Tag Archive for: nonfiksi

mengambil risiko

Berada di Zona Nyaman atau Mengambil Risiko?

Zona nyaman atau mengambil risiko? Hidup adalah tentang pilihan. Manusia sering kali merasa dilema terhadap banyak hal entah itu urusan kecil seperti memilih menu makan siang, sampai persoalan besar seperti harus tidaknya kita menikah. Menurutmu, mana yang lebih penting? Memilih sesuatu yang berada dalam jangkauan dan zona nyaman kita atau melompat ke dalam bara api yang penuh risiko?

Mungkin pertanyaan yang tepat bukanlah mana yang lebih penting, melainkan pilihan mana yang lebih bisa membantu kita berkembang. Apa pun pilihanmu, sadarilah bahwa dalam hal ini tidak ada jawaban yang salah atau benar. Semua punya hak untuk memilih. Perlu diingat juga, kita tidak seharusnya menghakimi pilihan orang lain atau berusaha menggurui bahwa satu opsi lebih baik dari yang lainnya.

“Melakukan apa yang kamu suka adalah kebebasan.

Menyukai apa yang kamu lakukan adalah kebahagiaan.”

 

zona nyaman

Mengambil Risiko dalam Zona Nyaman

Maudy Ayunda melalui bukunya, Dear Tomorrow, mengingatkan kita bahwa konsistensi yang perlu kita jaga dalam hidup adalah pertumbuhan positif dan pengembangan diri. Wanita kelahiran 1994 itu menulis bahwa terus-menerus berada di dalam zona nyaman juga ternyata berisiko. Risiko yang ia maksud adalah potensi dirinya untuk tumbuh dan berkembang akan terampas.

Jika sudah begitu maka istilah yang tepat bukan lagi zona nyaman, melainkan zona berbahaya, bukan? Inilah yang harus kita hindari.

Meskipun begitu, bukan berarti kita harus melulu mengambil risiko dalam setiap pilihan hidup kita. Berada di zona nyaman membantu manusia untuk menghargai lingkungan sekelilingnya, memberikan waktu untuk merancang langkah selanjutnya, dan memikirkan risiko apa yang harus kita ambil setelah ini.

Baca juga: Maudy Ayunda Beri Tips Lolos Beasiswa Luar Negeri

Atasi Rasa Takutmu Terhadap Perubahan

Ajukan pertanyaan ini pada dirimu sendiri setiap memulai hari, jika kau hanya bisa melakukan satu hal hari ini, apa yang akau kau lakukan?

Bagi Maudy, justru lebih menakutkan jika kita tidak tumbuh dan berkembang sebagai individu. Ambillah risiko! Ini adalah hak dan pilihanmu untuk memilih, jangan berikan celah bagi orang lain untuk mendikte hidup kita.

Lakukan apa yang membuatmu senang. Hal itu akan memotivasimu untuk melakukannya lagi dan lagi. Beberapa orang menemukan kebahagiaan dari suatu proses yang mereka jalani, tak peduli fakta bahwa mereka hebat atau buruk dalam hal tersebut. Namun bagi beberapa orang lain, kebahagiaan terletak pada hasil akhir yang dicapai. Lagi, tidak ada yang salah dari letak sebuah kebahagiaan seseorang.

Apa pun pilihanmu kelak, pastikan bahwa kamu tidak akan menoleh ke belakang dengan penyesalan. Tengoklah masa lalu dengan senyuman dan berterima kasihlah pada dirimu sendiri karena telah mengambil pilihan itu.

 

Kontributor artikel: Nur Aisyiah Az-Zahra.

omongan orang lain gambar perempuan berambut panjang dengan wajah blur dan ekspresi khawatir

Omongan Orang Lain, Haruskah Dipedulikan?

“Jangan pedulikan omongan orang lain tentang kamu!”

Sering, mendengar ucapan seperti itu?

Baik sadar atau tidak, kita kerap mendengarkan omongan orang lain. Terutama jika hal itu menyangkut diri kita sendiri. Hal ini pun mempengaruhi banyak aspek kehidupan kita: penampilan kita, keputusan yang kita ambil, sampai tindakan dan ucapan kita. Tidak jarang, kita batal melakukan sesuatu karena takut dengan omongan orang.

Sudah menjadi nasihat umum untuk tidak terlalu memedulikan anggapan orang lain. Tapi, kenapa, ya, kita bisa peduli sekali? Memangnya, apa, sih, yang kita dapatkan dari mendengarkan asumsi-asumsi orang lain?

 Baca juga: Hidup Terlalu Cepat? Coba 3 Tips Ini untuk Melambatkannya

 

Sudah Tertanam Jauh Sejak Zaman Nenek Moyang

Dulu, ketika nenek moyang masih hidup bersama hewan-hewan buas yang bertaring dan bergigi tajam, tidak seorang pun ingin ditinggalkan. Berkumpul dan diterima dalam satu kelompok menjadi hal penting untuk kelangsungan hidup.

Sekarang, walau ancamannya sudah bukan lagi hewan dan alam liar, kebutuhan untuk “diterima” tidaklah berubah. Ketika kita ingin diterima, kita pun kerap berujung mendengarkan—dan mengikuti—apa yang orang lain katakan. Alasannya sama, agar kita tidak merasa “ditinggalkan.”

 

Mencari Validasi

Pernah, tidak, kamu menerima pujian setelah melakukan sesuatu dan hal itu membuatmu senang bukan kepalang? Membuatmu termotivasi melakukan lebih demi mendapat pujian yang sama? Pujian adalah salah satu bentuk penerimaan—validasi— dari orang lain. Perasaan tervalidasi ini meningkatkan ego kita, baik secara sadar atau pun tidak.

Ketika kita menerima validasi, kita menjadi yakin telah melakukan hal yang benar. Kita yakin bahwa jika kita terus melakukan hal yang sama, validasi itu pun akan datang lagi. Karena hal itu membuat kita merasa lebih baik, kita pun cenderung terus mengejarnya.

 

Mendengarkan Omongan Orang Lain, Baik atau Buruk?

Walau mendengarkan omongan orang lain tidak dapat terhindarkan, ada saat ketika kita harus menyeleksi. Jika memang baik, kamu mungkin ingin mendengarkannya—kritik tentang pekerjaanmu yang dapat diperbaiki, bajumu yang terbalik, atau ritsletingmu yang terbuka. Tapi, ketika asumsi-asumsi orang ini mulai menginterupsi caramu hidup, atau lebih buruknya lagi, membuatmu meragukan diri sendiri, lebih baik kamu berhenti mendengarkan dan fokus pada kata hatimu.

 

Terkadang, bahkan ketika kita sudah berusaha mengabaikan omongan orang, hal itu masih mengganggu kita. Kita merasa takut akan penolakan yang datang dari mereka.

Kurniawan Gunadi, seorang pencerita yang kerap berbagi melalui situs blog dan akun Instagram, mengumpulkan keresahan mereka yang dirundung ekspektasi dan tuntutan orang lain ini menjadi satu buku berjudul Bising. Buku ini bisa kamu dapatkan mulai 5 November di Bentang Pustaka.

 

Cuplikan Bising:

Dulu sewaktu duduk di bangku SMP, aku begitu tak sabar ingin menjadi orang dewasa. Kukira, setelah dewasa, kita menjadi lebih leluasa, lebih bebas dalam membuat keputusan. Sesuatu yang tidak kumiliki saat menjadi anak-anak.

Kukira, menjadi dewasa akan membuat hidupku lebih bahagia.

Ternyata, semua itu omong kosong di hidupku.

 

Kontributor artikel: Anggarsih Wijayanti

Pembaca

Banyak Tipenya! Berikut Tipe-Tipe Pembaca Buku

Tak sedikit orang yang menjadi kegiatan membaca buku sebagai salah satu hobinya. Namun tak sedikit juga yang menjadikan kegiatan membaca sebagai kegiatan sampingan atau hanya sekadar iseng mengikuti tren. Hal tersebut yang mengakibatkan muncul banyaknya tipe pembaca buku. Berikut tipe-tipe pembaca buku, kamu yang mana, nih?

Si Dedikasi! Pembaca Buku Berseri

Biasanya terdapat jenis buku yang saling terkait. Mulai dari trilogi, tetralogi, atau sekadar sekuel dan prekuel dari suatu buku. Para pembaca berdedikasi ini yang biasanya merasa wajib membaca keseluruhan buku terkait. Misalnya seperti Supernova dari Dee Lestari, ataupun tetralogi Muhammad dari Tasaro GK, hingga buku-buku Andrea Hirata.

Si Setengah-Setengah Udah Ganti

Ini merupakan tipe mereka yang baru membaca setengah atau bahkan kurang sudah memilih ganti buku. Biasanya mereka hanya semangat dan tertarik di awal, namun ketika di tengah perjalanan cerita atau isi buku berbeda dengan ekspektasi, mereka memilih berganti haluan.

Si Suka Nonton Dulu Baru Baca

Biasanya mereka para pembaca yang mulai tertarik membaca setelah menonton film yang diadaptasi dari buku tersebut. Misalnya buku Laskar Pelangi, Rudy Habibie, ataupun Maze Runner.

Si Nggak Bisa Move On! Pembaca Ulang

Tipe yang satu ini tipe membaca yang nggak bisa move on banget dari bacaan-bacaan sebelumnya. Mereka biasanya merasa buku yang sudah selesai dibaca masih sangat menarik, entah karena jalan cerita ataupun berbagai aspek di dalamnya.

Si Tukang Spoiler

Pembaca yang satu ini biasanya mereka sengaja mencari spoiler. Mulai dari ulasan di internet, hingga membaca beberapa halaman terakhir di bagian akhir buku. Namun tak hanya sampai di situ! Mereka bahkan juga kerap menyebarkan spoiler kepada teman atau pembaca di sekitarnya yang notabene belum menyelesaikan bacaan atau buku mereka.

Si Pembaca Fiksi

Sudah jelas kan kalau mereka ini merupakan tipe yang suka banget dengan fiksi. Pastinya mereka suka cerita-cerita fantasi, yang tentu saja dapat dinikmati melalui buku-buku fiksi. Seperti kisah dalam Supernova, Aroma Karsa, Pangeran Dari Timur, hingga terbitan terbaru Bentang Pustaka, yaitu Al-Masih: Putra Sang Perawan.

Si Pembaca Nonfiksi

Kebalikan dari si penyuka fiksi, para pembaca nonfiksi biasanya merupakan orang-orang yang lebih realistis. Mereka mencari inspirasi dari bacaan mereka. Kamu bisa menemukan buku-buku nonfiksi di Bentang Pustaka tentunya, mulai dari karya-karya Cak Nun, Gus Nadir, hingga Marie Kondo lho!

Si Pembaca Baperan

Haduh! Pembaca yang satu ini biasanya mereka yang terlalu menyelam dalam sebuah cerita. Mereka terlalu terbawa suasana dalam kisah dalam buku bacaan mereka. Tak jarang mereka menangisi beberapa kisah dan kejadian di dalam buku. Atau bahkan mereka mulai mengidolakan tokoh-tokoh di dalamnya sampai pada level fanatik.

Si Anggota Klub dan Komunitas

Tak hanya berdiam diri menikmati sebuah bacaan, tak jarang orang-orang akan mencari orang lain yang memiliki preferensi bacaan yang sama. Karenanya, tak sedikit juga komunitas dan klub bacaan yang beredar. Selain menjadi hobi yang positif, hal ini juga dapat membangun relasi dengan orang-orang baru lho!

Nah, berikut merupakan tipe-tipe pembaca buku. Kalau kalian yang mana, nih? Ingin mendapatkan buku-buku menarik dari Bentang Pustaka? Caranya gampang banget! Langsung menuju ke mizanstore.com atau melalui TBO (Toko Buku Online) kesayangan kalian semua di linktr.ee/Bentang tentunya banyak promo menarik, lho!

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

kutu buku perempuan sedang membaca buku

Kamu Kutu Buku? 8 Hal Ini Pasti Pernah Kamu Lakukan

Kalau kamu suka baca buku, pasti kamu pernah melakukan 8 hal-hal ini. Bertahun-tahun menjadi kutu buku membuat kita telah mengarungi berbagai macam suka duka, betul?

 Baca juga: Mitos-Mitos tentang Kutu Buku yang Sebenarnya Benar

 

Ikutan Malu Waktu Tokohnya Melakukan Hal Bodoh

Ketika tokoh kesukaan kita mengatakan atau melakukan sesuatu yang konyol, yang kita harap tidak akan mereka lakukan, tapi mereka tetap mengatakan atau melakukannya … kita jadi ikutan malu. Kadang-kadang sampai harus menutup buku karena nggak kuat malunya.

 

Selalu Kehilangan Pembatas Buku

Barusan ditaruh, pas banget di samping bantal, lha, udah hilang lagi. Sepertinya kita butuh penemuan khusus untuk kutu buku supaya nggak kehilangan pembatas buku terus-terusan.

 

Ngecek Tinggal Berapa Halaman

Kita punya dua sisi: sisi yang nggak mau buku kesukaan kita berakhir begitu cepat, dan sisi yang pengen buruan selesai baca. Kepuasan yang membludak ketika kita sampai di halaman terakhir chapter? Mantap. Waktu kita sampai di halaman terakhir buku? Dobel mantap.

 

Sakit Leher dan Mata Cenat-Cenut

Membaca buku meningkatkan kesehatan mental kita. Tapi membaca buku juga membuat kita sakit leher karena kebanyakan nunduk dan mata cenat-cenut karena baca sambil tiduran.

 

Pengin Meluk Sekaligus Ngamuk ke Penulisnya

Dengan segenap jiwa raga, kita menyayangi penulis yang menulis buku-buku kita. Kita berterima kasih atas semua keringat dan darah yang telah mereka curahkan untuk membangun dunia fantasi yang kita sukai. Tapi, ketika karakter kesukaan kita menderita … rasanya pengin ngamuk aja.

 

Balik ke Halaman Sebelumnya

Matanya, sih, baca, tapi pikirannya ke mana-mana. Setelah lewat beberapa halaman, baru sadar kalau dari tadi baca sambil bengong. Terpaksalah balik ke halaman sebelumnya buat baca ulang.

 

Nggak Sengaja Lihat Bagian Bawah Halaman

Sangat membuat emosi. Padahal udah menjaga diri dari jagat raya internet supaya nggak kena spoiler, eh, pas baca, mata nggak sengaja ngelihat bagian bawah halaman. Kita jadi nggak sengaja membaca apa yang tertulis di situ dan sukses nge-spoiler diri sendiri. Hhhh.

 

Mencari Sekuel atau Prekuelnya

Ketika ada buku yang menarik hati kita, kita jadi penasaran apakah buku ini punya kelanjutannya. Nah, kalau kamu lagi berburu buku-buku tersebut, Mizan sedang mengadakan acara Moms Literacy Expo. Atau, bisa juga kunjungi pameran IIBF 2020 di Shopee. Buku-buku incaranmu lagi diskon sampai 90%, lho.

 

Hal-hal apa lagi yang kamu lakukan ketika membaca buku?

 

Kontributor artikel: Anggarsih Wijayanti

Sakit Hati Berkepanjangan

Sakit Hati Berkepanjangan? Kendalikan Diri dengan Ekspektasimu Sendiri!

Sakit hati, gundah gulana, bahkan hingga merana, tentunya pernah kita alami, dong, ya? Nah, kalau semisal kita berkaca dari pengalaman yang sebelumnya, sering kali gambaran yang ada memperlihatkan kondisi di mana kita selalu menyalahkan orang lain saja, lalu diri kita sendiri membiarkan kondisi tersebut seolah-olah menjadi sebuah pembenaran tanpa ada koreksi diri. Betul atau benar?

Tanpa disadari, hal-hal yang sering membuat kita sakit hati, gundah gulana, bahkan hingga kita merana tersebut merupakan sebuah aksi-reaksi dari diri kita sendiri, tepatnya si ekspektasi. Loh, kok bisa? Ya, semua berawal dari kurangnya kita menyadari akan sesuatu di mana hal-hal mana saja yang harusnya menjadi kendali kita dan yang tidak seharusnya menjadi kendali kita di dalam hidup.

Ketika mulai menulis artikel ini, saya disadarkan dengan sepotong kutipan dari Epictetus, filsuf Stoa yang turut menjadi bagian dari isian buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Kutipannya seperti ini:

Some things are up to us, some things are not up to us” –Epictetus (Enchiridion)

Baca Juga: Introspeksi Diri: Sudahkah Dirimu Berkaca pada Langkahmu Sendiri?

Sakit Hati Akibat Terobsesi pada Hal Luar

Perlu ditelaah baik-baik, teman-teman, ada beberapa hal yang bukan menjadi kendali kita di dalam kehidupan. Seperti tindakan orang lain (kecuali tentunya dia berada di bawah ancaman kita), opini orang lain, reputasi/popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi saat lahir, dan segala sesuatu di luar pikiran & tindakan kita.

Gampangnya, kan, semacam, kebahagiaan itu tercipta dari dalam diri. Kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan–apa pun dan bagaimana pun bentuknya–pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Tolong, jangan menaruh harapan lebih pada hal-hal luar. Hal itu hanya akan berujung pada hati yang sakit berkepanjangan jika tak sesuai dengan ekspektasi kita.

Saya menyukai lanjutan ujaran Epictetus, “Siapa pun yang mengingini hal-hal yang ada di luar kendalinya tidak pernah akan benar-benar merdeka dan bisa setia pada dirinya sendiri, tetapi akan terombang-ambing terseret hal-hal tersebut.”

Kendali Bukan Berarti Hanya Soal “Memiliki”, tetapi Juga “Mempertahankan”

Sakit hati bisa kita terima begitu gampangnya, saat menemukan hal-hal di luar kendali yang kita urusi. Padahal, itu bukan tanggung jawab kita. Toh, kebahagiaan hidup kita sangat tidak rasional jika selalu bergantung pada ekspektasi orang lain atau hal-hal di luar kendali diri kita.

Jangan sampai kita diperbudak oleh pikiran kita sendiri. Jiwamu harus merdeka. Pikiran kita, ya, milik kita sendiri. Kita punya otoritas akan hal tersebut. Kenyataannya, apa pun itu yang ada di luar kendali kita (kekayaan, kesehatan, atau semua hal yang kita harapkan) bisa diusahakan untuk dimiliki, tetapi apakah kita yakin bisa sepenuhnya mempertahankan?

Temukan filosofi hidup lainnya dalam buku yang bertajuk Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui masa pre-order-nya dari tanggal 1-11 Oktober 2020 di Bentang Pustaka, ya. Nantikan segera dan selamat berproses menjadi manusia yang seutuhnya!

Pamungkas Adiputra.

 

Introspeksi Diri: Sudahkah Dirimu Berkaca pada Langkahmu Sendiri?

Introspeksi diri bagi beberapa orang menjadi sebuah kelalaian yang sering terjadi. Bercakap dengan lantang, namun enggan untuk membuka diri demi kesiapan yang matang. Benar, kesiapan diri ketika akan menginjak proses pendewasaan. Cukup rumit, bisa dijabarkan?

Sebuah proses introspeksi diri itu berkaitan juga dengan proses menghargai diri sendiri dan hal-hal yang ada di sekitar kita. Bagaimana sudut pandang kita arahkan dengan sebijak mungkin, tanpa ada hati yang merasa tersakiti, termasuk kita.

Kadang kala, introspeksi diri menjadikan kita bisa becermin terhadap diri sendiri, tanpa harus menyalahkan orang lain dalam suatu kondisi yang kita alami. Namun, bagaimana proses yang tepat? Apakah kita sudah mampu menjadikan diri kita sebagai tumpuan bijak? Mulai sekarang, renungkan hal-hal kecil yang mampu menjadikan dirimu lebih bisa menatap lebih dalam arti sebuah kehidupan, salah satu halnya dengan berbenah diri atau koreksi diri.

Baca Juga: Kontrol Diri, Mengendalikan Marah dengan Beberapa Pesan dari Seneca, si Filsuf Stoa

Introspeksi Diri dengan Mengurangi Penghakiman Diri

Era kini memang segalanya bisa cas cis cus dengan gampang, namun tentunya tidak bisa diselaraskan dengan penghakiman. Belum terbukti suatu kabar atau berita perihal kebenarannya, kita sudah bersuara dengan lantang saja, seolah-olah sudah seperti sumber utama. Alhasil, memberikan justifikasi tersendiri. Iya kalau benar, bagaimana jikalau salah?

Introspeksi diri yang paling awal dengan menghindari adanya penghakiman diri, baik terhadap diri sendiri dan orang lain. Memberikan tafsiran tersendiri tanpa mengetahui kebenarannya sesungguhnya hanya merugikan kita sebagai manusia yang sebenarnya sudah dibekali dengan akal dan pikiran yang bisa digunakan untuk berwawasan luas.

Jadikan Dirimu sebagai Alarm Diri

Kalau hidup itu perihal saling mengingatkan, berarti diri kita bisa dijadikan sebagai sebuah perantara antar-ikatan. Ikatan dengan diri sendiri, alam, dan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta. Sikapilah hal-hal yang membuat kita lupa diri dengan rendah hati. Jangan selalu menuntut semesta harus berbaik hati ini-itu kepada kita, justru kitalah yang semestinya menjadi roda penggerak utama (setelah Sang Pelaksana, Tuhan, mengilhami kita).

Baik buruknya tingkah laku atau perkataan juga cerminan diri. Penilaian sepenuhnya ada pada orang-orang yang melihatnya. Kita, sebagai sosok si pemiliki diri, wajibnya menunaikan hal-hal yang tidak lebih dari batasnya. Maka dari itu, adanya introspeksi berguna untuk menuntun kita ke arah yang lebih baik dari kehidupan sebelumya.

Bentuklah karakter diri yang mampu selaras dengan bumi. Jadilah manusia yang mampu mengilhami jiwa dan raga dalam ruhnya. Temukan filosofi hidup lainnya dalam buku yang bertajuk Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui masa pre-order-nya di Bentang Pustaka pada tanggal 1-11 Oktober 2020 mendatang.

Selamat berproses, ya!

Pamungkas Adiputra.

Kontrol diri dengan Menyikapi Kemarahan

Kontrol Diri, Mengendalikan Marah dengan Beberapa Pesan dari Seneca Berikut Ini!

Kontrol diri atau self control itu apa, sih? Memangnya begitu penting? Bukankah kita bisa membuka mata dan sadar sudah lebih dari cukup? Baik, apakah dirimu pernah atau sering dirundung pilu? Entah apa pun itu penyebabnya, yang jelas di situlah peran kontrol diri yang sebenarnya ada dan bekerja.

Kontrol diri adalah salah satu hal yang wajib dimiliki oleh setiap insan. Kontrol diri berguna untuk kendali diri. Jika seorang insan tak memiliki kendali diri, ia akan lepas kendali. Alhasil, berbagai pergolakan dalam hidup yang dijalaninya menjadi tak karuan.

Bagaimana bisa kita meraih tujuan dalam hidup, semuanya kembali lagi pada kontrol diri. Jika kita tak bisa mengatur kontrolnya, bagaimana pula kita bisa mencapai segala angan yang ada? Kontrol diri erat kaitannya dengan mengendalikan emosi, salah satunya kemarahan–yang mana menjadi problematika fundamental bagi kita semua.

Kemarahan bisa menjadi salah satu irisan bahasan penting dari kontrol diri, karena kemarahan bisa merusak tatanan sosial jika tak diselesaikan dengan kita menyadarinya terlebih dahulu. Seneca, seorang filsuf Stoa, turut membagikan seni dalam mengendalikan diri, terutama mengatur kemarahan, untuk kita sebagai manusia yang bersifat sosial.

Ambil Jeda, Tunggu Sejenak

“Obat terbaik untuk amarah adalah menunggu, supaya emosi yang semula tersulut dapat reda dan kabur yang menyelubungi benak sirna,” tutur Seneca. Benarnya memang seperti itu, namun sering kita temui dalam beberapa kasus–termasuk saya dan Sahabat Bentang–sering tersulut kemarahan terlebih dahulu.

Ke depannya, bisa kita jadikan catatan untuk diri sendiri, jikalau sedang menyadari ada kemarahan yang membara dalam diri, segera menarik napas dan mengembuskan napas scara perlahan. Lalu, bisa juga ditambah dengan meminum air putih sebagai penenang pikiran.

Baca Juga: Masalah Tak Kunjung Usai, Buku Ini akan Menyelamatkanmu

Kontrol Diri dengan Mencatat Pemicunya

Kontrol diri selanjutnya yaitu mengetahui pemicunya. Setelah cukup tenang dengan mengambil jeda dan minum segelas air putih, mulai telusuri secara perlahan, apa saja yang menjadi trigger atau pemicu dari kemarahan tersebut.

JANGAN NGAMUK DAHULU! Setelah tahu penyebab awalnya, jangan memberikan judgment terlebih dahulu terhadap penyebab awal tersebut. “Paham betul jika segi sensitif setiap orang berbeda-beda, maka kamu harus tahu dahulu sisi lemah pribadimu,” lanjut tuturan Seneca.

Tersenyumlah

Kalau sudah terjadi, mau diapakan?

Ya, biarkan saja. Tugas kita yang terakhir yaitu dengan memberikan senyuman terhadap segala hal yang terjadi. Negatif, buruk, ataupun kurang mengenakkan keadaan itu hanya sebatas interpretasi kita. Bagaimana pun keadaannya, ambil saja hikmah yang sudah terjadi. Misalkan saja kita bisa belajar dari kejadian tersebut agar tidak terulang kembali pada masa mendatang.

Tentunya, langkah terakhir ini tidak serta-merta hanya menyuruh kita melebarkan mulut ke kanan dan ke kiri agar terlihat manis secara visual saja, melainkan juga dengan menyadari betul setiap hal agar kita mengilhaminya tanpa ada sebuah keraguan. Jika dengan senyuman kita bisa melakukannya dengan sebuah keikhlasan, cepat atau lambat pun batin juga ikut terlunakkan.

3 kunci dari Seneca di atas rasanya sudah cukup menjadi poin penting agar kita lebih peduli dengan kontrol diri sendiri, terutama mengatur kemarahan kita. Jika tak bisa dikurangi sepenuhnya, baiknya dikurangi intensitasnya.

Temukan filosofi hidup lainnya dalam buku bertajuk Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui masa pre-order dari Bentang Pustaka. Tunggu tanggal mainnya dan selamat berproses menjadi insan yang seutuhnya, ya!

Pamungkas Adiputra.

 

 

tips-menumbuhkan-minat-baca

Jangan Mager! Berikut Tips Menumbuhkan Minat Baca

Membaca merupakan kegiatan yang cukup umum dan hampir semua orang melakukannya. Entah mereka yang membaca sebagai hobi, pekerjaan, atau hanya sekadar tidak sengaja membaca sesuatu. Kita mengenal pribahasa bahwa buku merupakan jendela ilmu. Benar saja! Secara nyata kita akan mendapatkan berbagai ilmu baru jika kita membaca sebuah buku, maupun informasi lain dari bacaan seperti berita di surat kabar hingga media sosial. Namun ternyata di Indonesia minat baca masih tergolong rendah.

Menurut data UNESCO pada 2016, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Minat baca Indonesia berada di peringkat 60, hanya satu tingkat di atas Botswana, salah satu negara di Afrika yang berada di peringkat 61. Maka dari itu, Mintang akan memberikan beberapa tips untuk meningkatkan minat baca. Berikut tips untuk menumbuhkan minat baca.

Mengalokasikan Waktu Khusus Untuk Baca

Kebanyakan orang akan beralasan bahwa mereka tidak memiliki waktu membaca. Apakah ini benar? Padahal kita semua sama-sama memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Tidak perlu mengalokasikan waktu yang banyak hingga berjam-jam. Tapi cobalah untuk memberi sedikit waktu dalam sehari untuk membaca. Entah itu membaca berita di pagi atau sore hari, membaca kabar di media sosial ketika jam istitrahat, ataupun membaca buku yang sedang kamu gemari ketika sebelum tidur.

Memiliki Daftar Buku Populer dan Rekomendasi Bahan Baca

Jika kamu ingin membaca buku dan sedang bingung, cobalah cari rekomendasi buku populer. Kamu bisa melihatnya di beberapa situs seperti goodreads.com ataupun melalui instagram @bentangpustaka lho!

Manfaatkan Waktu Menunggu

Untuk kalian yang benar-benar merasa tidak ada waktu untuk membaca, cobalah cara berikut ini. Manfaatkan waktu menunggu yang senggang. Dari pada kalian hanya bosan ketika menunggu, seperti menunggu kereta, menunggu makanan datang dan lainnya, cobalah isi waktu dengan membaca. Beberapa menit saja cukup. Hal ini akan membuat kalian terbiasa membaca dan menjadi kebiasaan yang baik.

Belajar Effective Reading dan Membuat Target Membaca

Melalui effective reading kamu akan mencoba memahami intisari dari setiap bacaan. Hal ini berguna juga untuk pekerjaan-pekerjaan kalian yang diharuskan membaca beberapa instruksi terlebih dahulu. Jangan lupa juga untuk membuat target membaca. Misalnya menargetkan dalam seminggu membaca 1 buku. Kemudian di minggu berikutnya intensitas dan target bacaan dapat ditingkatkan.

Bergabung dan Berdiskusi dengan Komunitas

Jika kalian merasa sangat gemar dengan suatu buku atau bacaan, carilah komunitasnya! Hal itu akan membuka jalur untuk menemui orang baru dan bahan bacaan baru juga. Diskusi di dalam komunitas juga akan membuka wawasan dan berbagai perspektif.

Hal-hal di atas dapat kalian coba untuk menumbuhkan minat baca. Yuk lestarikan budaya membaca! Baca juga buku-buku dari Bentang Pustaka yang dapat kalian temukan di mizanstore.com dan juga linktr.ee/Bentang. Mintang tunggu review bacaan dari kalian! Semoga bermanfaat.

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

Profesionalitas Bekerja

Profesionalitas dalam Bekerja untuk Hasil Maksimal

Profesionalitas dalam bekerja kerap disinggung di berbagai kesempatan. Menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesionalitas termasuk kata benda yang berarti (1) perihal profesi; keprofesian dan (2) kemampuan untuk bertindak secara profesional. Profesional sendiri memiliki arti antara lain, memerlukan kepandaian khusus untuk melakukannya. Profesionalitas juga tidak pandang bulu. Ia tidak melulu monopoli pekerja sektor tertentu. Semua jenis pekerjaan membutuhkan profesionalitas untuk memberikan hasil paripurna. Namun, bagaimana sebetulnya memaknai profesionalitas dalam keseharian di bidang usaha?

Menghayati Profesionalitas dalam Dunia Riil

Rantai Tak Putus mengangkat banyak kisah tentang profesionalitas dalam bekerja. Melalui kisah Agus di Waru, misalnya, kita belajar arti menepati janji kepada klien. Diceritakan bahwa Agus menang tender dengan nilai yang sangat besar, padahal saat itu modal untuk berproduksi sudah sangat menipis. Demi profesionalitas, dia harus mulai berproduksi dengan modal seadanya. Profesionalitas pula yang membuat Agus pontang-panting ke sana kemari mengupayakan modal tambahan hingga berusaha mendapatkan bahan-bahan produksi dengan harga miring.

Profesionalitas dalam diri Agus agaknya tidak lepas dari karakternya yang ulet dan berkemauan keras dalam mencapai tujuan. Namun, sekadar ulet dan berkemauan keras tidaklah cukup. Agus memiliki pula semangat tinggi untuk menambah wawasan baru, sehingga memberinya kesempatan untuk terus mengasah profesionalitasnya.

Profesionalitas dan Passion

Profesionalitas dalam bekerja juga merupakan penopang yang akan menghidupi passion, begitu setidaknya yang diyakini Pinuji, seorang pengusaha bengkel di Waru. Kecintaannya pada otomotif memungkinkannya bertahan mengelola Bengkel of Pinujie. Mengawali usaha bengkel dari nol, Bengkel of Pinujie mengalami banyak cerita jatuh bangun. Pinuji bahkan sempat menyerah dan mencoba banting setir menekuni profesi lain, dari satpam sampai mencoba mendaftar menjadi TKI. Namun, rupanya pesona otomotif masih terlampau kuat. Pinuji akhirnya memutuskan kembali menekuni dunia otomotif.

Namun, passion saja tidaklah cukup. Seperti yang diceritakan kepada Dee Lestari dalam riset penulisan buku Rantai Tak Putus, Pinuji mulai menjalankan bisnis otomotif dengan lebih profesional. Dia membenahi sistem pelayanan, sistem ketenagakerjaan, hingga keuangan. Memang, seperti disebutkan oleh Siti, istrinya yang membantu menangani keuangan, passion membuat Pinuji menjadi tetap tabah mencari jalan keluar setiap ada masalah dalam pekerjaan. Pendapat ini digongi oleh Pinuji. Dia juga sepakat bahwa passion yang tidak dikelola dengan baik akan membuat sulit maju, dan kombinasi dengan profesionalitas akan makin melejitkannya menuju puncak.

Profesionalitas dan UMKM

Kedua contoh di atas menunjukkan pentingnya profesionalitas dalam dunia bekerja. Dalam kasus UMKM Indonesia, menularkan semangat yang menjunjung tinggi profesionalitas merupakan langkah yang tak kalah pentingnya. Menurut data BPS, persentase UMKM di kalangan seluruh unit usaha lain di Indonesia adalah 99,9%, menyumbangkan pendapatan negara hingga sekitar 60%. Jika 99,9% UMKM itu naik kelas–yang tadinya usaha mikro naik menjadi usaha kecil, usaha kecil naik menjadi usaha menengah, dst. Sudah barang tentu akan makin besar jumlah kontribusi yang diberikan ke perekonomian Indonesia. Bukan hanya itu, seperti kata Dee Lestari dalam Rantai Tak Putus,  ketika UMKM naik kelas maka sama artinya menyejahterakan masyarakat.

Rantai Tak Putus, bisa dibilang merupakan bentuk kontribusi Dee Lestari untuk kemajuan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) Indonesia. Pembaca akan melihat bahwa menularkan semangat profesionalitas ke para pengusaha UMKM Indonesia akan membantu mereka untuk berkembang makin maju.

Rantai Tak Putus, buku terbaru Dee Lestari, merupakan karya nonfiksi kedua setelah pada 2019 menulis Di Balik Tirai Aroma Karsa. Buku yang dipandang memberikan banyak tantangan ini membahas perkembangan UMKM di Indonesia.

Buku inspiratif ini terbit pada Agustus 2020 dan bisa didapatkan di seluruh toko buku terdekat atau toko buku online kesayangan Anda dengan harga Rp79.000,00.

 

Tips Menulis Nonfiksi Populer

Tips Menulis Buku Nonfiksi ala Dee Lestari

Tips menulis buku nonfiksi mungkin bisa kita temukan di mana-mana. Namun, bagaimana jika tips ini berasal dari Dee Lestari, penulis novel laris Aroma Karsa? Karya terbarunya, Rantai Tak Putus merupakan buku nonfiksi bergenre inspirasi yang mengungkapkan kisah sejumlah pejuang UMKM, dari pengusaha maupun tim pembina. Namun, bagaimanakah cara Dee Lestari menulis buku nonfiksi genre inpirasi berjudul Rantai Tak Putus ini? Yuk, kita simak.

Tips Menulis Nonfiksi Populer

Bagaimana tips menulis nonfiksi dari Dee Lestari penulis Rantai Tak Putus?

Mengikat Tulisan

Tips menulis buku nonfiksi poin pertama adalah mengikat tulisan. Bergantung genre yang dipilih. tulisan harus diikat sedemikian rupa sehingga pembaca mau membagi kepedulian dan atensinya untuk meluangkan waktu membacanya. Untuk itu, tulisan harus memiliki struktur yang baik.
Ketahui dulu bagaimana struktur tulisan yang akan kita kembangkan. Mana bagian pembuka, mana isi, mana kesimpulan, dan sebagainya. Jika sudah memahaminya, kita akan mudah menempatkan materi tulisan sesuai porsinya. Tidak lupa pula, setiap paragraf harus saling berkaitan. Setiap paragraf atau bagian akan mendorong pembaca terus menyimak paragraf atau bagian selanjutnya.

Membuat Kalimat yang Memiliki Rasa

Tips menulis buku nonfiksi poin kedua adalah menyusun kalimat yang tidak sekadar bermakna, tetapi juga punya rasa. Bagaimana caranya? Manfaatkan sebanyak mungkin kosakata. Jangan pernah bosan berlatih membuat kalimat, bahkan bereksperimen dengan struktur kalimat.
Sebagai bahan belajar, kita bisa membaca buku sebanyak-banyaknya. Untuk menulis nonfiksi sekalipun, tidak diharamkan pula untuk belajar dari buku fiksi dengan tujuan memperkaya diksi atau pilihan kata. Selain itu, melalui novel fiksi, kita bisa belajar cara menggunakan kata-kata secara powerful untuk menggambarkan sebuah peristiwa. Kemampuan ini akan berguna untuk membantu menulis buku nonfiksi, antara lain motivasi, inspirasi, biografi, dan autobiografi.
Rantai Tak Putus, sebuah buku inpirasi karya terbaru Dee Lestari, dibuka dengan kisah Agus yang mengalami cedera saat bekerja. Dee Lestari menceritakannya dengan dramatis seperti yang banyak ditemukan dalam novel.

Meminimalkan Distorsi dalam Menulis Nonfiksi

Sering kali apa yang ingin kita sampaikan lewat tulisan justru ditangkap berbeda oleh pembaca. Ada banyak penyebab terjadinya distorsi ini, misalnya pemakaian kosakata yang tidak tepat. Untuk itu, perbanyak membaca buku. Dari situ akan ada banyak kosakata baru yang diperoleh. Sesuaikan juga kosakata yang digunakan dengan target pemmbaca maupun tema. Untuk buku-buku yang sifatnya sangat teknis, penggunaan terminologi yang tepat akan membantu meminimalkan distorsi.

Dalam Rantai Tak Putus, Dee Lestari menggunakan banyak istilah manufaktur, bengkel, hingga manajemen UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Namun, mengingat pembaca buku ini pastilah sangat beragam, Dee Lestari tidak sungkan pula untuk menjelaskannya panjang lebar, misalnya untuk istilah manufaktur aftermarket. Dengan demikian, pembaca tidak akan kesulitan mengikuti paparan Dee Lestari mengenai dinamika UMKM di Indonesia, salah satunya dalam sektor manufaktur.

Sering Menulis

Meskipun demikian, dari semua tips di atas, yang terlebih penting adalah sering menulis. Membiasakan diri untuk menulis bisa jadi tidak mudah bagi sebagian besar kita. Dee Lestari memberikan tips untuk membiasakan diri menulis. Jadi, selalu tetapkan sejumlah waktu tertentu, misalnya 15 menit sehari untuk menulis. Jaga selalu komitmen untuk tetap menulis selama 15 menit tersebut. Jika sudah terbiasa, tambahkan lagi waktunya atau bahkan menggantinya dengan target halaman.
Buku nonfiksi yang bagus akan selalu dikenang pembacanya. Biasanya karena ada yang diberikan kepada pembaca, entah informasi, wawasan, perspektif baru, atau malah inspirasi seperti yang dituangkan dalam Rantai Tak Putus. Buku inspiratif ini terbit pada Agustus 2020 dan bisa didapatkan di seluruh toko buku terdekat atau toko buku online kesayangan Anda dengan harga Rp79.000,00.

© Copyright - Bentang Pustaka