tionghoa atau cina

Mengapa Menyebut Tionghoa, Bukan Cina

Penggunaan istilah Cina atau Tionghoa kerap menjadi perdebatan. Saat ini, kita dianjurkan, bahkan ditekankan untuk tidak lagi memakai istilah “Cina”, tetapi “Tionghoa” untuk menyebut etnis keturunan Tionghoa. Mengapa kita harus menggunakan istilah Tionghoa?

 

Perdebatan panjang mewarnai penyebutan istilah untuk etnis keturunan Tionghoa di Indonesia. Karena dianggap menjadi masalah serius dan berkaitan dengan SARA, pada 2011 kemudian diadakan diskusi bahasa. Diskusi ini membahas tentang istilah Cina dan Tionghoa. Adapun pembicara dalam diskusi tersebut di antaranya wakil dari Kedutaan Besar Tiongkok, wakil dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, wakil dari Badan Bahasa, serta budayawan Remy Silado.

 

Dalam diskusi tersebut, wakil dari Kedutaan Besar Tiongkok menyarankan untuk tidak lagi menggunakan istilah Cina. Alasannya, istilah tersebut digunakan oleh Jepang terhadap Tiongkok pada masa perang yang memiliki konotasi negatif. Namun, lain dengan Abdul Gaffar Ruskhan dari Badan Bahasa. Beliau mengungkapkan bahwa istilah “Cina” merupakan istilah yang sudah biasa dan tidak memiliki konotasi negatif.

 

Perdebatan itu berujung pada diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keppres tersebut berisi tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, dalam surat edaran tersebut istilah resmi yang digunakan adalah “Tjina”, bukan Tionghoa. Namun sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Kepres tersebut, sebenarnya Presiden Abdurrahman Wahid sudah terlebih dulu memakai istilah Tionghoa ataupun Tiongkok. Hal tersebut bisa dilihat dari laporan kerja pemerintahannya pada Agustus 2000, saat Abdurrahman Wahid sudah menggunakan sebutan Republik Rakyat Tiongkok. Tidak hanya itu, Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh yang sangat plural itu juga telah mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang dinilai sangat diskriminatif dan tidak sesuai dengan norma-norma reformasi.

 

Pada masa kolonial Belanda, masyarakat Tionghoa di Indonesia juga sudah meminimalisasi pemakaian istilah Cina atau Tjina. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai publikasi dan percakapan-percakapan saat itu. Kenapa? Alasannya, istilah Cina saat itu dinilai merendahkan etnis keturunan Tionghoa.

 

Akan tetapi, pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, penggunaan istilah Tiongkok atau Tionghoa dilarang. Alasannya, istilah itu dinilai merugikan Indonesia. Imbasnya, disahkanlah Presidium Kabinet Ampera pada 25 Juli 1967, istilah yang boleh dipakai adalah Cina karena dinilai lebih disenangi rakyat Indonesia.

 

Terlepas dari persoalan historis pemakaian istilah Cina atau Tionghoa, kita perlu memahami juga perbedaan Cina, China, Tionghoa, dan Tiongkok.

 

Cina merupakan sebutan untuk orang yang berwarga negara China. Mereka setara dengan orang Jepang, Singapura, Malaysia, Eropa, maupun Amerika, yakni warga negara asing bagi Indonesia. China adalah penulisan resmi Kedutaan Republik Rakyat Cina, yang merujuk pada Republik Rakyat China jika dalam Bahasa Indonesia. Sementara itu, Tionghoa adalah warga negara Indonesia keturunan Cina. Mereka sama dengan orang Jawa, Batak, Madura, Sunda, atau suku-suku lain di Indonesia. Tiongkok adalah penyebutan negara China untuk Indonesia.

 

Dengan penjelasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok hanya ada di Indonesia. Dua istilah tersebut dipakai di Indonesia karena penyebutan istilah Cina dan China dinilai rasis berdasar pengaruh sejarah.

 

Setelah disahkannya Keppres No. 12 Tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hampir pada semua sektor pemerintahan maupun media, sudah tidak ada lagi penggunaan istilah Cina atau China. Mereka sudah menggunakan istilah resmi, yaitu Tionghoa dan Tiongkok.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Berislam ala Tionghoa, Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya terbaru Hew Wai Weng. Dapatkan info selengkapnya tentang buku tersebut di sini.

 

Kontributor: Widi Hermawan

Sumber gambar: voaindonesia.com

1 reply

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] menyudutkan posisi mereka secara politis dan budaya di Indonesia. Bahkan pada tahun 1967, muncul Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera yang menyatakan kalau istilah resmi bagi Tionghoa adalah […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta