Piweling Syukur dari Cak Nun untuk Jamaah Maiyah

Cak Nun kepada Jamaah Maiyah sering mengatakan:

Banyak dari kita yang menaksir standar kebahagiaan terlalu tinggi hingga mengabaikan hal-hal yang sebenarnya dapat membuat kita lupa diri dan kurang mensyukuri.

“La in syakartum la azidannakum wala in kafartum inna adzabi lasyadid.”

Kalimat itu tercantum dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 7. Ayat ini merupakan salah satu janji Allah Swt. kepada seluruh hamba-Nya yang selalu bersyukur.

Cak Nun ke Jamaah Maiyah: Bersyukur

Cak Nun Jamaah Maiyah

Janganlah menaksir kebahagiaan terlalu tinggi, nanti dirimu sendiri yang merugi.

Allah Swt. memberikan begitu banyak nikmat kepada seluruh hamba-Nya. Kewajiban seorang hamba kemudian adalah bersyukur, seperti makna kalimat di atas, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih.”

Layaknya berjualan barang, kita akan mendapatkan sebuah laba. Jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin dan terus tanpa henti berikhtiar, Allah akan menambahkan buah dari syukur kita. Seperti tuturan Cak Nun, laba = syukur. Jangan sampai kita suuzan terhadap Allah. Jangan sampai kita suuzan atas apa saja yang membuat kita tak suka dengan hal itu. Misalnya, mengeluh dagangan kita belum kunjung laku keras atau dagangan kita masih belum ramai pembeli. Bisa saja sepi itu adalah sebuah bentuk rasa syukur kita.

Contoh lainnya seperti orang yang sedang sakit, berarti orang tersebut disadarkan Allah agar ke depannya bisa lebih menjaga kesehatan. Berbeda halnya dengan orang sehat, diuji dengan kelalaian dan kesombongan duniawi. Diperlukan kesadaran dalam diri dan peka terhadap hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kita.

“Rasa syukur itu menerbitkan kegembiraan yang murni dan sifatnya sejati,” ucap Cak Nun dalam video di saluran YouTube Piweling Singkat.

Sebenarnya seberapa banyak harta dunia yang ingin kita raup? Seberapa banyak materi yang ingin kita kumpulkan? Kalau kita benar-benar gembira akan harta benda, bukan berarti hal tersebut membuat kita memiliki arti bahagia yang sesungguhnya. Masih bingung? Baca kembali kutipan Cak Nun di atas.

Baca Juga : Buku Baru Cak Nun: Hubungan Cak Nun dengan para Anak-Cucu

Pengharapan Dunia

Tak ada harapan yang sifatnya permanen atau bersifat pasti. Kita mau berharap kepada negara, pemerintah? Banyak sekarang pejabat negara yang menjadi seorang koruptor. Istri yang mengabdi kepada suami, tak selamanya bisa berbakti. Kita berharap cinta seorang manusia terbalaskan dari yang dicintainya? Suatu saat dia akan meninggalkan dengan beribu alasan. Semuanya tak ada yang benar-benar bisa memberikan kepuasan anganmu. Kita tinggal menunggu waktu, pasti akan berubah keadaannya.

Jikalau kita ingin gembira, bahagia, bersyukur, jangan pernah terlalu banyak menaruh ketergantungan di luar dirimu sendiri. Kita sendiri yang mampu menggerakkan semuanya. Dan, kita sendiri yang harusnya mampu mengontrol kemauan atau keinginan terhadap kehendak. Serta, kita harus memiliki kemandirian dan kedaulatan untuk menciptakan kegembiraanmu sendiri.

Tak perlu merisaukan hal-hal pada masa depan. Selagi bisa, hari ini juga dan detik ini juga kita upayakan untuk bahagia. Temukan rasa syukur dalam dirimu sendiri. Sejatinya, kita sendiri yang memulai, kita sendiri yang meruntuhkan. Banyak hal yang sering kita harapkan dari seseorang, lalu orang tersebut mengecewakan kita, alhasil kita menangis dan sedih tak ada hilirnya.

Misalkan, ketika kita memesan kopi di warung, lalu berpesan kepada penjual agar tak menambahkan gula. Ketika penjual mengantarkan kopi ke tempatmu dan kamu mulai merasakan kepahitan di lidah, kamu berontak ke penjual. Sebenarnya bukan siapa yang salah, melainkan apa yang benar. Takaran setiap manusia itu berbeda. Karena saat awal membeli kopi, kamu sudah berharap atas kemanisan dari kopi tersebut.

Rezeki dari Allah

Banyak yang mendefinisikan rezeki itu hanya berupa kegembiraan, kebahagiaan, lepas dari semua masalah, dan banyak hal lagi sesuai harapan kita ketika berbicara perihal rezeki. Lebih jauh daripada itu, rezeki itu bersifat luas, bisa bersifat rezeki sakit, rezeki utang, ataupun rezeki sedih. Lagi, jangan kita menaruh suuzan kepada Allah. Asalkan kita bisa menyikapinya dengan rasa syukur dan percaya kepada Allah Swt, semua hal yang ada dalam kehidupan kita itu bisa dikatakan rezeki.

“Kebanyakan orang rata-rata tidak berani mengambil keputusan kalau urusannya sudah sama yang disebut dengan rezeki atau nafqoh,” lanjut petuah Cak Nun dalam video YouTube tersebut.

Perumpamaan Cak Nun agar Jamaah Maiyah Lebih Memahami

Misalkan, banyak dari kita yang merisaukan mengenai pasangan. Ada seorang perempuan manis yang tengah menjadi idaman semua laki-laki. Mereka pun saling berebut agar bisa dipilih perempuan itu untuk menjadi pasangannya. Namun, sangat tak disangka-sangka, si perempuan tak menjatuhkan pilihannya kepada siapa pun. Karena si perempuan berpikir, ketika ia memilih laki-laki A, pastinya akan menyakiti hati laki-laki B, C, dan yang lain. Pada akhirnya, ia melanjutkan kehidupannya seperti biasa dan suatu ketika ia kedatangan tamu laki-laki di rumahnya dan meminta izin kepada orang tua perempuan untuk melamarnya. Si perempuan pun tak akan menolak. Karena pada dasarnya, jika seseorang memiliki keseriusan akan sesuatu, akan dilakoninya dengan gigih bagaimanapun caranya.

“Kalau kamu menolak sesuatu yang Allah tidak sukai maka Allah akan memberimu sesuatu yang kita sukai dan memberikan sesuatu itu berlipat-lipat ganda,” lengkap Cak Nun sebagai penutup video saluran YouTube Piweling Singkat.

Memilih untuk menjalani kehidupan dengan kesendirian bukan berarti kita benar-benar sendiri. Bahkan ada Allah, malaikat, dan syafaatnya yang mengikuti kita ke mana pun pergi. Jangan pernah merasa segala kesusahan di dunia hanya ditimpakan kepadamu.

Temukan perjalanan ilmu kehidupan dari Cak Nun lewat buku terbarunya yang akan segera terbit, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pra-pesannya mulai 24 Juli hingga 9 Agustus 2020.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta