Tag Archive for: Maiyah

Sinau Bareng: Rendah Hati dalam Mencari Kebenaran

 

Pada masa pandemi ini, salah satu hal yang tentunya sangat dirindukan oleh Jamaah Maiyah adalah Sinau Bareng. Setiap orang dari berbagai latar belakang berkumpul bersama. Cak Nun, bersama beberapa narasumber yang beliau undang, akan membahas suatu isu. Dan, setiap orang yang datang berkesempatan untuk bertanya atau mengemukakan gagasannya.

Sinau Bareng jika diterjemahkan secara harfiah berarti Belajar Bersama. Pemaknaan belajar di sini adalah menggali falsafah-falsafah kehidupan. Memberdayakan akal, pikiran, dan hati sehingga mampu bersikap kritis dalam melihat suatu fenomena. Kita tentu tidak tahu kapan forum Sinau Bareng yang biasa dihadiri oleh ratusan hingga ribuan orang itu akan hadir kembali. Kita tentu sudah sangat rindu untuk bersilaturahmi dan melantunkan shalawat bersama-sama.

Untuk mengobati kerinduan tersebut, Bentang Pustaka bekerja sama dengan Progress (Manajemen Cak Nun dan Kiai Kanjeng), menggelar Sinau Bareng daring yang ditayangkan di YouTube. Sinau Bareng kali ini membahas buku terbaru Cak Nun yang terbit pada Agustus, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Dimoderatori oleh Helmi Mustofa, narasumber yang turut hadir dalam acara ini yaitu Iqbal Aji Daryono (esais dan pengamat media) serta Iman Budhi Santosa (Budayawan).

 

Andhap Asor (Rendah Hati) dalam Belajar

Buku terbaru Cak Nun ini menguliti fenomena pencarian kebenaran pada diri setiap insan. Menurut Iqbal, orang-orang yang datang ke Sinau Bareng pasti memiliki bekal perasaan andhap asor. Karena, jika mereka berangkat dengan kesombongan dan perasaan pasti benar, tidak mungkin menuju atmosfer belajar bersama. “Sama halnya dengan para calon mahasiswa yang datang ke Yogyakarta. Banyak orang dari luar daerah ke Yogya untuk belajar. Berarti ada niatan untuk belajar. Iklim Sinau Bareng banyak muncul di buku Mbah Nun. Simbah tidak terus memosisikan diri sebagai pihak otoriter, beliau menganggap anak cucunya juga sebagai sumber kebenaran, sebuah insight yang penuh kewaskitaan.”

Perihal rendah hati dalam mencari ilmu juga dicontohkan oleh Iqbal melalui pengalaman pribadinya. Suatu waktu, ketika masih bermukim di Melbourne, Iqbal mengajak putrinya untuk mengunjungi museum. Ketika melewati patung dinosaurus, putrinya kemudian berkata, “Pak ini bentuk dinosaurus, but it can be right, it can be wrong.” Iqbal yang tertarik dengan pernyataan itu pun bertanya lebih jauh mengapa bentuk dinosaurus itu hanya mengira-ngira. Jawabannya sungguh menarik: karena sudah tidak ada. Scientist hanya menduga-duga dari sedikit yang dia tahu lalu menyimpulkan.

Bagi Iqbal, itulah contoh paling konkret dari spirit pendidikan yang andhap anshor.  Keyakinan tak perlu dipegang terlalu erat karena pada prosesnya bisa benar atau salah.

 

Berhati-hati dalam Melangkah

Jika Iqbal menekankan pencarian kebenaran pada prinsip rendah hati dalam berilmu, Romo Iman memberi contoh lain melalui filosofi di balik pesan “hati-hati di jalan”. Pesan tersebut sesungguhnya tidak berarti berhati-hati terhadap segala hambatan di jalan. Namun, ada makna yang jauh lebih dalam. Dalam falsafah Jawa, dikenal peribahasa “Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang, dalane orang mung siji” [Tersandung di jalan yang rata, terbentur langit, (maka ingatlah) tidak hanya ada satu jalan]. Segala sesuatu yang serba mulus dan lancar terkadang menyimpan jebakan di baliknya. Jalan yang rata tetap bisa membuat kita terjatuh karena tersandung oleh kaki sendiri.

“Maka, carilah yang pener [sesuai], bukan sekadar benar,” nasihat Romo Iman. Sikap penuh hati-hati dalam mencari kebenaran juga merupakan prinsip dalam forum Sinau Bareng. Para Jamaah Maiyah diajak untuk berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya. Begitu pula ketika mendengarkan pendapat orang lain. Karena bisa jadi, kebenaran itu bukanlah apa yang terbaik untuk kita, melainkan justru yang terbaik untuk sesama.

Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

Cak Nun: Tuhan Tidak Pernah Menciptakan Sampah

 

Pernahkah sedetik saja terlintas di pikiran kita, apa sebenarnya guna kecoa, tikus, atau lalat? Jika hewan-hewan tersebut sangat mengganggu kehidupan kita, untuk apa mereka diciptakan? Pertanyaan menggelitik mengenai misteri ciptaan Tuhan ini disinggung dengan sangat apik oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar.

Buku yang terbit pada Agustus 2020 ini mengisahkan perbincangan mendalam antara Simbah dan ketiga cucunya: Gendhon, Péncéng, dan Beruk. Salah satu pokok bahasan yang ramai mereka diskusikan adalah filosofi di balik minuman wedang uwuh.

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri, Yogyakarta. Dalam bahasa Jawa, wedang berarti ‘minuman’ dan uwuh adalah ‘sampah’. Kalau begitu, wedang uwuh sama saja dengan minuman sampah, dong? Lalu, untuk apa kita meminum sampah? Menurut para penjual minuman ini, disebut uwuh karena isi minumannya penuh rempah dan daun sehingga dari luar menyerupai tumpukan sampah.

Akan tetapi Cak Nun, yang selama ini kita kenal sebagai sosok yang mampu menguliti lapisan terdalam dari sebuah fenomena, memiliki pandangan khusus mengenai penamaan wedang uwuh ini. Berikut ini beberapa makna tersirat yang dibahas di dalam buku.

 

Jangan Sekadar Melihat Materi, Lihatlah Nilai di Baliknya

“Masyarakat kita selama beberapa puluh tahun terakhir ini lebih terlatih untuk melihat materi, memandang benda-benda, tanpa terlalu peduli terhadap nilai-nilai di belakang benda-benda itu.”

“Misalnya, Mbah …?” Gendhon bertanya.

“Misalnya, tuliskan bahwa wedang uwuh itu diramu dari macam-macam bahan. Katakanlah jahe, cengkih, bunga cengkih, batang cengkih, daun cengkih, kayu secang, pala, daun pala, kayu manis, daun kayu manis, akar serai, daun serai, gula batu, dan kapulaga ….”

 

Menyimpan Data Sejarah

Wedang uwuh bukan hanya segelas minuman. Ia juga sejarah. Karena rempah-rempah itulah, VOC datang dan kemudian menyandera bangsa Nusantara 3,5 abad. Rempah-rempah adalah harga diri kebudayaan bangsa, kreativitas nenek moyang, hasil ijtihad, atau proses eksperimentasi ….”

Kalimat Pèncèng dipotong dan diteruskan oleh Gendhon. “Dari wedang uwuh kita, kan, bisa becermin dan menemukan kesalahan-kesalahan bangsa kita ini sehingga kacau balau seperti sekarang, kehilangan kedaulatan, tidak percaya diri, mendewakan Barat, Arab, Tiongkok, dan semua yang dari luar. Segala sesuatu yang dari manca, kita dewakan. Segala sesuatu yang milik kita sendiri, yang diri sejati kita sendiri, kita remehkan.”

 

Kontemplasi atas Ciptaan Tuhan

Sebenarnya yang tampak paling mletik adalah Pèncèng. Beruk agak pendiam. Namun, sebenarnya sifat agak pendiam itu menandakan dia lebih mendalam. Lebih kontemplatif.

“Misalnya, bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Semua yang terbuang dan terpendam oleh Tuhan dijadikan bahan untuk minyak, batu mulia, akik, serta bahan-bahan tambang lainnya. Semua dibikin Tuhan dalam pola dauriyah. Daur ulang. Tidak ada yang mubazir.”

 

Kutipan-kutipan dari tulisan Cak Nun di atas sungguh menyentak kesadaran kita. Penyebutan “sampah” untuk minuman yang lezat dan berkhasiat seakan mengingatkan kita untuk terus-menerus melakukan refleksi diri. Termasuk pula tidak mudah gegabah dan marah kepada Tuhan ketika mendapat cobaan.

 

Gendhon, Beruk, dan Penceng serta Cak Nun di lereng Merapi

Yogyakarta dan Cak Nun dalam Buku Terbaru

Yogyakarta dan Cak Nun: Tak hanya tersusun dari akar “kenangan”, daun “nyaman”, dan buah “rindu”. Lebih daripada itu, Yogyakarta menawarkan filosofi kehidupan yang begitu mendalam saat Cak Nun menuangkan kisahnya dalam buku terbaru.

Yogyakarta dan Cak Nun, sering kali ketika kita mendengar kota tersebut―atau bahkan sudah sering mengunjunginya―akan terbayang dengan segala romantisme yang dibuat oleh masyarakat. Namun, tidak salah, kok, ketika kita menaruh pikiran bahwa Yogyakarta hulu dan hilirnya dari sebuah kerinduan. Bahkan, banyak orang pula yang mengeklaim bahwa Yogyakarta memberikan kenangan yang begitu besar, bisa kenangan baik maupun buruk saat ditinggal pasangan.

Meskipun demikian, satu hal yang perlu tetap kita lekatkan dalam benak bahwa Yogyakarta tersusun pula dari historikal budaya, sejarah, dan banyak angan para pendahulu untuk tetap mengukuhkan segala jati diri, meskipun zaman terus bergerak. Kisah Yogyakarta dalam penuturan Cak Nun dimulai dari kaki Gunung Merapi, bersama ketiga anak-cucunya, Beruk, Gendhon, dan Pèncèng.

Beruk, Gendhon, dan Pèncèng

Yogyakarta dan Cak Nun: Mengambil hari khusus, Cak Nun menyeret ketiga anak-cucunya pada tengah malam untuk naik ke leher Gunung Merapi. Pasukan khusus dan elite SAR-DIY diminta Cak Nun mengantar dan mengawal mereka berempat. Sebab, mustahil bagi Cak Nun dan ketiga anak-cucunya untuk bisa sampai ke sana tanpa bantuan mereka.

Berhenti di suatu titik, mereka berempat duduk di sekitar semak-semak. Cak Nun mempersilakan anak-cucunya duduk melingkar, bersila, berjajar, menghadap ke selatan, mengarahkan pandangan jauh ke depan.

“Dari tempat duduk kita saat ini, semua arah di jagat raya ini serba-remang. Ada banyak sosok makhluk, tetapi samar-samar. Wujudnya bercampur dengan bayangan-bayangan wujud yang terdapat di dalam rekaman urat saraf otak kita. Bayangan itu kita dapatkan dari pengalaman-pengalaman budaya, pengetahuan, dan ilmu kita selama ini,” ucap Cak Nun sebagai awalan diskusi mereka.

Cak Nun beranjak dari tempat duduknya dan berdiri sembari membenahi cara duduk ketiga anak-cucunya itu. Seraya mengatakan, “Pandang lurus ke depan. Jangan mengharapkan cahaya terang akan datang dari seluruh ruang yang kalian pandang. Cahaya hanya bisa kalian terbitkan dari lubuk kedalaman jiwa kalian sendiri.”

Lanjut Cak Nun, “Juga mana wujud nyata mana bayangan, mana kesunyatan, mana khayalan. Jangan andalkan objek-objek itu untuk menginformasikan kepadamu. Berangkatlah dari ‘ainulyaqin batinmu sendiri. Sekarang, temukan garis dari puncak Merapi di belakang ubun-ubun kalian, ke Tugu, jalur Margo Utomo, Malioboro, Margo Mulyo, Pangurakan, Keraton yang di kawal depan belakang oleh dua alun-alun, sampai Nggading. Terus lanjut lurus ke selatan, menyentuh pantai, dan teruskan sampai ke bangunan Keraton jauh di lepas pantai, yang mengambang bukan di atas air samudra, melainkan di tlatah kesadaran nilai dalam diri kalian.”

Ketiga anak-cucu Cak Nun sangat khusyuk menjalani panduan dari beliau, meskipun Cak Nun tahu, sebenarnya anak-cucunya itu tidak paham-paham amat. Ketiga anak-cucunya itu tidak pandai, ataupun waskita, tetapi yang paling Cak Nun sukai yaitu, mereka bisa sungguh-sungguh dan tekun dalam menjalani sesuatu. Kesetiaan tidak diletakkan sebagai nilai primer di konstitusi, kurikulum sekolah, serta sistem ilmu apa pun di kalangan kelas orang-orang pandai.

Baca Juga: Petuah Jawa dari Cak Nun: Rumongso Biso atau Biso Rumongso

Patrap dan Atlas Nilai Yogya

Yogyakarta dan Cak Nun: Akhirnya semua bubrah. Jadi, mereka semua sekarang duduk melingkar.

Lalu, tiba-tiba Gendhon menanyakan, mengapa malah mereka di sini membuat atlas? Cak Nun tetap menjawab meskipun sesungguhnya mereka itu sudah paham. Namun, pengetahuan tidak bisa diketahui kebenarannya kalau tidak terletak pada koordinat ruang dan waktu yang tepat. Orang Yogya menyebutnya patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang membumbui keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kelewat pedas, lantas muncul liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Bahkan, kita sudah memasuki era penggandaan pahala, emas, uang, bahkan penggandaan kepribadian: pendirian yang mudah berubah, beda ucapan dengan tindakan, bermalas-malasan, tidak kukuh, hipokritisi, oportunisme, kemunafikan, bajing loncat, dan beratus gejala dan fakta sejarah lainnya.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih kebenaran versi sendiri, ada yang mengeklaim atau memanipulasi kebenaran orang banyak, ada yang tersingkir karena mencari kebenaran sejati, tetapi susah banget untuk sesuai tatkala diterapkan. Sebab, seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

Perihal atlas itu sebenarnya awal dari hilirnya. Atlas, kan, tidak hanya geografis teritorial. Manusia juga sangat memerlukan atlas nilai. Peta nilai yang dipijaknya, yang mengepungnya, kemudian bagian yang dipilihnya. Yogya perlu mengatlaskan kembali tatanan nilai diri ke-Yogya-annya karena Yogya paling berkewajiban dan menyiapkan diri untuk nanti menyelamatkan Indonesia yang sedang semakin kehilangan patrap.

Lembah Masa Depan

Yogyakarta dan Cak Nun: Kata “Yogya” sangat sensitif bagi ketiga anak-cucu Cak Nun. Menggetarkan hati dan menaikkan adrenalin. Kalau mereka berempat berdiskusi dan berkhayal tentang masa depan Yogya, bisa semalaman atau sesiangan atau sekurang-kurangnya berjam-jam. Tidak terbatas pada eksplorasi tafsir tentang keistimewaan Yogya―tentang beda antara Yogya Kota Budaya dan Yogya Ibu Kota Kebudayaan Indonesia.

Beribu dimensi tematik Yogya yang skala besar maupun kecil. Yang substansial maupun yang ilustrasional. Yang prinsipil maupun yang romatis. Yang kultural maupun spiritual. Yang samar-samar maupun yang bersahaja. Yang bumi maupun langit. Sudah Cak Nun bayangkan wilayah-wilayah tugas yang perlu dieksplorasi oleh ketiga anak-cucunya.

Itulah secuplik kisah Yogyakarta dalam tuturan Emha Ainun Najib di buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pra-pesan dari 24 Juli―9 Agustus 2020 di reseller kesayangan kalian atau melalui laman etalase Cak Nun Mencari Kebenaran. Dapatkan harga spesial, totebag, dan tanda tangan digital dari Cak Nun!

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

 

proses kreatif Cak nun

Proses Kreatif Cak Nun dalam Buku Lockdown 309 Tahun

Gimana sih proses kreatif Cak Nun bisa produktif menerbitkan buku? Pada saat pre-order, buku Lockdown 309 Tahun karya Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun berhasil terjual hingga lebih dari 1.000 eksemplar, sekaligus menandai cetak ulangnya yang kedua. Hal ini menyiratkan, jika para pembaca tak hanya menunggu bagaimana buah produktivitas dihasilkan dari seorang penulis senior sekaliber Cak Nun, tetapi mereka juga membutuhkan pandangan lebih lanjut mengenai pendapat sekaligus refleksi hidup Cak Nun, terutama mengenai kemunculan pandemi virus Corona atau Covid-19 ini.

proses kreatif Cak nun

Proses Kreatif Cak Nun

Tulisan-tulisan Cak Nun yang dinilai menyejukkan serta menenangkan hati, diharapkan dapat memberikan perspektif baru kepada para pembacanya−terutama respons atas munculnya virus berukuran mikro di Indonesia sejak awal Maret itu. Meski sekali lagi, Cak Nun tak pernah menganggap dirinya dapat mengajari apa pun, sebab yang beliau inginkan hanya satu: semua dapat belajar bersama-sama, mencari jawaban bersama-sama, serta mampu mengamalkannya pula secara bersama-sama. Istilah khasnya, yaitu sinau bareng.

Maka dari itu, jika berbicara seputar proses kreatif Cak Nun dalam kepenulisan seputar virus Corona, hampir semua tulisan yang dibuat, selalu berhubungan dengan perilaku manusia, baik responsnya, akhlaknya, kedekatan kepada Tuhannya, hingga ulah-ulahnya yang sering kali menimbulkan kerusakan. Termasuk virus Corona, yang sering dimaknai oleh sebagian manusia lainnya sebagai upaya konspirasi, ataupun bocornya suatu proyek laboratorium uji di sebuah daratan jauh di sana.

Mendekatkan Kepada Yang Kuasa

Akan tetapi, terlepas dari semua itu, Cak Nun selalu mengingatkan kepada kita agar justru semakin mendekatkan diri kepada Yang Kuasa, terlebih dalam ancaman pandemi yang sejak tahun lalu belum usai. Pada akhirnya, rasa ikhtiar serta tawakallah yang mampu kita serahkan kepada Tuhan Maha Kuasa karena hanya diri-Nya-lah Pencipta serta Penghilang virus tersebut nantinya. Begini kira-kira pendapat Cak Nun seputar komposisi proses kreatifnya dalam menuliskan buku Lockdown 309 Tahun:

Semua tulisan saya di buku ini tentang segala sesuatu yang terkait Coronavirus, memakai pola pandangan dan pemetaan yang mengungkapkan keterkaitan antara virus dan kesehatan jasad, struktur kejiwaan, kekuasaan Tuhan, metode takwa dan tawakal, iman, doa, wirid, zikir, hizib, dan seluruh famili konteksnya menurut pola pandang yang saya pakai.

Maka dari itu, jika ditilik dari proses kreatif oleh Cak Nun, dapat kita simpulkan bahwa salah satu hal terpenting. Serta menjadi bekal dari kepenulisannya adalah riset. Riset termasuk tahap yang cukup penting karena tak hanya mengetahui seluk-beluk serta awal mula gagasan itu ada, tetapi juga memberikan semacam perbandingan atas suatu pendapat yang diutarakan.

Lockdown 309 Tahun

Hal tersebut dengan mudah dapat kita amati dalam beberapa paragraf pada buku Lockdown 309 Tahun. Cak Nun selalu mengikuti kabar seputar jumlah penderita positif virus Corona setiap harinya. Lalu, mengikuti apa saja kebijakan terbaru pemerintah setiap harinya, mempelajari apa saja isu yang beredar semasa pandemi. Hingga, bagaimana sejarah wabah pada masa lampau, terutama pada zaman Rasulullah Saw. serta kepemimpinan khalifah Umar bin Khaththab setelahnya. Bisa dikatakan bahwa Cak Nun tak hanya sekadar menulis. Tetapi, juga melihat serta mendengar apa saja yang ada di sekitar beliau.

Selain itu, riset juga dapat mempertajam pendapat yang diutarakan. Misalnya, ketika Cak Nun membahas hikayat Ashabul Kahfi yang ditidurkan oleh Allah Swt. Di dalam gua selama 309 tahun, demi terlindungi dari pemimpin kejam yang berusaha memaksa para pemuda itu untuk berpindah keyakinan.

Kisah nyata seputar Ashabul Kahfi itu akhirnya dapat digunakan oleh Cak Nun sebagai perantara atas keluh kesahnya. Agar dapat langsung menyadarkan kita bahwasanya kita harus meneladani kisah mereka. Yang nurut serta tunduk pada apa yang menjadi perintah Tuhan, yakni berlindung di dalam gua. Maka, ketika masa pandemi sedang berkecamuk seperti ini, seruan untuk tetap tinggal dan beraktivitas di rumah tak seharusnya kita acuhkan. Sebab, salah satu cara untuk memutus rantai penyebaran virus, yakni melalui pencegahan kontak antar-manusia itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa virus dapat menyebar melalui droplet, yang medianya berupa air liur serta ludah.

Proses Kreatif Cak Nun: Pentingnya Riset dalam Menuliskan Buku

Pentingnya riset itulah yang kemudian menjadi kunci produktivitas Cak Nun dalam menuliskan berbagai sudut pandangnya. Selain itu, mengutamakan rasa saling mengingatkan juga menjadi perhatian Cak Nun selama ini. Terbukti dalam hampir seluruh karyanya, selalu mengingatkan kepada kita bahwa hidup ini harus selalu ditujukan kepada Tuhan. Baik ketika senang, bahagia, sedih, murung, hingga susah, semua harus tetap kita kembalikan kepada Allah SWT. Sebab kelak roh kita juga yang akan kembali kepada-Nya.

Hal ini menjadi nilai penting, sebab manusia seperti kita sering kali dihinggapi rasa lupa dan malas. Sehingga, tak luput juga dalam kesalahan serta ketidakingatan kita kepada Yang Kuasa. Maka, sudah seharusnya kita bersyukur jika Tuhan memerantarakan hidayah-Nya melalui pemikiran serta tulisan-tulisan Cak Nun. Yang nantinya dapat kita baca dan renungkan. Semoga Cak Nun juga selalu diberi kesehatan. Sehingga dapat terus produktif dalam menghasilkan tulisan-tulisan yang berkualitas serta menggugah hati pikiran kita.

Pada akhirnya, Cak Nun sangat berharap agar Allah Swt. dapat segera mengangkat virus Corona ini−sehingga hilang dari bumi agar nantinya Jamaah Maiyah dapat bercengkerama kembali serta sinau bareng Cak Nun. Tak hanya melalui tulisan-tulisan sebagaimana saat ini, yang kemudian mendasari terbitnya buku Lockdown 309 Tahun setebal 260 halaman itu.

lockdown

Setan Adalah Produk Jin dan Manusia, Kok Bisa?

Sebentar … setan yang mana dulu, nih? Ya, setan, makhluk ciptaan Allah yang dalam bahasa Arab berarti ‘syaithon’, dan dalam bahasa Inggris berarti ‘satan’. Setan yang sejak zaman Nabi Adam hingga hari kiamat nanti hanya memiliki dua tugas, yakni menggoda jin dan manusia, serta menyesatkannya sehingga dapat terjungkal bersama ke dalam neraka.

Meski keberadaan setan atau iblis di bumi ini juga termasuk bagian dari skenario Allah, tetapi pada dasarnya, mereka adalah produk yang dibuat oleh jin dan manusia. Walaupun wujud mereka sejatinya sudah ada sejak Nabi Adam, dan akan terus hidup dan beranak pinak hingga Hari Kiamat tiba.

Maksud dari produk jin dan manusia ialah, setan selalu hadir di dalam rusaknya peradaban jin serta manusia. Segala hal yang sudah diciptakan dengan sebaik-baiknya oleh Allah, jika pada akhirnya dirusak oleh kedua makhluk tersebut, sejatinya setan telah masuk ke dalamnya untuk memengaruhi serta membisikinya untuk melakukan kerusakan tersebut.

Masih bingung? Mari kita simak kutipan dari Emha Ainun Nadjib atau yang sering kita sapa Cak Nun, dalam tulisan-tulisannya yang dibukukan dengan judul Lockdown 309 Tahun. Kira-kira seperti ini kutipannya:

“Tuhan menginformasikan lebih lanjut bahwa sumbernya setan, mata air dan server-nya adalah jin dan manusia ini sendiri. Mungkin maksudnya semacam ini: malfungsi peralatan jiwa manusia akan melahirkan setan. Mal-manajemen atau dis-manajemen. Mal-akhlak. Mal-haq dan ketidakjujuran, ketidaktepatan, ketidakbaikan, disproporsi dan improporsi. Walhasil, setan adalah produk kita sendiri dan kaum jin.”

Bagi Cak Nun, segala hal yang menjadi keburukan dalam perilaku manusia serta jin adalah buah dari pengaruh setan. Tak hanya perbuatannya, tetapi dampaknya juga terlibat. Kerusakan yang kita saksikan selama ini, baik rusaknya akhlak manusia, hingga hancurnya semesta alam, merupakan biang masalah yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan setan.

Maka dari itulah, Allah Swt. sudah mewanti-wanti melalui Al-Quran, bahwasanya semakin lama, semakin mendekati Hari Kiamat, peradaban manusia semakin rusak, meski secara pemikiran semakin berkembang dan juga secara teknologi lebih canggih. Namun, jika tak diimbangi dengan amal serta ibadah yang baik kepada Allah Swt. maka kita sebetulnya tak jauh beda sebagai bagian dari kerusakan zaman tadi.

Termasuk virus Corona atau Covid-19 yang saat ini masih membayangi seisi bumi. Virus tersebut terus berkembang selama masih ada inangnya−yaitu manusia. Sebetulnya tak hanya virus Corona, tetapi seluruh jenis virus di dunia ini juga membutuhkan inang untuk hidup, yakni pada manusia ataupun hewan.

Maka dari itu, virus ini sejatinya dapat dihindari bagi banyak manusia, apabila tetap menjalani hidup sesuai protokol kesehatan yang sudah ada serta selalu menjaga daya tahan tubuh supaya tetap kuat. Pada akhirnya, virus ini tak hanya membuat penderitanya sakit dan lemah, tetapi juga mengganggu kekhusyukan ibadah dan juga fokus kita kepada Allah Swt., yang pada saat masih sehat misalnya, dapat menjalankan ibadah wajib serta beberapa sunah.

Sejatinya, kita tak perlu takut terhadap virus Corona, asalkan kita sudah berikhtiar dengan melakukan berbagai hal yang sekiranya dapat menjauhkan kita dari potensi terpaparnya virus. Jika kita sudah melakukannya sebaik mungkin, serta berusaha menjalani hari-hari dengan baik dan tak lagi khawatir secara berlebihan, insya Allah virus ini akan secepatnya hilang. Bukankah Allah sudah berjanji jika setiap penyakit itu ada obatnya?

Sebetulnya, tak semua virus itu bencana. Semua bergantung kepada siapa pun yang menghayatinya. Jika ia menganggapnya sebagai bencana, hal itu akan benar-benar menjadi sesuatu yang mematikan. Sementara itu, jika ia menganggapnya sebagai rahmat dan hikmah, kebaikan pun dapat ia rasakan, seperti: semakin mendekatkan diri kepada Allah dan semakin menerapkan pola hidup bersih. Hal itu juga menjadi refleksi Cak Nun (baca renungan Cak Nun tentang Covid-19) sepanjang masa pandemi, jika sumber terbesar dari penyakit yang diderita manusia itu, tak lain berasal dari kekhawatiran yang mereka rasakan sendiri.

“Coronavirus lebih populer dari apa pun dan siapa pun akhir-akhir ini di seluruh dunia. Sebabnya adalah karena membuat semua umat manusia menderita. Andaikan Coronavirus itu membahagiakan dan menggembirakan, ia tak sepopuler sekarang. Andaikan Coronavirus adalah nutrisi unggul, gizi tertinggi, zat utama kesehatan, atau ia rahmat, berkah, dan hikmah langsung bagi kehidupan manusia, ia tidak seterkenal sekarang.”

Maka dari itu, jauh sebelum diciptakannya manusia, terutama saat dibuatnya kitab Lauh Mahfudz, Allah telah memerintahkan kepada kita, umat manusia, melalui Al-Quran agar senantiasa mengingat diri-Nya, salah satunya adalah dengan berdoa. Apalagi masa pandemi yang belum usai ini, jalan terbaik bagi kita hanya bermunajat serta memohon doa kepada Allah karena siapa lagi Dzat Pemberi dan Penyembuh dari Segala Penyakit−jika bukan Allah? Maka, sudah saatnya kita menyadari bahwa pandemi saat ini tak hanya sekadar sebuah ujian, melainkan juga sebuah petunjuk dan bimbingan, menuju obat yang tak lama lagi akan kita temukan sehingga dapat menyembuhkan semua penderitanya, pun tak lagi ada keresahan di antara umat manusia. Aamiin.

“Kesembuhan itu lokal, parsial, fakultatif, dan eksklusif. Petunjuk atau hidayah itu universal, tanpa batas, inklusif apa aja, termasuk kemungkinan untuk sembuh. Oleh karena itu, selama era Corona, shalat kita bukan terutama “mohon penjagaan dan kesembuhan”, melainkan “mohon petunjuk, panduan, tuntunan, bimbingan”. “Ya Rahman Ya Rahim, Ya Hadi Ya Mubin.”

puasa menurut bahasa

Orang Berpuasa atau Manusia Puasa

Puasa adalah sebuah istilah yang kita pinjam dari bahasa Sanksekerta, yakni “Upavasa”. Kata “Upa” berarti dekat dan “vas” berarti hidup. Penggabungan dua kata tersebut memiliki makna yang lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, konon menurut para Resi dan Biksu, kata “upavasa” berarti hidup yang terbiasa dekat dengan Sang Pencipta melalui doa dan berpegang teguh dalam hal tersebut. Kalangan spiritualis dulu berpandangan, aktivitas yang menyenangkan fisik jasmani seperti makan, minum serta berhubungan badan sangat bersifat duniawi sehingga dipercaya cenderung menjauhkan atau melupakan kehadiran Sang Pencipta.

Dipergunakannya istilah “Puasa” dalam bahasa Indonesia (bukan Shiyam atauShoum), seperti populernya istilah “sembahyang” ketimbang sholat, menggambarkan bahwa beberapa unsur peradaban nusantara masa lalu masih diterima dalam kosakata kita, negeri yang jumlah umat Islamnya mayoritas. Penggunaan istilah puasa ini juga menjadi bukti bahwa laku berpantang makan minum ini telah berjalan jauh sebelum syariat Shiyam Ramadlan diturunkan kepada Rasulullah saw. Qur`an menegaskan …”diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”…(QS 2:183).

Adapun istilah orisinal yang diperkenalkan Qur`an dalam konteks berpuasa adalah Shiyam dan Shoum. Keduanya dari segi bahasa bermakna “menahan”, namun bila dielaborasi lebih jauh nuansa kedua istilah itu tidaklah identik persis. Shiyam adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seks karena Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Shiyam merupakan aturan administratif ibadah yang harus dijalani selama bulan Ramadlan. Sedangkan istilah Shoum digunakan Qur`an dalam konteks lain. Dalam Qur`an surat Maryam ayat 26, Ibunda Nabi Isa a.s dipesankan Allah untuk melakukan shoum, yakni menahan diri dengan tidak berbicara kepada kaumnya ketika putranya lahir tanpa ayah. Di ayat tersebut kata ‘shoum’ bahkan tidak terkait dengan larangan makan dan minum, karena pada awal ayatnya justru memerintahkan Maryam untuk makan dan minum. Secara bebas, shoum berarti menahan diri untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya berhak dilakukan.

Menariknya, ketika hendak memulai puasa, lafaz ikrar do’a memulai puasa yang populer menggunakan istilah Shoum, itu berarti antara ritual shiyam dan nilai shoum keduanya harus berjalan bersama-sama saling komplementer. Shiyam harus berkonten Shoum. Shiyam tanpa nilai shoum adalah praktik puasa yang muspra. Sebuah hadits Nabi, dikatakan ”Betapa banyak orang yang melakukan SHIYAM namun yang didapatnya hanyalah rasa lapar dan dahaga saja”. Dalam kesempatan lainnya misalnya Nabi mengatakan “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan” Bila shiyam kita jalani selama 29 atau 30 hari di bulan Ramadlan, maka Shoumhendaknya menjadi ahklak yang dapat dijalankan sepanjang masa hidup kita. Shoum berkaitan dengan kecerdasan mental dalam mengendalikan diri.

Dalam term biologi, manusia digolongkan sebagai mahkluk omnivora: bisa makan apa saja. Meski dapat mengkonsumsi apa saja, kita membatasi diri dalam mengkonsumsi jumlah dan jenis suatu makanan, itulah shoum. Kita bisa ngomong apapun, bisa berbicara sebebas-bebasnya, tapi kita mengendalikan diri untuk lebih memilih mengatakan hal-hal yang baik-baik saja dan yang bermanfaat saja, itulah nilai shoum. Bahwa hidup tidak dijalani berdasarkan kebebasan ekstrem dan memperturuti selera saja, tapi membuat batasan-batasan yang baik dan wajar yang harusnya dijalani. Dalam kurikulum Maiyah diajarkan, hidup bukan melulu soal senang tak senang, suka tidak suka, tapi yang terpenting adalah baik atau tidak, benar apa salah.

Mengendalikan Vs Melampiaskan

Dalam suatu acara Maiyah kurang lebihnya Mbah Nun pernah menyampaikan bahwa: “ibadah puasa pada hakikatnya merupakan aturan yang sangat dibutuhkan manusia, tapi aslinya tidak disukai manusia”. Tidak enak itu rasanya menahan lapar, tidak mudah itu menahan dahaga, tidak enak pula kenapa harus diatur-atur bergaul dengan pasangan yang sah, kenapa harus bersahur bangun dini hari, kenapa harus ada batasan-batasan, pengekangan, pagar dan rambu-rambu? Lebih tepatnya, praktik berpuasa itu aslinya tidak disukai oleh kecenderungan syahwat manusia. Diwajibkan puasa Ramadlan itu telah menjelaskan bahwa metode ini pada dasarnya tidak kompatibel dengan syahwat, keinginan daan nafsu. Bila memang secara default sesuatu itu disenangi, maka tanpa disuruh-suruh atau diwajib-wajibkanpun akan dijalani manusia secara suka rela. Buat manusia, “mengendalikan diri jauh lebih sulit ketimbang melampiaskan keinginan” Argument-argumen dari hikayat genealogis, fakta fisiologis, kecendrungan psikologis akan mendukung pandangan ini.

Sejak bayi, anak manusia sudah terbiasa melampiaskan apa yang ia inginkan. Bila ingin makan dan minum anak bayi akan menangis menuntut dipenuhi segera keinginannya secara instant. Dan bayi memang berhak atas itu. Bila sang bayi akan buang hajat, ia akan lakukan kapan saja dimanapun saja, tanpa perlu minta izin. Beranjak kanak-kanak, keinginan itupun semakin berkembang. Lihatlah bagaimana seorang anak akan “setengah memaksa” atau bila perlu merajuk, merengek untuk dibelikan sesuatu yang ia sukai walau sebenarnya tidak ia butuhkan. Orangtua yang memiliki konsep parenting dalam mendidik anak, tentu tidak akan pernah memenuhi segala keinginan anaknya, meski mereka sanggup memenuhinya.

Bercermin dalam hikayat leluhur pun, pelanggaran yang dilakukan nenek moyang manusia, Adam di surga juga berhubungan dengan “ketidakmampuan mengendalikan diri”. Syahdan Adam dan Hawa dahulunya berdiam di surga, dan di sana mereka bebas untuk menikmati apapun fasilitas yang ada di taman syurga kecuali satu saja, “hanya sebuah pohon!”. Larangan yang “hanya satu” itu pun pada akhirnya dilanggar! Pesan moral dari kisah itu menjelaskan bahwa: dasar kelemahan manusia adalah ketidakmampuan mengendalikan diri. Maka kita sebagaimana leluhur kita, juga punya kecenderungan yang sama yakni gampang tergoda. Kita semua punya kemungkinan melanggar larangan Allah, melupakan janji setia kita dahulu dan kemudian akhirnya tergelincir jatuh tidak terhormat. Kita dapat saja terkecoh oleh sesuatu yang sepintas lalu menyenangkan dan menarik, padahal di belakang hari nanti akan membawa malapetaka. Kita semua bani Adam ini punya potensi untuk jatuh tidak terhormat kalau kita tidak tahu batas & tidak bisa menahan diri.

Dan bila merujuk pada sistem anatomi dan fisiologi manusia, lagi-lagi kita akan menemukan simpulan bahwa “pengendalian itu jauh lebih sulit dari pelampiasan”. Mekanisme kontrol tubuh manusia dilakukan oleh sistim syaraf, yang terdiri dua bagian besar yakni syaraf sadar dan syaraf otonom (tidak sadar). Syaraf otonom ini mengontrol dan mengendalikan seluruh mekanisme internal didalam tubuh kita, sejak denyut jantung, gerakan usus atau kandung kemih hingga reflek-reflek penyelamatan diri. Sistem ini dibagi atas dua bagian, syaraf simpatis dan syaraf parasimpatis; yang bekerja secara antagonis. Simpatis bekerja “memacu”, parasimpatis berfungsi “mengendalikan”. Analogi kerja tersebut, mirip-mirip fungsi gas dan rem dalam sebuah kenderaan. Tanpa gas, kenderaan tak mungkin berjalan. Semakin pedal gas ditekan dalam maka laju kecepatan kenderaan semakin tinggi. Namun kenderaan yang berjalan tanpa rem jelas membahayakan penumpang. Faktanya kemudian, tidak seperti syaraf parasimpatis yang semakin menurun kemampuannya sejalan dengan pertambahan usia, syaraf simpatis relatif tetap terpelihara. Dus, karena itu syaraf parasimpatis ini perlu “dilatih” agar ia tetap dapat menyeimbangkan kerja simpatis yang mendorong dan memacu irama kerja tubuh. Kerja simpatis yang berlebihan dan tidak diimbangi, lamban laun segera akan menghancurkan konsitusi kesehatan, menurunkan imunitas dan mempercepat proses penuaan. Ibarat kenderaan yang hanya memiliki pedal gas, sementara remnya blong maka kehancuran dari kenderaan itu mernjadi hal yang tidak terelakkan. Bukti-bukti empiris lainnya masih banyak lagi untuk membuktikan bahwa mengendalikan diri itu jauh lebih sulit dari melampiaskan diri.

Relevan dengan ini, dari madrasah Ramadlanlah kita dapat memperoleh pelatihan-pelatihan untuk self control tersebut lewat BERPUASA. Ramadlan tidak saja disebut sebagai bulan suci, tapi juga bulan yang mensucikan. Kata “Ramadlan” sendiri secara generik bermakna “membakar”. Kita selalu menemukan asosiasi dari kata “membakar” dengan pembersihan atau membentuk suatu yang baru untuk meningkatkan suatu fungsi. Sebagai contoh misalnya, sampah bila dibakar akan bersih, makanan bila dibakar (dioksidasi) akan menghasilkan energi, logam bila dibakar dapat diubah menjadi mesin atau bentuk lainnya seperti pesawat yang memiliki manfaat lebih besar untuk dipergunakan dalam kehidupan. Sebulan di gembeleng dalam institusi ramadhan, kita dilatih untuk mengontrol diri ini, dididik menahan keinginan untuk dapat menanamkan nilai-nilai shoum dalam dimensi yang lebih luas dan komprehensif.

Mbah Nun pernah mengungkapkan ilustrasi betapa uniknya ibadah puasa ini dibandingkan model-model ibadah lainnya dalam hal relasi kita dengan dunia. Jika dalam sholat kita menginterupsi dunia sejenak- saat takbiratul ihram kita memutus matarantai komunikasi sosial untuk fokus beraudiensi dengan sang Pencipta. Interupsi itu kemudian berakhir saat kita mengucapkan salam ke kanan dan kekiri, menegaskan bahwa kita siap membawa pesan damai ke seluruh lingkungan kita. Jika melakukan zakat, dunia malah kita cari, agar sebagian perbendaharaannya nanti bisa kita distribusikan kepada saudara-saudara kita yang berhak menerimanya. Sementara ketika berhaji, kita sudah talak tiga dengan dunia. Kita tinggalkan kampung halaman sanak famili handai tolan, dengan berbekal kain putih sederhana tak berjahit kita sambut panggilan ilahi pergi ke tanah suci menyeru labbaik allahuma labbaik tanpa atribut duniawi apapun. Namun ketika berpuasa, dunia tidak kemana-mana melainkan ada dihadapan kita, NAMUN KITA TIDAK DIPERKENANKAN UNTUK MENYENTUHNYA. Pesan moralnya adalah apabila suatu ketika dunia datang dengan segala glamour kemilaunya menggoda prinsip-prinsip hidup dan idealisme kita, puasa telah menanamkan pada diri kita sebuah imunitas, ketangguhan mental dalam mengendalikan diri terhadap segala godaan dunia.

Kurikulum pendidikan Shiyam Ramadlan dalam 3 jenjang

Selama sebulan atau tiga puluh hari berpuasa ini, para ulama sering membagi puasa menjadi 3 bagian dalam rentang per-10 hari-an, yang memiliki titik tekan dan pencapainnya masing-masing. 10 hari pertama adalah masa adaptasi secara fisik, yakni jenjang puasa jasmani (berdimensi fisik). Inilah periode saat beradaptasi terhadap irama jadwal makan yang baru saat sahur dan waktu berbuka, juga penyesuaian dalam konteks mengurangi jumlah asupan makanan. Demikian pula ada adaptasi biologis terhadap irama tidur. Periode ini mewakili fase pendisiplinan terhadap fisik jasmani kita.

Dalam dunia kesehatan, kini telah terbukti luas manfaat puasa bagi kesehatan jasmani. Penelitian terbaru misalnya, Prof.Dr.Noboru Mizushima dari Tokyo Medical University mengatakan “orang yang menjalani proses kelangkaan makanan, ia telah memfasilitasi mekanisme daur ulang bagi sel-sel didalam tubuhnya untuk menyapu sel-sel yang aus dan rusak. Dalam tinjauan biokimiawi terbaru, berpuasa itu mengaktifkan proses autofag seluler (pencernaan sampah dalam sel) & apoptosys, mengakibatkan terjadi proses detoksifikasi dengan membersihkan sampah-sampah seluler (zombie sel).”. segudang fakta klinis lain yang akan panjang lebar untuk membahas hikmah puasa dari kesehatan ini. Dan bukankah Rasulullah saw sendiri juga mengatakan secara eksplisit “Berpuasalah niscaya kamu sehat”.

Pada 10 hari kedua, diharapkan kita naik kelas masuk pada fase jenjang puasa nafsani (berdimensi psikologis). Di fase ini kita melatih kedisiplinan diri khususnya dari segi mental kejiwaan. Dari segi psikologis, puasa tentu tidak sekedar menahan makan dan minum atau sekedar persyaratan sah secara fiqih saja. Namun puasa harus disertai peningkatan pemahaman tentang apa yang sesungguhnya harus kita tahan selama kita menjalani ibadah shiyam ini. Nabi saw menjelaskan keharusan yang semestinya dijalani melebihi sekedar makan minum dalam berpuasa ini dengan mengatakan “Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Tetapi puasa adalah menahan diri dari lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya ‘Aku sedang berpuasa, sedang puasa””. Mengontrol emosi, meninggalkan perbuatan yang tidak produktif, menjauhi aktivitas yang tidak menambah nilai kemanusiaan, meninggalkan perbuatan-perbuatan negatif lainnya seperti : dusta- perilaku kasar agresif- bergihibah- berdusta- mengumpat- berkata-kata kosong dsb.

Puasa yang tidak memberi dampak terhadap fisik dan kejiwaan, hanyalah puasa yang ibaratnya hanya mengubah jadwal makan minum & istirahat saja. Kini popular istilah sinisme dalam dunia politik :”kampret vs cebong”. Saya tergoda untuk merenungkan, bagaimana bila fenomena istilah cebong-kampret ini bukan sekadar meme sarkastik politik? Bagaimana jika ini sebuah pertanda isyarat atau amsal zaman? Yang jelas menjadi cebong dan kampret di dunia hewan adalah suratan Ilahi, itu merupakan kemuliaan bagi mereka. Tapi berlaku seperti cebong atau kampret, atau mengatribusikan percebongan dan perkampretan pada manusia adalah pelecehan terhadap kemanusiaan.

Dalam kaitan dengan puasa, hindarilah “model puasa kampret dan cebong”. Kampret berpuasa pada siang hari, namun justru “berpesta pora” divmalam hari. Manusia adalah makhuk diurnal bukan species nokturnal seperti kampret. Sistem pencernaan manusia secara fisiologis dirancang untuk mengkonsumsi secara baik bagi kesehatannya pada siang hari bukan pada malam hari. Jadi berpuasa disiang hari dan melampiaskan konsumsi dimalam hari adalah seperti pola kampret yang nokturnal.

Lalu bagaimana pula model puasa yang dijalani kecebong? Ternyata menurut literatur, kecebong yang aslinya mahkluk herbivora ketika mengalami krisis makanan berubah tabiatnya menjadi pemakan segalanya bahkan bersifat kanibalis (memangsa saudaranya sendiri) Ramadlan-lah saatnya kita kembalikan marwah dan kehormatan manusia dengan tidak melabel pada sesame saudara-saudara kita dengan gelar-gelar yang tidak simpatik yang menurunkan derajat kemanusiaan.

Dan pada 10 hari ketiga terakhir, diharapkan kita akan sampai pada level yang bersifat Rabbany (level spiritual), yakni perolehan prestasi secara ruhani. Dengan mujahadah (berjuang sungguh-sungguh) kita berharap meraih pencapaian prestasi ruhani itu seperti yang disimbolkan dalam pertemuan dengan Laylat al-Qadr. Laylat al-Qadr sendiri digambarkan sebagai malam yang mampu “melipat ruang dan waktu secara quantum” yang analog dengan waktu bernilai lebih baik dari 1000 bulan. Tentunya bagi yang mendambakan ampunan Ilahi, limpahan pahala dan kesempatan melipatgandakan kebaikan, dan merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, malam Laylatul Al-Qadr merupakan moment yang sangat istimewa dan ditunggu-tunggu..

Bila kita mampu melampaui tiga jenjang hirarki dalam per-sepuluhan disaat Puasa maka diharapkan saat memasuki satu Syawal kita akan terlahir kembali menjadi manusia atau disebut menjemput kembali fitrah asli kemanusiaan kita. Jika Ramadlan bermakna “membakar”, maka Syawal secara generik artinya “meningkat”. Diharapkan memasuki bulan Syawal terjadi peningkatan kwalitas diri, penambahan bobot kepribadian bukan peningkatan berat badan. Hidup harus dijalani secara progresif berubah hari demi hari waktu demi waktu menuju perbaikan. Orang beriman pantang berprinsip “aku masih seperti yang dulu”. Para muballigh sering membuat perumpamaan, jika pada Bulan Sya’ban kita masih seperti ulat yang rakus dan menjijikkan maka memasuki Ramadlan kita di gembleng-ditatar-dididik dengan institusi Ramadlan untuk menjadi kepompong, hingga pada akhirnya memasuki bulan Syawal kita laksana menjadi kupu-kupu yang berpenampilan indah dan membawa kemanfaatan bagi kehidupan.

Dan sesungguhnya, nilai puasa (shoum) sebenarnya baru akan teruji dan dimulai justru ketika Ramadlan berakhir.

Wallahu’alam bi al shawab.

Sangatta, 12 Mei 2019


Artikel ini ditulis oleh dr. Ade Hahsman, Sp. An. dan pertama kali dipublikasikan di https://www.caknun.com/2019/orang-berpuasa-atau-manusia-puasa/

© Copyright - Bentang Pustaka