Pangeran Dari Timur : Representasi Maestro Seni Lukis Raden Saleh

Raden Saleh dikenal sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia. Hal itu berkat karya-karyanya yang dikenal luas oleh masyarakat dunia karena dianggap bernilai tinggi. Dalam sejarahnya banyak masyarakat yang telah mengetahui riwayat dari sang maestro seni tersebut. Namun, tidak banyak pemberitaan mengenai sang maestro yang mendekati kata realistis.

Melalui novel Pangeran dari Timur, Iksaka Banu dan Kurnia Effendi mengangkat kisah Raden Saleh, sang maestro seni rupa pada zamannya. Melalui riset serta observasi yang terbilang cukup lama, yaitu 20 tahun, kedua penulis mengumpulkan data-data yang cukup mendukung untuk penceritaan dalam novel Pangeran dari Timur ini.

Iksaka Banu dan Kurnia Effendi dalam wawancaranya melalui channel YouTube Maraja TV Official dalam judul “RUANG BACA | Part-1 | Pangeran dari Timur, Ditulis 20 Tahun” menjelaskan bahwa sebenarnya ketertarikan mereka terhadap Raden Saleh berawal ketika menemukan sebuah katalog tipis yang mengangkat tema Raden Saleh dan berisi sangat realistis pada waktu itu.

Iksaka Banu menceritakan selama ini Raden Saleh hanya dikenal sebagai maestro seni lukis beserta mitos-mitosnya. Seperti lukisan makanannya yang akan dihinggapi lalat, lukisan bunganya yang akan dihinggapi kupu-kupu. Hingga lukisan tubuh manusia di lantai yang dianggap mayat oleh teman-teman Saleh, saking tampak begitu nyatanya lukisan-lukisan itu. Namun, melalui novel Pangeran dari Timur ini mereka mengangkat kisah Raden Saleh sedemikian rupa beserta kehidupan realistisnya sejak 1811 hingga 1833 berbumbu plot kedua yang menceritakan ketertarikan seorang arsitek awal abad ke-20 pada karya-karya lukisan sang maestro.

Perjalanan Raden Saleh di Nusantara

Banyak yang menuliskan bahwa kelahiran Raden Saleh pada 1807. Namun, melalui observasi penulis yang kemudian tertuang dalam novel Pangeran dari Timur ini menjelaskan bahwa kelahiran sebenarnya pada tahun 1811 di Terbaya, Semarang. Pelukis yang besar dengan nama Sarip Saleh ini telah dipisahkan dari keluarganya menjelang berakhirnya Perang Jawa. Awal penceritaan Raden Saleh atau dikenal juga sebagai Sarip Saleh pada waktu itu bermula ketika kunjungannya ke Kantor Administrasi salah satu daerah bersama pamannya yang seorang Bupati Semarang pada kala itu, yaitu Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V.

Administratiekantoor van’s Lands Plantentuin.” Raden Saleh yang masih berumur 9 tahun kala itu dengan mudahnya melafalkan bahasa Belanda yang berarti Kantor Administrasi pada sebuah bangunan di Buitenzorg atau saat ini dikenal sebagai Kota Bogor. Hal tersebut membuat kagum Mang Ihin yang mengantarkannya saat itu. Kegeniusan Sarip Saleh sudah terpancar sejak umurnya yang belia.

Bertemu Tuan Payen

Semuanya berawal ketika para bangsawan seperti Residen Cianjur pada kala itu. Letnan Kolonel Jonkher Robert Lieve Jasper van der Capellen, yang merupakan adik Godert Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen, yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda membuka sekolah Bumiputera atau juga dikenal sekolah rakyat (Volks-School). Sekolah tersebut sering mendapat titipan dari para bangsawan Jawa yang ingin anaknya mengenyam pendidikan dasar berhitung, membaca, hingga menulis aksara Romawi, Jawa dan Arab. Pada 1819, ketika Baron Van der Capellen bersama Profesor Carl Reinwardt berkunjung ke kediaman Kanjeng Paman Bupati Terbaya, sang Bupati memperkenalkan keponakannya yaitu Sarip Saleh, diperlihatkan hasil-hasil lukisannya yang genius. Hal itu membuat Capellen ingin mengajak dan mengirimkan Saleh kecil ke sekolah misionaris miliknya, dan diperkenalkannya pada Antoine Auguste Jean Joseph Payen atau Tuan Payen.

Singkat cerita, Sarip Saleh dikirim ke Cianjur dan bersekolah di sana, serta mendapat banyak bimbingan melukis dari Tuan Payen hingga kemampuannya diakui dan melakukan magang di Biro Buitenzorg. Pelukis yang berasal dari Tournai, Belgia, tersebut banyak memberi bimbingan terhadap perkembangan melukis Sarip Saleh. Hingga akhirnya ketika Sarip Saleh berusia 19 tahun, Tuan Payen mendesaknya untuk berkemas dan mengikutinya berkeliling Jawa. Sarip Saleh, seiring dengan kedewasaannya kala itu, mengganti namanya menjadi Raden Saleh Syarief Bustaman.

Raden Saleh Ke Eropa

Pada 1829, Perang Diponegoro meledak. Kanjeng Paman Bupati Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V berusia 60 tahun. Peperangan menyebar hingga Semarang dan menyebabkan pembuangan Kanjeng Paman Bupati ke Manado beserta dengan pelucutan jabatan. Raden Saleh yang berusia 19 tahun merasakan kerisauan besar dalam hatinya, kebimbangan apa yang harus dilakukannya, apakah harus pulang ke Semarang menemui ibundanya? Namun, di sisi lain terdapat tawaran untuk belajar di Eropa atas rekomendasi Tuan Payen, pembimbingnya dalam melukis. Akhirnya, atas persetujuan Godert Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen selaku Gubernur Jenderal, ia berangkat dan menetap di Belanda.

Di sana ia menetap di tempat Inspektur Keuangan Belanda de Linge. Ia diharuskan membantu inspektur memahami mengenai segala sesuatu hal yang berhubungan dengan sastra Jawa dan Melayu. Sebagai gantinya selama beberapa bulan Raden Saleh akan diperbolehkan untuk pergi ke berbagai museum dan sanggar pelukis terkenal di Belanda. Selama di Belanda Raden Saleh belajar melalui bimbingan Cornelius Kruseman mengenai melukis potret. Pada tahun 1830 Raden Saleh magang di Studio milik Kruseman. Selama kehidupannya di Belanda pemuda  mengalami gejolak batin. Sebab, ketika itu ia harus bergaul dengan orang-orang yang merayakan kemenangan Hendrik Merkus de Kock yaitu seorang Jenderal Belanda yang memenangi peperangan dan membuat lautan darah di Jawa.

Sampai suatu ketika di Studio Kruseman, de Kock melakukan kunjungan sebagai layaknya tamu museum pada umumnya. Pertikaian hampir terjadi antara Raden Saleh dan de Kock, hingga akhirnya Kruseman memarahi Raden Saleh kala itu. Selepas magang di Studio Kruseman, Raden Saleh sekali lagi memperdalam ilmu lukisnya bersama sang maestro lukisan pemandangan, Andries Schelfhout.

Pulang ke Nusantara

Setelah masa studinya selesai, Raden Saleh tidak langsung kembali ke Nusantara pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, namanya mulai dikenal di Belanda sebagai ahli lukis dari Hindia Belanda yang dapat menguasai teknik lukis Barat. Ia mengajukan permohonan kepada Raja Willem I untuk tetap menetap di Belanda guna mempelajari ilmu lain seperti ilmu pasti, ukur tanah, hingga pesawat, dan permohonannya dikabulkan. Semasa pemerintahan Raja Willem II, Raden Saleh semakin diakui kemampuan melukisnya, dan ia dikirim ke Jerman untuk menambah wawasannya. Hingga akhirnya Raden Saleh kembali ke Belanda dan diangkat menjadi pelukis istana Kerajaan Belanda kala itu. Setelah namanya terus menyebar, sang maestro tak mau berhenti mencari ilmu, ia berkeliling dan menjelajahi Eropa.

Tahun 1844-1851 ia tinggal di Prancis dan mendalami aliran romantisisme kala itu. Hingga akhirnya ia memutuskan kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1851 bersama istrinya yang merupakan seorang wanita Belanda. Meskipun telah mengenyam banyak sekali ilmu dari negeri Barat, Raden Saleh tetap menentang penindasan akan kolonialisme di Hindia Belanda. Hingga idealismenya tergambar pada lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” oleh pemerintah Belanda pada 1857.

Ketika sudah kembali ke Nusantara, sementara menetap di Buitenzorg. Ia ditunjuk sebagai konservator pada Lembaga Kumpulan Koleksi Benda Seni. Di tengah kesuksesannya, pernikahannya harus kandas dengan perceraian. Namun, Ia bertemu dan membangun keluarga kembali dengan seorang gadis dari keluarga Keraton Solo, Raden Ayu Danudireja.

Akhir Cerita

Penceritaan mengenai Raden Saleh dalam novel Pangeran dari Timur berakhir pada tahun 1878, ketika sang istri, Raden Ayu Danudireja, mengalami sakit parah. Kemudian, suaminya telah melakukan segala usaha. Namun, jalan terakhir yang ia ambil adalah mempersiapkan segalanya dengan baik dan matang, seperti tempat pemakaman. Kisah sang maestro berakhir ketika salah seorang pelayannya bernama Emed didapati kabur dan telah mencuri lukisan miliknya.

Berdasarkan sumber lain seperti Serupa.id kematian Raden Saleh menurut rumor yang beredar disebabkan oleh pelayannya tersebut yang telah meracuninya. Meskipun demikian, setelah melalui pemeriksaan medis, terjadi pengendapan aliran darah di jantungnya. Setelah kematiannya, pada tahun 1883 diperingati sebagai 3 tahun kepergiannya dengan memamerkan lukisan-lukisan Raden Saleh di Amsterdam.

Selepas dari semua itu sang maestrojuga mendapatkan banyak penghargaan, khususnya karena reputasinya di Eropa. Seperti bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ridder der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.). Kemudian pemerintah Indonesia pada tahun 1969 melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayan (Depdikbud) memberikan penghargaan berupa piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis Indonesia. Lukisan-lukisan yang terkenal hingga saat ini yaitu, “Perburuan Singa” (1839), “Perburuan Banteng” (1955), dan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857).

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

2 replies

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] ini, ternyata juga menggambarkan pergerakan nasional. Dengan latar masa Kolonial, digambarkan kisah Raden Saleh yang menjadi saksi bisu perseteruan pada masa itu. Selanjutnya pada latar belakang abad ke-20, […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta