) dan tidak dilaporkan (unreported) terlibat dalam “ekonomi bayangan” (Schneider, 2013). Meskipun biasanya yang menopang ekonomi bayangan ini adalah bisnis kecil, mereka melakukannya di bawah tekanan perusahaan-perusahaan transnasional. Harga dan upah yang lebih rendah dari ekonomi bayangan berkontribusi secara tidak langsung dalam membatasi kenaikan upah dalam ekonomi formal yang “dinyatakan”, saat aktor utamanya adalah perusahaan-perusahaan trasnasional. Semakin lemah modal nasional suatu negara, semakin besar pula kontribusi ekonomi bayangannya terhadap PDB-nya. Inilah faktor yang membuat tingkat upah rata-rata di suatu negara turun.

Di negara-negara periphery, TNC dapat mewujudkan tingkat laba yang lebih tinggi dibandingkan di negara-negara core yang memiliki ekonomi bayangan yang lebih kecil. Jadi, penerima manfaat terbesar dari penghindaran pajak perusahan-perusahaan kecil justru adalah perusahaan-perusahaan transnasional. Di samping itu, mereka juga menikmati pembebasan pajak substansial (substantial tax exemptions) yang umumnya disediakan oleh negara tuan rumah untuk merangsang penanaman modal asing (PMA).

Ketimpangan yang Terjadi

Karena ketimpangan ini, pemilik modal kecil cenderung menganggap pemilik modal besar sebagai “penindas”. Karena perusahaan besar ini biasanya TNC atau “perusahaan asing”, dan perusahaan kecil biasanya “perusahaan nasional”, konflik antara kepentingan pemilik modal besar dan kecil mudah diterjemahkan sebagai kontradiksi antara kapital “asing” dan “nasional”. Pemerintah dan politisi yang melayani kepentingan yang pertama, biasanya disebut elite “komprador”, sementara mereka yang menyatakan kepentingannya untuk mendukung yang terakhir disebut “nasionalis”.

Baik elite komprador maupun nasionalis, keduanya sama-sama diikat oleh keuntungan finansial yang mengalir dari pihak yang mereka dukung. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh pemilihan presiden di Amerika Serikat dan referendum di Inggris pada 2016, kepentingan pemilik modal “nasional” pada batas tertentu menjadi tumpang tindih dengan kepentingan mereka yang tidak memiliki modal, karena pertama, pengembangan modal domestik berarti pengembangan basis produksi dalam negeri, dan kedua, perusahaan terkecil seperti UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro) dalam situasi aktualnya tidak jauh berbeda dengan penerima upah.

Kontradiksi dalam Kelas Pekerja

Pengurangan wage share merefleksikan sebuah mekanisme “rata-rata” yang menyembunyikan ketimpangan upah di dalamnya. Perbedaan upah ini telah meningkatkan jumlah kelompok rentan dalam dekade terakhir, terutama sejak krisis 2008 di banyak negara, termasuk di negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang menurut Fukuyama, memungkinkan perwujudan bentuk masyarakat yang paling baik.

Deregulasi pasar tenaga kerja, aliran bebas kapital dan peningkatan migrasi telah menyebabkan munculnya kelas bawah dari kelas pekerja, “prekariat”, yang tidak hanya terjadi di pinggiran, tetapi juga di pusat-pusat kapitalisme global. Istilah prekariat merupakan perpaduan antara “precarious” (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan. Istilah baru yang dipopulerkan oleh Guy Standing ini umumnya merujuk pada para pekerja yang terlibat dalam pola ketenagakerjaan yang “tidak permanen” dan “fleksibel” seperti sistem kontrak, outsourcing, part-time, freelance, dan teleworking (Polimpung, 2018).

Ketimpangan ekonomi dan ketidakstabilan sosial yang semakin dirasakan masyarakat di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Mereka secara alami telah meningkatkan dahaga sebagian besar masyarakat akan “perubahan”. Kehidupan yang lebih baik dan “ketertiban umum”, tidak peduli apakah perubahan tersebut ditawarkan sayap kiri atau kanan.

Kondisi Politik yang Terjadi

Kondisi ini mencerminkan bahwa bahkan rakyat di negara maju yang didasarkan pada demokrasi liberal sekalipun tidak dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Hal ini tidak saja disebabkan oleh alasan politik—karena demokrasi liberal sejak awal memang dibangun dalam bentuk perwakilan. Ketika seseorang dengan menggunakan hak pilihnya menyerahkan haknya untuk menentukan nasibnya sendiri ke tangan orang lain—tetapi juga alasan ekonomi. Bahwa semua produk yang diproduksi oleh rakyat pekerja, tidak dapat dijangkau mereka secara langsung. Mereka yang memproduksi barang-barang itu sendiri harus membelinya di pasar. Dalam hal ini, rakyat teralienasi baik dari hak mereka untuk menentukan nasibnya sendiri maupun dari produk yang mereka hasilkan sendiri.

Sayangnya, perubahan dan ketertiban yang didambakan sebagian besar rakyat memiliki karakter yang sama sekali berbeda dari ketertiban yang diinginkan oleh kelas penguasa. Namun, tentu saja perbedaan ini tetap tersembunyi. Terutama ketika krisis terjadi dan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan “penghematan”. Yang pada akhirnya memperburuk permasalahan sosial demi menyelamatkan segelintir individu pemilik modal.

Hal ini terjadi karena kapitalisme global secara terang-terangan merepresentasikan ketidakadilan dalam memperoleh keuntungan kumulatif. Masyarakat yang mengalami kekalahan dan kerentanan ini dengan mudah mengantagoniskan kapitalis global. Ia dianggap sebagai biang atas ketimpangan dan ketidakpastian hidup yang mereka alami.

Masa Depan Demokrasi Liberal

Demokrasi liberal dapat diperkuat dengan mengurangi ketimpangan, tapi penanganan ketimpangan mensyaratkan pembatasan terhadap kekuatan pasar, kompetisi, dan akumulasi kapital. Begitu juga sebaliknya, meningkatkan kebebasan pasar secara otomatis akan memperparah ketimpangan yang berimplikasi pada pembatasan demokrasi. Jika masalah kepemilikan (ownership) dibiarkan tidak terselesaikan, demokrasi hanya berfungsi untuk melayani akumulasi kapital.

Titik akhir pembahasan dalam tulisan ini adalah bahwa kontradiksi mendorong perkembangan sejarah. Jika tidak ada kontradiksi antara dan di dalam pasar bebas dengan demokrasi liberal, tatanan masyarakat seharusnya telah mencapai bentuk akhirnya. Namun, kontradiksi demi kontradiksi terus bermunculan baik antara sistem pasar bebas dan demokrasi, maupun di dalam masing-masing komponen pembentuknya. Logika yang melekat dari mekanisme pasar bebas menimbulkan ancaman bagi demokrasi. Sementara perluasan demokrasi tidak bisa tidak akan membatasi kebebasan pasar dan menghentikan roda akumulasi kapital.

Di penghujung wawancaranya dengan The Washington Post (2017), Fukuyama membiarkan pintu “sejarah” terbuka untuk ketidakpastian pada masa depan, ia berujar “Perhaps this very prospect of centuries of boredom at the end of history, will serve to get history started once again” (Tharoor, 2017). Pernyataan Fukuyama ini dan perkembangan dunia yang penuh kontradiksi. Menegaskan kembali kepada kita bahwa perubahan bentuk tatanan masyarakat pasca-kapitalisme adalah hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Dapatkan bukunya di sini.

Sumber :

Chen, S., and Ravallion, M. (2013) ‘More Relatively-Poor People in a Less Absolutely-Poor World’, Review of Income and Wealth, Vol. 59, Issue 1, pp. 1-28.

Fukuyama, Francis. Identitas. 2020. Bentang Pustaka: Yogyakarta.

ONS. (2017). People In Employment on a ZeroHours Contract [online].

Polimpung, H. Y. (2018). Ngomong-ngomong Apa itu Pekerja Prekariat [online].

Tharoor, I. (2017) The Man Who Declared The ‘End of History’ Fears for Democracy’s Future [online].

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta