Kontrol Diri, Mengendalikan Marah dengan Beberapa Pesan dari Seneca Berikut Ini!
Kontrol diri atau self control itu apa, sih? Memangnya begitu penting? Bukankah kita bisa membuka mata dan sadar sudah lebih dari cukup? Baik, apakah dirimu pernah atau sering dirundung pilu? Entah apa pun itu penyebabnya, yang jelas di situlah peran kontrol diri yang sebenarnya ada dan bekerja.
Kontrol diri adalah salah satu hal yang wajib dimiliki oleh setiap insan. Kontrol diri berguna untuk kendali diri. Jika seorang insan tak memiliki kendali diri, ia akan lepas kendali. Alhasil, berbagai pergolakan dalam hidup yang dijalaninya menjadi tak karuan.
Bagaimana bisa kita meraih tujuan dalam hidup, semuanya kembali lagi pada kontrol diri. Jika kita tak bisa mengatur kontrolnya, bagaimana pula kita bisa mencapai segala angan yang ada? Kontrol diri erat kaitannya dengan mengendalikan emosi, salah satunya kemarahan–yang mana menjadi problematika fundamental bagi kita semua.
Kemarahan bisa menjadi salah satu irisan bahasan penting dari kontrol diri, karena kemarahan bisa merusak tatanan sosial jika tak diselesaikan dengan kita menyadarinya terlebih dahulu. Seneca, seorang filsuf Stoa, turut membagikan seni dalam mengendalikan diri, terutama mengatur kemarahan, untuk kita sebagai manusia yang bersifat sosial.
Ambil Jeda, Tunggu Sejenak
“Obat terbaik untuk amarah adalah menunggu, supaya emosi yang semula tersulut dapat reda dan kabur yang menyelubungi benak sirna,” tutur Seneca. Benarnya memang seperti itu, namun sering kita temui dalam beberapa kasus–termasuk saya dan Sahabat Bentang–sering tersulut kemarahan terlebih dahulu.
Ke depannya, bisa kita jadikan catatan untuk diri sendiri, jikalau sedang menyadari ada kemarahan yang membara dalam diri, segera menarik napas dan mengembuskan napas scara perlahan. Lalu, bisa juga ditambah dengan meminum air putih sebagai penenang pikiran.
Baca Juga: Masalah Tak Kunjung Usai, Buku Ini akan Menyelamatkanmu
Kontrol Diri dengan Mencatat Pemicunya
Kontrol diri selanjutnya yaitu mengetahui pemicunya. Setelah cukup tenang dengan mengambil jeda dan minum segelas air putih, mulai telusuri secara perlahan, apa saja yang menjadi trigger atau pemicu dari kemarahan tersebut.
JANGAN NGAMUK DAHULU! Setelah tahu penyebab awalnya, jangan memberikan judgment terlebih dahulu terhadap penyebab awal tersebut. “Paham betul jika segi sensitif setiap orang berbeda-beda, maka kamu harus tahu dahulu sisi lemah pribadimu,” lanjut tuturan Seneca.
Tersenyumlah
Kalau sudah terjadi, mau diapakan?
Ya, biarkan saja. Tugas kita yang terakhir yaitu dengan memberikan senyuman terhadap segala hal yang terjadi. Negatif, buruk, ataupun kurang mengenakkan keadaan itu hanya sebatas interpretasi kita. Bagaimana pun keadaannya, ambil saja hikmah yang sudah terjadi. Misalkan saja kita bisa belajar dari kejadian tersebut agar tidak terulang kembali pada masa mendatang.
Tentunya, langkah terakhir ini tidak serta-merta hanya menyuruh kita melebarkan mulut ke kanan dan ke kiri agar terlihat manis secara visual saja, melainkan juga dengan menyadari betul setiap hal agar kita mengilhaminya tanpa ada sebuah keraguan. Jika dengan senyuman kita bisa melakukannya dengan sebuah keikhlasan, cepat atau lambat pun batin juga ikut terlunakkan.
3 kunci dari Seneca di atas rasanya sudah cukup menjadi poin penting agar kita lebih peduli dengan kontrol diri sendiri, terutama mengatur kemarahan kita. Jika tak bisa dikurangi sepenuhnya, baiknya dikurangi intensitasnya.
Temukan filosofi hidup lainnya dalam buku bertajuk Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui masa pre-order dari Bentang Pustaka. Tunggu tanggal mainnya dan selamat berproses menjadi insan yang seutuhnya, ya!
Pamungkas Adiputra.
Trackbacks & Pingbacks
[…] Baca Juga: Kontrol Diri, Mengendalikan Marah dengan Beberapa Pesan dari Seneca, si Filsuf Stoa […]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!