Sekelumit Perkenalan tentang Jurnalisme Islam | Review Buku

Bahasan tentang jurnalisme dan media massa, yang terkoneksi nilai-nilai keislaman dengan kekayaan corak dan sudut pandang, menarik perhatian seorang peneliti asal Amerika Serikat bernama Prof. Janet Steele. Akademisi dari Universitas Goerge Washington itu melakukan pengamatan di sejumlah kantor berita yang ada di Indonesia maupun Malaysia. Dalam studi pemberitaan tentang Islam, dikenal setidaknya tiga latar belakang pemuatan kabar. Yakni, superioritas Islam, tudingan kebobrokan umat Islam golongan tertentu, dan kabar baik atau buruk tentang Islam yang dimuat seobjektif serta seprogresif mungkin.

Bila dalam kajian tasawuf, dikenal tiga latar belakang dalam menjalankan ketakwaan, yakni, ketakutan pada neraka, motivasi meraih surga, dan kecintaan yang tulus pada Tuhan, dalam studi pemberitaan tentang Islam, dikenal setidaknya tiga latar belakang dalam pemuatan kabar. Yakni, superioritas Islam, tudingan kebobrokan umat Islam golongan tertentu, dan kabar baik atau buruk tentang Islam yang dimuat seobjektif serta seprogresif mungkin.

Masing-masing latar belakang, memiliki kantor-kantor media partisan yang sejak awal secara khusus mewartakan soal isu-isu tadi, dengan kepentingan yang tentu berbeda-beda. Mulai dari kepentingan yang berlandaskan ideologi agama, ekonomi bisnis, politik, dan lain sebagainya.

Perusahaan media melakukan framing dengan peran yang diistilahkan McQuail (Mass Communication Theories, 4th Edition, 2000) sebagai filter atau gatekeeper. Jadi, media memilihkan khalayak tentang apa-apa yang pantas diketahui dan mendapat atensi publik, dengan patokan bedasarkan subjektifitas pengelola media tersebut.

Senyampang itu terjadi, khususnya di negara berpenduduk muslim mayoritas seperti Indonesia dan Malaysia, problem seputar Islam selalu menarik untuk didiskusikan. Pasalnya, belakangan ini Islam tidak hanya menjadi urusan domestik pemeluknya. Namun seakan telah terkomodifikasi dengan aneka macam distorsi. Sehingga muncul istilah ekonomi syariah, sementara bank-bank yang menamakan diri syariah banyak pula yang masih menyusu pada bank konvensional.

Juga ada istilah politik Islam, sementara mereka yang mengklaim sebagai politisi atau pegiat politik Islam justru menampakkan ujaran kebencian, ghibah, bahkan fitnah pada lawan politik. Termasuk, istilah musik religi jelang Ramadan, padahal sebagian musisinya mungkin saja masih sering ke diskotek, minum bir, menghisap ganja, dan gonta-ganti pacar.

Bahasan tentang jurnalisme dan media massa, yang terkoneksi nilai-nilai keislaman dengan kekayaan corak dan sudut pandang, menarik perhatian seorang peneliti asal Amerika Serikat bernama Prof. Janet Steele. Akademisi dari Universitas Goerge Washington itu melakukan pengamatan di sejumlah kantor berita yang ada di Indonesia maupun Malaysia. Juga, mewawancarai sejumlah responden atau jurnalis yang beragama Islam di dua Negara itu kemudian merangkum semua yang didapatkannya dalam Mediating Islam, Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara. Buku ini merupakan terjemahan dari versi berbahasa Inggris yang sudah lebih dulu terpublikasi di Singapura dan Amerika Serikat.

Perusahaan media yang dijadikan jujukan penelitiannya di Indonesia antara lain Republika yang mengambil segmen utama kaum muslimin, Tempo yang mengusung semangat pluralisme progresif, serta Sabili yang gencar memberitakan dakwah dan dianggap sebagian kalangan keras dalam beragama. Sedangkan perusahaan media dari Malaysia antara lain, Harakah yang memiliki wartawan dengan afiliasi partai politik Islam, serta Malaysiakini yang dikenal sebagai media independen oposisi.

Salah satu temuan perempuan yang meraih gelar Doktor dari Universitas Johns Hopkins ini, seperti yang diungkapkannya dalam bedah bukunya di Jakarta Maret lalu, adalah kenyataan bahwa sejumlah wartawan tidak hanya menganggap pekerjaan sebagai tanggungjawab sosial. Melainkan pula, tanggungjawab spiritual yang berkaitan dengan ibadah pada Tuhan.

Meski bila berkaca pada kenyataan dewasa ini, idealisme semacam itu rentan untuk ditunggangi aneka kepentingan. Bisa jadi, kepentingan dari owner atau pemilik modal, untuk mendapat pengaruh di aspek ekonomi, bisnis, maupun politik. Terlebih, tak sedikit perusahaan media massa di Indonesia yang memiliki bos merangkap ketua partai.

Riset yang dilakukan Steele ini menjadi begitu memikat karena dia menarik kesimpulan, apa yang dilakukan wartawan muslim, baik di Indonesia maupun Malaysia, dalam mengawal pengungkapan kasus kejahatan, termasuk korupsi, mirip dengan falsafah jurnalisme anjing penjaga yang ada di Barat. Meski bisa jadi, strategi yang ditempuh bakal berbeda.

Sejarah modern di Indonesia maupun Malaysia membuktikan, keadilan, kebebasan, dan demokrasi yang sehat tidak akan terwujud tanpa media yang independen. Steele menegaskan, dalam beberapa hal, Islam memang memiliki batasan-batasan selayaknya agama-agama lain di muka bumi. Walau begitu, tak ada yang bisa membantah bahwa nilai-nilai moral keislaman sudah menginspirasi ranah jurnalistik dan wawasan para wartawan di Asia Tenggara (halaman 245).

Pada bagian lain, mesti diakui pula, eksistensi pemberitaan dari kantor media telah memiliki pesaing kuat dalam kaitan penyebaran informasi. Era new media yang tercipta berkat kelahiran internet, sudah memunculkan sarana interaksi berbentuk media sosial dengan beragam jenis paltform.</p>

Dalam pengantar Komunikasi 2.0: Teoritisasi dan Implikasi (2011), Elvinaro Ardianto mengungkapkan, media sosial memiliki kekuatan sosial yang sanggup memengaruhi opini publik di masyarakat. Penggalangan dukungan atau gerakan massa bisa terbentuk karena isu yang dipanasi di dalam media sosial. Artinya, karakter media sosial, memiliki kemiripan dengan produk pers yang punya kemampuan memengaruhi komunitas masyarakat dan menjaga keseimbangan dalam sebuah negara.

Sementara itu, di media sosial akhir-akhir ini, konten tentang superioritas Islam, tudingan kebobrokan umat Islam golongan tertentu, dan kabar baik atau buruk tentang Islam yang dimuat seobjektif serta seprogresif mungkin, sudah menjadi santapan rutin pembaca linimasa: disukai, dikomentari, dibagikan, dihapus, disumpahserapahi atau malah dijadikan alat menikam ritual kawan sendiri. (*)

*Resensi ini telah dimuat di harian Duta Masyarakat, 22 September 2018. Rio F. Rachman, Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Koordinator Divkominfo Mata Garuda

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta