muslim tionghoa

Tokoh Tionghoa Muslim di Indonesia

Pasca-Reformasi merupakan angin segar bagi perkembangan komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia. Hampir tidak ada lagi pengekangan-pengekangan dan aturan-aturan yang mendiskreditkan komunitas Tionghoa Muslim seperti pada era kolonial Belanda dan Orde Baru. Hasilnya, mulai lahir tokoh-tokoh Muslim keturunan Tionghoa di Indonesia. Beberapa dari mereka bahkan menjadi sosok yang berpengaruh, bukan hanya di kalangan keturunan Tionghoa, tapi juga bagi umat Muslim di Indonesia secara luas. Beberapa dari mereka juga tidak jarang muncul di layar kaca. Sebut saja Felix Siauw.

Felix Siauw adalah seorang mualaf keturunan Tionghoa yang lahir di Palembang, 31 Januari 1984. Sebelum masuk Islam, karena lahir dan besar di tengah keluarga yang memeluk Katolik, ia pun memeluk Katolik sampai kelas 3 SMP. Ia mendapati banyak hal yang tidak masuk akal dengan ajaran agamanya. Bahkan, ia sempat berada pada fase tidak memercayai adanya Tuhan. Selama beberapa tahun berjalan, akhirnya ia menemukan Islam sebagai agama yang menurutnya paling sesuai dengan logika dan sains. Hingga saat ia kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), ia mulai mendalami ajaran Islam.

Perlahan ia mulai populer sebagai penceramah, terlebih ia merupakan mantan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selanjutnya dilarang oleh pemerintah karena dinilai tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Karena itulah namanya juga cukup kontroversial.

Gaya berceramah Felix Siauw juga banyak disukai terutama oleh kalangan anak-anak muda karena ia kerap menyinggung isu-isu yang bersentuhan langsung dengan mereka. Misalnya, isu tentang pacaran. Selain berceramah, Felix Siauw juga aktif menulis. Beberapa buku yang sudah berhasil ia tulis seperti Udah Putusin Aja, Yuk Berhijab, The Chronicles of Ghazi: Rise of the Ottomans, Khilafah, How to Master Your Habits, Beyond the Inspiration, serta Muhammad Al-Fatih 1453 yang cukup banyak dicari orang.

Tokoh Tionghoa Muslim yang tidak kalah populer adalah Haji Muhammad Ustman Ansori, atau masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Koko Liem. Sama dengan Felix Siauw, Koko Liem adalah seorang mualaf. Ia dididik dan dibesarkan di tengah keluarga Hindu yang sangat taat. Bahkan, sang ayah adalah seorang aktivis Klenteng.

Ketertarikan Koko Liem pada Islam sudah dimulai sejak kelas 2 SD. Ketika ada pelajaran Pendidikan Agama Islam, Koko Liem tidak meninggalkan kelas seperti para siswa non-Muslim lain. Ia justru sangat antusias mengikuti pelajaran tersebut meski berbeda dengan keyakinan yang dianutnya. Koko Liem paling suka ketika mendengar kisah nabi-nabi yang diceritakan oleh guru agamanya. Pun ketika ia masuk SMP, kebiasaan itu masih saja ia lakukan. Meskipun ia tetap aktif bersembahyang di Vihara.

Akhirnya setelah berkonsultasi dengan kakeknya, Muhammad Abdul Nashir alias Liem Hai Seng yang sudah lebih dulu masuk Islam, Koko Liem memutuskan untuk masuk Islam saat ia naik ke kelas 3 SMP.

Tidak seperti Felix Siauw yang mendapat dukungan dari keluarganya ketika ia masuk Islam, ayah Koko Liem marah besar dan mengusirnya ketika tahu anaknya sudah menjadi mualaf. Koko Liem akhirnya pindah ke Duri, Riau dan diasuh oleh seorang ulama bernama K.H. Ali Muchsin, pengasuh Pondok Pesantren Jabal Nur di Kandis.

Suka duka setelah masuk Islam dilalui oleh Koko Liem. Meski begitu, ia tetap bersikukuh mempelajari agama Islam sebaik-baiknya. Hingga namanya mulai terkenal sebagai penceramah.

Koko Liem sempat mengisi acara di berbagai stasiun televisi swasta maupun negeri Nasional dan memiliki pengaruh yang cukup besar, tidak hanya di kalangan Tionghoa Muslim, tapi juga umat Muslim secara luas.

Tokoh Tionghoa Muslim lain yang juga cukup populer adalah Anton Medan. Latar belakang Anton Medan yang bernama asli Tan Kok Liong ini adalah seorang preman kelas kakap di Jakarta. Berkali-kali ia keluar masuk penjara. Berbagai aksi kriminal mulai dari menjambret, bandar judi, transaksi narkoba, sampai merampok sudah akrab dengan kehidupan masa mudanya.

Ketika bebas dari penjara untuk kali pertama, Anton Medan yang lahir pada 1 Oktober 1957 ini pulang ke kampung halamannya di Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Namun, karena pernah dipenjara, keluarganya tak mau lagi menerimanya dan mengusir Anton. Hanya beberapa jam di kampung halaman, Anton Medan berangkat lagi ke Jakarta untuk mencari alamat sang paman dengan uang seadanya. Berbulan-bulan ia menggelandang sebelum akhirnya berhasil menemukan alamat sang paman.

Celakanya, sang paman yang dulu begitu menyayanginya juga sudah tidak mau lagi menerima Anton. Berada di tengah keputusasaan, Anton kembali lagi menempuh dunia kelam. Pertama ia menjambret, kemudian merampok, menjual obat-obatan terlarang, sampai bandar judi dia lakukan. Berkali-kali juga ia masuk bui.

Ia akhirnya mendapatkan hidayah ketika kalah judi sampai miliaran. Ia memutuskan untuk belajar agama Islam, setelah sebelumnya ia juga pernah memeluk agama Buddha dan Katolik. Kepada Ustaz Zainuddin M.Z.-lah ia berguru. Hingga Anton dibantu Zainuddin M.Z., Nur Muhammad Iskandar, dan Mayjen Hendro Prijono memutuskan untuk mendirikan sebuah majelis taklim Atta’ibin.

Majelis taklim ini ia tujukan untuk menampung dan membina para mantan napi dan pengangguran. Ia juga dikenal kerap berceramah dari penjara ke penjara untuk menyiarkan agama Islam. Beberapa kali ia juga tampil dalam acara televisi.

Felix Siauw, Koko Liem, dan Anton Medan hanya contoh kecil tokoh Tionghoa Muslim yang cukup berpengaruh di Indonesia. Masih banyak tokoh Tionghoa Muslim lain yang juga terus menyiarkan agama Islam, terutama pasca-Reformasi ketika mereka tidak lagi mendapat kekangan dari pemerintah.

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan segera di http://mizanstore.com atau di toko buku kesayanganmu.


 

Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: republika.co.id

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta