Peta batavia

Sejarah Kota-kota di Nusantara pada Abad ke-17

Tinggal di kota tertentu dalam jangka waktu cukup lama belum tentu membuat kita mengerti bagaimana sejarah kota tersebut kan? Apa yang terjadi sepuluh, lima puluh, atau bahkan ratusan tahun lalu padahal bisa jadi memengaruhi banyak hal. Mungkin bisa jadi bahasa, keragaman budaya, sampai struktur dan pola bangunan yang selama ini ada.

Saathi dan dua orang adiknya dalam buku Al-Masih membawa gambaran sejarah kota yang dilaluinya. Pada abad ke-17 mereka bertekad melakukan perjalanan ke Batavia tanpa orang tua untuk sebuah misi. Ada beberapa kota atau tempat yang mereka lalui, apakah kota-kota tersebut masih menggunakan nama yang sama?

Sejarah Kota Batavia

 

Saathi menetapkan tujuannya pada Kota Batavia. Sejarah kota ini amat panjang karena saat ini kota Batavia yang diubah menjadi Jakarta telah berumur 493 tahun. Batavia ternyata menjadi nama kedua yang disematkan kepada kota ini setelah pada abad ke-16 bernama Jaccatra atau Jayakarta. Nama Batavia sendiri diberikan oleh VOC pada abad ke-17 dari sebuah suku yang hidup di dekat sungai Rhine pada zaman Romawi. Kini tempat yang dinamakan Batavia menjadi Jakarta dan dijadikan ibukota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Arsip sejarah kota mencatat hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mendiami daerah tersebut. Ada orang-orang Portugis, Belanda, Cina, hingga Arab yang datang ke kota ini.

Baca juga: BERAGAM LATAR TEMPAT DALAM AL-MASIH: PUTRA SANG PERAWAN

Ommelanden, wilayah luar tembok kota

 

Ommelanden batavia

https://asseta.grid.id/crop/0x0:0x0/700×0/photo/2019/06/03/2245122949.jpg

Ommelanden sering juga disebut wilayah di luar tembok, karena keberadaannya dengan Kota Batavia dipisahkan dengan sebuah tembok panjang.

Beberapa nama yang saat ini kita kenal seperti, Kuningan, Kalibata, Lebak Bulus, dan Pondok Gede (Cililitan) sudah muncul dalam buku-buku dari abad ke-17 dan masuk dalam wilayah ini. Ommelanden memiliki bentuk perkebunan di sekitar bantaran sungai dengan pengelompokan warga berdasarkan etnis atau sukunya, seperti Kampung Jawa dan Kampung Cina (Pecinan).

Karawang

Karawang pada abad ke-17 merupakan wilayah kekuasaan Sultan Agung yang memimpin wilayah Mataram. Namun pada abad yang sama pula, sejarah kota ini berubah karena adanya perebutan wilayah kekuasaan antara Sultan Agung, Sultan Banten dan VOC. Ribuan tentara dikirimkan ke wilayah ini untuk mempertahankan area dari Kesultanan Banten sekaligus bersiap menyerang VOC.

Akibat dua peristiwa besar ini lah, sejarah kota atau wilayah ini berubah. Karawang yang pada saat itu sebagian besarnya masih berupa rawa-rawa dijadikan lahan-lahan pertanian. Hal ini lah yang membuat Karawang sampai saat ini dijuluki sebagai salah satu lumbung padi Indonesia.

The Map of Java 1729

https://2.bp.blogspot.com/_ogg5WCmaP8/ShDi3iZN3XI/AAAAAAAACRk/-XohZ98-MZg/w1200-h630-pknonu/The+Map+of+Java+1729.jpg

Mataram

Wilayah Kesultanan Mataram pada abad ke-17 mencakup sebagian besar kota-kota di Pulau Jawa. Kekuasaan Kerajaan Mataram bahkan meluas hingga Madura dan Kalimantan.Hal tersebut mentebabkan secara tidak langsung, sejarah kota seperti Cirebon, Jepara, Gresik, dan Malang juga dipengaruhi masa kejayaan kerajaan ini. Namun, saat VOC dibentuk dan berkuasa di Batavia wilayah Mataram kemudian dibagi dalam beberapa wilayah.

Pada masa ini lah Saathi dan kedua adiknya pindah dari wilayah Mataram ke Batavia yang terlihat lebih menjanjikan. Mereka membawa identitas suku Jawa dan beragama Islam ke tempat yang lebih beragam. Bagaimana sejarah kota lainnya di Nusantara dan dunia? Simak dalam buku Al-Masih: Putra sang Perawan karya Tasaro GK.

da Vinci painting

Penggambaran Maria di Dunia dari Masa ke Masa

Sosok ibu di mata setiap orang pastilah memiliki kenangan tersendiri bagi siapa saja. Namun ada beberapa kisah dari ibu yang mengubah sejarah dunia dan diingat dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah kisah Bunda Maria, dikenal juga sebagai Maryam atau juga Virgin Mary yang melahirkan Al-Masih. Ia adalah asal mula sebuah kisah yang dipercaya paling tidak oleh 3 agama. Maria mengandung dalam keadaan belum pernah tersentuh oleh laki-laki. Kisahnya dituturkan dari masa ke masa, digambarkan dalam berbagai media di berbagai belahan dunia. Mari kita berjalan-jalan menemukan beberapa penggambaran Maria dalam beberapa karya.

The Virgin and Child with Saint Anne

da Vinci painting

https://en.wikipedia.org/wiki/The_Virgin_and_Child_with_Saint_Anne_(Leonardo)

Lukisan yang dibuat pada tahun 1503 atau sekitar 5 abad yang lalu ini dilukis dengan menggunakan media cat minyak. Al-Masih kecil digambarkan sedang bergulat dengan seekor domba ditemani sang ibu, Maria atau Maryam dan Saint Anne. Karya ini dilukis oleh Leonardo da Vinci, siapa yang tidak kenal? Ia pelukis yang sama yang menghasilkan lukisan Mona Lisa yang terkenal di dunia. Lukisan ini pun berada di tempat yang sama dengan Mona Lisa, yakni di Museum Louvre yang ada di Kota Paris, Prancis.

Lukisan The Virgin and Child with Saint Anne ini sebelumnya ditempatkan pada altar tinggiGereja Santissima Annuziata yang terletak di Kota Florence, Italia. Tak jauh dari gereja ini, ada Leonardo da Vinci Interactive Museum yang memiliki koleksi model-model mesin yang merupakan hasil pemikirannya semasa hidup. Kita bisa melihat sisi da Vinci yang lain dari sekadar pelukis.

Madonna and Child Enthroned

Mary the virgin statue

Patung ini menggambarkan Maria di masa yang lain. Lebih tua dari masa da Vinci hidup, sekitar tahun 1225 Masehi. Saking tuanya karya ini, sampai saat ini pihak Detroit Institute of Arts sebagai pihak penyimpan koleksi tidak bisa menemukan secara pasti siapa pembuat patung berbahan kayu ini. Maria dalam karya ini disebut dengan Madonna tak hanya bernilai seni, tapi juga dipasang di atas altar pada masa itu, dibawa dalam prosesi keagamaan, dan sesi liturgi atau ibadah bersama tertentu.

Patung ini menggambarkan Perawan yang duduk sebagai Tahta Kebijaksanaan (sedes sapientiae), gambaran dari kebaktian populer yang dilakukan selama periode Romawi. Madonna muncul di sini bukan sebagai ibu dari seorang anak tetapi sebagai ibu dari Tuhan, sebuah ikon yang dengan kaku menampilkan sosok bayi Kristus di pangkuannya sementara dia mengangkat lengannya sebagai tanda berkat.

Tempat Lilin dari Syiria

Chandlestick

https://commons.wikimedia.org/wiki/Category:Candlestick_-_Chandelier_-_Iraq_or_Syria_-_1248-1249_-_Louvre_-_AD_4414

Koleksi lainnya dari Museum Louvre yang menyimpan sosok Maryam datang dari Kota Mosul atau saat ini beradad di wilayah Iraq atau Syiria Utara. Tempat lilin ini dibuat oleh Dawud ibn Salama al-Mawsili pada tahun 646 Hijriah (1248-49 M). Sang pembuat karya diketahui dari tanda tangan yang dibubuhkan dalam karya tersebut. Tempat lilin ini dibuat dengan material tembaga dan dilapisi dengan perak.

Tak hanya Maryam yang tergambar di sana, tempat lilin menyerupai lonceng ini berhiaskan gambaran  figuratif menggabungkan ikonografi Kristen (adegan dari kehidupan Kristus) dan adegan berburu dari sumber-sumber kitab Islam. Dawud ibn Salama sudah menggambarkan dinamika agama dan keadaan sosial yang ada dalam karyanya di zaman tersebut.

Maria Assumpta

from Indonesia

https://historia.id/kultur/articles/maria-terbang-mendarat-di-gudang-Dbegl

Berbeda dari beberapa karya lainnya yang digambarkan dengan nuansa kecoklatan, Maria Assumpta adalah lukisan sosok Bunda Maria dengan nuansa kehijauan. Karya ini terlihat begitu dekat dengan kita ya sebagai orang Indonesia? Wajar saja, pelukisnya adalah Basoeki Abdullah seorang maestro lukis di zaman kemerdekaan. Beliau menciptakan karya ini di Belanda sebagai ungkapan terima kasih pada lembaga yang telah membantunya selama di sana.

Lukisan yang dibuat pada tahun 1935 ini ditemukan kembali di sebuah gudang di Kota Nijmegen, Belanda. Maria digambarkan dalam balutan kebaya lengkap dengan kain sinjang batik bermotif parang yang membentangkan tangannya sebatas paha. Kepalanya ditutup selendang biru dengan mata yang mengarah ke arah bawah. Maria seperti terbang ke langit dari desa yang diapit gunung-gunung di sekitarnya. Lukisan berukuran 2 x 1 meter ini rencananya akan dipamerkan di Belanda pada 2021 mendatang, lho.

The Virgin Mary as Our Lady of the Immaculate Conception

Mary statue from Filipine

http://onlinecollection.asianart.org/view/objects/asitem/22128/1226?t:state:flow=bebb57fb-cdcf-496f-9f38-70c881b9e0b3

Patung ini dibuat tak jauh dari Indonesia, di Filipina tepatnya. Namun, saat ini patung yang terbuat dari kayu, gading, logam, dan rambut manusia ini saat ini berada di San Fransisco, Amerika Serikat. Patung ini mewakili Maria yang Dikandung Tanpa Noda (La Purisima Concepcion) yang muncul di langit di atas bulan sabit. Bentuk Perawan Maria ini populer di Filipina dan merupakan santo pelindung banyak desa. Patung ini kemungkinan dibuat pada kurun waktu 1650-1800 sebagai salah satu tradisi yang disebarkan oleh Spanyol yang saat itu menjajah wilayah Filipina.

Atas dasar ketabahan, kesabaran, dan kekuatannya menghadapi hal-hal tidak biasa sebagai seorang manusia, sosok Maria bukan hanya menjadi inspirasi tetapi juga pengingat yang dijadikan pegangan. Kisahnya diulang melalui banyak cara, salah satunya saat ini ada di novel terbaru Tasaro GK. Ide cerita yang memasukkan sejarah Maria dan kehidupan Al-Masih telah memenangkan penghargaan di tingkat ASEAN. Buku ini sudah bisa dibeli untuk dibaca dan menjadi perenungan bersama tanpa memberatkan kepala karena hadir dalam bentuk cerita fiksi yang ringan.

4 Ikon Bersejarah Yogyakarta yang Disebut dalam Buku Terbaru Cak Nun

Yogyakarta selalu memiliki tempat di hati orang-orang yang pernah singgah. Penduduknya yang santai dalam menjalani hidup hingga lokasi wisata yang tersebar di segala penjuru, membuat kota ini begitu “hidup”. Bahkan, dengan begitu banyaknya pelajar dari berbagai provinsi yang merantau demi menuntut ilmu, Yogya kerap disebut sebagai miniatur Indonesia.

Akan tetapi, keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada kemeriahan maupun keberagaman suasananya. Hal paling mendasar yang membuat kota ini begitu istimewa adalah para warga Yogya sangat memperhatikan patrap [pedoman perilaku] sebagai atlas nilai kehidupan.

Oleh karena itu, tak heran jika Cak Nun mendedikasikan kehangatan dan keistimewaan Yogyakarta dalam buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Dalam memaparkan nilai hidup tersebut, Cak Nun mengilustrasikannya ke dalam empat ikon bersejarah yang bisa kita kunjungi dan nikmati berikut ini.

  1. Gunung Merapi

Bagi warga sekitarnya, Gunung Merapi adalah sumber kehidupan. Saking sakralnya peran gunung ini, setiap kali erupsi, masyarakat enggan menyebut peristiwa tersebut dengan kata meletus. “Merapi sedang duwe gawe [punya hajat],” demikian pesan almarhum Mbah Maridjan, sang juru kunci.

Manunggaling kawula lan Gusti [konsep tentang bersatunya antara rakyat dan pemimpin atau hamba dan Tuhannya] juga tecermin pada posisi Gunung Merapi. Berdasarkan penuturan sejarah, Pangeran Mangkubumi menemukan garis lurus antara puncak Merapi ke tiang pancang balairung di bangunan samar di Laut Selatan. Inilah khatulistiwa kosmologi Ngayogyakarta Hadiningrat. Garis lurus itu merupakan proporsi kosmologis ditatanya Negeri Ngayogya. Pada titik-titik dalam garis itu, terdapat penyatuan dan kemenyatuan antara Tuhan, alam, dan manusia.

 

  1. Malioboro

Para wisatawan dari dalam maupun luar Yogya pasti selalu menyempatkan diri mengunjungi area ini. Malioboro memang dikenal sebagai pusat perbelanjaan dan tempat berkumpul warga. Menurut kesaksian Cak Nun, Malioboro dulu adalah kawah Candradimuka yang melatih para penyair, cerpenis, dan novelis. Bisa dikatakan, Yogya adalah mercusuar kesenian nasional. Untuk waktu yang sangat lama, berpuluh-puluh tahun, Yogya adalah laboratorium utama dunia seni rupa, bersaing dengan Bandung. Yogya adalah barometer dunia teater dan kekuatan utama potensi dan aktualisasi kesusastraan Indonesia. Dan, melalui Malioboro inilah, berbagai karya dan komunitas seni melahirkan dirinya dan bergerak.

 

  1. Angkringan

Dalam buku ini, Cak Nun mengenang salah satu angkringan legendaris yang ramai dikunjungi puluhan tahun silam, Wedangan Mbah Wongso. Tepatnya di sebelah barat perempatan Wirobrajan selatan jalan. Bagi Cak Nun, angkringan bukan hanya warung kaki lima, melainkan juga sebuah simbol penerimaan diri. Mbah Wongso—yang karakter ini juga mudah kita temui pada bakul angkringan lainnya—tidak peduli pada detail dan jumlah dagangannya. Jika ada yang mengambil tempe lima bilang dua, atau kerupuk tujuh bilang tiga, tidak pernah menjadi masalah. “Mbah Wongso bukan kapitalis. Mbah Wongso menjalani darma hidup. Beliau sangat menikmati setiap malam melayani siapa saja yang butuh sruput-sruput, anget-anget, dan nyaem-nyaem. Beliau punya kesadaran untung dan rugi, tetapi itu bukan perhitungan utama kehidupannya,” tulis Cak Nun.

 

  1. Wedang Uwuh

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri. Namun saat ini, kita bisa menemukan kemasan wedah uwuh siap seduh di berbagai pasar di Yogyakarta.

Dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman dan uwuh adalah sampah. Meskipun dinamakan minuman sampah, wedang ini memiliki berbagai macam khasiat menyehatkan untuk tubuh karena berisi rempah-rempah.

Menurut Cak Nun, penyebutan wedang uwuh ini justru menunjukkan simbol adanya kebesaran Tuhan. Sebuah pertanda yang sangat jelas bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Hal-hal yang secara kasat mata dianggap tidak berguna oleh manusia, sesungguhnya memiliki pola dauriyah. Tidak ada yang mubazir.

 

Itulah tadi empat filosofi hidup manusia yang tecermin di dalam ikon-ikon bersejarah di Yogyakarta. Untuk mengetahui lebih dalam lagi soal Yogyakarta dalam buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar, kalian bisa memperolehnya di sini.

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta