Perjalanan Musik dalam Novel Brianna dan Bottomwise

 

Musik Menjadi Kebutuhan

Apakah musik sesungguhnya? Musik adalah sinar paling terang kefanaan, sebab ketika musik berbunyi, kemanusiaan menjadi terang-benderang. Dunia tanpa musik, macam hutan tak berhewan, macam sungai tak ber-ikan, macam awan tak berangin. (hal. 268). Musik telah menjadi kebutuhan bagi banyak orang. Di Indonesia, identitas musik dikenal sejak abad ke-3 sebelum Masehi dengan menggunakan alat tradisional sebagai pengiringnya.

Novel Brianna dan Bottomwise (Juli, 2022) mengisahkan dua detektif swasta yang menangani kasus hilangnya gitar legendaris John Musiciante. John ialah musisi yang mampu mencipta komposisi rock progresif dari membaca novel, puisi, memandang lukisan, dan patah hati. Disebutkan juga jika dirinya tak kurang dari satu lelaki Renaissance paling berbakat di muka bumi.

“Aku tak bisa lagi main musik. Mendengar musik saja, hatiku sakit. Kehilangan gitar itu membuatku merasa kehilangan ibuku, untuk kedua kalinya.” (hal. 47). Melihat kondisi John Musiciante, membuat Brianna dan Bottomwise berjanji akan terus mencari gitar itu hingga menemukannya.

Penjelajahan pun dimulai mengendarai mobil El Camino kesayangan Bottomwise. Keluar dari negara bagian California, Brianna dan Bottomwise menuju Las Vegas, Nevada. Dilanjutkan lagi menembus jantung Amerika, singgah di Utah, Wyoming, Iowa, South Dakota, terus ke utara menuju Minnesota, menempuh jarak beratus-ratus kilometer. (hal. 49).

Kehadiran yang dinanti-nantikan

Pembaca mafhum novel ini memulai kisahnya dengan latar Amerika. Selanjutnya, penulis mengkolaborasikan kasus crime of opportunity dengan menghadirkan Brianna dan Bottomwise sebagai detektif sekaligus mengangkat keduanya sebagai judul buku ini. Sebagai pembaca, judul automatis melekat dalam ingatan serta memiliki kesan tersendiri di hati pembaca. Sehingga tak ayal jika kehadirannya tentu dinanti-nantikan.

Bersiap akan ditemani Brianna dan Bottomwise sepanjang membaca novel bersampul merah ini, saya bersiap menyimak detail kasus sambil menebak-nebak peristiwa apa yang akan terjadi. Namun rupanya, jejak mereka hilang sejak The Terong Brothers, Hamzah dan Baharudin menggantikan posisinya. Bersamaan dengan itu, gitar vintage berpindah setting ke Indonesia.

Migrasi gitar ini justru membawa hawa sejuk sebab keleluasaan Andrea Hirata menceritakan Indonesia terasa real, khususnya perihal Orkes Melayu. Ada Melayu Semenanjung, hadrah, rebana, qasidah, hingga hentakan-hentakan staccato funk rock ala Frusciante mengalun dalam novel. Melalui Orkes Melayu Kami Mau Lagi, penulis lugas memainkan peran. Sadman menyokong hidupnya sendiri, hidup kedua orang tuanya, dan menabung sedikit demi sedikit untuk satu tujuan: membeli alat-alat musik, agar dapat mendirikan orkes. (hal. 42).

Musisi yang dilupakan zaman

Keterlibatan Alma, Ameru, bahkan Pak Mu dalam memperjuangkan musik tak kalah seru. Masing-masing memiliki peran dominan melebihi Brianna dan Bottomwise. Alih-alih menceritakan strategi pencarian gitar, Alma justru ditampakkan dengan kesulitan mendapatkan pinjaman gitar demi memenuhi hasrat bermusik. Gadis kecil itu harus mencuci sepeda motor tetangganya sebagai syarat meminjam gitar. Begitu pun Pak Mu yang tak lagi dipercaya untuk sekadar memainkan gitar sebab mengidap demensia dini. Meski mahir, kesulitan bicara dan kelainan ingatan membuat Pak Mu dilupakan zaman.

Menuju halaman 238, saya mendapati Brianna dan Bottomwise kembali meski dengan perseteruan yang cukup menegangkan hingga nyaris terjadi perpecahan. Sebagai pembaca mungkin sedikit-banyak berharap jika novel ini menyajikan strategi pemecahan kasus yang cerdas dan taktis sebagaimana novel-novel detektif. Namun saya merasa fokus utama memang tertuju kepeda gitar milik John Musiciante berikut perjalanan musik dan singgahnya bersama banyak orang.

Buktinya: Bagaimanakah selanjutnya nasib prodigy Alma dan Ameru, Pak Mu, Mr. Orkes Man, dan orkes Melayu Semenanjung terakhir di dunia? (hal. 315). Pertanyaan penutup ini cukup menjelaskan apa yang akan disuguhkan Andrea Hirata di buku kedua dwilogi Brianna dan Bottomwise. Maka tak heran jika Orkes Melayu lebih eksis sejak gitar Vintage Sunburst 1960 berada di tangan mereka.

Cita rasa membaca karya Andrea Hirata

Di samping hal itu, novel ini mengandung banyak lelucon, misalnya: warung kopi bernama Maryati Kawin Lagi (hal. 45), celetukan “Ai, kalau Sadman saja bisa bikin orkes, kita bisa bikin apa pun!” (hal. 57). Pernyataan ini cukup satire mengejek Sadman yang dianggap payah dalam bermusik. “Apa kataku, Boi! Dunia tidaklah selalu tempat yang kejam bagi musisi tak berbakat!” (hal. 152).

Selama membaca novel ini, kita dengan mudah dibuat menangis sekaligus tertawa dalam waktu bersamaan. Happyness is Back, Pengorbanan Dua Ibu, hingga Job Sisa, Buku Rekor Dunia, dan Listrik Negara sengaja mencampuradukkan perasaan pembaca. Humor ringan ditambah kisah haru seseorang selalu menjadi cita rasa tersendiri dalam karya-karya Andrea Hirata.

Judul buku                          : Brianna dan Bottomwise

Penulis                                 : Andrea Hirata

Penerbit                              : Bentang Pustaka

Tahun terbit                       : Juli 2022

ISBN                                      : 978-602-291-942-1

Jumlah halaman               : xvii + 361

 

Artikel ini telah terbit di Rubrik Pabukon, Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Agustus 2022 (Oleh: Mutia Senja)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta