Rich result on Google's SERP when searching for 'masalah hidup'

Masalah Hidup Tak Kunjung Usai? Buku Ini akan Menyelamatkanmu

Masalah hidup memang tiada habisnya. Terlebih di situasi pandemi yang sangat menguji kewarasan kita. Mulai dari mobilitas yang terbatas, penghasilan yang kian menipis, hingga perasaan was-was yang berlangsung setiap saat. Segala sesuatu yang tadinya normal seketika bergejolak. Jika tidak berhati-hati, kita akan didera perasaan cemas yang berkepanjangan.

Ketidakpastian akan masa depan sungguh membayang. Tak heran jika ada banyak orang yang kesulitan beradaptasi lalu berujung depresi. Kampanye yang muncul belakangan ini membuka mata kita bahwa depresi maupun perasaan cemas yang berlebihan tak boleh disepelekan. Kesehatan mental adalah kunci utama bagi kebahagiaan hidup. Untuk mengatasi masalah hidup yang semakin membebani ini, kita perlu segera mencari pertolongan. Cara yang paling tepat adalah dengan menghubungi para ahli maupun terapis. Namun sebagai langkah awal, mencari referensi buku yang tepat untuk menenangkan jiwa juga bisa menjadi solusi.

 

Mengurai Masalah Hidup Lewat Filsafat Kuno

Jules Evans, pengelola Well-Being Project di Centre for the History of the Emotions di Queen Mary, University of London, pernah mendapati dirinya hidup dalam rasa cemas, depresi, serta stres pasca-trauma selama bertahun-tahun.

Melalui risetnya, Jules mengetahui bahwa gangguan-gangguan emosional ini nyatanya dapat ditangani dengan CBT (Cognitive Behavioural Therapy atau Terapi Perilaku Kognitif). Sebulan setelah menjalani terapi itu, ia tidak lagi terkena serangan panik. Kepercayaan dirinya kembali muncul, bahkan mampu mencerna emosi yang meluap secara tiba-tiba. Menariknya, ide dan teknik-teknik dalam CBT ternyata tak asing—mengingatkannya pada pengetahuan seputar filsafat Yunani Kuno.

Salah satunya adalah ajaran Socrates. Socrates menyatakan tanggung jawab kita sendirilah untuk “merawat jiwa”, dan inilah yang diajarkan filsafat kepada kita—seni psikoterapi, yang berasal dari bahasa Yunani dengan makna “merawat jiwa”. Kitalah yang harus menguji jiwa sendiri dan memilih prinsip serta nilai-nilai mana yang masuk akal dan mana yang membahayakan. Dalam konteks ini, filsafat merupakan suatu bentuk pengobatan yang dapat kita lakukan sendiri.

“Riset yang dilakukan oleh Jules Evans ini kemudian dituangkan ke dalam buku berjudul Philosophy for Life: And other dangerous situasions. Mengingat isi buku ini sangat ampuh untuk menyelamatkan kita dari kondisi tertekan akibat berbagai masalah hidup, kami pun memutuskan untuk menerbitkan edisi Bahasa Indonesianya: Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Tak perlu memiliki basis filsafat untuk membacanya. Pembahasan buku ini sangat ringan hingga bisa dibaca oleh siapapun,” ujar Nurjannah Intan, editor Nonfiksi di Bentang Pustaka.

Menyelesaikan Masalah Hidup dengan Berguru pada Filsadat Kuno

 Baca juga: Luka Batin Tak Kunjung Reda, Terapkan Cara Berikut untuk Menyembuhkannya!

 

Terapi Jiwa, Sebuah Solusi

Henry Manampiring, influencer sekaligus penulis Filosofi Teras, mengemukakan bahwa karya Jules Evans ini bisa berfungsi sebagai terapi jiwa. “Jika kamu masih menganggap filsafat sebagai topik yang mengawang-awang dan tak berguna, buku ini akan mengubah pandanganmu. Dengan bahasa yang lugas dan penuh cerita menarik, Evans menunjukkan bahwa filsafat justru bisa menjadi ‘terapi jiwa’ dan pilihan laku hidup (way of life). Kita bisa belajar dari kaum Stoa bagaimana tangguh menghadapi kesulitan hidup, dari kaum Epicurean menemukan kenikmatan hidup sejati, dari Phytagoras soal mendisiplinkan mental, dari kaum Skeptis cara untuk tidak mudah dibohongi, dan lain-lain. Kamu bisa belajar menjadi lebih bijak dalam menjalani hidup dengan ide dan pemikiran yang sudah bertahan ribuan tahun di dalam buku ini. Buku ini juga menjadi salah satu inspirasi saya menulis Filosofi Teras.

 

Masa pre-order Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya akan segera berlangsung pada 1—11 Oktober 2020 di laman bentangpustaka.com

Credit : Stocksnap

Patah Hati Tak Bisa Hilang, Tapi Bisa Disembuhkan

Tiap hari ada jutaan orang patah hati. Coba saja kamu iseng-iseng berselancar di internet dan menuliskan keyword “cara mengatasi patah hati”, seketika itu pula muncul 2,720,000 laman yang berisi kiat sukses mengobati hatimu yang telanjur terluka. Namun pertanyaannya, apakah patah hati bisa hilang?

Jika pertanyaan itu ditujukan kepada Adjie Santosoputro, ia dengan tegas akan menjawab bahwa patah hati tak bisa sepenuhnya hilang, tapi bisa disembuhkan.

Di dalam karya terbarunya Mengheningkan Cinta, Adjie menilai patah hati sebagai sesuatu yang tak hitam-putih. Ketika kebanyakan orang menilai patah hati sebagai sebuah kegagalan, ia melihat patah hati sebagai perasaan yang setara dengan perasaan lainnya yang hilir-mudik di hatinya.

Diskusi  dengan Sunyi

Baginya, Sunyi—kawan bercakap Adjie—selalu mengajaknya untuk membiarkan rasa itu datang. Biarkan pula rasa itu pergi. Tak perlu susah payah dilawan. Semakin dilawan, rasa itu malah akan menetap. Namun, tak perlu pula larut menikmatinya. Bisa terjebak drama. Saya rasa apa yang diutarakannya adalah sifat yang bijak, mengingat manusia adalah makhluk penuh dengan kompleksitas hidup, bahkan dalam urusan patah hati sekalipun.

Ketika kita patah hati, ada berbagai konteks situasi dan kondisi yang melingkupi diri kita. Dalam keadaan yang bingung, kadang kita lupa sejenak mengambil napas untuk kembali sadar pada saat ini dan di sini.

Kita jadi hilang ketenangan dan pada akhirnya malah terus-menerus berkubang dalam penderitaan. Barangkali karena terbiasa melihat segala sesuatunya secara dikotomis, hitam-putih, dan benar-salah kita menjadi gagap untuk menyadari bahwa perasaan kita tak sesederhana itu.

Jangan Mudah Terjebak Dikotomi Perasaan

Menurut Adjie, kita sudah terbiasa menganggap rasa sedih sebagai sesuatu hal yang buruk, dan karena itu harus kita hindari. Rasa sedih akibat patah hati kita simpulkan sebagai penanda bahwa kita adalah orang yang gagal. Walhasil, kita pun mengutuk diri sendiri seolah-olah hal tersebut kesalahan besar dan dunia menjadi runtuh akibat kesalahan kita.

Tindakan selanjutnya bisa ditebak. Rasa sedih yang datang akhirnya kita terjemahkan sebatas pesan untuk tergesa-gesa bereaksi. Secara umum, banyak dari kita memilih tiga reaksi di antara tiga pilihan aksi.

Pertama, kita berusaha melawannya. Artinya kita memilih untuk melakukan penyangkalan bahwa kita adalah sosok yang kuat yang tak mungkin bisa patah hati. Kita menyangkal bahwa kita juga mempunyai hati yang sebenarnya rapuh dan butuh untuk dikuatkan.

Lalu, yang kedua adalah melarikan diri dari rasa sedih akibat sakit hati Dalam situasi ini kebanyakan dari kita mencoba mengalihkan perhatian dengan menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas. Tujuannya supaya pikiran kita tak lagi dihantui oleh kesedihan itu. Namun naas, kita tak benar-benar berusaha untuk memulihkan perasaan kita sendiri. Hal yang kita lakukan hanyalah kabur mengelak darinya. Hasilnya, suatu saat perasaan sedih datang lebih besar pada kemudian hari, dan kita seolah bingung apa yang menjadi penyebabnya.

Kemudian yang ketiga, ia biasanya mengurung diri menikmati kesedihan sehingga jatuh dalam kubangan penyesalan yang tiada akhir. Menurut saya, ini adalah kondisi yang paling ekstrem. Ketika seseorang menikmati kesedihannya secara berlebihan, ia akan serba takut menghadapi segala sesuatu. Realitas hidupnya menjadi suram melulu. Tidak seimbang dan berbahaya bagi kesehatan fisik serta mentalnya.

Belajar Tenang

Untuk menghindari tiga reaksi dari rasa sedih akibat hati yang patah, ada baiknya kita belajar tenang di tengah ketidakpastian. Caranya sederhana. Kita cukup memahami bahwa hidup selalu tersusun atas ketidakpastian.

Dengan demikian, kita akan dapat merasa baik-baik saja meski dasar tempat kita berpijak lenyap dalam sekejap. Hanya dengan cara itulah kita menjadi yakin bahwa pelajaran terbaik soal hidup ini terjadi pada saat kita jatuh lebih dalam. (Tejo)

Adjie Santosoputro dan Mindfulness

Adjie Santosoputro Praktisi Mindfulness Milenial

Segalanya begitu bising. Banyak orang merasa bingung dan mudah sekali merasa gelisah. Segala persoalan hidup Adjie Santosoputro dan Mindfulnessmenjadi sangat sulit dimengerti maknanya. Orang-orang sibuk mempertanyakan apakah mereka bisa bahagia atau tidak, dan bagaimana mereka bisa berdamai dengan persoalan hidup lainnya.

Adjie Santosoputro menangkap kegelisahan itu dan mulai mengedukasi generasi Milenial baik di media sosial maupun dalam berbagai platform lain. Di Twitter (@AdjieSanPutro) maupun di Instagram (@adjiesantosoputro), ia aktif hampir setiap hari berbagi berbagai topik tentang kesehatan mental dan cara mengendalikan diri melalui mindfulness.

Tak berhenti di sana, ia juga menjadi penggagas dari menggagas Santosha, mengelola sesi pelatihan, seminar, dan konsultasi terkait emotional healing dan hidup bahagia melalui pendekatan “mindfulness”.

Pria lulusan Fakultas Psikologi UGM ini mendaulat dirinya sebagai praktisi mindfulness. “Sederhananya, mindfulness adalah melatih pikiran agar sadar penuh hadir utuh di sini-kini. Tubuh di sini, pikiran juga beristirahat di sini. Bukan tubuh di saat ini, tapi pikiran melamun ke masa lalu maupun mengembara ke masa depan,” begitu akunya di blog pribadinya.

Sejak  menjadi praktisi mindfulness pada tahun 2010, ia sering diundang dan diminta berbagi mengenai mindfulness. Melalui pelatihan, seminar, dan konsultasi ia berbagi kepada orang-orang yang merasa membutuhkan solusi untuk meningkatkan fokus dan produktivitas kerja, menciptakan hidup bahagia dan tenang, cara mengelola stres, cerdas emosi, serta hubungan damai dengan sesama.

Dalam salah satu wawancara di media online, Adjie mengaku bahwa ia bukanlah seorang motivator. Katanya, “motivator bertugas mengajak orang untuk selalu bersemangat meraih impian yang dapat diukur secara lahiriah, sedangkan saya mengajak orang belajar menerima. Bahwa ada hal-hal dalam hidup yang pada kenyataannya tidak bisa diraih. Saya mengajak orang belajar menerima keadaan. Ikhlas menerima realitas. Saya berbagi ilmu sambil terus melatih diri menjadi orang yang ikhlas.”

Terbitkan Buku Baru

Bentang Pustaka mengenal Adjie Santosoputro sebagai “praktisi mindfulness-nya generasi Milenial”. Ia dijuluki begitu karena kontribusinya yang besar dalam mengedukasi banyak generasi Milenial yang merasa resah akan hidup mereka. Adjie hadir di tengah-tengah mereka, berdialog di media sosial, dan mendengarkan keluh kesah mereka dengan sabar. Ia menjadi teman seperjalanan generasi Milenial untuk masuk dalam diri, mengenali dan berdamai dengan dirinya masing-masing.

Dengan kegigihan tersebut, Adjie mengajak para generasi Milenial melakukan perjalanan bersama untuk mencapai kebahagiaan bersama-sama pula. Perjalanan bersama itu, bukan hanya sebagai gelombang ombak yang berlalu begitu saja, tapi sebagai samudra yang selalu ada, asalkan kita mampu bergandengan tangan, berjalan beriringan.

Hadirnya buku Mengheningkan Cinta, dapat menjadi salah satu langkah penting seorang Adjie Santosoputro dalam memperkenalkan mindfulness dalam kehidupan keseharian kita. Dengan demikian, buku ini dapat memberikan suasana baru bagi masyarakat Indonesia untuk lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental sehingga dapat lebih bijaksana menyikapi persoalan yang datang dalam hidup. (Tejo)

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta