Tag Archive for: Jamaah Maiyah

Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Membincang fenomena Emha (meminjam istilah Halim HD) memang tak pernah ada habisnya. Pemikirannya selalu menembus batas-batas demarkasi intelektual, dimensi spiritual, bahkan standar moral di tengah-tengah masyarakat. Gerakan sosialnya pun menarik karena naluri aktivismenya yang selalu memposisikan diri di luar arus dan pagar mainstream. Energi hibrida agamawan-budayawan-aktivis-penulis-oratornya membuatnya tak pernah absen dari upaya memadukan aneka rupa senyawa estetika, religiusitas, sosial, politik, dan kultural kedalam sebuah bejana kehidupan yang tidak hanya harmonis, tetapi juga puitis dan terkadang magis.

Sebagai mahluk multidimensi yang langka, tidak mengherankan jika ia sering disalahpahami oleh banyak kalangan. Tak jarang frekuensi kepentingan orang-orang di kursi kuasa, di pucuk kharisma, dan di hulu-hilir niaga terganggu oleh dentingan Saron dan Bonang serta lautan tinta kritisisme seorang Emha. Tak sedikit pula dari mereka yang pernah aktif di lingkaran utama towaf dan jalur sa’i sosial-budaya sang ‘Kiai Mbeling’ ini datang dengan puja dan cinta namun pergi dengan iri dan dengki semata karena salah menilai Emha.

Kesalahpahaman itu mungkin wajar terjadi. Pertama karena memang ada kecenderungan kronis di masyarakat kita, ketika memandang sebuah fenomena budaya, sosial, bahkan politik dengan kacamata kuda. Kedua karena Emha ini memang tipe manusia ruang yang mampu menampung, bukan perabot yang selalu membutuhkan tempat bernaung. Trajektori hidupnya bukan sekolah-kuliah-harta melimpah-hidup mewah, tetapi nyantri-berpuisi-berdramaturgi-jalan sunyi. Ini membuat upaya untuk memahaminya harus dilakukan dengan dua pendekatan sekaligus. Dari sudut pandang etic yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh para kritikus dan khalayak. Juga dari sisi emic yang mencoba menggali relung-relung terdalamnya yang selama ini tersembunyi.

Mbah Nun Bertutur, buku terbaru Emha yang diterbitkan Bentang Pustaka April 2021 ini menawarkan narasi emic yang sedikit berbeda tentang fenomena Emha. Buku ini bisa juga disebut autoethnography atau otoetgrafis karena seluruh isinya merupakan hasil self-reflection atas pemikiran dan pengalaman Emha sendiri sejak kecilnya hingga tiga perempat abad perjalanan hidupnya. Dari judulnya saja, ada dua nuansa utama yang tersirat. Pertama Mbah, sebuah panggilan dalam khazanah budaya Jawa yang mengisyaratkan hubungan lintas generasi, tetapi juga mengandung nilai ‘keramat’, penghormatan, tetapi juga kasih-sayang terutama dari para cucunya. Kedua bertutur, ini juga idiom Jawa yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna amelioratif dari sekedar bercerita atau bercakap-cakap. Ada Nuansa reflektif si Mbah yang amat merindukan cucu-cucunya, dan sebaliknya, saling bertutur di gardu tengah desa menjelang senja.

Dan nampaknya, momentum pandemi Covid-19 yang sudah berlangusng lebih dari setahun ini memberikan ruang kontemplatif yang begitu tenang dan dalam bagi Emha. Berbagai macam untold stories yang selama ini tertimbun oleh padatnya jadwal keliling dan seluruh aktivitas publik yang ia jalani tanpa henti terselip di buku ini. Sejak masa kecil di Jombang, nyantri di Gontor, masa muda di Jogja yang begitu transformatif, hingga pergumulan di hampir semua arena teater sosial Indonesia di semua cita-rasa presiden yang memimpinnya, bahkan ‘penggelandangan’ pribadi dan pentas-pentasnya bersama Kiaikanjeng di seluruh benua, hampir semua tertutur singkat di sini. Ada banyak anekdot, pemaknaan baru, bahkan pengakuan faktual di sana-sini yang membuat pembaca buku ini lebih ngeh, sambil sesekali menganggukkan kepala seraya bergumam “oh…ternyata…”

Kekhasan buku-buku Emha selama ini memang seperti jembatan. Isinya kumpulan essai yang dirangkai menjadi satu buku tematis yang dalam beberapa kesempatan ia sebut berposisi diantara puisi dan artikel. Dan format ini memungkinkan jangkauan pembaca yang lebih inklusif. Namun demikian, keberpihakannya kepada wong cilik nampak tetap sangat jelas dari hampir semua judul yang diangkat di banyak bukunya, termasuk di buku ini. Sehingga kaum elit yang meskipun secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati subliman pesan-pesan mendasar dari beragam tulisan Emha, mereka akan enggan mengonfirmasinya ke publik bahwa inspirasinya dinukil dari sana.

Etos utama bertuturunya masih sangat kentara, yaitu dengan dua nafas utama. Pertama, dekonstruksi atas doktrin agama, nilai budaya, pakem sosial, formula politik, maupun, collective believe yang berlaku di masyarakat. Kedua, kecenderungan ‘menggugat’ seluruh bentuk institusionalisasi dan formalisasi dari semua dialektika tersebut, yang dalam banyak aspek memang mengkerdirkan logika dasar kemanusiaan, persaudaraaan, dan saling menghargai sesama.

Yang menarik, berbeda dengan banyak sekali buku-buku Emha sebelumnya, buku ini lebih ‘literatif’ menggunakan rujukan tekstual agama dari Alquran maupun hadist. Ini penting untuk dicatat. Banyak intelektual Muslim berangkat dari teks agama di masa mudanya, kemudian baru menemukan pemahaman mendasar dan konteksnya di masa tua. Tetapi Emha, ia menyelami berjuta konteks untuk memahami nilai-nilai substansial agama sejak masa muda, baru kemudian merangkai simpul-simpul justifikasi teksnya di usia senja.

Dan ini mungkin yang membuat narasi bertuturnya lebih mengena, karena basis empiris di kehidupan nyatanya begitu luasnya. Dan ini pula yang barangkali membawanya ke berbagai permakluman dan permaafan kepada kedunguan siapa saja yang mendiskreditkannya, mencatut namanya, dan mengkapitalisasi ide dan kreativitasnya. Perlu diingat, ‘karir’ intelektualnya memang bukan dibangun dari kepiawaiannya menelan teori dan formula, tetapi dari meneliti setiap kata. Buku pertamanya bukan karya akademis yang jelas jarak antara penulis dan yang ditulisnya, tetapi kumpulan puisi tentang frustasi hidupnya. Judulnya saja “M” Frustasi (1975) yang mengisyaratkan betapa “Frustasi”-nya seorang e”M”ha dengan dunia seisinya.

Meskipun ada juga ekspresi-ekspresi kejengkelan atas ulah para milenial manja, atas ketidakseriusan para pemangku hajat anak bangsa, dan atas kesembronoan para cerdik pandai memilih diam seribu bahasa, Emha yang sudah menjadi ‘Mbah’ masih terus menaruh harapan besar kepada para cucunya. Mulai dari mereka yang masih setia bertani di desa-desa, yang terpaksa pergi ke kota demi nafkah keluarga, hingga para kaum papa di jalanan dan di trotoar peradaban dunia maya. Frustrasi itu sebuah energi, yang jika dituturkan akan ada kemungkinan untuk ditransformasikan. Dan energi tak pernah bisa dimusnahkan, karena ia juga tak bisa diciptakan.

Akhirnya, dengan segala analogi, imajinasi, dan empatinya, sangkan paran buku Mbah Nun Bertutur ini sebenarnya bukan tentang Emha yang menuturkan dirinya. Ini buku tentang anak bangsa yang menuturkan masa depan Indonesia.

 

Ulasan buku Mbah Nun Bertutur oleh Ahmad Karim

(Mahasiswa program doktoral Departemen Antropologi Universitas Amsterdam Belanda)

Memaknai Kehidupan dengan Mbah Nun Bertutur

Bukan Emha Ainun Nadjib namanya jika tulisan-tulisannya tidak membuat para pembaca berefleksi. Karya terbarunya, Mbah Nun Bertutur, bukan hanya sebuah memoar yang menceritakan masa muda Emha ketika bertemu dengan berbagai sosok penting dalam hidupnya.

Baca juga: Karya Baru Emha Ainun Nadjib: Mbah Nun Bertutur, Akan Menemanimu pada Bulan Ramadhan!

 

Buku ini tidak hanya berisi catatan ingatan Mbah Nun mengenai bagaimana benih sebuah komunitas dituai dan ditumbuhkan. Mbah Nun Bertutur mengajak kita untuk memaknai kehidupan yang selama ini kita jalani.

Hidup Tidak Sekadar Dijalani

Menurut Habib Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman dan salah satu pembaca pertama Mbah Nun Bertutur, hidup pada dasarnya merupakan perihal makna. Hidup adalah tentang bagaimana kita memaknai, menafsiri, dan memberi nilai pada setiap peristiwa yang kita alami sehari-hari. Namun, makna bukan sesuatu yang bisa kita petik segera setelah sebuah peristiwa kita alami atau selepas diberikan cobaan.

Dalam bukunya, Mbah Nun mengatakan bahwa banyak hal yang semasa usia muda kita perjuangkan, tetapi baru kita sadari esensi maknanya ketika tua. Reflektif. Buku ini mendorong para pembaca untuk kembali membuka kisah pada lembaran-lembaran lama dan merenungkan runtutan peristiwa kehidupan.

Makna Kehidupan Bersifat Personal

Pemaknaan sifatnya sangatlah personal. Contohnya, bahkan jika ada dua orang mengalami kejadian yang sama persis, bagaimana mereka memaknai insiden tersebut jelas akan berbeda. Mungkin, satu orang merasa bersyukur dan seorang lagi menganggapnya sebagai hukuman yang tak adil. Bagaimana kita memaknai peristiwa lampau, akan memengaruhi bagaimana kita bertindak pada masa depan.

Melalui buku ini, selain bisa mengupas cerita Emha semasa muda hingga sekarang ini, kita juga bisa belajar bagaimana cara Mbah Nun memandang peristiwa lampau di kehidupannya, menyerapnya untuk kemudian menemukan nilai-nilai yang membentuk sebuah makna.

“Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya.”

Mbah Nun Bertutur masih dalam periode prapesan. Kamu bisa memilih dua paket prapesan yang ditawarkan. Jika memilih paket 1, kamu akan mendapatkan buku bertanda tangan digital Emha Ainun Nadjib. Apabila menjatuhkan pilihan pada paket 2, kamu bisa memiliki buku bertanda tangan dan kaus eksklusif. Ikuti prapesannya di sini sampai tanggal 18 April 2021! Pantau terus Instagram Pustaka Cak Nun untuk info terbaru karya-karya Mbah Nun!

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Penyadaran Moralitas Kebudayaan Indonesia melalui Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia melalui Indonesia Bagian Desa Saya, buku karya Emha Ainun Nadjib yang diusung dalam kumpulan esainya yang kemudian diterbitkan untuk ketiga kalinya oleh Bentang Pustaka. Seketika buku ini menjadi salah satu buku daftar bacaan utama saya karena terdapat beberapa bagian esai Cak Nun yang selinier atau memiliki kesesuaian dalam kehidupan.

Rupanya, buku Indonesia Bagian dari Desa Saya ini membahas perihal kemajuan zaman yang dipandang dari sudut kehidupan desa. Memaknai kemajuan zaman sebagai produk sosial yang masih belum bisa berdiri tegak sempurna dikarenakan banyaknya aspek yang belum terpenuhi, seperti kegagapan masyarakat desa terhadap kedatangan teknologi, perceraian kekeluargaan dan kebersamaan di dalam kehidupan kita, serta kehidupan saat ini layaknya “dilebih-lebihkan” untuk menjadi yang utama.

Berikut ini saya sajikan beberapa alasan mengapa buku Indonesia Bagian dari Desa Saya sangat patut masuk dalam daftar bacaan kalian yang terlebih menyukai buku-buku sosial budaya dalam pengemasan bahasan yang ringan dan mudah dicerna.

Desa dan Indonesia, seperti apa?

Meminjam kata Cak Nun, “Desa Saya Bagian dari Indonesia” adalah sebuah tataran ilmu. “Indonesia Bagian dari Desa Saya” adalah tataran yang lain, bisa lebih tinggi, bisa lebih luas. Atau kedua-duanya berfungsi sekaligus. Dialektis-dinamis. Ulang-alik dialektika pandangan, kesadaran dan kecerdasan pada saat Cak Nun menginjak usia muda.

Desa menjadi bagian dari Indonesia dan di dalam Indonesia terdapat desa. Kedua elemen tersebut tak dapat dipisahkan. Layaknya sistem sosial, jika ada satu elemen yang tidak berfungsi lagi, maka tatanannya akan berubah. Desa akan menjadi sebuah kerinduan kita semua jika ada sesuatu yang “hilang” dari dalam isinya. Bisa saja dengan adanya modernitas dan globalisasi, desa menjadi tergerus oleh arus-arus transformasi.

Ya, di dalam buku ini akan memaparkan betapa riuh ketimpangan yang sangat mencolok nyata antara desa dan kota, desa dan Indonesia, serta tatanan di dalam sistemnya. Indonesia belum benar-benar ‘hidup’ sesuai apa kata pendahulu. Perlu adanya kesadaran diri dari manusia jika sebuah tranformasi yang menanamkan kaidah ingin tetap ada.

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia: Modernitas era kini

Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya: Saat ini kita sudah berada pada zaman yang menggandrungi hal-hal baru dan terkini. Hal-hal baru tersebut telah membawa kita dalam percepatan informasi. Naif rasanya jika kita tidak atau belum mencicipi kemajuan zaman sekarang ini. Namun, permasalahannya yaitu banyak dampak negatif dari kemajuan–yang katanya modern–yang belum bisa kita alihkan ke arah positif.

Individualitas semakin kentara, pengabaian kebudayaan yang terdahulu menjadi membuat mata semakin melek, sifat keakraban & kekeluargaan menjadi hal asing, dan lebih parahnya modernisasi selalu diikat dengan tali kemewahan. Tak sanggup rasanya jika seisi dunia harus digeneralisasi dengan satu jalan kehidupan saja.

Jika dahulu kita makan hanya dengan menu: nasi, tempe, tahu, telur, dan ayam saja sudah syukur alhamdulillah, kini dalam era modern–tepatnya zaman konsumerisme yang telah muncul ke permukaan–makan dengan menu tersebut tentunya kurang. Akan ada yang lebih, lebih, dan lebih. Pada faktanya, kita belum benar-benar bisa memberikan sikap konsumerisme yang tepat. Kita masih terjebak dalam konsumerisme yang bernilai negatif. Tata ekonomi menjadi amburadul dan bertolak dari rasa susila dan kesamaan sebagai bangsa. Pun sifat kapitalis menjadi tak terelakkan.

Relevan dengan kehidupan

Penyadaran moralitas kebudayaan Indonesia dengan buku Indonesia Bagian dari Desa Saya akan masih sangat relevan jika dibaca pada saat sekarang. Melalui buku ini, kita bisa belajar banyak bagaimana cara menanamkan moralitas untuk diri manusia, khususnya anak-anak muda. Mengapa perlu penanaman moral? Menjadi penting ketika kita pada era modern globalisasi ini kita terpapar hal-hal luar yang sebenarnya bisa merusak citra diri dan entitas diri, tetapi kita sering menerima dan meng-iya-kannya. Perlunya filterisasi dan pencerahan melalui buku ini.

Selain itu, buku ini juga menyadarkan kita betapa pentingnya budaya yang telah ada dikukuhkan kembali demi terciptanya sistem sosial yang kuat dan tak mudah goyah diterpa zaman. Boleh dikatakan, sah-sah saja ketika ada kemajuan zaman dan peradaban menjadi kencang, tetapi jangan sesekali menghilangkan tataran baik yang sudah terbentuk dari zaman dulu. Penguncian karakter diri diperlukan agar membuat kita mengerti batasan-batasan dalam berperilaku.

Kita sangat membutuhkan panggilan jiwa agar tak lupa harkat dan martabat kita menjadi manusia. Mengejar kebudayaan modern tak akan ada habisnya, diperlukan juga kontrol diri yang membuat moralitas kehidupan menjadi terimbangi. Semoga dengan adanya menilik lebih dekat buku Indonesia Bagian dari Desa Saya, kita lebih bisa berkaca pada pengalaman hidup dan menemukan jalan terang zaman ini mau dibawa ke arah seperti apa. Kunjungi laman bit.ly/indonesiadesasaya untuk melakukan pembelian bukunya!

Pamungkas Adiputra.

Baca Juga: Tips Pembentukan Karakter Anak Guna Membentuk Pola Ekspresi Diri 

 

covid-19 konspirasi

COVID-19: Musibah Atau Konspirasi?

Covid-19: musibah atau konspirasi? Apa yang terlintas di pikiran Anda saat mendengar kata lockdown 309 tahun? Bagaimana rasanya jika akses satu daerah ditutup selama 309 tahun? Atau bagaimana kalau orang-orang dilarang (tidak boleh) beraktifitas di luar dan keluar rumah selama 309 tahun? Mungkinkah itu terjadi? Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan lain yang musykil mendapatkan jawaban pastinya. Untuk menemukan jawabannya, silakan nikmati paparannya dalam buku bersampul putih ini.

Covid-19: Musibah atau Konspirasi

Lockdown 309 Tahun adalah karya esai/buku Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun yang ke-48. Judul lockdown 309 tahun itu sendiri diambil dari kisah ashabul kahfi, yaitu tujuh pemuda berimana yang di-lockdown Allah selama 309 tahun dalam sebuah gua. “Beberapa pemuda yang bersembunyi di gua kahfi itu pendekar semua…Ilmu pengetahuan diri mereka mumpuni ilmu pertarungan mereka canggih. Olah senjata mereka tingkat tinggi. Tapi, Allah menyembunyikan mereka di dalam gua yang semua orang menyangka itu adalah sarang anjing sehingga  tak ada yang memasukinya, sebab di mulut gua itu terjurai dua kaki anjing Qithmir dan Raqim.” (hlm.13)

Buku Lockdown 309 Tahun ini berisi tentang refleksi penulis yang cemas terhadap situasi nasional dan internasional akibat COVID-19. Bisa apapun nuansa dan arah refleksi itu, tetapi yang pasti kasus dahsyat COVID-19 harus menjadi bahan perenungan atau keberangkatan baru untuk memperbaiki hidup manusia. Karena, Coronavirus tidak punya kesalahan dan dosa apapun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan dan keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan umat manusia dimuka bumi. COVID-19 bukan bagian dari jin atau manusia, yang pada ujung zaman kelak harus mempertanggungjawabkan perilakunya di forum hisab Allah. Corona dipancing, dirangsang dan direkayasa sendiri oleh budaya manusia, oleh ilmunya yang angkuh, oleh pengetahuannya yang congkak, dan oleh peradabannya yang penuh kibriya,” demikian penegasan penulis.

Lockdown 309 Tahun

covid-19 konspirasiMaksud dari penulis mengangkat tema ini adalah agar kita sebagai pembaca bisa belajar dari nilai hidup ashabul kahfi terutama dalam hal ketaatan menjalankan perintah Tuhan. Dan manusia mesti menyadari bahwa segala yang berasal dari tuhan pada akhirnya akan kembali. Namun, apa yang berasal dari Wuhan hampir tidak ada yang kembali ke Wuhan. Wuhan adalah tempat asal-usul, tapi bukan tempat kembali. Mungkin dari Wuhan COVID-19 menemani tuan rumahnya hingga ke liang kubur. Tuhan menaburkan rahmat, Wuhan menggali perasaan untuk melaknat. Lalu, Tuhan menanamkan nikmat, Wuhan menancapkan kesumat. Kemudian, Tuhan menyebarkan manfaat, Wuhan memancing kuwalat. Ketuhanan Yang Maha Esa, kewuhanan yang maha malapetaka. Tuhan menganugerahkan kekuatan, Wuhan memperluas kelemahan.

Covid-19 dan Buku Cak Nun

Di buku ini dibahas pula bahwa COVID-19 bukanlah fenomena alam melainkan hasil rekayasa kekuasaan manusia. Lalu, apakah Covid-19 adalah musibah atau konspirasi? Virus ini diciptakan di Universitas North Carolina Chapel Hill dan mereka menerbitkan hasil-hasil penelitiannya pada november 2015.  Dr. Zheng Li Shi, yang mewakili laboratorium spesialis patogen dan biosafety, Institut Teknologi Wuhan China. Dr. Shi adalah sosok sangat penting disini. Dari 2014, Dr. Shi menerima berbagai pendanaan dari pemerintah USA. Juga dari program nasional Basic Research China. Akademi sains China, Badan Nasional Natural Sains China program penelitian prioritas, akademi ilmiah China, untuk membantu mendanai penelitian Coronavirus.

Baca juga: Proses Kreatif Cak Nun dalam Buku Lockdown 309 Tahun

COVID-19 ini diasosiasikan sebagai virus frankestein (Frankestein adalah nama monster yang terdapat dalam cerita “Frankestein the Prometheus” karya Mary Shelly). Awalnya bukan virus yang menjangkiti manusia. Virus ini perlu berevolusi dulu, perlu berubah, dan membutuhkan waktu. Namun seiring berjalannya masa  virus ini dirancang dan direkayasa untuk tujuan tertentu.

Begitulah. Buku yang pembahasannya merakyat ini sungguh buku yang membuat pola berpikir pembacanya terbuka seluas-luasnya untuk menanggapi suatu kejadian. Pembaca diajak untuk menganalisanya bukan hanya dari satu aspek melainkan juga dari berbagai aspek. Sungguh buku yang luar biasa. Selamat membaca. (*)

 

Nabila Maisaroh, anggota Komunitas Pelajar Literasi (Komplit) “Sabha Pena” dan Kru Majalah Pendidikan “Al-Mashalih” di MAN Bondowoso

Muhasabah Diri Jamaah Maiyah

Muhasabah Jamaah Maiyah Selama Pandemi

Muhasabah Jamaah Maiyah: Tawakal dan Waspada

Muhasabah Jamaah Maiyah pernah disinggung Cak Nun dalam buku Lockdown 309 Tahun. Cak Nun menceritakan seluk-beluk virus yang telah membumi ini bersamaan dengan jamaah Maiyah yang dapat membentengi diri.

Berbekal jiwa, pola berpikir dan sikap mental tawakal, Jamaah Maiyah berperilaku sebagaimana biasanya. Mereka pergi ke mana pun sesuai dengan keperluan dan kewajibannya. Jamaah sangat berpasrah diri kepada ketentuan Allah apa pun yang akan menimpa dirinya.

Akan tetapi, pada saat yang sama, jamaah Maiyah memaknai “takwa” terutama pada dimensi “waspada”. Mereka waspada kepada keagungan Allah sehingga mengagumi-Nya. Menyadari dengan sangat kekuasaan Allah sehingga senantiasa menggantungkan diri kepada-Nya. Mereka sangat perhatian kepada dirinya sendiri. Jamaah Maiyah ber-muhasabah setiap saat dan terus-menerus terhadap tipisnya jarak antara–misalnya–tawakal dan takabur, yakin dan gedhe rumongso, bertakwa dan percaya buta, juga iman dan kesembronoan.

Wudu dan Ibadah

Jamaah Maiyah merawat kesehatannya, mengistikamahi wudu dan salatnya, menjaga jiwa takwa dan hati tawakalnya, mewakilkan kepada Allah segala sesuatu dan kemungkinan-kemungkinan yang berada di luar kuasa dan kemampuannya. Mereka memastikan bahwa seluruh keutuhan hidupnya semata-mata kepada Maha Penjaga Ka’bah, “Robba hadzal bait”. Sebab, itulah jalan dan rute untuk mendapatkan gaji langit: dijamin tidak kelaparan dan dipastikan dibebaskan dari rasa takut kepada apa pun kecuali Allah.

Kehidupan jiwa dan kesadaran pikiran jamaah Maiyah berpegangan total kepada Al-Qur’an. Darah daging otot syaraf Al-Qur’an di dalam hidupmu memberimu petunjuk melangkah ke mana, lewat sebelah mana, dan menuju ke mana. Jika sesuatu menempel pada jamaah Maiyah sebagai penyakit maka jiwa Al-Qur’an menyembuhkannya.

Mereka berbekal sejumlah pernyataan Allah, misalnya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Ia akan melindunginya dan memberi jalan keluar atas masalah yang menimpanya.” Dan bahkan, “Menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang di luar perhitungannya.” Arah datangnya kasih sayang Allah bukan di keramaian mal, stasiun, tempat belajar, forum publik, atau di mana pun. Jalan rezeki Allah adalah di jalan takwa setiap orang.

Cekatan dan Sadar Diri

Tidak perlu menunggu dan tergantung langkah pemerintah, Jamaah Maiyah sudah mengerti apa yang harus segera dilakukan. Namun, kalau pemerintah memberikan panduan yang rasional dan realistis, mereka wajib melaksanakannya. Para Maiyah mulai berhitung pada dirinya masing-masing untuk menentukan jangka waktu berdiam diri di dalam rumahnya selama kurang lebih 14 hari, masa inkubasi virus Corona. Dalam jangka dua minggu itu, kalau terjadi gejala-gejala, mereka wajib melakukan ikhtiar dan bergegas ke tenaga medis.

Kalau melewati masa itu tidak terjadi apa-apa pada diri jamaah Maiyah, mereka bisa meyakini bahwa dirinya ke luar rumah takkan mencelakai siapa pun dengan penularan. Namun, mereka tetap harus menjalankan penjagaan diri agar tidak tertulari.

Hakikatnya, ada atau tidaknya virus Corona, jamaah Maiyah dan yang lainnya diwajibkan untuk senantiasa menjaga diri, iman, dan takwa. Mereka diwajibkan untuk selalu menyertakan Allah Sang Maha Pencipta dalam setiap langkah kehidupannya.

Meskipun pandemi belum berhenti, teruslah bermuhasabah diri dengan meminta petunjuk dari Sang Ilahi.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

 

Cak Nun dan Ilmu Agama Jamaah Maiyah

Cak Nun: Berbagai Nilai Agama yang Ditegakkan Bersama Jamaah Maiyah

Cak Nun dan Jamaah Maiyah sebenarnya sama dengan masyarakat Muslim lainnya. Sama-sama saling bersinergi dengan manusia dan ciptaan-Nya pula. Namun saya perlu akui, Jamaah Maiyah memiliki sikap kedewasaan yang begitu mendalam. Saya turut senang ketika melihat berbagai perkumpulan dari berbagai wilayah berkumpul, mulai dari Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat, Padhang Mbulan, Bangbang Wetan, Gambang Syafaat, Juguran Syafaat, dan sebagainya.

Oleh karena itu, tulisan ini hadir untuk menjabarkan beberapa ilmu agama yang diterapkan dalam kehidupan. Sangat diakui jika pemikiran Jamaah Maiyah sangat merakyat dan mampu mewakili kita semua. Mari kita simak bersama.

Cak Nun: Hidup Nerimo dan Legowo

Cak Nun dan Jamaah Maiyah menanamkan sikap dalam dirinya untuk terus nerimo atau menerima diri yang sebenarnya. Setelah proses pencarian jati diri ditemukan, ketika semua usaha telah dikerahkan, yang terakhir yaitu bersikap menerima atau penerimaan diri. Tak dapat semua hal kita tolak secara mentah-mentah. Sesuatu yang telah terjadi di dalam kehidupan kita sudah menjadi takdir Allah Swt. Bahkan, jika kita beranggapan sesuatu itu buruk, belum berarti pula Allah melihatnya sebagai keburukan. Berprasangka baiklah kepada hal-hal yang telah terjadi.

Sikap yang menjadi gabungan dari penerimaan diri yaitu legowo atau ikhlas. Semua yang telah terjadi di dalam kehidupan kita, sekalipun kita telah berusaha secara maksimal, memang baiknya kita berserah diri kepada Allah Swt. Menjunjung tinggi sikap pasrah dan ikhlas setelah berjuang. Hal-hal semacam itu perlu kita terapkan bersama karena jika kita sering melakukan sebuah penyangkalan ataupun pergolakan dengan diri sendiri, justru keberkahan pun dikhawatirkan tidak maksimal.

Baca Juga: Yogyakarta dan Cak Nun dalam Buku Terbaru

Bermuhasabah Setiap Saat

Cak Nun dan Jamaah Maiyah selalu menerapkan sikap bermuhasabah atau introspeksi diri. Dalam kehidupan bersosial, wajib hukumnya untuk berkaca dari diri sendiri. Tujuannya yaitu untuk mengevaluasi segala perilaku yang telah kita perbuat di dunia dan menjadi pribadi yang mampu menempatkan posisi sesuai dengan takarannya.

Fungsi dari introspeksi diri juga berguna membenahi segala hal dalam diri kita untuk lebih bisa berbuat kebaikan demi orang lain. Nah, jadi ilmu muhasabah yang diterapkan oleh Jamaah Maiyah pada lingkungannya itu untuk diri sendiri dan juga orang lain.

Pandai Mensyukuri Nikmat Allah Swt.

Kalau kita membicarakan perihal bersyukur, pasti bahasannya sudah Sahabat Bentang pahami sendiri. Jika saya bisa memberikan pemaknaan soal bersyukur versi Jamaah Maiyah, yaitu dengan menggabungkan dari fase sikap penerimaan diri―melakukan yang yang terbaik―hingga membenahi diri. Jikalau kita telah melaksanakan poin-poin tersebut, niscaya kenikmatan yang diberikan dari Allah Swt. akan memberikan keberkahan yang besar pula tanpa kita sadari sekalipun. Hidup akan terasa ringan jika kita menjalaninya dengan penuh syukur.

Jika kita bisa mengilhami dari sebuah syukur, kita akan bisa melihat dunia seisinya dari berbagai sudut pandang. Wawasan kita akan luas. Pandangan kita lebih visioner dan tertata. Begitu dalam jika kita benar-benar bisa memahami arti bersyukur. Sangat disayangkan pula ketika ada orang yang menyalahartikan bersyukur dengan hal-hal yang tidak diterima oleh nilai-nilai agama.

Cak Nun: Masjid dan Musala Menjadi Tempat Mencari Saudara

Memang benar jika perilaku kita ada kaitannya erat dengan siapa kita bergaul dan di mana kita berada. Cak Nun dan Jamaah Maiyah selalu membicarakan terkait dengan persaudaraan kita sebisa mungkin dijaga tak hanya di dunia saja, melainkan juga di akhirat pula. Maka dari itu, sebaik-baiknya teman atau saudara, carilah yang bisa satu frekuensi atau sepemikiran dengan kita semua.

Ajak sahabat, teman, dan saudaramu itu menunaikan kebaikan-kebaikan yang dapat dijadikan amal di akhirat pula. Masjid dan musala menjadi ladangnya. Banyak orang yang mengabaikannya, sebenarnya itu hal yang salah besar. Saat ini, banyak kita jumpai bangunan masjid dan musala yang bertingkat dan memiliki ornamen yang bagus, tetapi yang datang ke masjid dan musala tersebut bisa dihitung dengan jari. Semoga kita semua bisa semakin sadar akan hal ini.

Takut Akan Sikap Takabur, Gede Rasa, dan Gede Rumongso

Cak Nun dan Jamaah Maiyah sangat menghindari sifat takabur, merasa ingin menang sendiri dan sejenisnya. Sebisa mungkin dijaga akal, pikiran, dan jiwanya ditanamkan bahwa semuanya akan kembali kepada Sang Pencipta. Bersyukur boleh, bangga hati karena memiliki juga tak dilarang, tetapi jangan sampai di dalam lubuk hati terselip sifat riya’ atau takabur. Nauzubillah.

Kalian dapat berjumpa dengan ilmu-ilmu kehidupan yang dituturkan oleh Emha Ainun Nadjib lainnya dalam buku terbarunya berjudul Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pre-order-nya hingga 9 Agustus 2020 melalui laman Cak Nun Mencari Kebenaran atau mizanstore.com.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

Gendhon, Beruk, dan Penceng serta Cak Nun di lereng Merapi

Yogyakarta dan Cak Nun dalam Buku Terbaru

Yogyakarta dan Cak Nun: Tak hanya tersusun dari akar “kenangan”, daun “nyaman”, dan buah “rindu”. Lebih daripada itu, Yogyakarta menawarkan filosofi kehidupan yang begitu mendalam saat Cak Nun menuangkan kisahnya dalam buku terbaru.

Yogyakarta dan Cak Nun, sering kali ketika kita mendengar kota tersebut―atau bahkan sudah sering mengunjunginya―akan terbayang dengan segala romantisme yang dibuat oleh masyarakat. Namun, tidak salah, kok, ketika kita menaruh pikiran bahwa Yogyakarta hulu dan hilirnya dari sebuah kerinduan. Bahkan, banyak orang pula yang mengeklaim bahwa Yogyakarta memberikan kenangan yang begitu besar, bisa kenangan baik maupun buruk saat ditinggal pasangan.

Meskipun demikian, satu hal yang perlu tetap kita lekatkan dalam benak bahwa Yogyakarta tersusun pula dari historikal budaya, sejarah, dan banyak angan para pendahulu untuk tetap mengukuhkan segala jati diri, meskipun zaman terus bergerak. Kisah Yogyakarta dalam penuturan Cak Nun dimulai dari kaki Gunung Merapi, bersama ketiga anak-cucunya, Beruk, Gendhon, dan Pèncèng.

Beruk, Gendhon, dan Pèncèng

Yogyakarta dan Cak Nun: Mengambil hari khusus, Cak Nun menyeret ketiga anak-cucunya pada tengah malam untuk naik ke leher Gunung Merapi. Pasukan khusus dan elite SAR-DIY diminta Cak Nun mengantar dan mengawal mereka berempat. Sebab, mustahil bagi Cak Nun dan ketiga anak-cucunya untuk bisa sampai ke sana tanpa bantuan mereka.

Berhenti di suatu titik, mereka berempat duduk di sekitar semak-semak. Cak Nun mempersilakan anak-cucunya duduk melingkar, bersila, berjajar, menghadap ke selatan, mengarahkan pandangan jauh ke depan.

“Dari tempat duduk kita saat ini, semua arah di jagat raya ini serba-remang. Ada banyak sosok makhluk, tetapi samar-samar. Wujudnya bercampur dengan bayangan-bayangan wujud yang terdapat di dalam rekaman urat saraf otak kita. Bayangan itu kita dapatkan dari pengalaman-pengalaman budaya, pengetahuan, dan ilmu kita selama ini,” ucap Cak Nun sebagai awalan diskusi mereka.

Cak Nun beranjak dari tempat duduknya dan berdiri sembari membenahi cara duduk ketiga anak-cucunya itu. Seraya mengatakan, “Pandang lurus ke depan. Jangan mengharapkan cahaya terang akan datang dari seluruh ruang yang kalian pandang. Cahaya hanya bisa kalian terbitkan dari lubuk kedalaman jiwa kalian sendiri.”

Lanjut Cak Nun, “Juga mana wujud nyata mana bayangan, mana kesunyatan, mana khayalan. Jangan andalkan objek-objek itu untuk menginformasikan kepadamu. Berangkatlah dari ‘ainulyaqin batinmu sendiri. Sekarang, temukan garis dari puncak Merapi di belakang ubun-ubun kalian, ke Tugu, jalur Margo Utomo, Malioboro, Margo Mulyo, Pangurakan, Keraton yang di kawal depan belakang oleh dua alun-alun, sampai Nggading. Terus lanjut lurus ke selatan, menyentuh pantai, dan teruskan sampai ke bangunan Keraton jauh di lepas pantai, yang mengambang bukan di atas air samudra, melainkan di tlatah kesadaran nilai dalam diri kalian.”

Ketiga anak-cucu Cak Nun sangat khusyuk menjalani panduan dari beliau, meskipun Cak Nun tahu, sebenarnya anak-cucunya itu tidak paham-paham amat. Ketiga anak-cucunya itu tidak pandai, ataupun waskita, tetapi yang paling Cak Nun sukai yaitu, mereka bisa sungguh-sungguh dan tekun dalam menjalani sesuatu. Kesetiaan tidak diletakkan sebagai nilai primer di konstitusi, kurikulum sekolah, serta sistem ilmu apa pun di kalangan kelas orang-orang pandai.

Baca Juga: Petuah Jawa dari Cak Nun: Rumongso Biso atau Biso Rumongso

Patrap dan Atlas Nilai Yogya

Yogyakarta dan Cak Nun: Akhirnya semua bubrah. Jadi, mereka semua sekarang duduk melingkar.

Lalu, tiba-tiba Gendhon menanyakan, mengapa malah mereka di sini membuat atlas? Cak Nun tetap menjawab meskipun sesungguhnya mereka itu sudah paham. Namun, pengetahuan tidak bisa diketahui kebenarannya kalau tidak terletak pada koordinat ruang dan waktu yang tepat. Orang Yogya menyebutnya patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang membumbui keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kelewat pedas, lantas muncul liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Bahkan, kita sudah memasuki era penggandaan pahala, emas, uang, bahkan penggandaan kepribadian: pendirian yang mudah berubah, beda ucapan dengan tindakan, bermalas-malasan, tidak kukuh, hipokritisi, oportunisme, kemunafikan, bajing loncat, dan beratus gejala dan fakta sejarah lainnya.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih kebenaran versi sendiri, ada yang mengeklaim atau memanipulasi kebenaran orang banyak, ada yang tersingkir karena mencari kebenaran sejati, tetapi susah banget untuk sesuai tatkala diterapkan. Sebab, seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

Perihal atlas itu sebenarnya awal dari hilirnya. Atlas, kan, tidak hanya geografis teritorial. Manusia juga sangat memerlukan atlas nilai. Peta nilai yang dipijaknya, yang mengepungnya, kemudian bagian yang dipilihnya. Yogya perlu mengatlaskan kembali tatanan nilai diri ke-Yogya-annya karena Yogya paling berkewajiban dan menyiapkan diri untuk nanti menyelamatkan Indonesia yang sedang semakin kehilangan patrap.

Lembah Masa Depan

Yogyakarta dan Cak Nun: Kata “Yogya” sangat sensitif bagi ketiga anak-cucu Cak Nun. Menggetarkan hati dan menaikkan adrenalin. Kalau mereka berempat berdiskusi dan berkhayal tentang masa depan Yogya, bisa semalaman atau sesiangan atau sekurang-kurangnya berjam-jam. Tidak terbatas pada eksplorasi tafsir tentang keistimewaan Yogya―tentang beda antara Yogya Kota Budaya dan Yogya Ibu Kota Kebudayaan Indonesia.

Beribu dimensi tematik Yogya yang skala besar maupun kecil. Yang substansial maupun yang ilustrasional. Yang prinsipil maupun yang romatis. Yang kultural maupun spiritual. Yang samar-samar maupun yang bersahaja. Yang bumi maupun langit. Sudah Cak Nun bayangkan wilayah-wilayah tugas yang perlu dieksplorasi oleh ketiga anak-cucunya.

Itulah secuplik kisah Yogyakarta dalam tuturan Emha Ainun Najib di buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pra-pesan dari 24 Juli―9 Agustus 2020 di reseller kesayangan kalian atau melalui laman etalase Cak Nun Mencari Kebenaran. Dapatkan harga spesial, totebag, dan tanda tangan digital dari Cak Nun!

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

 

Petuah Cak Nun

Petuah Jawa dari Cak Nun: Rumongso Biso atau Biso Rumongso

Petuah Jawa dari Cak Nun. Sejalan dengan peribahasa, Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso, yang berarti ‘jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa’ adalah sebuah teguran agar kita jauh dari kesombongan dan kebohongan. Melakukan segala sesuatu hanya mengandalkan ego secara berlebihan, tanpa mengerjakannya dengan hati dan perasaan, terutama kejujuran, dapat membuahkan hasil yang tidak maksimal, bahkan secara tidak langsung dapat merugikan orang lain.

“Petuah: Siapa-siapa yang dianggap benar sehingga dia ‘pro’ maka disimpulkan benar 100%, sedangkan yang salah pasti salah 100%. Manusia zaman sekarang, memang senangnya ‘rumongso biso’ bukannya ‘biso rumongso.’” ―Emha Ainun Nadjib

Merasa bisa dapat dianggap sebagai suatu sikap yang gegabah, apalagi merasa bisa berkonotasi belum tentu bisa. Bahkan, yang lebih bahaya lagi apabila merasa belum bisa, tetapi mengaku bisa. Tentu saja hal ini juga menyangkut sebuah kebohongan. Berikut petuah dari Cak Nun.

Petuah Cak Nun

Petuah Jawa dari Cak Nun. Sejalan dengan peribahasa, Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso Rumongso, yang berarti ‘jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa’ adalah sebuah teguran agar kita jauh dari kesombongan dan kebohongan. Melakukan segala sesuatu hanya mengandalkan ego secara berlebihan, tanpa mengerjakannya dengan hati dan perasaan, terutama kejujuran, dapat membuahkan hasil yang tidak maksimal, bahkan secara tidak langsung dapat merugikan orang lain.

Indonesia Tidak Belajar kepada Yogya

Dalam salah satu judul bab yang ada di dalam buku terbaru Cak Nun, terdapat bahasan materi yang berjudul Indonesia Tidak Belajar kepada Yogya. Di dalamnya, terdapat percakapan antara Simbah dan anak-cucunya yang membahas persoalan sikap manusia zaman kini.

Tiba-tiba, Beruk menyeletuk, bahwa orang sekarang cenderung merasa lebih hebat daripada orang dulu. Masyarakat sekarang merasa lebih maju daripada masyarakat dulu. Peradaban manusia sekarang diam-diam memastikan di dalam dirinya bahwa mereka lebih pandai daripada manusia zaman dulu.

Parameter landasan rasa lebih hebat itu terutama sekolah, teknologi, dan gebyar hedonism materialistis mereka. Ini suatu tema luas dan rentang pembicaraannya sangat panjang, serta complicated mozaik konteksnya. Beruk bilang tidak ingin berdebat soal ini, terutama karena setiap orang yang berdebat di dunia modern hampir selalu hadir dengan parameter subjektifnya.

Orang Zaman Sekarang

Orang zaman sekarang tidak merasa perlu belajar, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan nafsu dan kemewahan hidup mereka. Tidak punya kemampuan untuk berdialog dengan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kebenaran pada setiap manusia itu bersifat relatif. Mereka tidak siap untuk “sinau bareng”. Kalau bertemu, niat mereka mempertahankan kebenaran yang dipahami, kemudian diam-diam memaksakannya kepada orang lain.

Mereka tidak punya kebiasaan untuk mencari kebenaran bersama-sama. Tidak cenderung datang dengan “biso rumongso” atau bisa merasa. Malah menanantang siapa saja di luar dirinya dengan sikap mental “rumongso biso” atau merasa bisa, merasa unggul, merasa paling benar, merasa pasti masuk surga, dan semua yang akan ditemuinya adalah para penghuni neraka. Itu pun mereka sibuk dan selalu ribut dengan menyimpulkan “apa yang benar” dan “siapa yang salah”. Siapa-siapa yang dianggap benar, sehingga dia “pro” maka disimpulkan benar 100%, sedangkan yang salah pasti salah 100%.

Baca Juga: Piweling Syukur dari Cak Nun untuk Jamaah Maiyah

Lebih parah lagi, pemenang pada setiap persaingan disimpulkan sebagai yang benar. Yang benar pasti berkuasa. Lalu, yang berkuasa pasti baik. Akhirnya, yang baik pasti tidak sedikit pun ada buruknya. Bahkan, variabelnya berkembang-kembang: yang kaya itulah yang menang, benar, baik, sukses, ditambah diridai Allah dan masuk surga. Sampai-sampai almarhum Asmuni dalam sebuah episode Srimulat berkata lantang, “Saya, kan, kaya maka saya lurah. Lurah yang kaya tidak mungkin salah, tidak mungkin buruk, tidak mungkin kalah .…”

Petuah Jawa dari Cak Nun: Gadjah Mada

Setiap kali berkunjung ke Yogya, Mahapatih (Perdana Menteri) Gadjah Mada bahkan diam-diam bergumam, “Di mana letak saya di universitas kebanggaan cucuku Yogya ini? Saya tidak menemukan diri saya dalam prinsip mereka. Tapi, saya tidak berdetak bersama jantung mereka. Juga, saya tidak mengalir di darah mereka. Dan, saya tidak merupakan tiang utama peta berpikir mereka. Kenapa sekolah ini diberi nama menggunakan nama saya? Namun, untunglah namanya bukan Ratu Shima atau Pangeran Padma sehingga tidak lebih runyam lagi harkat rohani nenek dan kakek saya itu.”

Kita ketahui sendiri―bahkan bisa jadi kita menjadi bagian―manusia-manusia zaman sekarang yang sungguh mengherankan. Gadjah Mada bodoh kalau menuntut Lembaga Gadjah Mada beserta para kaum terpelajarnya yang belajar kepadanya. Sementara itu, Indonesia didirikan dengan “didukuni” oleh Yogyakarta, ditraktir mengaji pemerintahannya pada tahun-tahun awal, dipinjami tanah, gedung, dan fasilitas-fasilitas, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa Indonesia belajar kepada Yogyakarta.

Siapa itu Indonesia?

Entah anak siapa Indonesia itu. Tiba-tiba, lahir sebagai republik, sebagai negara, bersifat kesatuan, dengan tata aturan yang tidak terkait dengan asal-usul sejarah yang melahirkannya. Tanpa pernah bertanya atau belajar kepada para leluhurnya. NKRI ini lahir dari Ibu Pertiwi, tetapi seakan-akan bapaknya bukanlah bangsa Indonesia, yang kandungan nilai sejarah selama hampir tiga milenium demikian dahsyatnya.

Sekali lagi saya tekankan, manusia memang haus akan “jatah tambahan”. Kebanyakan dari kita bukan haus akan ilmu kehidupan, melainkan haus akan fenomenal, keviralan, dan harta duniawi yang memabukkan. Rumongso biso sesungguhnya tipu daya duniawi yang sering kali melekat dalam jiwa dan pikiran manusia. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan eksistensinya. Mereka ingin dianggap ada, dianggap merasa paling bisa.

Kebalikannya?

Kebalikannya, biso rumongso merupakan jati diri manusia yang haus akan ilmu pengetahuan di dalam kehidupan. Mereka bisa melakukannya, tetapi juga tak selalu ingin tampak. Bekerja dengan aksi, bukan hanya bualan-bualan yang dipolitisasi.

Kalian dapat berjumpa dengan ilmu-ilmu kehidupan yang dituturkan oleh Emha Ainun Nadjib dalam buku terbarunya berjudul Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pra-pesannya melalui laman Cak Nun Mencari Kebenaran.

Terus gerilyakan segala kemampuanmu pada dunia. Buktikan bahwa aksi nyata memang ada. Kurangi angkuhmu, perkecil tamakmu, dan perbesar langkah kontribusimu. Ambisimu terlalu berharga untuk direndahkan, tetapi jangan pula untuk meninggikan tanpa tahu batasan.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

Cak Nun Jamaah Maiyah

Piweling Syukur dari Cak Nun untuk Jamaah Maiyah

Cak Nun kepada Jamaah Maiyah sering mengatakan:

Banyak dari kita yang menaksir standar kebahagiaan terlalu tinggi hingga mengabaikan hal-hal yang sebenarnya dapat membuat kita lupa diri dan kurang mensyukuri.

“La in syakartum la azidannakum wala in kafartum inna adzabi lasyadid.”

Kalimat itu tercantum dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 7. Ayat ini merupakan salah satu janji Allah Swt. kepada seluruh hamba-Nya yang selalu bersyukur.

Cak Nun ke Jamaah Maiyah: Bersyukur

Cak Nun Jamaah Maiyah

Janganlah menaksir kebahagiaan terlalu tinggi, nanti dirimu sendiri yang merugi.

Allah Swt. memberikan begitu banyak nikmat kepada seluruh hamba-Nya. Kewajiban seorang hamba kemudian adalah bersyukur, seperti makna kalimat di atas, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih.”

Layaknya berjualan barang, kita akan mendapatkan sebuah laba. Jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin dan terus tanpa henti berikhtiar, Allah akan menambahkan buah dari syukur kita. Seperti tuturan Cak Nun, laba = syukur. Jangan sampai kita suuzan terhadap Allah. Jangan sampai kita suuzan atas apa saja yang membuat kita tak suka dengan hal itu. Misalnya, mengeluh dagangan kita belum kunjung laku keras atau dagangan kita masih belum ramai pembeli. Bisa saja sepi itu adalah sebuah bentuk rasa syukur kita.

Contoh lainnya seperti orang yang sedang sakit, berarti orang tersebut disadarkan Allah agar ke depannya bisa lebih menjaga kesehatan. Berbeda halnya dengan orang sehat, diuji dengan kelalaian dan kesombongan duniawi. Diperlukan kesadaran dalam diri dan peka terhadap hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kita.

“Rasa syukur itu menerbitkan kegembiraan yang murni dan sifatnya sejati,” ucap Cak Nun dalam video di saluran YouTube Piweling Singkat.

Sebenarnya seberapa banyak harta dunia yang ingin kita raup? Seberapa banyak materi yang ingin kita kumpulkan? Kalau kita benar-benar gembira akan harta benda, bukan berarti hal tersebut membuat kita memiliki arti bahagia yang sesungguhnya. Masih bingung? Baca kembali kutipan Cak Nun di atas.

Baca Juga : Buku Baru Cak Nun: Hubungan Cak Nun dengan para Anak-Cucu

Pengharapan Dunia

Tak ada harapan yang sifatnya permanen atau bersifat pasti. Kita mau berharap kepada negara, pemerintah? Banyak sekarang pejabat negara yang menjadi seorang koruptor. Istri yang mengabdi kepada suami, tak selamanya bisa berbakti. Kita berharap cinta seorang manusia terbalaskan dari yang dicintainya? Suatu saat dia akan meninggalkan dengan beribu alasan. Semuanya tak ada yang benar-benar bisa memberikan kepuasan anganmu. Kita tinggal menunggu waktu, pasti akan berubah keadaannya.

Jikalau kita ingin gembira, bahagia, bersyukur, jangan pernah terlalu banyak menaruh ketergantungan di luar dirimu sendiri. Kita sendiri yang mampu menggerakkan semuanya. Dan, kita sendiri yang harusnya mampu mengontrol kemauan atau keinginan terhadap kehendak. Serta, kita harus memiliki kemandirian dan kedaulatan untuk menciptakan kegembiraanmu sendiri.

Tak perlu merisaukan hal-hal pada masa depan. Selagi bisa, hari ini juga dan detik ini juga kita upayakan untuk bahagia. Temukan rasa syukur dalam dirimu sendiri. Sejatinya, kita sendiri yang memulai, kita sendiri yang meruntuhkan. Banyak hal yang sering kita harapkan dari seseorang, lalu orang tersebut mengecewakan kita, alhasil kita menangis dan sedih tak ada hilirnya.

Misalkan, ketika kita memesan kopi di warung, lalu berpesan kepada penjual agar tak menambahkan gula. Ketika penjual mengantarkan kopi ke tempatmu dan kamu mulai merasakan kepahitan di lidah, kamu berontak ke penjual. Sebenarnya bukan siapa yang salah, melainkan apa yang benar. Takaran setiap manusia itu berbeda. Karena saat awal membeli kopi, kamu sudah berharap atas kemanisan dari kopi tersebut.

Rezeki dari Allah

Banyak yang mendefinisikan rezeki itu hanya berupa kegembiraan, kebahagiaan, lepas dari semua masalah, dan banyak hal lagi sesuai harapan kita ketika berbicara perihal rezeki. Lebih jauh daripada itu, rezeki itu bersifat luas, bisa bersifat rezeki sakit, rezeki utang, ataupun rezeki sedih. Lagi, jangan kita menaruh suuzan kepada Allah. Asalkan kita bisa menyikapinya dengan rasa syukur dan percaya kepada Allah Swt, semua hal yang ada dalam kehidupan kita itu bisa dikatakan rezeki.

“Kebanyakan orang rata-rata tidak berani mengambil keputusan kalau urusannya sudah sama yang disebut dengan rezeki atau nafqoh,” lanjut petuah Cak Nun dalam video YouTube tersebut.

Perumpamaan Cak Nun agar Jamaah Maiyah Lebih Memahami

Misalkan, banyak dari kita yang merisaukan mengenai pasangan. Ada seorang perempuan manis yang tengah menjadi idaman semua laki-laki. Mereka pun saling berebut agar bisa dipilih perempuan itu untuk menjadi pasangannya. Namun, sangat tak disangka-sangka, si perempuan tak menjatuhkan pilihannya kepada siapa pun. Karena si perempuan berpikir, ketika ia memilih laki-laki A, pastinya akan menyakiti hati laki-laki B, C, dan yang lain. Pada akhirnya, ia melanjutkan kehidupannya seperti biasa dan suatu ketika ia kedatangan tamu laki-laki di rumahnya dan meminta izin kepada orang tua perempuan untuk melamarnya. Si perempuan pun tak akan menolak. Karena pada dasarnya, jika seseorang memiliki keseriusan akan sesuatu, akan dilakoninya dengan gigih bagaimanapun caranya.

“Kalau kamu menolak sesuatu yang Allah tidak sukai maka Allah akan memberimu sesuatu yang kita sukai dan memberikan sesuatu itu berlipat-lipat ganda,” lengkap Cak Nun sebagai penutup video saluran YouTube Piweling Singkat.

Memilih untuk menjalani kehidupan dengan kesendirian bukan berarti kita benar-benar sendiri. Bahkan ada Allah, malaikat, dan syafaatnya yang mengikuti kita ke mana pun pergi. Jangan pernah merasa segala kesusahan di dunia hanya ditimpakan kepadamu.

Temukan perjalanan ilmu kehidupan dari Cak Nun lewat buku terbarunya yang akan segera terbit, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pra-pesannya mulai 24 Juli hingga 9 Agustus 2020.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

Buku Baru Cak Nun

Buku Baru Cak Nun: Hubungan Cak Nun dengan para Anak-Cucu

Cak Nun membuat buku baru lagi. Setelah sukses menghasilkan karya tulis yang mampu mendobrak ilmu kehidupan kita, seperti Siapa Sebenarnya Markesot?, Kiai Hologram, Sinau Bareng Markesot, Lockdown 309 Tahun, Cak Nun kembali menetaskan karya selanjutnya yang berjudul Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar.

Melibatkan fenomena yang terjadi di masa kini dan masa lampau, mulai dari agama, politik, budaya, sejarah, hingga kehidupan setelahnya, yang seolah-olah mengajak kita berkaca kembali, apakah Indonesia saat ini sudah tercipta sesuai dengan harapan para pendahulunya?

Berbeda dari esai-esai sebelumnya, buku tersebut menampilkan satu style  penulisan yang menggambarkan hubungan “baru” antara Cak Nun dan orang-orang atau generasi yang belakangan menempatkan Cak Nun sebagai Simbah mereka dan karena itu pula mereka memosisikan diri sebagai anak-cucu.

Buku Baru Cak Nun

Bercerita tengan hubungan Cak Nun dengan anak cucunya, si Beruk, Gendhon, dan Pèncèng.

Buku Baru Cak Nun: Apa Yang Benar, Bukan Siapa Yang Benar

Beruk, Gendhon, dan Pèncèng adalah tiga nama anak cucu Simbah (yang tak lain adalah Cak Nun sendiri) yang hadir dalam buku ini. Dalam kenyataannya, tiga nama itu memanglah orang-orang yang berada dalam sebuah organisasi kemanusiaan, yang meminta Cak Nun menjadi orang tua mereka. Cak Nun menjadi tempat untuk dimintai pendapat, saran, dan nasihat tentang pelbagai yang akan mereka lakukan atau putuskan. Malahan, dalam beberapa hal atau keperluan, mereka tidak melakukan sesuatu sebelum mendapatkan izin dari Simbah mereka ini.

Hubungan yang terbangun antara anak-cucu dan Simbah ini tidak benar-benar baru. Beberapa puluh tahun sebelumnya, Cak Nun sering melakukan fungsi sosialnya dengan cara merespons pelbagai masalah yang dicurhatkan kepadanya. Pada perkembangan lebih jauh, forum-forum Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng sendiri menjadi wadah bagi anak-cucu di berbagai tempat itu bertanya, minta nasihat, dan masukan dari hal sehari-hari hingga hal-hal yang bersifat sosial, filosofis, dan teologis.

Dalam kehidupan ini, kita tahu terdapat banyak jenis relasi. Ada relasi pemerintah-rakyat, negara-warga negara, perusahaan-karyawan, parpol-konstituen, organisasi sosial-anggota, dan bentuk-bentuk relasi lainnya. Hubungan Cak Nun dan anak-cucu Maiyah di berbagai tempat adalah satu bentuk relasi yang mungkin berbeda dengan semua relasi yang ada dalam beberapa segi. Namun, satu hal sederhana yang dapat kita asakan adalah hubungan Cak Nun dan anak-cucu ini bersifat imajinatif, bukan imajiner (dalam pengertian: tidak riil/sekadar dibayangkan).

Hubungan Cak Nun dan Cucunya

Hubungan itu tidak imajiner karena di dalamnya terdapat makna. Keberadaan Simbah atau Cak Nun memiliki “makna” bagi anak-cucu secara intelektual, sosial, termasuk spiritual. Keberadaan Cak Nun bagi mereka bersifat “transformatif”. Banyak di antara mereka yang mendapatkan “pengalaman psikologi agama”. Jangan bayangkan pengalaman psikologi agama yang dimaksud itu gimana-gimana atau serem bentuknya. Pengalaman psikologi agama yang dimaksud cukup sederhana: mereka ingin menjadi orang yang lebih baik dibanding sebelumnya. Namun, tidaklah dorongan atau transformasi seperti itu substantif dalam hidup kita? Setidaknya hidup mereka yang mengalaminya.

Alih-alih bersifat imajiner, relasi ini bersifat imajinatif karena―sekurang-kurangnya diwakili oleh buku ini―ada daya cipta yang tumbuh di dalam relasi tersebut. Daya cipta kreatif. Sebagai contoh, ketika harian Kedaulatan Rakyat meminta Cak Nun mengisi kolom koran ini secara rutin, tiba-tiba muncul nama-nama anak itu. Beruk, Gendhon, dan Pèncèng. Sebuah dunia lalu dibangun Cak Nun di situ. Obrolan berbagai hal muncul dalam suasana Simbah yang memandu dan mengasuh anak-cucunya: menarik, menyodorkan, dan membuka peluang-peluang mereka ikut berpikir mengenai hal-hal yang di luar rutinitas mereka.

Sinau Bareng Cak Nun

Selain itu, daya imajinatif yang sama telah mendorong Cak Nun membuat buku baru agar para anak-cucu menulis di situs web caknun.com pada kolom Menek Blimbing. Kolom ini dikhususkan bagi anak-cucu itu menceritakan pengalaman mendapatkan sesuatu dari Cak Nun sebagai Simbah. Dan, beberapa sesepuh di komunitas Maiyah. Ada yang lain lagi, misalnya, setiap kali Sinau Bareng digelar, secara kreatif Cak Nun selalu menyiapkan daftar pertanyaan untuk para anak-cucu yang hadir. Pertanyaan-pertanyaan ini lazimnya menyangkut tema yang diusung penyelenggara Sinau Bareng dan secara metode, sesi mereka menjawab pertanyaan ini menjadi salah satu cara pembelajaran atau sinau dalam “pengajian” itu. Hal yang dapat dikatakan baru jika dilihat dari tradisi-tradisi pengajian yang selama ini telah ada.

Anak-anak cucu ini kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok dan diberi waktu untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan Cak Nun. Setelah selesai, mereka bertugas mempresentasikan hasil diskusi di depan jamaah dan para narasumber. Setelah itu, para narasumber diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. Sering kali juga para narasumber ini mengapresiasi dengan menyiapkan hadiah. Tampaknya, metode dan suasana asyik yang tercipta dalam sesi workshop anak-cucu itu tidak lahir jika tidak terbangun relasi Simbah-anak-cucu.

Baca Juga: Proses Kreatif Cak Nun dalam Buku Lockdown 309 Tahun

Aspek Kreatif Lainnya

Berbagai bentuk aspek kreatif lain pada sisi anak-cucu barangkali akan lebih banyak kita jumpai. Kalau kita mampu menyelam lebih dalam: apa saja wujud-wujud kreatif imajinatif yang telah terbentuk pada diri mereka. Cak Nun, sebagai Simbah, telah menunjukkan buah-buah imajinatif itu dalam beberapa contoh yang sudah disebutkan di atas. Tentu saja, telah berwujud dalam esai-esai yang sekarang berada di tangan kita semua.

Begitulah tuturan pengantar dari Helmi Mustofa terkait buku baru dari Emha Ainun Najib ini. Begitu produktif seorang Cak Nun menuangkan buah pikirannya dalam bentuk karya tulis tidak sampai mencapai berbulan-bulan lamanya.

Sahabat Bentang bisa mengintip lebih jauh isi dari buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar dengan mengikuti pra-pesan yang akan segera diluncurkan. Pantau terus kelanjutannya melalui laman mizanstore.com, timeline Instagram dan Twitter @bentangpustaka & @pustakacaknun.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

© Copyright - Bentang Pustaka