Obat Patah Hati: Menulis Saja, Kapan Lagi?
Patah hati lagi? Ditinggal doi pas lagi sayang-sayangnya? Atau, sudah memberanikan diri menyatakan cinta, tapi dianggap teman saja? Ouch! Sakitnya, tiada tara. Mau tahu nggak, salah satu obat mujarab untuk patah hati? Dwitasari, penulis novel remaja bestseller, membagikan pengalaman patah hatinya. Namun, ini bukan patah hati biasa. Dwita mengolah semua perasaan nggak nyaman tiap kali ia patah hati dan menjadikannya sebuah tulisan.
Hasilnya? Ia kini dikenal sebagai penulis genre roman remaja yang diperhitungkan di Indonesia. Yuk, kita curi ilmu dari Dwitasari!
Kapan mulai menulis?
Aku mulai menulis sejak kelas 4 SD, saat itu puisi. Kan, suka ada tugas bikin puisi, misalnya yang berhubungan dengan bunga atau pekarangan rumah. Ya, aku bikin tentang itu, tentang ibu atau kakak aku. Pas SMP ternyata menyadari suka banget nulis. Puisi-puisiku kutulis dengan tema lebih bebas. Setelah puisi lalu mulai menulis cerpen. Saat itu sering ikut lomba cerpen, sempat jadi finalis lomba cerpen tingkat Kota Depok. Nggak menang, nggak apa-apa, berarti harus usaha lebih banyak. Lalu saat SMA nulis Raksasa dari Jogja, diterbitkan, jadi bestseller dan langsung difilmin.
Kenapa milih tema roman remaja?
Aku yakin Dwitasari ingin juga mencoba genre yang lain. Namun, aku juga sadar pembacaku butuh cerita yang seperti apa. Mereka sering patah hati karena ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Mereka butuh diobati patah hatinya. Ketika orang patah hati, mereka tahu harus move on, tapi nggak tahu caranya. Jadi, aku berharap novel aku akan jadi obat. Masih banyak yang bisa aku gali di genre ini untuk nyembuhin patah hati.
Proses kreatif ala Dwitasari?
Nggak ada yang harus spesial. Yang penting tahu gambaran besarnya. Aku juga bersyukur punya editor untuk teman diskusi. Harus tahu bagaimana awal dan akhir cerita. Sama seperti kita ke terminal dan tahu tujuannya ke mana. Jadi, akan lebih mudah. Aku mulai nulis kerangka hingga selesai. Kalau kita ngalir terus jadinya kadang bisa macet di tengah jalan. Kalau pakai kerangka, jalan cerita kita akan lebih mudah terbentuk banget. Meski bisa saja berubah di tengah jalan, tetap akan lebih mudah.
Tanggapan Dwitasari ketika novel-novelnya difilmkan?
Seneng banget. Ketika tahu judul-judul novelku seperti Raksasa dari Jogja, Spy in Love, difilmkan. Jadi orang yang menonton filmnya akan cari novelnya, dan jadi baca buku. Saat tahu film itu bentuk adaptasi novel, kan perkiraannya bakalan beda beberapa persen dengan versi buku, ya. Novel dan film saling dukung. Seneng banget ketika ada PH tertarik memfilmkan novel aku.
Makna menulis bagi Dwitasari?
Alasan nulis agar pembaca nggak ngerasain luka hati yang kurasain. Orang kalau sedang patah hati, bisa jadi nulis banyak. Kalau aku patah hati, aku nulis novel. Ketika orang baca novel aku, pembaca bisa belajar dari kejatuhanku. Nulis bisa jadi obat. Kalau patah hati coba deh nulis, siapa tahu bisa diterbitin. Kan, malah bisa menghasilkan.
Pesan dari Dwitasari untuk teman yang suka nulis?
Pasti ada orang yang akan bilang tulisan kamu jelek, sampah, dan nge-bully tulisan lo. Aku bilang nggak usah dengerin mereka. Kita punya dua telinga untuk denger kritik yang baik dan membangun. Orang yang memberi kritik jahat belum tentu bisa nulis seperti lo. Oke misal tulisanmu jelek, tapi lo berani menerbitkan. Mereka belum tentu mulai menulis hari ini. Selera orang itu beda-beda, kita nggak bisa maksain selera tulisan kita sama. Misalnya tulisan Dwitasari dan Andrea Hirata, itu beda. Tapi, bukan berarti tulisan Andrea Hirata yang bagus dan Dwitasari jelek atau sebaliknya. Mereka hanya berbeda. Yang paling jelas, tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai.
Nah, itu dia hasil mengorek kisah patah hati Dwitasari yang menghasilkan. Menginspirasi banget, ya! Masih patah hati? Berita bagus! Karena justru amunisimu untuk menulis sedang penuh-penuhnya! Semangat!
Baca juga: PDKT dan Bikin Doi Langsung Nyaman? Ini Dia Tipsnya!
Penasaran dengan karya-karya Dwitasari? Intip di sini, ya!
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!