Jl. Pesanggrahan No.8 RT/RW : 04/36, Sanggrahan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, 55584.
Bentang Pustaka terus berkomitmen untuk memperkaya pengalaman membaca masyarakat dan menjadi bagian penting dari ekosistem penerbitan buku di Indonesia.
. . . . .
Berada di Zona Nyaman atau Mengambil Risiko?
/in Artikel, Gaya Hidup, Pengembangan Diri/by Bentang PustakaZona nyaman atau mengambil risiko? Hidup adalah tentang pilihan. Manusia sering kali merasa dilema terhadap banyak hal entah itu urusan kecil seperti memilih menu makan siang, sampai persoalan besar seperti harus tidaknya kita menikah. Menurutmu, mana yang lebih penting? Memilih sesuatu yang berada dalam jangkauan dan zona nyaman kita atau melompat ke dalam bara api yang penuh risiko?
Mungkin pertanyaan yang tepat bukanlah mana yang lebih penting, melainkan pilihan mana yang lebih bisa membantu kita berkembang. Apa pun pilihanmu, sadarilah bahwa dalam hal ini tidak ada jawaban yang salah atau benar. Semua punya hak untuk memilih. Perlu diingat juga, kita tidak seharusnya menghakimi pilihan orang lain atau berusaha menggurui bahwa satu opsi lebih baik dari yang lainnya.
Mengambil Risiko dalam Zona Nyaman
Maudy Ayunda melalui bukunya, Dear Tomorrow, mengingatkan kita bahwa konsistensi yang perlu kita jaga dalam hidup adalah pertumbuhan positif dan pengembangan diri. Wanita kelahiran 1994 itu menulis bahwa terus-menerus berada di dalam zona nyaman juga ternyata berisiko. Risiko yang ia maksud adalah potensi dirinya untuk tumbuh dan berkembang akan terampas.
Jika sudah begitu maka istilah yang tepat bukan lagi zona nyaman, melainkan zona berbahaya, bukan? Inilah yang harus kita hindari.
Meskipun begitu, bukan berarti kita harus melulu mengambil risiko dalam setiap pilihan hidup kita. Berada di zona nyaman membantu manusia untuk menghargai lingkungan sekelilingnya, memberikan waktu untuk merancang langkah selanjutnya, dan memikirkan risiko apa yang harus kita ambil setelah ini.
Atasi Rasa Takutmu Terhadap Perubahan
Ajukan pertanyaan ini pada dirimu sendiri setiap memulai hari, jika kau hanya bisa melakukan satu hal hari ini, apa yang akau kau lakukan?
Bagi Maudy, justru lebih menakutkan jika kita tidak tumbuh dan berkembang sebagai individu. Ambillah risiko! Ini adalah hak dan pilihanmu untuk memilih, jangan berikan celah bagi orang lain untuk mendikte hidup kita.
Lakukan apa yang membuatmu senang. Hal itu akan memotivasimu untuk melakukannya lagi dan lagi. Beberapa orang menemukan kebahagiaan dari suatu proses yang mereka jalani, tak peduli fakta bahwa mereka hebat atau buruk dalam hal tersebut. Namun bagi beberapa orang lain, kebahagiaan terletak pada hasil akhir yang dicapai. Lagi, tidak ada yang salah dari letak sebuah kebahagiaan seseorang.
Apa pun pilihanmu kelak, pastikan bahwa kamu tidak akan menoleh ke belakang dengan penyesalan. Tengoklah masa lalu dengan senyuman dan berterima kasihlah pada dirimu sendiri karena telah mengambil pilihan itu.
Kontributor artikel: Nur Aisyiah Az-Zahra.
Jangan Paksa Seorang Introvert Menjadi Extrovert
/in Artikel, Gaya Hidup, Pengembangan Diri/by Bentang PustakaKamu termasuk introvert atau extrovert? Kalimat itu diucapkan oleh Susan Cain, penulis buku nonfiksi berjudul The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking. Mungkin kamu sudah bisa menebak bahwa Susan Cain juga seorang introvert. Dia menuliskan pendapatnya dengan bebas di dalam bukunya tentang bagaimana budaya barat tidak bersahabat terhadap kaum introvert.
Indonesia tidak jauh berbeda. Masyarakat cenderung memandang sebelah mata kemampuan orang-orang introvert. Banyak yang mengatakan bahwa seorang extrovert jauh lebih pantas menjadi pemimpin ketimbang seorang introvert. Hei, itu pemikiran yang salah!
Apabila seorang introvert disediakan ruang dan zona yang nyaman untuknya bekerja, pencapaian mereka akan luar biasa. Jadi, buang jauh-jauh persepsi semacam itu, ya! Asal kalian tahu, banyak pemimpin besar dunia yang ternyata seorang introvert, lho!
Tokoh Hebat yang Ternyata Seorang Introvert
Wahyu Aditya dalam Sila ke-6 menyebutkan tiga nama tokoh hebat yang ternyata merupakan seorang introvert. Mereka adalah Mahatma Ghandi, Eleanor Roosevelt, dan Rosa Parks. Ketiga nama itu pasti sudah tak asing lagi di telinga, bukan? Mereka dapat dikatakan sebagai sosok yang pemalu, pendiam, dan selalu berbicara dalam intonasi yang lemah lembut.
Para introvert cenderung memiliki sifat tenang dan hal itu merupakan kekuatan yang luar biasa mengingat banyak kegagalan bersumber dari kepanikan dan penguasaan diri yang rendah. Mengapa para pemimpin yang disebutkan di atas tadi bisa memimpin? Dalam bukunya, Mas Wadit menjawab bahwa semua itu karena mereka tidak memiliki pilihan selain melakukan apa yang mereka pikir benar.
Kekuatan Introvert vs. Extrovert
Dunia membutuhkan orang-orang introvert. Hal yang harus kita garis bawahi di sini adalah introvert bukan perihal bisa atau tidaknya seseorang bersosialisasi dan cepat atau lambatnya seseorang beradaptasi di lingkungan baru. Ini tentang bagaimana seseorang merespons sebuah stimulasi yang diterimanya.
Apabila seorang extrovert nyaman dengan interaksi sosial dan merasa sepi ketika sendirian, introvert justru menemukan kekuatannya ketika merasa sendiri. Oleh karena itu, berikanlah respek dan ruang bagi si introvert untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Berdasarkan penelitian Susan Cain, talenta manusia bisa dimaksimalkan saat berada di zona, area, dan ruang yang dapat menstimulasi mereka dengan tepat. Menurut Mas Wadit, salah satu kunci untuk menemukan kreativitas, jawaban, dan ide adalah kesendirian.
Keseimbangan Diri
Sebenarnya, tidak ada orang yang benar-benar bisa dikategorikan sebagai murni introvert atau extrovert. Namun, persentase dominan pada introvert atau extrovert itulah yang kerap dianggap sebagai hasil yang final. Padahal, manusia justru semestinya berada di antara keduanya, menyeimbangkan Yin dan Yang.
Mungkin sebagian orang menganggap bahwa ambivert adalah jawabannya, kondisi imbang 50:50 dan merupakan pribadi yang fleksibel. Padahal, ambivert masihlah sebuah istilah gaul dan belum ada penelitian ilmiah untuk mengesahkan kosakata tersebut dalam disiplin psikologi. Lantas, benarkah ambivert merupakan jawabannya? Tidak.
Kita harus mengubah persepsi tentang introvert. Sebab pada dasarnya, semua orang berhak mendapat panggung yang sama dan tepukan tangan yang meriah. Hargailah introversi mereka, jangan memaksa mereka untuk menjadi seorang extrovert. Biarkan para introvert leluasa mengembangkan kreativitas tanpa batas mereka. Seperti tajuk Sila ke-6 Mas Wadit, Kreatif Sampai Mati!
Nur Aisyiah Az-Zahra
Butuh Terapi Jiwa untuk Atasi Depresi? Henry Manampiring Rekomendasikan Buku Ini
/in Artikel, Berita, Gaya Hidup, Pengembangan Diri, Review Buku, Uncategorized/by Bentang PustakaHenry Manampiring, influencer media sosial, dikenal sebagai sosok yang humoris, cerdas, serta tak pelit membagikan rekomendasi mengenai hal-hal baru. Setelah sukses menerbitkan buku laris Filosofi Teras, Henry membuka mata para generasi milenial tentang pentingnya kesadaran akan kesehatan mental. Terutama untuk mengatasi perasaan emosi negatif yang naik turun secara berlebihan dan berujung depresi.
Depresi memang tak bisa dianggap remeh. Apalagi banyak kasus percobaan bunuh diri yang dilatarbelakangi oleh perasaan tak berharga. Dalam skala yang lebih ringan, depresi mampu mengacaukan keseharian kita akibat putus harapan dan rasa sedih yang berlebihan. Menurut Henry Manampiring, selain terapi pengobatan klinis, cara lain yang bisa ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan hidup adalah dengan mepraktikkan ajaran filsafat Yunani-Romawi Kuno.
Rekomendasi Buku Nonfiksi sebagai Terapi Jiwa
Kini, Henry Manampiring merekomendasikan salah satu buku penting tentang ajaran dan praktik filsafat yang bisa berperan sebagai terapi jiwa. Buku tersebut adalah Philosophy for Life: And other dangerous situations karya Jules Evans, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Bentang Pustaka dengan judul Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya.
“Jika kamu masih menganggap filsafat sebagai topik yang mengawang-awang dan tak berguna, buku ini akan mengubah pandanganmu. Dengan bahasa yang lugas dan penuh cerita menarik, Jules Evans menunjukkan bahwa filsafat justru bisa menjadi ‘terapi jiwa’ dan pilihan laku hidup (way of life). Kita bisa belajar dari kaum Stoa bagaimana tangguh menghadapi kesulitan hidup, dari kaum Epicurean menemukan kenikmatan hidup sejati, dari Phytagoras soal mendisiplinkan mental, dari kaum Skeptis cara untuk tidak mudah dibohongi, dan lain-lain. Kamu bisa belajar menjadi lebih bijak dalam menjalani hidup dengan ide dan pemikiran yang sudah bertahan ribuan tahun di dalam buku ini. Buku ini juga menjadi salah satu inspirasi saya menulis Filosofi Teras,” pesannya.
Berikut ini kami rangkum tiga hal menarik dari buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya yang diulas oleh Henry Manampiring di channel Youtube-nya.
Filsafat Membantu Penulis Buku ini Sembuh dari Depresi
Buku ini merupakan hasil tangkapan, riset, investigasi Jules Evans tentang berbagai aliran filsafat klasik zaman Yunani dan Romawi kuno. Evans menunjukkan bagaimana setiap aliran filsafat ini bertahan sampai sekarang: siapa saja pengikutnya, kelompok-kelompok yang menerapkan, dan bagaimana aliran-aliran tersebut masih relevan dengan kehidupan sekarang.
Pembahasan dalam buku ini berfokus pada School of Athens [Sekolah Athena], aliran yang berakar dari tradisi Yunani kuno. Aliran filsafat dari Yunani Kuno memang dikenal memiliki muatan way of life yang signifikan. Bagi Henry, aliran ini banyak memberikan nasihat mengenai panduan jalan hidup. Apalagi jika dibandingkan dengan aliran filsafat modern yang lebih njelimet dan susah dicari relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Menariknya, Evans tidak berposisi sebagai reporter atau investigator yang menuliskan hasil risetnya. Secara langsung dia bercerita tentang pengalamannya lepas dari depresi akibat aliran-aliran filsafat yang dipelajarinya. Ia juga menguraikan bahwa filsafat bukanlah kata-kata bijak semata, melainkan sesuatu yang bisa dipraktikkan setiap hari.
Henry Manampiring: Kenapa Buku ini Penting Dibaca?
Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya menunjukkan bahwa ada begitu banyak aliran filsafat yang bisa bermanfaat bagi hidup kita. Contohnya, Filsafat Stoa yang membantu kita untuk lebih resilien, lebih tangguh menjalani hidup, terlebih pada zaman resesi seperti sekarang. Dari Filsafat Epicurean, kita akan diajak untuk semakin memahami petuah “bahagia itu sederhana”. Skepticisme mengajarkan kita untuk berpikir kritis terhadap segala sesuatu, mempertanyakan banyak hal. Tentunya sangat relevan dengan situasi sekarang yang penuh hoaks dan fake news. Ada pula pembahasan mengenai kematian dari perspektif filsafat: Bagaimana kematian seharusnya tidak membuat kita takut?
Henry Manampiring: Cara Penulisannya Mengingatkan Saya pada Malcolm Gladwell
Tulisan Jules Evans mengingatkan Henry Manampiring pada gaya Malcolm Gladwell. Setiap babnya selalu diawali dengan kisah menarik dari seseorang, masalah dalam hidupnya, dan bagaimana praktik filsafat membantu orang itu menjadi lebih baik. Dengan bahasa yang mudah dan tidak njelimet, pembaca di Indonesia bisa menemukan aplikasinya di kehidupan sehari-hari. “Saya senang sekali buku ini akhirnya diterjemahkan oleh Bentang Pustaka. Semoga tulisan ini lebih banyak menjangkau orang-orang di Indonesia,” ujar Henry.
Nah, demikian tadi tiga nilai lebih dari Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Buku ini tengah memasuki masa PO yang berlangsung pada 1 hingga 11 Oktober 2020 di laman bentangpustaka.com.