Periode Sensitif Anak

Bagaimana Menyikapi Periode Sensitif Anak?

Pada usia tertentu, anak akan mulai memiliki ketertarikan terhadap suatu hal. Ketertarikan ini bisa menjadi intens bahkan tidak menggubris hal lain dan tanpa alasan. Jika anak sudah berada pada periode sensitif, maka peran orang tua sangat penting untuk membantu mereka. Ada beberapa tips yang bisa diterapkan orang tua jika anak mulai memasuki periode sensitif.

 

Hal yang Orang Tua Bisa Lakukan

Ketika anak memasuki periode sensitif maka biarkan mereka mengeksplorasi hal yang menarik perhatian mereka. Mencegah mereka dalam memburu minatnya akan menghilangkan kesempatan untuk melakukan penaklukan secara fitrah. Anak juga bisa kehilangan sensitivitas dan hasrat istimewanya di area tersebut. Dampaknya bisa mengkhawatirkan perkembangan serta kedewasaan psikisnya.

Kesempatan untuk berkembang pada periode sensitif harus dibantu oleh orang tua atau orang dewasa yang dekat dengan anak. Orang tua harus memberikan sarana yang anak butuhkan untuk perkembangannya dan terutama yang tidak bisa ia lakukan sendiri. Orang tua harus menyediakan lingkungan yang memadai untuk embrio psikis dan embrio ragawi.

Hal-Hal yang Muncul Saat Periode Sensitif

Pada periode sensitif, keteraturan adalah hal yang pertama kali muncul. Pada buku Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay karya Astrid W.E.N, anak menggemari keteraturan karena lingkungan yang tetap dan terprediksi adalah kebutuhan vitalnya. Dengan lingkungan yang demikian, anak bisa mengotak-ngotakkan persepsinya dan dapat membentuk landasan konseptual internal untuk memahami dan menyikapi dunianya.

Periode sensitif kedua muncul dalam bentuk hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan. Melalui rabaan dan sentuhan, anak menyerap sifat-sifat benda di lingkungan sekitarnya dan berusaha untuk memengaruhinya. Melalui aktivitas sensoris dan motorik ini, struktur neurologis untuk bahasa anak juga akan ikut berkembang. Itu sebabnya, Montessori menyebut tangan dan lidah sebagai “instrumen” kecerdasan manusia.

Periode Sensitif Anak

Anak harus dikenalkan pada bahasa di periode sensitif ini. Jika tidak, kemampuan bahasanya tidak berkembang. Anak lazimnya dikelilingi aneka bunyi yang ia butuhkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa. Selain itu, di sekitar anak juga harus tersedia benda-benda yang bisa ia eksplorasi agar struktur neurologisnya bisa berkembang.

Periode sensitif ketiga adalah periode sensitif untuk berjalan. Ini merupakan yang paling mudah dikenali oleh orang dewasa. Montessori memandang masa ini sebagai kelahiran kedua untuk anak karena di tahap ini mereka beranjak dari makhluk tak berdaya menjadi insan yang aktif. Pada periode ini, anak gemar berjalan-jalan dengan jarak yang sangat jauh. Anak kecil berjalan untuk mengembangkan kemampuannya dan tidak memiliki tujuan.

Periode sensitif keempat adalah ketertarikan kepada benda-benda mungil dan rinci yang bahkan luput dari pengamatan kita. Anak mungkin tertarik pada serangga mungil yang nyaris tidak terlihat oleh mata manusia atau benda-benda di sekitarnya yang kecil seperti mainan kecil dan lain-lain. Periode sensitif kelima adalah ketertarikan pada aspek kehidupan sosial. Anak akan menjadi sangat penasaran akan hak orang lain dan berusaha untuk bersosialisasi dengan mereka. Ia juga akan berusaha mempelajari tata krama dan melayani orang lain.

 

Enda Sinta Apriliana

takut berpisah

Dilema dan Takut Berpisah dengan Orang Terdekat

Apakah anak mengalami dilema dan takut berpisah dengan orang terdekat? Pernahkah ketika kita membawa anak ke dunia luar, kita justru menjadi cemas dan khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi? Atau anak enggan untuk berpisah dengan kita ketika ia bertemu dengan temannya? Jika iya, kondisi ini disebut sebagai Separation Anxiety Disorder atau Gangguan Kecemasan Berpisah.

Ini merupakan kondisi ketika seseorang mengalami ketakutan atau kecemasan yang berlebihan serta tidak beralasan karena terpisah dari orang yang dekat dengannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak tetapi juga bisa dialami oleh orang tua.

Tanda Mengalami Kondisi Dilema dan Takut Berpisah

takut berpisah

Sulit bagi kita untuk membedakan apakah seseorang mengalami separation anxiety disorder atau hanya mengalami kecemasan dan kekhawatiran biasa. Ada tujuh ciri-ciri seseorang mengalami kondisi separation anxiety disorder, yaitu:

  1. Stres berlebihan yang terus-menerus saat individu terpisah dari rumah atau orang-orang tertentu dalam hidupnya.
  2. Khawatir akan kehilangan orang yang lekat dengannya, takut orang tersebut tertimpa sesuatu yang buruk atau meninggalkannya.
  3. Khawatir terus-menerus akan mengalami kejadian yang kurang menyenangkan seperti sakit atau tersesat atau yang akan memisahkan dia dengan orang terdekatnya.
  4. Menolak untuk pergi atau melakukan sesuatu karena takut akan momen perpisahannya.
  5. Menolak untuk tidur jauh dari rumah atau jauh dari orang yang dekat dengannya.
  6. Mengalami mimpi buruk tentang perpisahan.
  7. Mengeluh mengalami gejala fisik seperti sakit kepala atau mual saat terpisah dari orang yang dekat dengannya.

Ketika seseorang menunjukkan ciri-ciri ini, tidak berarti ia langsung bisa dikatakan mengalami gangguan tersebut. Ketakutan atau kecemasan ini perlu terjadi secara terus-menerus setidaknya empat minggu pada anak-anak dan remaja dan enam bulan atau lebih pada orang dewasa.

Jika seseorang menunjukkan ciri-ciri ini, lebih baik untuk menemui orang yang profesional daripada mendiagnosis sendiri.

Baca juga: Periode Sensitif dan Perkembangan Psikis Anak

Mengapa Bisa Terjadi Separation Anxiety Disorder?

Separation Anxiety Disorder muncul karena adanya perasaan tidak nyaman dan takut yang dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa atas suatu kondisi. Anak-anak biasanya mengandalkan rasa aman dari orang tua dan orang-orang terdekatnya, sehingga ketika ia tidak berada di dekat orang-orang ini mereka mengalami separation anxiety disorder.

Namun, ada pula masanya ketika anak mulai suka untuk mencoba segala sesuatunya sendiri. Mereka akan mencoba untuk belajar makan sendiri, jalan sendiri, dan lain-lain. Namun, jika ia memiliki perasaan takut atau tidak nyaman, ia akan kembali kepada orang tuanya untuk mengumpulkan rasa aman itu kembali.

Selain itu, anak juga mulai untuk bersosialisasi dengan teman sebaya mereka. Ia akan mulai merasa nyaman untuk berinteraksi dengan orang-orang yang sebaya dan menunjukkan inisiatif untuk bermain bersama. Namun, anak tetap masih bisa menunjukkan ketakutan berpisah dari orang tua mereka.

Usia tiga tahun adalah usia yang sangat penting bagi orang tua dan orang yang berada di sekitar anak untuk menyadari bahwa anak membutuhkan dukungan kemandirian dan mulai mempertahankan lingkungan yang aman.

Separation Anxiety Disorder adalah suatu kondisi yang menantang orang tua dan anak untuk sama-sama membentuk keteguhan dan keyakinan bahwa mereka berada di tempat yang aman meskipun terpisah. Untuk mengikis kecemasan ini tentu bukan hal yang mudah dan diperlukan waktu untuk bisa membangun kepercayaan diri serta keyakinan tadi.

Untuk memahami lebih lanjut mengenai separation anxiety disorder atau kasus lain mengenai relasi anak dengan prinsip Theraplay, kita bisa membacanya di buku Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay karya Astrid Wen.

 

Enda Sinta Apriliana

secure attachment

Secure Attachment Anak Dapat Terbentuk Lewat Bermain

Kalau ditanya, semua orang tua pasti ingin anak mereka memiliki secure attachment. Ternyata, secure attachment pada anak dapat dibentuk melalui kegiatan yang orang pikir hanya buang-buang waktu, yaitu bermain.

Sebelum membahas secure attachment, tentu kita perlu tahu dulu apa itu attachment. Attachment adalah kelekatan hubungan. Attachment dapat merujuk pada hubungan antara anak dan orang tua, atasan dan bawahan, hingga teman. Jadi. anak dengan secure attachment memiliki kelekatan hubungan yang positif dan sehat dengan orang lain, terutama orang tua, Kelekatan hubungan seperti itu berarti harmoni, kuat, dan tak tergoyahkan.

Anak yang memiliki dengan attachment tersebut akan merasakan ketenangan dan kenyamanan saat bersama orang tua. Sebaliknya, saat orang tua pergi, mereka akan merasa resah. Namun, keresahan tersebut akan hilang ketika orang tua kembali. Pada orang dewasa, attachment tersebut membantu mereka untuk mencintai dirinya dan melihat bahwa dirinya berharga. Secure attachment dibutuhkan untuk membantu anak tumbuh dengan empati, kesehatan mental, dan regulasi diri yang baik, serta self-esteem.

Kebalikan dari secure attachment, terdapat insecure attachment yang terdiri dari dua jenis, yaitu insecure-avoidant dan insecure-ambivalent. Secara umum, insecure attachment adalah hubungan yang negatif antara anak dengan orang tua. Ketika dewasa, mereka cenderung mempertanyakan keberhargaan dirinya,

  • Insecure-ambivalent

Anak dengan insecure-ambivalent attachment akan merasa resah ketika orang tua pergi, namun tidak pula mendapat rasa nyaman saat bersama orang tua. Hal tersebut membuat kebingungan pada dirinya sendiri. Anak dengan unsecure-ambivalent juga memiliki tendensi untuk menolak kontak atau kenyamanan dari orang tua.

Baca juga: Rekomendasi Buku Parenting Terbaru: Play The Danish Way

  • Insecure-avoidant

Terlihat jelas dari namanya, anak dengan insecure-avoidant attachment menolak kontak dengan orang tua mereka. Mereka berusaha untuk tidak terikat secara secara emosional dengan orang tua. Mereka tidak terlalu membedakan antara orang tua dan orang asing.

Cara Membentuk Secure Attachment pada Anak

Bermain adalah salah satu cara membentuk secure attachment. Orang tua dapat mendorong secure attachment dengan mengerti bahwa setiap anak memiliki keunikan masing-masing, tanggap terhadap kebutuhan anak, dan mendorong anak untuk bermain dan tertawa. Mengerti keunikan anak akan membuatnya merasa dihargai sebagai individu utuh. Sementara, tanggap atas kebutuhan mereka akan membuat mereka merasa dicintai oleh orang terdekatnya.

Bermain yang dapat membantu mendorong attachment yang sehat adalah bermain bebas. Cara inilah yang dilakukan orang Denmark. Dalam buku Play The Danish Way, penulis menyebutkan bahwa orang Denmark sangat menghargai bermain bebas. Berbeda dari permaian yang memerlukan pengawasan orang tua, bermain bebas membantu anak memiliki kendali pada hidupnya sebagai individu, memiliki daya juang, kemampuan bersosialisasi dan bahagia. Manfaat dari bermain bebas tersebut yang akan membantu anak memiliki kesehatan mental yang positif yang memengaruhi hubungan positif dengan orang lain.

Denmark telah membuktikan manfaat bermain bebas tersebut dengan menjadi negara paling bahagia selama bertahun-tahun. Buku Play The Danish Way dapat menjadi panduan orang tua yang ingin mempelajari manfaat dan cara orang Denmark bermain. Buku Play The Danish Way dapat di pesan di Mizan Store.

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta