menghadapi quarter life crisis

Quarter Life Crisis dengan Wejangan Puitis

menghadapi quarter life crisis

Masa quarter life crisis sering kali menjadi masa yang penuh akan nasihat yang merujuk pada ungkapan inspiratif yang memuakkan. Ketika menghadapi masa-masa ini, orang-orang mungkin mengharapkan sesuatu yang tidak melulu menggurui. Sebab, masa-masa ini kamu tidak hanya berurusan dengan diri sendiri, tetapi juga menyeimbangkan hubungan dengan sesama. Segala hal yang menggurui mungkin justru menjadi bumerang bagi mereka yang berada di posisi ini. Di masa-masa quarter life crisis, kamu mungkin membutuhkan masukan yang tidak mendoktrin atau sebuah wejangan dengan penyampaian yang tidak biasa. Tidak sedikit dari mereka yang menghadapi masa-masa berat ini mencari ketenangan dan solusi dari bacaan mereka. Almustafa karya Kahlil Gibran sangat layak menjadi rekomendasi kamu.

Wejangan yang Reflektif

Quarter life crisis bisa disebut sebagai titik lelah dan jenuh. Kamu mungkin kehilangan semangat dan mempertanyakan jati dirimu. Menghadapi momen ini, bacaan di Almustafa karya Kahlil Gibran bisa menjadi opsi untuk solusi kamu. Sebab, kisah satu ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di benakmu: perihal faktor-faktor yang kehilangan jawabannya. Almustafa menghadirkan rangkaian tema yang dimulai dari pertanyaan. Kahlil Gibran berdiri melalui tokoh utamanya, ia menjawab dengan pemaparan yang menjadi fasilitas bagi para pembacanya untuk berefleksi. Jawaban-jawaban yang tidak menohok dan menggurui.

Alasan lain kamu harus membaca Almustafa, baca di sini!

Tidak melulu perihal nasihat bermoral, karya ini sarat nasihat puitis. Seperti khas Kahlil Gibran, kalimat-kalimat di dalam prosa-puisi ini ditulis dengan keindahan yang memberimu kenyamanan saat membaca. Di setiap lembarannya, kamu akan menemui jawaban yang tetap inspiratif dan kaya akan motivasi. Refleksi dengan sesuatu yang implisit akan terdengar lebih menyenangkan daripada sesuatu yang terlalu memaksamu untuk berubah dalam waktu yang cepat. Menyenangkan dan menyamankan diri adalah yang penting di masa-masa ini

Hadapi Quarter Life Crisis dengan Ketenangan

Saat menghadapi quarter life crisis, kamu memerlukan waktu untuk meredam semua kegelisahanmu. Lingkungan dan pribadi yang tenang menjadi hal yang mendukungmu untuk melewati masa berat ini. Tidak perlu buru-buru, ambil jeda dan fasilitasi dirimu dengan asupan dan benda-benda yang membantu proses ini. Almustafa karya Kahli Gibran bisa kamu dapatkan di sini. Yuk, bekali dirimu dengan bacaan yang menenangkan dan mampu mendukungmu menghadapi masa quarter life crisis. Jangan kehilangan diri dan menjadi bahagia adalah hal yang penting. Selamat membaca!

Capai JOMO

Capai JOMO dengan Perencanaan 5P

Capai JOMO

Agar tidak kewalahan dan mencapai JOMO, kita ingin menguasai hari dan memegang kontrol atas jadwal, bukan? Setelah mempelajari strategi menolak dan mengetahui apa saja yang bisa didapatkan jika berani menolak, kita tentu memerlukan sebuah sistem yang bisa membantu untuk meringkas semua kegiatan.

Baca juga: Apa yang Kita Dapatkan Ketika Berani Menolak?

Tanya Dalton dalam The Joy of Missing Out (JOMO) membagikan sistem yang ia ciptakan untuk tujuan yang telah disebut di atas. Sistem itu disebut dengan Perencanaan 5P yang bisa disesuaikan dengan diri sendiri dan gaya hidup masing-masing orang. Perencanaan 5P terdiri atas Pembersihan, Proses, Prioritas, Perlindungan, dan Penggerak. Simak penjelasannya di bawah ini.

Pembersihan: Luangkan Satu Hari dalam Seminggu untuk Berpikir

Dalton menyarankan untuk melakukan ini satu hari dalam seminggu. Kamu bisa memilih satu dari tujuh hari untuk melakukan pembersihan. Contohnya, kamu memilih hari Minggu untuk melakukan pembersihan urusan sekolah, kuliah, atau kantor dan hari Senin untuk pembersihan urusan keluarga. Ya, kamu bisa melakukannya dalam satu atau dua hari jika kamu ingin fokus pembersihanmu mendapat ruang masing-masing. Tujuan dari tahap ini adalah untuk melihat gambaran besar tentang apa yang ingin dicapai selama tujuh hari ke depan. Langkah ini bisa dilakukan sendiri atau bersama tim. Tim yang dimaksud di sini bisa jadi tim kerja atau keluarga, tergantung ruang Pembersihan mana yang ingin kamu selesaikan. Menyusun rencana tidak harus terasa formal dan kaku, Pembersihan bisa menjadi aktivitas menyenangkan mingguan, lho!

Proses: Setiap Hari Harus Dianggap sebagai Kesempatan Baru

Kunci dari langkah kedua ini adalah jangan nikmati prosesnya. Jangan merasa tertekan ketika kegiatan yang kamu rencanakan selesai hari Kamis ternyata baru terpenuhi setengahnya. Tak perlu juga merasa terbebani mengingat bahwa Jumat kamu harus menyelesaikan sisa pekerjaan Kamis plus mengerjakan tugas-tugas hari itu. Buatlah prosesnya fleksibel. Ini merupakan hal yang wajar apabila ada satu hari ketika pencapaianmu dua kali lipat lebih besar dari rencana. Tidak masalah juga jika ada hari lain yang kasusnya seperti hari Kamis tadi. Meluangkan waktu untuk memproses akan menyiapkan kita menuju kesuksesan.

Prioritas: Membatasi Waktu pada Urusan yang Tak Penting

Salah satu cara untuk memprioritaskan kegiatan kita adalah dengan pengelompokan. Pengelompokan dalam konteks ini adalah mengumpulkan aktivitas-aktivitas mirip dalam kurun waktu tertentu yang dimaksudkan untuk memaksimalkan waktu, energi, dan fokus. Ini dapat menata kegiatan harian kita. Tugas-tugas penting, maupun tidak, bisa dikelompokkan dengan dua cara, yaitu berdasarkan tindakan (mengecek media sosial, surel, dan lainnya) dan berdasarkan konteks (belanja mingguan, membeli keperluan sekolah, dan semacamnya. Dengan ini, kita mampu menyelesaikan pekerjaan berkualitas tinggi dengan waktu lebih singkat.

Perlindungan: Tempatkan Sekat Pekerjaan dan Waktu Istirahat

Isi kalender dengan tugas prioritasmu akan mencegah orang-orang untuk mengintervensi jadwal kita dan menyisipkannya dengan agenda mereka. Ingat, prioritas lebih tinggi hars mendapatkan jatah waktu lebih lama, sehingga tetapkan dulu sekat-sekat dalam jadwalmu. Selain itu, waktu istirahat harus dimasukkan dalam agendamu. Itu akan menjadi penyangga untukmu dan menyediakan fleksibilitas yang diperlukan untuk pro-aktif. Penyangga akan memberimu fleksibilitas yang diperlukan agar sistemmu tidak gagal.

Penggerak: Menyiapkan Domino

Agar semua sistem berjalan dengan baik, kita membutuhkan penggerak. Dalam hal ini, Dalton mengumpamakannya dengan domino. Domino akan membantu mempermudah pekerjaanmu selanjutnya. Contoh mudahnya adalah: meletakkan perlengkapan sarapan yang siap digunakan di meja setelah mencuci piring malam hari, mengisi buku agenda dengan daftar tugas berikutnya, meletakkan laptop dan buku di meja belajar supaya siap digunakan, dan lain sebagainya. Setelah itu, ciptakanlah map khusus untuk proyek-proyek berikutnya. Cara ini memperlihatkan kita seberapa lama waktu yang dihabiskan untuk proyek tersebut yang membantu rencana selanjutnya.

 

Kita harus hadir dalam kehidupan dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang kita buat. Tanpa kehadiran, produktivitas berubah menjadi kesibukan dan kita hanya melakukan tugas dan pekerjaan tanpa investasi masa depan yang berarti. Kamu bisa pelajari lebih dalam tentang produktivitas dan sistem meringkas dari buku The Joy of Missing Out (JOMO) di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

the prophet

The Prophet: Sebuah Perjalanan yang Begitu Dicintai

The Prophet atau Sang Nabi merupakan karya dari sang sastrawan dunia, Kahlil Gibran yang terbit perdana pada tahun 1923. Setelah hampir 100 tahun terbit, karya ini telah dinikmati oleh banyak sekali pembaca dari seluruh dunia. Kahlil Gibran menuliskannya dengan tokoh utama yang begitu dikenal oleh dunia, yakni Sang Nabi. Seperti dalam judulnya. karya ini ditokohutamai oleh Sang Nabi, yang kemudian dikenal dengan Almustafa. Pada bukunya ini, Kahlil Gibran menuangkan banyak sekali masalah-masalah yang akan kerap ditemui oleh para manusia di bumi. Perihal cinta, rasa, hidup dan hal-hal yang menyertainya, bahkan perihal antarmanusia, orang tua kepada anak misalnya.

The Prophet yang Dicintai Semua Kalangan

Pembaca dunia merespons karya ini sebagai suatu karya yang sangat membangun. Hal ini bisa terlihat dari lalu lalang manusia yang ditemui oleh Sang Nabi agung di seluruh dunia. Digambarkan tanpa kecenderungan keyakinan apa pun membuat kisah ini bisa diterima oleh semua kalangan, terlebih kisahnya yang begitu inspiratif. Sebab, kehidupan sendiri menawarkan dan menyediakan banyak sekali pesan dan amanat dari setiap masalah, buku ini seolah merangkumnya menjadi satu kesatuan yang siap dikaji bersama. Kahlil Gibran melalui tokoh inspiratifnya ini, seolah-olah merangkum keseluruhan masalah yang ada dalam bait-bait indah yang dihasilkan oleh tangannya yang lihai. Sebuah karya yang dicintai dan dinikmati oleh banyak manusia, entah sebagai penghiburan atau sebagai sebenar-benarnya buku yang dipelajari.

Perjalanan yang dilakukan Sang Nabi membawa pembaca dalam satu pemahaman dan pemahaman lainnya. Beberapa hanya membaca dan menyimak. Atau bahkan lebih dari itu, pembaca senantiasa menelaah betul isi dalam buku tersebut. tidak hanya demikian, beberapa pihak telah mewujudkan buku bijak satu ini ke dalam bentuk yang lain, yakni film. Alih wahana buku prosa-puisi Kahlil Gibran ini membuktikan adanya ketertarikan dari masyarakat luas kepada karya sastra ini. suatu karya yang menjadi besar karena keindahan, kebijaksanaan yang ditawarkan dalam setiap pertemuan Sang Nabi.

The Prophet karya Kahlil Gibran telah hadir di dalam bahasa Indonesia dengan judul Almustafa. Dialihbahasakan oleh maestro dalam negeri, Sapardi Djoko Damono, yang telah mengenal betul seluk beluk sastra dan keindahan di dalamnya.

Dapatkan buku Almustafa di sini.

JOMO Ketika Menolak

Apa yang Kita Dapatkan Ketika Berani Menolak?

JOMO Ketika Menolak

Tanya Dalton, penulis buku The Joy of Missing Out membagikan strategi untuk menolak. Menolak ternyata ada seninya, lho. Selain itu, kita juga sudah mempelajari kapan harus mengatakan ya dan kapan harus menjawab tidak.

Baca juga: Tolak Hal yang Bukan Prioritas dengan Strategi Roti Lapis

Setiap kali kita mengiyakan, kita menolak hal lain. Begitu pun sebaliknya, ketika kita menolak hal-hal yang bukan prioritas kita, sebagai gantinya, kita akan menerima empat hal berikut.

1. Waktu Berkualitas dengan Orang-Orang Tercinta

Menolak pekerjaan pada akhir pekan bukanlah suatu kesalahan, bukan pula bentuk keegoisan. Kita memang tidak bisa mencegah rekan kerja yang menghubungi tiap akhir pekan untuk memberikan tugas tambahan atau lain sebagainya. Namun, kita selalu memiliki pilihan untuk menolak.

Banyak orang harus menyadari bahwa menyisihkan waktu untuk diri sendiri atau me time dan mengutamakan waktu bersama keluarga serta teman merupakan bagian dari prioritas kita. Dalton berulang kali mengingatkan kita dalam bukunya untuk selalu live in the moment, sebab kita takkan pernah tahu kapan waktu bersama orang-orang sekitar kita akan berakhir.

2. Beban Kerja yang Masuk Akal

Kita sering tergoda untuk mengiyakan sesuatu. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa hal tersebut berkaitan dengan bagaimana kita ingin dinilai oleh orang lain. Beberapa orang ingin dianggap sebagai sosok yang jago multi-tasking dan ahli mengatur waktu, sehingga mereka menyetujui semua tugas yang dilimpahkan. Mereka lupa bertanya kepada diri sendiri, mengapa perlu untuk membuktikannya?

Menolak sesuatu memang berarti menolak peluang yang datang. Kesempatan tidak datang dua kali. Betul. Namun, tidak semua pintu kesempatan harus kita ketuk jika ingin menghindari kewalahan dan stres akibat beban kerja yang tak masuk akal. Ingat, tertinggal bukan bencana. Untuk mendapatkan hal yang banyak, fokuslah pada hal yang lebih sedikit.

3. Memegang Kendali atas Jadwal Kita

“Tidak akan bisa. Ini mustahil. Jadwal sudah ditentukan oleh kantor dan kampus.” Mungkin, itulah sederet kalimat penolakan yang akan kamu lontarkan ketika membaca subjudul di atas. Dalton mengakui, hal itu memang sulit, tapi bukan berarti mustahil. Setidaknya 5 hari dalam satu pekan, jadwal kita telah ditentukan oleh pihak luar. Lantas, apa itu berarti kita hanya memiliki kendali atas sisa 2 hari?

Jawabannya tidak. Jadwal bisa dinegosiasikan. Namun, jika kamu berada di tempat yang memiliki jadwal sangat kaku, maka yang bisa kamu lakukan adalah jangan biarkan jadwal itu merembet ke waktu pribadimu. Tolak dengan tegas segala tugas dan pekerjaan yang datang di luar jadwal kewajibanmu, ketahui kapabilitasmu, dan kendalikan jadwalmu.

4. Memprioritaskan Diri Sendiri

Berhenti meminta maaf karena menomorsatukan prioritas kita dan mengutamakan urusan penting, karena memang sudah begitu seharusnya. Suara prioritas kita haruslah yang paling nyaring. Membuat batasan itu perlu. Tantangannya terletak pada bagaimana cara kita membuat orang lain mengerti dan menghargai batasan yang telah kita buat.

Kita harus memisahkan permintaan dari hubungan. Jangan lupa bahwa menolak suatu permintaan bukan berarti menolak orangnya. Ini adalah penyakit, terutama bila kita memosisikan diri di bagian terbawah dalam daftar orang yang perlu kita senangkan. Dirimu adalah prioritasmu.

 

Jadi, apa kamu sudah siap untuk menolak? Sedikit catatan pengingat untukmu, mengutip dari Lysa TerKeurst dalam The Joy of Missing Out, “Jangan tertukar antara perintah untuk menyayangi dan penyakit menyenangkan orang lain.”

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Pemaknaan pada Sebuah Perjalanan

Bagi beberapa orang, perjalanan adalah bagian dari pembelajaran kehidupan. Sebuah pasang surut yang terus terjadi adalah sarana orang-orang merefleksikan diri mereka. Dalam karyanya yang satu ini, Kahlil Gibran menuliskan terkait pemahaman dan pemaknaan dalam kehidupan. Perjalanan identik dengan menemukan, penemuan baru, mendapatkan perspektif baru, dan penerimaan. Karya kondang yang berjudul The Prophet telah dialihbahasakan oleh Sapardi Djoko Damono dengan judul Almustafa. Tentu tanpa mengubah isi cerita, hanya lebih menyorot pada sang tokoh Almustafa, sang tokoh utama, melakukan perjalanan panjang yang memberi pemaknaan pada hal-hal yang ditemui dan terjadi di dalam perjalannya tersebut.  Almustafa membungkus refleksi dan konsumsi rohani dengan kalimat-kalimat puitis dan diksi yang indah.

Refleksi untuk Kualitas Diri

Sejatinya setiap hal yang terjadi dalam kehidupan adalah perjalanan itu sendiri. Buku-buku yang mengantarkan pada satu permasalahan ke permasalahan lainnya, atau perjalanan ke perjalanan lainnya membawa pembaca dalam interpretasi yang begitu luas. Seolah mendayung melampaui dua pulau, Almustafa mampu berperan sebagai perjalanan dalam sebuah buku, sekaligus buku yang mengusung penafsiran tentang perjalanan kehidupan. Sebuah paket kombo untuk self-help bagi mereka yang ingin meningkatkan kualitas diri dari buku yang mengusung topik konflik kehidupan. Kahlil Gibran dengan khas yang tidak menghakimi dan terlalu menggurui para pembacanya. Almustafa sebagai perpanjangan tangan untuk menyampaikan nilai moral pada kisah-kisah yang diusungnya. Segala penemuan dan perspektif yang bertolak belakang, dihadirkan sebagai media refleksi dan cermin untuk berkaca pada yang telah lalu.

The Prophet telah mengantarkan pembaca pada sebuah pemahaman tentang kehidupan dengan lebih menyenangkan. Almustafa tidak menempatkan dirinya sebagai mahatahu yang menyebalkan. Kahlil Gibran menjadikan tokoh utamanya ini sebagai figur yang membumi dan penuh pengertian. Sebab itulah, karya yang nyaris berusia seratus tahun ini telah menarik perhatian para pembaca dari seluruh dunia dan terus memberi nilai kehidupan dengan diksi-diksi yang indah. Almustafa bisa menjadi rekomendasi bacaan pada krisis-krisis kedirian, juga sebagai pembaruan refleksi diri yang sederhana tetapi berdampak besar.

Dapatkan buku Almustafa: di https://mizanstore.com/al_mustafa_republish_70454

 

mitos produktivitas

Jangan Sampai Terjebak 3 Mitos Produktivitas Ini!

Sebenarnya, definisi mitos produktivitas itu apa? Kita sering kali menganggapnya sebagai keberhasilan dari multi-tasking yang kita lakukan. Namun, sebelum menganggap diri produktif karena sibuk dengan banyak hal yang harus dikerjakan, kita harus mengenal 3 mitos produktivitas yang disebutkan Tanya Dalton dalam bukunya, The Joy of Missing Out.

mitos produktivitas

Mitos 1: Saya Lihai Merangkap Tugas

Angkatlah tanganmu apabila kamu pernah menyebutkan “mahir multi-tasking” dalam wawancara kerja, organisasi, kepanitiaan, atau kegiatan volunteer yang kamu lamar. Banyak orang sangat membanggakan kemampuan multi-tasking atau merangkap tugas.

Kita menyebutnya karena itu menjadi semacam lencana kehormatan, sebagai bukti keunggulan produktivitas kita yang seperti ninja. Permasalahannya, otak kita tidak dirancang untuk itu. Setiap bagian dirancang untuk mengerjakan satu hal pada satu waktu.

Berdasarkan hasil penelitian, ketika kita melakukan rangkap tugas, produktivitas kita justru merosot 40 persen. Kita kira itu membuat kinerja lebih cepat, tapi ternyata malah memperlambat dan merusak kualitas kerja kita. Semua orang ingin dianggap mampu, layak dapat pujian dan penghargaan. Pertanyaannya, mengapa kita merasa perlu membuktikannya?

Baca Juga: Capai JOMO dengan Perencanaan 5P

Mitos 2: Saya Tidak Punya Waktu untuk Istirahat

Sadar, tidak? Kita kerap memaksakan diri untuk mengerjakan banyak hal, walau tahu otak dan fisik kita sudah tidak kuat. Terkait dengan hal itu, mungkin kamu pernah dengar tentang ritme sirkadian? Itu adalah sistem waktu internal 24 jam yang digunakan semua makhluk hidup untuk mengatur waktu makan dan tidur. Itulah yang menyuruh kita terjaga selama 16 jam, lalu tidur 8 jam.

Di dalam ritme sirkadian, ada yang disebut ritme ultradian. Itu adalah siklus biologis singkat selama 90—120 menit yang berulang sepanjang hari. Pada paruh pertama ultradian, kita merasa bertenaga dan fokus, tapi setelah 90 menit, otak kita akan meminta istirahat. Otak manusia membutuhkan waktu minimal 20 menit antarsiklus untuk pulih. Para periset Stanford menemukan bahwa produktivitas kita merosot begitu waktu kerja mencapai 50 jam seminggu.

Apa kamu percaya? Pekerja yang lembur sampai 70 jam justru tidak menghasilkan apa-apa dari 20 jam tambahan itu. Mereka hanya membuang waktu, bekerja lebih lama, tapi menghasilkan lebih sedikit. Ini yang perlu dicatat, yang terpenting bukan lamanya waktu yang kita gunakan, melainkan kualitas waktunya.

Mitos 3: Teknologi selalu lebih baik

Ada sebuah pemahaman keliru yang umum, bahwa teknologi dibutuhkan untuk menjadikan segalanya lebih baik. Itu tidak benar. Teknologi memang lebih cepat, tapi mencatat ide dan rencana di kertas lebih efektif, lho! Saat kita mengambil pensil atau pulpen, reaksi otak kita akan berbeda dengan saat kita mengetik.

Menulis memicu sistem aktivasi reticular (SAR) yang memberi sinyal ke otak kita untuk memperhatikannya. SAR menjadi filter yang memeriksa seluruh informasi yang masuk ke otak. SAR juga mengarahkan fokus otak kita. Nah, menulis memicu SAR untuk menyuruh otak agar tetap siaga—informasi itu penting dan perlu disimpan supaya bisa diakses pada masa mendatang.

Sementara mengetik di komputer atau ponsel, tidak melibatkan SAR, maka catatan dan rencana yang diketik lebih mudah dihapus dari memori. Mencatat memang lebih efisien, tapi tidak efektif. Menulis membantumu merekam pikiran dan membentuk ide dan gagasan dengan cara menanamkan informasi.

Kesimpulan Mitos Produktivitas

Ketika dihadapkan dengan setumpuk pekerjaan, apakah kamu akan menyelesaikannya dengan efisien atau efektif? Ingat, efisien berarti banyak bekerja, sedangkan efektivitas mengerjakan yang penting saja. Ketika mengerjakan tugas atau pekerjaan, kita selalu ingin mengerahkan sedikit waktu dan tenaga, tanpa mengorbankan kualitas. Terkadang, kita terlalu tertekan dengan deadline sampai tidak sadar bahwa proses yang kita yakini bisa mempercepat kerja, justru jadi bumerang. Hindari mitos produktivitas tersebut dan temukan rahasia hidup efektif dan efisien di JOMO.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

JOMO: Tertinggal Bukan Bencana

Bukan tanpa alasan sang penulis memilih The Joy of Missing Out sebagai judul untuk buku yang menakjubkan ini. Tanya Dalton mengambil istilah yang dipopulerkan oleh Anil Dash dalam blognya, yaitu JOMO, Joy of Missing Out. JOMO merupakan antitesis dari FOMO, Fear of Missing Out, sebuah istilah yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 2004 di kolom The Harbus dalam majalah Harvard Business School oleh Partrick McGinnis.

FOMO dapat diartikan sebagai kecemasan yang muncul karena takut ketinggalan sesuatu, terutama yang sedang viral. Pada umumnya, orang-orang yang mengalami FOMO merasa gelisah apabila tidak membuka media sosial. Hal ini mengarah pada kecenderungan bahwa mereka tidak bisa menikmati momen saat ini karena terlalu terpaku pada apa yang sedang dilakukan orang lain di luar sana. Sementara itu, JOMO memiliki makna yang menenangkan kita bahwa tertinggal bukanlah sebuah bencana.

Seni Menghadapi Hidup Tanpa Rasa Panik

Maraknya media sosial pada zaman sekarang telah mengakibatkan banyak orang menjadi FOMO yang berujung pada standarisasi negatif, sebab merasa dirinya tidak memiliki momen keren yang bisa diunggah di media sosial sebagaimana following mereka. Sekarang ini, menjadi sulit bagi kita untuk tidak membandingkan diri dengan pencapaian dan pengalaman orang lain yang dipublikasikan di dunia maya.

Selain mengajakmu untuk terlepas dari kegiatan yang membuatmu kewalahan, The Joy of Missing Out juga akan membantumu untuk memiliki perspektif yang baru untuk menyikapi FOMO yang diperparah oleh media sosial. Tidak hanya memberikan pengetahuan baru, arahan, dan saran, The Joy of Missing Out juga dinilai sebagai buku yang sangat aplikatif. Kamu bisa langsung mempraktikkan langkah-langkah yang diberikan Dalton di buku ini dalam kehidupan sehari-hari. Seperti tagline buku ini, The Joy of Missing Out akan memberitahumu seni menghadapi hidup tanpa rasa panik.

JOMO Akan Terbit Versi Bahasa Indonesia

Pernahkah kamu merasa kewalahan ketika harus melakukan banyak hal dalam satu hari? Ya, kewalahan yang menjurus pada kepanikan mengingat begitu banyak tumpukan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Biasanya, orang mengakalinya dengan membuat to-do list guna memastikan tidak ada kegiatan yang lupa untuk dilakukan pada hari itu. Namun, apa benar itu adalah langkah yang tepat  untuk mengatasinya?

The Joy of Missing Out hadir untuk membantumu menyelesaikan permasalahan kita. Jika kamu termasuk salah satu orang yang menganggap bahwa 24 jam sehari tidaklah cukup, maka buku ini cocok untukmu! Meskipun buku ini didedikasikan Dalton kepada para perempuan tangguh yang harus membagi fokusnya antara pekerjaan dan urusan rumah tangga, semua orang bisa membacanya.

 

Berdasarkan testimoni dari orang-orang yang sudah pernah membaca, The Joy of Missing Out mereka kategorikan sebagai buku yang life-changing. Dengan semua keunggulan yang disebutkan di atas mengenai buku ini, Bentang Pustaka merasa bahwa harus lebih banyak orang Indonesia yang membaca buku ini mengingat banyak warga kita yang terperangkap dalam jeratan FOMO. Mulai bulan Maret 2021, The Joy of Missing Out versi bahasa Indonesia sudah bisa kamu pesan! Mari belajar bersama tentang bagaimana mengatakan tidak pada kegiatan yang bukan prioritasmu.

 

Temukan prioritas dan tujuan supaya kamu tidak lagi berusaha mengerjakan “semuanya”. – Tanya Dalton

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Stoisisme Filsafat Yunani

Stoisisme: Filsafat Yunani yang Membantumu Meringankan Beban Hidup

Stoisisme filsafat Yunani dapat membantumu meringkan beban hidup. Seiring berjalannya waktu, muncul permasalahan baru dalam kehidupan sosial manusia. Depresi, baik itu ringan maupun berat, merupakan salah satu dampak dari kekhawatiran individu terhadap masalah-masalahnya. Pada era modern ini, dengan banyaknya bantuan dari teknologi yang bisa kita dapatkan untuk menyelesaikan masalah, kasus depresi justru mengalami peningkatan.

Dalam bukunya, Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya, Jules Evans membahas banyak tentang stoisisme filsafat Yunani. Ia juga menceritakan bagaimana mazhab filsafat Yunani kuno yang dicetuskan oleh Zeno itu membantunya menghadapi trauma, depresi, dan serangan panik yang dialaminya semasa kuliah.

Stoisisme Filsafat Yunani

Stoisisme sebagai Penawar Depresi

Pengikut aliran ini meyakini bahwa stoisisme atau yang akrab disebut stoa merupakan obat manjur penawar depresi. Penawar depresi yang dimaksud dalam konteks ini adalah stoisisme mengajari manusia untuk mengelola ekspektasi, menghadirkan kebahagiaan, dan menikmati dinamika kehidupan.

Filosofi stoic menekankan pada keselarasan alam dan penggunaan nalar manusia demi tercapainya kebahagiaan dalam hidup. Konsep bahagia yang diperkenalkan oleh stoisisme adalah apatheia atau free from suffering, terbebas dari penderitaan. Penderitaan yang ditekankan dalam hal ini ialah penderitaan emosi, sedangkan kunci kebahagiaan bagi kaum stoa adalah tercapainya peace of mind atau ketenangan batin.

Dikotomi Stoisisme

Zeno mendikotomi konsepnya dalam dua hal, yaitu sesuatu yang berada dalam kendali kita dan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Sesuatu yang berada dalam kendali kita contohnya seperti usaha, persepsi pribadi, dan emosi kita. Sementara sesuatu yang tak bisa kita kendalikan contohnya bencana alam, kejutan dalam hidup, dan pendapat orang lain terhadap kita.

Seperti matematika, stoisisme menggunakan netral, positif, dan negatif dalam pemahaman konsepnya. Berikut contohnya. Cemoohan orang lain terhadap kita–hal yang berada di luar kendali–sebenarnya merupakan sesuatu yang netral. Namun, sering kali orang menganggapnya sebagai sesuatu yang negatif karena anggapan bahwa cemoohan tersebut pasti membawa dampak buruk untuknya.

Padahal, kita seharusnya tidak membiarkan hal itu mengganggu pikiran kita. Dengan begitu, kita membiarkan cemoohan tersebut untuk tetap menjadi sesuatu yang netral. Pilihan lain yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah persepsi dan menganggapnya sebagai kritik konstruktif untuk diri kita. Dengan cara ini, berarti kita telah mengubah cemoohan itu menjadi sesuatu yang positif.

Baca Juga: Butuh Terapi Jiwa untuk Atasi Depresi? Henry Manampiring Rekomendasikan Buku Ini

Stoisisme Filsafat Yunani Apakah Masih Relevan dengan Kehidupan Sekarang?

Sejak tadi kita membicarakan betapa manjurnya stoisisme dalam mengurangi beban kehidupan, tapi apa iya filsafat kuno itu tidak terlalu jadul? Jules Evans menyediakan jawaban itu dalam bukunya. Jawaban atas pertanyaan bagaimana filsafat yang berasal dari awal abad ke-3 sebelum masehi itu ternyata masih sangat relevan dengan kehidupan masa kini.

Stoisisme adalah aliran yang sangat praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika masa Zeno memeloporinya maupun pada era milenial sekarang. Era milenial ini tak lepas dari teknologi dan media sosial. Sadar atau tidak, secara tak langsung, media sosial membuat kita membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Gambaran mudahnya seperti ini. Ketika menggulir layar ponsel saat membuka aplikasi Instagram, kita melihat salah seorang teman mengunggah momen hebatnya berfoto bersama artis di depan Menara Eiffel. Lalu muncul sedikit rasa iri dalam hati disertai miris pada diri sendiri karena tidak bisa membagikan foto sekeren itu hingga mendapat banyak suka dan komentar.

Ketika menengok profil sendiri, rasanya tak ada yang bisa dibanggakan, hanya beberapa foto biasa yang bahkan dihinggapi satu dua komentar buruk. Padahal, belajar dari stoisisme, kita tidak perlu memusingkan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Komentar dan tanggapan orang terhadap apa yang kita unggah di media sosial contohnya.

Sadarilah, media sosial mendorong kita untuk berlomba dalam kompetisi tak nyata, sehingga membeli barang dengan uang yang tidak kita miliki, untuk mengesankan orang yang bahkan tidak kita sukai.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

mengambil risiko

Berada di Zona Nyaman atau Mengambil Risiko?

Zona nyaman atau mengambil risiko? Hidup adalah tentang pilihan. Manusia sering kali merasa dilema terhadap banyak hal entah itu urusan kecil seperti memilih menu makan siang, sampai persoalan besar seperti harus tidaknya kita menikah. Menurutmu, mana yang lebih penting? Memilih sesuatu yang berada dalam jangkauan dan zona nyaman kita atau melompat ke dalam bara api yang penuh risiko?

Mungkin pertanyaan yang tepat bukanlah mana yang lebih penting, melainkan pilihan mana yang lebih bisa membantu kita berkembang. Apa pun pilihanmu, sadarilah bahwa dalam hal ini tidak ada jawaban yang salah atau benar. Semua punya hak untuk memilih. Perlu diingat juga, kita tidak seharusnya menghakimi pilihan orang lain atau berusaha menggurui bahwa satu opsi lebih baik dari yang lainnya.

“Melakukan apa yang kamu suka adalah kebebasan.

Menyukai apa yang kamu lakukan adalah kebahagiaan.”

 

zona nyaman

Mengambil Risiko dalam Zona Nyaman

Maudy Ayunda melalui bukunya, Dear Tomorrow, mengingatkan kita bahwa konsistensi yang perlu kita jaga dalam hidup adalah pertumbuhan positif dan pengembangan diri. Wanita kelahiran 1994 itu menulis bahwa terus-menerus berada di dalam zona nyaman juga ternyata berisiko. Risiko yang ia maksud adalah potensi dirinya untuk tumbuh dan berkembang akan terampas.

Jika sudah begitu maka istilah yang tepat bukan lagi zona nyaman, melainkan zona berbahaya, bukan? Inilah yang harus kita hindari.

Meskipun begitu, bukan berarti kita harus melulu mengambil risiko dalam setiap pilihan hidup kita. Berada di zona nyaman membantu manusia untuk menghargai lingkungan sekelilingnya, memberikan waktu untuk merancang langkah selanjutnya, dan memikirkan risiko apa yang harus kita ambil setelah ini.

Baca juga: Maudy Ayunda Beri Tips Lolos Beasiswa Luar Negeri

Atasi Rasa Takutmu Terhadap Perubahan

Ajukan pertanyaan ini pada dirimu sendiri setiap memulai hari, jika kau hanya bisa melakukan satu hal hari ini, apa yang akau kau lakukan?

Bagi Maudy, justru lebih menakutkan jika kita tidak tumbuh dan berkembang sebagai individu. Ambillah risiko! Ini adalah hak dan pilihanmu untuk memilih, jangan berikan celah bagi orang lain untuk mendikte hidup kita.

Lakukan apa yang membuatmu senang. Hal itu akan memotivasimu untuk melakukannya lagi dan lagi. Beberapa orang menemukan kebahagiaan dari suatu proses yang mereka jalani, tak peduli fakta bahwa mereka hebat atau buruk dalam hal tersebut. Namun bagi beberapa orang lain, kebahagiaan terletak pada hasil akhir yang dicapai. Lagi, tidak ada yang salah dari letak sebuah kebahagiaan seseorang.

Apa pun pilihanmu kelak, pastikan bahwa kamu tidak akan menoleh ke belakang dengan penyesalan. Tengoklah masa lalu dengan senyuman dan berterima kasihlah pada dirimu sendiri karena telah mengambil pilihan itu.

 

Kontributor artikel: Nur Aisyiah Az-Zahra.

Introvert Extrovert

Jangan Paksa Seorang Introvert Menjadi Extrovert

Kamu termasuk introvert atau extrovert? Kalimat itu diucapkan oleh Susan Cain, penulis buku nonfiksi berjudul The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking. Mungkin kamu sudah bisa menebak bahwa Susan Cain juga seorang introvert. Dia menuliskan pendapatnya dengan bebas di dalam bukunya tentang bagaimana budaya barat tidak bersahabat terhadap kaum introvert.

Indonesia tidak jauh berbeda. Masyarakat cenderung memandang sebelah mata kemampuan orang-orang introvert. Banyak yang mengatakan bahwa seorang extrovert jauh lebih pantas menjadi pemimpin ketimbang seorang introvert. Hei, itu pemikiran yang salah!

Apabila seorang introvert disediakan ruang dan zona yang nyaman untuknya bekerja, pencapaian mereka akan luar biasa. Jadi, buang jauh-jauh persepsi semacam itu, ya! Asal kalian tahu, banyak pemimpin besar dunia yang ternyata seorang introvert, lho!

Introvert Extrovert

Tokoh Hebat yang Ternyata Seorang Introvert

Wahyu Aditya dalam Sila ke-6 menyebutkan tiga nama tokoh hebat yang ternyata merupakan seorang introvert. Mereka adalah Mahatma Ghandi, Eleanor Roosevelt, dan Rosa Parks. Ketiga nama itu pasti sudah tak asing lagi di telinga, bukan? Mereka dapat dikatakan sebagai sosok yang pemalu, pendiam, dan selalu berbicara dalam intonasi yang lemah lembut.

Para introvert cenderung memiliki sifat tenang dan hal itu merupakan kekuatan yang luar biasa mengingat banyak kegagalan bersumber dari kepanikan dan penguasaan diri yang rendah. Mengapa para pemimpin yang disebutkan di atas tadi bisa memimpin? Dalam bukunya, Mas Wadit menjawab bahwa semua itu karena mereka tidak memiliki pilihan selain melakukan apa yang mereka pikir benar.

“Jangan menganggap sebuah introversi sebagai sesuatu yang harus diobati. Habiskan waktu luangmu untuk melakukan apa yang kamu suka, bukan apa yang kamu rasa harus kamu lakukan.”

Kekuatan Introvert vs. Extrovert

Dunia membutuhkan orang-orang introvert. Hal yang harus kita garis bawahi di sini adalah introvert bukan perihal bisa atau tidaknya seseorang bersosialisasi dan cepat atau lambatnya seseorang beradaptasi di lingkungan baru. Ini tentang bagaimana seseorang merespons sebuah stimulasi yang diterimanya.

Apabila seorang extrovert nyaman dengan interaksi sosial dan merasa sepi ketika sendirian, introvert justru menemukan kekuatannya ketika merasa sendiri. Oleh karena itu, berikanlah respek dan ruang bagi si introvert untuk melakukan apa yang diinginkannya.

Berdasarkan penelitian Susan Cain, talenta manusia bisa dimaksimalkan saat berada di zona, area, dan ruang yang dapat menstimulasi mereka dengan tepat. Menurut Mas Wadit, salah satu kunci untuk menemukan kreativitas, jawaban, dan ide adalah kesendirian.

Baca juga: Jangan Takut Berkreasi, Setiap Karya Memiliki Peminat

Keseimbangan Diri

Sebenarnya, tidak ada orang yang benar-benar bisa dikategorikan sebagai murni introvert atau extrovert. Namun, persentase dominan pada introvert atau extrovert itulah yang kerap dianggap sebagai hasil yang final. Padahal, manusia justru semestinya berada di antara keduanya, menyeimbangkan Yin dan Yang.

Mungkin sebagian orang menganggap bahwa ambivert adalah jawabannya, kondisi imbang 50:50 dan merupakan pribadi yang fleksibel. Padahal, ambivert masihlah sebuah istilah gaul dan belum ada penelitian ilmiah untuk mengesahkan kosakata tersebut dalam disiplin psikologi. Lantas, benarkah ambivert merupakan jawabannya? Tidak.

Kita harus mengubah persepsi tentang introvert. Sebab pada dasarnya, semua orang berhak mendapat panggung yang sama dan tepukan tangan yang meriah. Hargailah introversi mereka, jangan memaksa mereka untuk menjadi seorang extrovert. Biarkan para introvert leluasa mengembangkan kreativitas tanpa batas mereka. Seperti tajuk Sila ke-6 Mas Wadit, Kreatif Sampai Mati!

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

© Copyright - Bentang Pustaka