Setan Adalah Produk Jin dan Manusia, Kok Bisa?

Sebentar … setan yang mana dulu, nih? Ya, setan, makhluk ciptaan Allah yang dalam bahasa Arab berarti ‘syaithon’, dan dalam bahasa Inggris berarti ‘satan’. Setan yang sejak zaman Nabi Adam hingga hari kiamat nanti hanya memiliki dua tugas, yakni menggoda jin dan manusia, serta menyesatkannya sehingga dapat terjungkal bersama ke dalam neraka.

Meski keberadaan setan atau iblis di bumi ini juga termasuk bagian dari skenario Allah, tetapi pada dasarnya, mereka adalah produk yang dibuat oleh jin dan manusia. Walaupun wujud mereka sejatinya sudah ada sejak Nabi Adam, dan akan terus hidup dan beranak pinak hingga Hari Kiamat tiba.

Maksud dari produk jin dan manusia ialah, setan selalu hadir di dalam rusaknya peradaban jin serta manusia. Segala hal yang sudah diciptakan dengan sebaik-baiknya oleh Allah, jika pada akhirnya dirusak oleh kedua makhluk tersebut, sejatinya setan telah masuk ke dalamnya untuk memengaruhi serta membisikinya untuk melakukan kerusakan tersebut.

Masih bingung? Mari kita simak kutipan dari Emha Ainun Nadjib atau yang sering kita sapa Cak Nun, dalam tulisan-tulisannya yang dibukukan dengan judul Lockdown 309 Tahun. Kira-kira seperti ini kutipannya:

“Tuhan menginformasikan lebih lanjut bahwa sumbernya setan, mata air dan server-nya adalah jin dan manusia ini sendiri. Mungkin maksudnya semacam ini: malfungsi peralatan jiwa manusia akan melahirkan setan. Mal-manajemen atau dis-manajemen. Mal-akhlak. Mal-haq dan ketidakjujuran, ketidaktepatan, ketidakbaikan, disproporsi dan improporsi. Walhasil, setan adalah produk kita sendiri dan kaum jin.”

Bagi Cak Nun, segala hal yang menjadi keburukan dalam perilaku manusia serta jin adalah buah dari pengaruh setan. Tak hanya perbuatannya, tetapi dampaknya juga terlibat. Kerusakan yang kita saksikan selama ini, baik rusaknya akhlak manusia, hingga hancurnya semesta alam, merupakan biang masalah yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan setan.

Maka dari itulah, Allah Swt. sudah mewanti-wanti melalui Al-Quran, bahwasanya semakin lama, semakin mendekati Hari Kiamat, peradaban manusia semakin rusak, meski secara pemikiran semakin berkembang dan juga secara teknologi lebih canggih. Namun, jika tak diimbangi dengan amal serta ibadah yang baik kepada Allah Swt. maka kita sebetulnya tak jauh beda sebagai bagian dari kerusakan zaman tadi.

Termasuk virus Corona atau Covid-19 yang saat ini masih membayangi seisi bumi. Virus tersebut terus berkembang selama masih ada inangnya−yaitu manusia. Sebetulnya tak hanya virus Corona, tetapi seluruh jenis virus di dunia ini juga membutuhkan inang untuk hidup, yakni pada manusia ataupun hewan.

Maka dari itu, virus ini sejatinya dapat dihindari bagi banyak manusia, apabila tetap menjalani hidup sesuai protokol kesehatan yang sudah ada serta selalu menjaga daya tahan tubuh supaya tetap kuat. Pada akhirnya, virus ini tak hanya membuat penderitanya sakit dan lemah, tetapi juga mengganggu kekhusyukan ibadah dan juga fokus kita kepada Allah Swt., yang pada saat masih sehat misalnya, dapat menjalankan ibadah wajib serta beberapa sunah.

Sejatinya, kita tak perlu takut terhadap virus Corona, asalkan kita sudah berikhtiar dengan melakukan berbagai hal yang sekiranya dapat menjauhkan kita dari potensi terpaparnya virus. Jika kita sudah melakukannya sebaik mungkin, serta berusaha menjalani hari-hari dengan baik dan tak lagi khawatir secara berlebihan, insya Allah virus ini akan secepatnya hilang. Bukankah Allah sudah berjanji jika setiap penyakit itu ada obatnya?

Sebetulnya, tak semua virus itu bencana. Semua bergantung kepada siapa pun yang menghayatinya. Jika ia menganggapnya sebagai bencana, hal itu akan benar-benar menjadi sesuatu yang mematikan. Sementara itu, jika ia menganggapnya sebagai rahmat dan hikmah, kebaikan pun dapat ia rasakan, seperti: semakin mendekatkan diri kepada Allah dan semakin menerapkan pola hidup bersih. Hal itu juga menjadi refleksi Cak Nun (baca renungan Cak Nun tentang Covid-19) sepanjang masa pandemi, jika sumber terbesar dari penyakit yang diderita manusia itu, tak lain berasal dari kekhawatiran yang mereka rasakan sendiri.

“Coronavirus lebih populer dari apa pun dan siapa pun akhir-akhir ini di seluruh dunia. Sebabnya adalah karena membuat semua umat manusia menderita. Andaikan Coronavirus itu membahagiakan dan menggembirakan, ia tak sepopuler sekarang. Andaikan Coronavirus adalah nutrisi unggul, gizi tertinggi, zat utama kesehatan, atau ia rahmat, berkah, dan hikmah langsung bagi kehidupan manusia, ia tidak seterkenal sekarang.”

Maka dari itu, jauh sebelum diciptakannya manusia, terutama saat dibuatnya kitab Lauh Mahfudz, Allah telah memerintahkan kepada kita, umat manusia, melalui Al-Quran agar senantiasa mengingat diri-Nya, salah satunya adalah dengan berdoa. Apalagi masa pandemi yang belum usai ini, jalan terbaik bagi kita hanya bermunajat serta memohon doa kepada Allah karena siapa lagi Dzat Pemberi dan Penyembuh dari Segala Penyakit−jika bukan Allah? Maka, sudah saatnya kita menyadari bahwa pandemi saat ini tak hanya sekadar sebuah ujian, melainkan juga sebuah petunjuk dan bimbingan, menuju obat yang tak lama lagi akan kita temukan sehingga dapat menyembuhkan semua penderitanya, pun tak lagi ada keresahan di antara umat manusia. Aamiin.

“Kesembuhan itu lokal, parsial, fakultatif, dan eksklusif. Petunjuk atau hidayah itu universal, tanpa batas, inklusif apa aja, termasuk kemungkinan untuk sembuh. Oleh karena itu, selama era Corona, shalat kita bukan terutama “mohon penjagaan dan kesembuhan”, melainkan “mohon petunjuk, panduan, tuntunan, bimbingan”. “Ya Rahman Ya Rahim, Ya Hadi Ya Mubin.”

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta