Peran Perempuan Mengubah Budaya di Tempat Kerja

Banyak perusahaan memiliki budaya di tempat kerja yang kompetitif, meledak-ledak, dan penuh argumen. Orang-orang bertengkar sampai membeberkan secara terperinci seluruh data yang ada dalam tiap kesempatan, entah hanya untuk menjatuhkanmu atau membuatmu malu.

Dalam setiap rapat, gladi resik, atau pun lokakarya keadaan kompetitif ini selalu mencoba untuk menampakkan sifat aslinya yang kejam. Jika kau tak cukup pandai mendebat dengan sengit, berarti kau tak menguasai data, tidak cerdas, atau tidak paham betul apa yang sedang kita kerjakan. Seolah dalam dunia kerja, semua orang dituntut bersifat tangguh dan tidak ada ruang bagimu untuk bersikap manusiawi seutuhnya.

Dalam kondisi kerja yang kompetitif, setiap orang enggan untuk memuji dan menyatakan rasa terima kasih kepada seseorang yang telah melakukan pekerjaan sesuatu dengan baik. Hal tersebut didasari oleh prinsip alamiah dari sistem kompetitif itu sendiri bahwa kau harus menjatuhkan lawanmu sebanyak mungkin untuk menjadi seorang pemenang.

Ekosistem kerja yang seperti ini sudah bersifat toxic bagi kesehatan mental seseorang, baik laki-laki atau perempuan. Walhasil, karena tingginya persaingan di dalam budaya kerja, sulit rasanya mencoba untuk menjadi diri sendiri di tempat kerja.

Perempuan Membuat Ekosistem Kerja menjadi Lebih Manusiawi

Perempuan dapat mengubah budaya di tempat kerja yang toxic ini ketika mereka mencoba untuk membuka tangan dan hati mereka lebar-lebar. Ketika semua orang merasa terasing oleh budaya kerja yang menganggap semua orang itu tangguh, rasional, dan kompetitif, ia dapat mempertanyakan. “Mengapa perempuan tidak boleh menangis di kantor, tetapi laki-laki boleh membentak di kantor? Respons emosional mana yang lebih dewasa?” tanya Melinda Gates dalam bukunya The Moment of Lift.

Pertanyaan ini coba dijawab oleh Melinda dalam kisahnya mengenai kolega perempuan yang mampu menciptakan budaya empati di lingkungan kerjanya di Microsoft. Namanya Patty Stonesifer, ia adalah atasan, mentor, dan sosok teladan Melinda di Microsoft.

Patty menjadi sosok teladan di Microsoft karena dianggap punya gaya yang khas sehingga menjadi magnet bagi orang-orang untuk bekerja sama dengannya. Rahasia kepemimpinannya ialah ia membiarkan seseorang untuk bisa jujur tentang kekuatan dan kelemahannya. Ia adalah seseorang yang memulai budaya baru di Microsoft untuk berani berkata, “Aku salah.” Mampu mengakui kelemahan dan kesalahan tanpa khawatir semua itu akan digunakan untuk menjatuhkan mereka adalah perasaan yang menakjubkan.

Bagi Melinda, menjadi diri sendiri mungkin terdengar sebagai sikap muluk-muluk untuk bertahan dalam sebuah budaya kerja yang agresif. Namun, hal tersebut punya maksud untuk membuat seseorang berani dan tidak menjadi pengecut hanya untuk diterima di lingkungan kerja. Dengan begitu, kita punya kesempatan untuk berani menunjukkan bakat, prinsip, pendapat, guna mempertahankan hak-hak kita. Pada saat yang bersamaan, kita juga tidak perlu mengorbankan rasa hormat kepada diri sendiri. Di situlah kekuatan muncul dan budaya yang toxic itu berangsur-angsur berubah menjadi lebih manusiawi. (Tejo)

Pernikahan Dini: Bencana bagi Perempuan


Pernikahan dini bagi perempuan adalah sebuah penderitaan atau sebuah bencana. Bagaimana tidak disebut sebagai bencana manakala ia dapat memupuskan harapan seorang anak perempuan mengembangkan bakat dan meraih cita-citanya?

Seorang anak yang masih penuh mimpi dan cita-cita besar terpaksa menikah dan dituntut mengerjakan pekerjaan domestik yang melelahkan. Sementara jikalau ia hamil, ia harus menanggung risiko kematian sebab tubuhnya belum terlalu kuat untuk mengandung. Di dunia ini, terdapat jutaan anak perempuan terpaksa berhenti bersekolah karena berbagai hal, salah satunya adalah karena pernikahan dini.

Salah satu kisah yang dibagikan Melinda Gates lewat bukunya The Moment of Lift adalah kisah perjalanannya ke India 20 tahun silam. Di sana, ia melihat potret kemiskinan paling muram dan keras di seluruh India. Kebanyakan dari mereka hidup dari mengumpulkan botol, mencari kepingan uang logam di jalanan, dan tentu saja dengan mencopet.

Sebagaimana jamaknya hidup di daerah tertinggal, angka pernikahan dini meroket tajam. Anak-anak yang baru pubertas akan dipaksa untuk meninggalkan bangku sekolah dan menikahi seseorang yang dipilihkan orang tuanya. Setelah menikah, tak jarang mereka dipukuli dan diancam oleh suaminya sendiri untuk dijual atas alasan pihak keluarga si anak memberikan maskawin yang jumlahnya kurang. Alasannya, menurut adat istiadat di India waktu itu, pihak perempuan yang harus memberikan mahar maskawin.

Kisah itu terpatri dalam ingatan Melinda sebagai pengalaman traumatik dan tragis atas pernikahan di bawah umur. Baginya, pernikahan dini merupakan kemitraan yang timpang dan berlawanan dengan kemitraan setara yang dapat meningkatkan kesehatan, kemakmuran, dan kemajuan manusia.

Kemitraan setara dapat mengangkat derajat suami dan istri di dalam hubungan rumah tangga dan hubungan sosial di masyarakat. Pernikahan di bawah umur membuat hubungan menjadi hierarkis sehingga bersifat merendahkan salah satu pihak. 

Hubungan Tak Setara Berakibat Penganiayaan

Ketika seorang anak perempuan dipaksa untuk menikah pada usia dini, ia akan terjebak dalam situasi sulit yang membuatnya tertekan. Dalam konteks pernikahan dini di India, misalnya. Semakin muda usia perempuan, semakin rendah pendidikannya, semakin sedikit pula maskawin yang harus dibayarkan keluarga perempuan itu.

Dalam situasi seperti ini, pasar memperjelas bahwa semakin lemah si gadis, semakin menarik dirinya bagi keluarga yang menerimanya. Mereka tidak menginginkan gadis yang punya suara, keterampilan, atau ide-ide. Perempuan ibarat barang dagangan sekaligus seorang hamba yang patuh dan tidak melawan.

Keadaan yang demikianlah yang dimanfaatkan oleh sang suami untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap sang istri. Mereka harus kehilangan keluarga, teman, sekolah mereka, dan segala kemungkinan untuk berkembang.

Bahkan, saat usianya yang baru genap 10 tahun, mereka sudah dihadapkan pada kenyataan hidup yang pahit—harus memasak, bertani, membersihkan rumah, memberi makan ternak, dan mengambil air—untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari.

Jika penderitaan seorang perempuan yang dipaksa menikah, kehilangan cita-cita dan masa depan, dipaksa untuk melakukan kerja berat, dan senantiasa terancam untuk dianiaya tidak bisa kita sebut sebagai tragedi, bisakah kita menyebutnya sebagai suatu bencana bagi kemanusiaan? (Tejo)

Melinda Gates dalam Pusaran Aktivisme

Nama Melinda Ann French mungkin terdengar asing di telinga kita manakala nama itu disebut. Namun, ketika nama Melinda Gates disebut, orang-orang akan mulai mengasosiasikan Melinda sebagai konglomerat karena menyandang nama “Gates” di belakangnya. Pandangan yang demikian mungkin sedikit seksis. Alasannya, Melinda sendiri sudah punya segudang prestasi untuk membuat namanya harum.

Sosok perempuan yang lahir pada 15 Agustus 1964 di Dallas, Texas, ini telah menyabet berbagai jenis penghargaan selama hidupnya. Misalnya, ia mampu menduduki peringkat 3 besar dalam daftar 100 Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia versi Forbes pada 2013, 2014, dan 2017; peringkat 4 pada 2012 dan 6 pada 2011.

Melinda muda mengawali kariernya sebagai pengajar Matematika dan Pemrograman Komputer untuk anak-anak. Setelah lulus dari Duke University, Melinda bergabung dengan Microsoft sebagai manajer pemasaran pada 1987. Di sana, ia bertanggung jawab untuk memimpin pengembangan berbagai produk multimedia Microsoft.

Karier dan kehidupan sosialnya berubah drastis pada awal 1990-an ketika ia diangkat sebagai General Manager Informasi Produk. Dan, selang empat tahun berikutnya, ia memutuskan untuk menikah dengan bos yang sekarang menjadi suaminya, Bill Gates. Setelah menikah dengan Bill, Melinda Gates berusaha mengaktualisasikan idealismenya bahwa perempuan di seluruh dunia ini harus bisa berdaya di seluruh bidang kehidupan.

Oleh karena itulah, pada tahun yang sama (1994), ia dan Bill mendirikan Yayasan Bill & Melinda Gates dengan tujuan mengatasi kesenjangan gender. Tepat saat itulah, Melinda mulai dikenal sebagai filantropis sekaligus aktivis perempuan yang banyak menginspirasi perempuan untuk berdaulat atas hidupnya sendiri. 

Mengapa Melinda Memilih Aktivisme?

Perempuan berzodiak Leo ini mempunyai passion yang luar biasa besar terhadap teknologi. Ia dan Bill meyakini dengan sepenuh hati bahwa teknologi harus bisa digunakan oleh semua orang. Mereka yakin suatu saat teknologi dapat mengubah dunia menjadi lebih baik.

Akan tetapi, sayang, dalam masyarakat yang timpang ini tidak banyak perempuan bisa meraih kesempatan untuk mendapatkan hak-hak dasarnya. Banyak perempuan tidak memiliki akses untuk memperoleh pendidikan, mencari nafkah, dan mengembangkan diri. Walhasil, perempuan-perempuan ini tak mampu untuk mengembangkan potensi terbesar dirinya.

Poin inilah yang ditekankan Melinda Gates ketika mencoba menjembatani antara privilege yang kita punya dengan keterlibatan untuk melakukan kegiatan sosial di masyarakat. 

Sebagai seorang feminis, Melinda menyadari pentingnya perempuan berjuang bersama-sama melawan ketimpangan gender. Ketika perempuan biasa memperoleh haknya, keluarganya ikut berkembang bersama dirinya—begitu pula masyarakat yang menghargai hak-hak perempuan juga akan ikut berkembang. Melinda meyakini bahwa terdapat prinsip kebenaran sederhana bahwa kesetaraan gender mengangkat harkat semua orang.

Kapan pun kita melibatkan suatu kelompok yang telah diasingkan, dianggap tidak ada, dan diminoritaskan, kita dapat mendatangkan manfaat bagi semua orang. Dan, ketika kita mau bekerja dalam skala global untuk melibatkan perempuan dan gadis, yang jumlahnya setengah dari tiap populasi, kau bekerja untuk mendatangkan manfaat bagi semua anggota dari setiap komunitas.

Seperti yang Melinda katakan dalam buku The Moment of Lift, “Jika kamu ingin memperjuangkan kemanusiaan, berdayakanlah perempuan. Sebab, ia merupakan investasi paling komprehensif, luas, dan besar dampaknya yang bisa kamu sumbangkan bagi manusia.” Dan, tentu saja di buku The Moment of Lift banyak pelajaran tentang pemberdayaan perempuan yang dapat kita teladani. (Tejo)

Intensitas Emha Ainun Nadjib Mentadaburi Al-Quran

Sinau Bareng Markesot

Tadabur Al-Quran bersama Cak Nun (Sumber: www.caknun.com)

Sinau Bareng Markesot merupakan karya mutakhir Emha Ainun Nadjib yang seolah tak berhenti menulis dan menerbitkan buku baru tiap tahunnya. Pemahamannya tentang Al-Quran dipadukan dengan kemampuan membaca fenomena budaya, seni, politik, sosial, dan ekonomi merupakan bahan bakar bagi Emha menulis. Setelah beberapa bulan yang lalu ia menelurkan dua serial Markesot, Markesot Belajar Ngaji dan Siapa Sebenarnya Markesot?, sementara itu, tanggal 10-18 November 2019 buku Sinau Bareng Markesot dijadwalkan terbit untuk melengkapi trilogi tersebut. 

Sinau Bareng Markesot merupakan buku yang berisi tentang penafsiran ayat Al-Quran yang punya dimensi kontekstual di tiap esai-esai yang ditulisnya. Buku yang terdiri dari lima bagian ini ditopang oleh 113 esai dengan topik yang luas. Tak hanya soal agama, di dalamnya memuat tafsiran Mbah Sot–sapaan akrab Markesot, tokoh sentral dalam buku ini–tentang kepemimpinan, pendidikan, budaya, Pancasila, dan kemanusiaan.  Lewat esai pendeknya, para pembaca akan dibuat terpesona oleh gaya kepenulisan Emha yang artikulatif, blak-blakan, dan mudah dimengerti. Seolah, tafsir ayat Al-Quran menjadi begitu menyenangkan tanpa harus repot-repot mengerutkan kening.

Memperkenalkan Metode Tadabur

Berbeda dari dua Serial Markesot sebelumnya, Sinau Bareng Markesot lebih berfokus pada metode tadabur. Menurut Emha, “tadabur adalah proses yang sangat berdimensi moral dan spiritual, lebih dari sekadar intelektual.” Ia melanjutkan, “tadabur menyaratkan bahwa kesudahannya lebih berkecenderungan terhadap Allah. Misalnya menjadi lebih dekat, lebih beriman, meningkat akhlaqul-karimah-nya, lebih baik hidupnya, lebih saleh perilakunya”. Sebagai sebuah proses pendalaman dan tadabur kepada Al-Quran, hal-hal disajikan dalam Sinau Bareng Markesot ini memperkaya wawasan kita mengenai upaya memahami Al-Quran, yang tak semata-mata terwakili oleh metode-metode akademis yang dikenal sebagai Ulumul Quran. Buku ini seolah menjadi oase bagi kita untuk memperkaya, memperindah, dan menunjukkan betapa banyaknya celah tadabur yang belum kita masuki.

Pernyataan ini diperkuat oleh pandangan Helmi Mustofa, Progres (Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng), yang mengatakan bahwa “sampai saat ini, tidak terlalu sulit untuk menyadari dan merasakan bahwa pada semua forum yang Cak Nun ampu dan inisiasi—baik yang regular di sejumlah kota maupun Sinau Bareng atas undangan berbagai pihak dan segmen masyarakat—Al-Quran dan Al-Hadis senantiasa merupakan foundational text.” Menurut Helmi, “Kemampuan dan terutama kekhasan yang saya maksud, bagi saya pribadi, hanya bisa lahir dari (sekaligus menggambarkan) suatu kedekatan yang sangat intens pada diri Cak Nun terhadap Al-Quran.”

Barangkali intensitasnya dengan Al-Quran inilah yang menjadikan Emha sebagai sosok spesial di masyarakat, terkhusus di lingkaran Maiyah. Tokoh yang lahir di Jombang, 27 Mei 1957 ini seolah tak henti-henti menimbulkan kesan kagum ketika melihat dan membaca karya-karyanya. Bagi Bentang Pustaka sendiri, sosok Emha adalah guru dan teman belajar yang menyenangkan. Tidak kurang 25 judul buku yang lahir dari kerja sama konstruktif antara pihak Emha, Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng dengan Bentang Pustaka. Sebuah pengalaman panjang yang penuh dinamika dan dilandasi oleh rekatnya persahabatan.

Sinau Bareng Markesot Karya Mbah Nun

Sinau Bareng Markesot merupakan karya teranyar dari Emha Ainun Nadjib. Dalam buku terbarunya, kita diajak untuk memadukan pemahaman tentang Al-Quran dengan kemampuan membaca fenomena budaya, seni, politik, sosial, dan ekonomi. Dengan cara tersebut, nantinya kita dapat menemukan ruang-ruang tadabur yang belum pernah dimasuki dalam mentadaburi Al-Quran. Lewat buku Sinau Bareng Marekesot, pembaca akan disuguhkan oleh 113 esai dengan berbagai topik pembahasan yang luas. Tak hanya soal agama, di dalamnya memuat tafsiran tentang kepemimpinan, pendidikan, budaya, Pancasila, dan kemanusiaan.

Pembaca akan menyadari bahwa dirinya seolah sedang tersihir ketika menyelesaikan halaman terakhir buku ini. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh gaya kepenulisan Emha yang artikulatif, blak-blakan, dan mudah dimengerti. Kita seolah dibuat ketagihan untuk membaca lembar demi lembar isi buku tersebut. Dengan demikian, pengalaman tafsir ayat Al-Quran menjadi begitu menyenangkan karena kita seolah diajak berkeliling ke dalam horizon pemaknaan Emha atas Al-Quran yang luas.

Berbeda dari dua Serial Markesot sebelumnya (Markesot Belajar Ngaji dan Siapa Sebenarnya Markesot?), buku ini lebih berfokus pada metode tadabur. Bagi Emha, “tadabur adalah proses yang sangat berdimensi moral dan spiritual, lebih dari sekadar intelektual.” Ia melanjutkan, “Tadabur menyaratkan bahwa kesudahannya lebih berkecenderungan terhadap Allah. Misalnya menjadi lebih dekat, lebih beriman, meningkat akhlaqul-karimah-nya, lebih baik hidupnya, lebih saleh perilakunya.” Sebagai sebuah proses pendalaman dan tadabur kepada Al-Quran, hal-hal yang disajikan dalam Sinau Bareng Markesot ini memperkaya wawasan kita mengenai upaya memahami Al-Quran, yang tak semata-mata terwakili oleh metode-metode akademis yang dikenal sebagai Ulumul Quran. Buku ini seolah menjadi oase bagi kita untuk memperkaya, memperindah, dan menunjukkan betapa banyaknya celah tadabur yang belum kita masuki.

Special order buku Sinau Bareng Markesot dapat dipesan mulai tanggal, 10-18 November 2019. Harga buku khusus untuk program special order ini adalah Rp84.150,00.

Keuntungan mengikuti special order:

  • Mendapatkan surat ekslusif bertanda tangan Emha Ainun Nadjib
  • Diskon 15% dari harga asli Rp99.000,00 menjadi Rp84.150,00

Klik pada toko di bawah ini

  1. Kamarbuku – 0857-1526-5323 – Jakarta
  2. @ruangbacabuku_id – 081227797125 – Yogyakarta
  3. Khoirurroziqin – 08563121229 – Surabaya
  4. Penjarabuku – 082133748678 – Semarang
  5. Sorabook.id – 085281703631 – Jakarta Selatan
  6. @lagijualbuku  – 081319960934 – Cilegon dan BSD
  7. Omah Buku RN – 089656173671 – Surabaya
  8. Marimocobuku – 087862026148 – Mojokerto
  9. Pian – 087758345727 – Ponorogo
  10. Gundam Core Shop – 081237872001 – Sleman
  11. FBM – 081585748193 – Bekasi
  12. Zbookslacoffee – 085697360226 – Jakarta
  13. Lapak Naqi – 085804875314 – Malang
  14. RencaNgaos – 082337793320 – Surabaya
  15. Aldrinjava – 081216850048 – Mojokerto
  16. Buku Buku Laris (Shopee)
  17. Bukku.id
  18. Bookishtorage (Shopee)
  19. Preloved Book Bandung (Shopee)
  20. Bukabuku.com
  21. Mizanstore.com
  22. Klasikabookstore
  23. Republikfiksi
  24. Alifia Bookstore
  25. Bukukita.com
  26. ParcelBuku.net
  27. Bukuwanita (Tokopedia)
  28. Novely Young (Tokopedia)
  29. Gramedia.com
  30. Wasurjaya (Tokopedia)
  31. Toko Nubu (Shopee)

(Afina)

Trade in buku

Tukar Buku Bagi Manfaat

Trade in buku

Trade in buku

Sebenarnya sudah cukup lama saya merasa “terbebani” dengan buku-buku yang berdebu. Buku itu bukannya tidak pernah dibaca, melainkan beberapa sudah khatam berkali-kali sehingga ketika datang buku baru, beberapa judul tersisih ke pojokan, dan mungkin diam-diam sesenggukan. Saya kira, fenomena ini juga lazim terjadi pada kawan-kawan yang terlalu cinta buku, sampai menambah rak-rak lemari ke bagian dinding rumah yang masih absen dari dekorasi, kecuali lemari buku.

Untungnya beberapa tahun silam, saya menemukan kawan-kawan yang bersedia menampung buku-buku, istilah keren sekarang disebut pre-loved. Buku-buku ini adalah barang berharga yang pernah kita bela dengan menabung beberapa waktu, sebagian bahkan didapat dari hasil “swap” dengan teman yang sama-sama senang membaca, sebagian lagi didapat dengan susah payah karena harus mengerjakan tugas-tugas kuliah. Buku-buku ini sudah pasti telah memberikan mata baru bagi saya, sebagian besar saya tularkan isinya lewat laku, praktik, maupun sekadar berbagi gagasan dengan teman di kantor, atau saat wedangan disambi makan gedang goreng. Tak terkecuali, saya menuliskannya kembali sambil dibumbui di sana sini agar makin terasa nikmat dikunyah: tanpa micin tentu saja.

Pengalaman saya yang pendek ini cukup efektif mengurangi koleksi buku yang sudah saatnya dipindah-tangankan. Barangkali, ada banyak, sebagian besar, atau beberapa buku yang kita bagikan mendarat di tangan-tangan mungil yang haus cerita. Buku-buku yang kelak mengubah jalan hidup mereka. Nah, kini, saya ingin mengajak kawan-kawan yang memiliki buku-buku berharga, masih layak digunakan, dan tentu saja akan memberi manfaat baru kepada mereka yang belum membaca untuk mendapatkan berkah yang sama. Bersama Bentang Pustaka, saya sedang mengumpulkan buku-buku pre-loved ini untuk ditukarkan dengan 1 (satu) eksemplar buku baru karya Prof. Nadirsyah Hosen, Ph.D. berjudul Tafsir Al-Quran di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci pada Era Media Sosial.

Buku sumbangan dari pembaca bersama dengan Bentang Pustaka, nantinya akan disumbangkan ke sejumlah Taman Bacaan Masyarakat, pesantren, dan pegiat literasi lainnya.

Bagaimana caranya? Secara teknis, pembaca dapat menyumbangkan buku bekas layak baca terbitan Bentang Pustaka melalui beberapa toko buku Togamas pilihan (Togamas Buah Batu, Supratman, Malang, Petra, Diponegoro, Margorejo, Solo, Affandi, dan Kotabaru). Selanjutnya, pembaca yang telah menyumbangkan buku dapat memperoleh diskon 20% untuk setiap pembelian buku Tafsir Al-Quran di Medsos karya Prof. Nadirsyah Hosen edisi hardcover dan bertanda tangan. Pembaca yang menukarkan buku pada minggu pertama akan mendapatkan free e-book dari Bentang Pustaka. Pada periode selanjutnya, pembaca akan mendapatkan merchandise sebagai ucapan terima kasih. Program ini berlangsung mulai 1—30 Oktober 2019.

Berita baiknya, bagi teman-teman yang sudah tak sabar “membersihkan” koleksi buku dan menukar manfaatnya, program “Berbagi untuk Negeri” ini akan kami lakukan secara berkala hingga terus mencapai angka 10.000 eksemplar.

 

Salam,
Salman Faridi
CEO Bentang Pustaka

Habibie Muda dan Pergerakan Mahasiswa

Animo masyarakat hari-hari ini bergemuruh akibat serangkaian aksi demonstrasi yang dimotori mahasiswa. Banyak orang percaya bahwa pemuda adalah motor penggerak sebuah bangsa. Rudy (Habibie Muda) punya anggapan yang sama dengan kebanyakan orang. Menurut Habibie, kemerdekaan adalah hak tersulit manusia. Kemerdekaan hanya awalan, sementara hal tersulit dari kemerdekaan ialah mengisinya dengan berbagai upaya menyejahterakan kehidupan bangsa.

Rudy bilang, “Kita yang masih muda-muda tidak turut memanggul senjata, itu disebabkan kala itu kita masih kanak-kanak. Namun, sekarang kita sedang menuju kedewasaan. Tugas kita ialah mengisi kemerdekaan itu.” Tugas kita lebih berat karena “musuh” kita kelak di Tanah Air itu beraneka ragam dan berada dalam diri kita masing-masing.

Semasa kuliah di Aachen, Jerman, Habibie dan kawan-kawannya tak hanya berurusan dengan urusan kuliah dan bersenang-senang. Mahasiswa kala itu dipandang sebagai kelompok elite dan memiliki kekuatan politik yang besar. Gonjang-ganjing pemilu politik pada 1955 menjadi pemantik Rudy dan kawan-kawannya memikirkan arah Indonesia ke depan.

Visi Besar Habibie Muda

Segala persoalan tersebut diperparah dengan cita-cita Rudy untuk mendirikan industri pesawat di Indonesia saat ia pulang nanti. Mulailah ia mencari ide dari mana saja. Ia membaca, berdiskusi, dan bertanya kepada para pejabat pendidikan di Bonn. Namun, para pejabat tersebut lebih berfokus dengan situasi politik di Indonesia daripada membahas industri pesawat.

Rudy lantas bertanya kepada teman mahasiswa Jerman-nya, tetapi teman-temannya tak ambil pusing soal keresahan Rudy. Justru temannya malah balik bertanya, “Kalau kamu pikir keadaan bangsamu tidak stabil, sedangkan kamu ingin membuat pesawat, mengapa kamu tak terus menetap di sini saja? Kau bisa melakukan apa saja di sini, Rud.”

“Ya, tak bisa begitu, dong! Aku harus kembali ke Indonesia,” jawab Rudy sembari melotot.

“Lho, kenapa? Kan, kamu cerita kalau kamu tak terikat kontrak beasiswa dengan pemerintah,” balas kawan Jerman-nya.

“Tetapi, aku mau jadi ‘mata air’. Jadi orang yang berguna.”

“Memang kamu tak berguna di sini?” tanya kawannya.

Rudy menggeleng. “Berguna untuk Indonesia. Bukan untuk Jerman.”

Dari percakapan dengan teman Jerman-nya itu, Rudy mulai berpikir untuk mempererat jaringan mahasiswa di Jerman. Kata Rudy, mahasiswa Indonesia harus punya visi besar untuk bangsa ini ke depan. Sementara itu di Indonesia, Bung Karno membutuhkan dukungan mahasiswa dalam perebutan kendali poltik. Saat itu terdapat tegangan antara presiden, parlemen, dan militer pasca-Pemilu 1955.

Perjalanan Habibie Muda di PPI Jerman

Di Bonn, Chaerul  (tokoh pemuda yang diselamatkan Bung Karno) menganggap dukungan mahasiswa bisa didapat dengan membentuk perkumpulan mahasiswa Indonesia di Eropa. Chaerul Saleh merupakan tokoh pemuda yang ikut menculik Bung Karno ke Rengkasdengklok untuk mendesak Indonesia merdeka. Pada 1950 ia dikirim untuk sekolah Hukum di Universitas Bonn dan lima tahun kemudian ia lulus.

Secara umum, mahasiswa saat itu terbagi atas beberapa golongan. Kelompok Chaerul Shaleh dan Achmadi, ingin agar kekuasaan yang ada dijebol dan dibangun kembali.  Kelompok lainnya lebih filosofis, melihat Pancasila sebagai dasar moral dan etika bangsa. Jadi, bukan hanya soal politik, melainkan juga soal moral dan budaya bangsa. Ada lagi kelompok lain yang semata-mata hanya ingin belajar dan memperdalam ilmu. Ada pula kelompok lain di Eropa Timur yang terbina dalam CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi dengan PKI.

Pada 1955, di Bad Honnef diadakan pertemuan mahasiswa di seluruh Eropa yang melahirkan organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Chaerul Shaleh dan Achmadi mengambil peranan potensi mahasiswa yang revolusioner pada setiap cabang PPI. Akibatnya terjadi pertentangan di kalangan PPI. Kemunculan PPI di Eropa memicu mahasiswa-mahasiswa di tiap negara Eropa untuk membuat cabang dari PPI. Akhirnya, PPI Jerman didirikan pada 4 Mei 1956 di Bad Godesberg.

Saat itu, tiga orang terpilih menjadi pengurus PPI Aachen. Peter Manusama ditunjuk sebagai ketua. Ia dikenal sebagai pribadi yang penyabar. Rudy yang penuh semangat dan berapi-api ditunjuk sebagai Sekretaris PPI. Lalu,  Kang Kie (sahabat Rudy) dipilih sebagai bendahara. Rudy menyambut tugas ini dengan penuh semangat. Ia yakin betul bahwa bergabungnya dengan PPI tidak akan mengganggu studinya. Sebaliknya, PPI adalah cara Rudy agar bisa memastikan pembangunan Indonesia bisa sesuai dengan cita-citanya terhadap Indonesia pada masa depan.

Mahasiswa Punya Peran Sentral

Jadi, bagaimana Sahabat? Ternyata,  mahasiswa dan para pemuda itu punya peran penting dalam tiap perubahan yang terjadi di Indonesia. Lantas, tidak ada salahnya jika kita menggantungkan harapan masa depan Indonesia kepada mereka. Bangsa Indonesia lewat mahasiswa dan pemuda harus punya visi besar untuk mengubah Indonesia jadi lebih baik dari hari ke hari. Tanpa peran sentral para pemuda, gerakan sosial di Indonesia akan menjadi statis dan banyak kesewenang-wenangan bisa terjadi di mana-mana. Pemuda dan mahasiswa bertugas mengontrol kebijakan yang ada agar tidak melenceng dari cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Jika kalian ingin tahu kelanjutan kiprah Habibie Muda di PPI Jerman, kalian bisa baca buku Rudy Kisah Muda Sang Visioner! Kalian bisa mendapatkan bukunya di sini dan di toko buku terdekat, ya!

Bagaimana Islam Memuliakan Perempuan?

Islam adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Di dalam Al-Quran, cukup banyak kisah yang menggambarkan betapa Islam memuliakan kaum perempuan. Hal itu juga membuktikan bahwa Islam adalah agama yang tidak membeda-bedakan. Islam tidak mendiskriminasi salah satu jenis kelamin seperti banyak opini yang berkembang. Banyak orang yang kurang memahami Islam memandang Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap kaum perempuan dengan segala batasan yang diberlakukan kepada mereka.

Beberapa kisah dalam Al-Quran membuktikan bahwa Islam benar-benar agama yang memuliakan kedudukan seorang perempuan, di antaranya kisah Maryam binti Imran, Khaulah binti Tsa’labah, kisah Ibunda Nabi Musa, serta kisah Aisyah radhiyallahu anha yang tidak lain adalah istri Nabi Muhammad Saw.

Maryam binti Imran

Maryam merupakan satu-satunya perempuan yang namanya disebut oleh Allah di dalam Al-Quran. Bahkan, ada satu surah, yaitu surah ke-19 di dalam Al-Quran yang dinamai Maryam. Selain di dalam surah Maryam, nama Ibunda Nabi Isa itu juga disebut dalam Surah Ali-Imran, Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Ma’idah, At-Taubah, Al-Mukminun, Al-Ahzab, Al-Hadid, As-Shaff, dan surah At-Tahrim.

Maryam sempat dicemooh dan dituduh telah melakukan zina karena mengandung Nabi Isa as. tanpa seorang suami. Ketika orang-orang di sekitarnya meragukan kesucian keturunan Nabi Daud as. itu, Allah sendiri yang kemudian menjamin kesucian dan kehormatan Maryam. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Surah Ali-Imran ayat 42 yang berarti “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).’”

Maryam merupakan seorang perempuan yang sangat memelihara kehormatannya, karena itu Allah meniupkan roh ke dalam rahimnya yang kemudian lahirlah Nabi Isa a.s. Al-Quran menggambarkan Maryam sebagai seorang perempuan yang suci dan terhormat sehingga Allah meninggikannya.

Khaulah binti Tsa’labah

Kisah lain yang menggambarkan bagaimana Islam memuliakan perempuan terdapat pada Surah Al-Mujadilah ayat pertama. Surat itu turun ketika seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa’labah mengajukan gugatan kepada Nabi Muhammad Saw. tentang zhihar yang diakukan suaminya, Aus bin Ash Shamit. Khaulah mengeluhkan sikap kasar suaminya yang sudah tua kepada Nabi. Namun, Nabi justru menyuruh Khaulah untuk kembali ke rumahnya dan berbakti kepada suaminya yang sudah tua itu.

Saat itulah turun Surah Al-Mujadilah ayat pertama yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan, Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Nabi kemudian membenarkan sikap Khaulah. Begitu juga dengan para sahabat yang mengakui juga keutamaan perempuan tersebut. Para sahabat selalu diam mendengarkan perkataannya sebagai penghormatan terhadap perempuan yang telah didengar pengaduannya oleh Allah. Hal itu membuktikan bahwa Islam juga memiliki hukum yang adil untuk perempuan, tidak mendiskriminasi seperti yang sebagian orang sangkakan.

Ibunda Nabi Musa

Kisah berikutnya menceritakan tentang seorang perempuan, ibunda Nabi Musa as, Yokhebed. Saat melahirkan anak laki-lakinya, Fir’aun, penguasa saat itu tidak mengizinkan kelahiran anak laki-laki. Apabila ada anak laki-laki bani Israil, Fir’aun akan membunuhnya. Kisah ini diceritakan dalam Al-Quran di dalam Surah Al-Qassas ayat 7 yang artinya “Dan, kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan, janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”

Sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan anak yang sangat dicintainya, perintah tersebut sungguh berat bagi Yokhebed. Namun, keimanan dan ketaatannya kepada Allah mengalahkan segala rasa sedih dan khawatir, ia pun dengan tabah dan tawakal akhirnya memasukkan Musa ke dalam peti dan menjatuhkannya ke sungai Nil sehingga terbawa arus.

Kisah selanjutnya sudah kita kuasai, Musa kecil kemudian diselamatkan sendiri oleh Fir’aun atas permintaan istrinya. Dan, kemudian Musa-lah yang meruntuhkan pemerintah tiran Fir’aun.

Aisyah radhiyallahu‘anha

Kisah terakhir datang dari istri Nabi Saw, Aisyah radhiyallahu anha. Kisah tersebut terjadi ketika Aisyah dituduh berzina dengan seorang sahabat bernama Shafwan bin Muaththal oleh seorang munafiq bernama Abdullah bin Ubay. Berita tersebut dengan cepat tersebar, tetapi kemudian Allah sendiri yang membela Aisyah. Bahkan, melalui 10 ayat di dalam Surat An-Nur.

Allah juga memperingatkan kepada orang-orang yang memfitnah Aisyah berzina tersebut. Seperti yang disebutkan dalam ayat ke-17 yang artinya “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”

Beberapa kisah di atas membuktikan bahwa Islam adalah agama yang begitu memuliakan perempuan. Islam tidak membeda-bedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam artian yang diskriminatif. Sebaliknya, Islam sangat menjunjung kesetaraan melalui banyaknya kisah-kisah para perempuan terhormat yang Allah ceritakan di dalam Al-Quran.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

Mengenal Tokoh Mufasir Indonesia

Tokoh mufasir Indonesia ternyata diakui sampai ke luar negeri. Mufasir merupakan seorang yang ahli dalam bidang tafsir ayat-ayat suci Al-Quran.

Dalam buku Tafsir Al-Quran di Medsos, Nadirsyah Hosen menyebutkan beberapa tokoh mufasir Indonesia. Berikut sedikit penjelasan mengenai mereka.

Syaikh Abdurrauf As-Sinkili

Ulama besar asal Aceh, Syaikh Abdurrauf As-Sinkili (1615—1693) adalah pelopor tafsir di Nusantara. As-Sinkili merupakan ulama Nusantara yang memiliki reputasi internasional. Adapun karya As-Sinkili yang paling tersohor adalah Tarjuman al-Mustafid, sebuah kitab tafsir berbahasa Melayu-Jawi atau Arab-Pegon. Pada saat itu, bahasa Melayu dipakai dalam birokrasi pemerintahan, intelektual, hubungan diplomatik antarnegara, hingga perdagangan.

K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani

Pada masa yang lebih modern, ada juga K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani. Dia adalah guru para ulama di pengujung abad 19. Kiai Soleh, sapaan akrabnya, menulis sebuah kitab tafsir berjudul Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an, berkat dorongan R.A. Kartini yang juga merupakan muridnya. Awalnya, Kiai Soleh enggan untuk menafsirkan Al-Quran. Ia paham syarat menjadi seorang mufasir sangatlah berat. Namun, setelah dibujuk oleh muridnya tersebut, Kiai Soleh akhirnya luluh dan bersedia menuliskan kitab tafsir berbahasa Jawa. Kitab tersebut kali pertama dicetak di Singapura pada 1894. Kiai Soleh Darat yang merupakan guru K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan telah menandai salah satu fase perkembangan tafsir Al-Quran di Nusantara.

K.H. Abdul Sanusi

Pada 1930-an, ulama asal Sukabumi, K.H. Abdul Sanusi juga menulis kitab tafsir lengkap 30 juz yang berjudul Raudlatul Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an. Kitab tafsir itu ditulis dalam bahasa Sunda. Kiai Sanusi menulis 75 kitab dengan beragam perspektif keilmuan.

Buya Hamka

Sosok Buya Hamka muncul sebagai mufasir Indonesia pada masa setelah kemerdekaan. Buya Hamka menulis beberapa kitab tafsir. Salah satu yang paling tersohor adalah Tafsir al-Azhar. Ia mulai rintis penulisannya melalui pengajian subuh di Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta pada 1958. Karya monumentalnya itu ia terbitkan pada 1967.

K.H. Bisri Mustofa

Ayahanda K.H. Mustofa Bisri, K.H. Bisri Mustofa, juga turut menandai perkembangan tafsir Nusantara. Bisri Mustofa, mufasir asal Rembang, Jawa Tengah tersebut sebenarnya bukan nama asli. Nama aslinya adalah Mashadi, baru pada 1923 setelah pulang dari Mekah menunaikan ibadah haji, ia mengganti namanya menjadi Bisri Mustofa.

Karyanya yang paling monumental adalah al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an al-Aziz yang berjumlah 30 juz. Pengerjaan kitab tafsir itu kurang lebih empat tahun sejak 1957 sampai 1960. Kitab berbahasa Jawa ini juga telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Sunda, Indonesia, bahkan Belanda, Inggris, dan Jerman.

Kitab ini juga mendapat pujian dari beberapa ulama seperti Habsy Ash-Shiddiqi, Khadijah Nasution, serta sarjana Belanda, Martin van Bruinessen. Seorang profesor muda ahli tafsir dan hadis keturunan India, Muhammad Shahab Ahmed, juga tertarik mempelajari Tafsir al-Ibriz. Ia bahkan merekomendasikan kitab tersebut sebagai salah satu koleksi di perpustakaan Universitas Harvard.

Muhammad Quraish Shihab

Saat ini, Indonesia juga memiliki ulama dengan reputasi internasional, yakni Muhammad Quraish Shihab. Ia dikenal sebagai seorang pakar tafsir kontemporer yang merupakan jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir. Dari beberapa karyanya di bidang tafsir, Tafsir Al-Misbah yang terdiri atas 15 judul bisa dikatakan sebagai karyanya yang paling monumental. Dalam menafsirkan Al-Quran, K.H. Quraish Shihab selalu membandingkan pendapat dari pakar yang satu dengan lainnya. Beberapa pakar yang kerap menjadi rujukan K.H. Quraish Shihab ketika menafsirkan Al-Quran di antaranya Ibnu Faris, Tabatabai, serta beberapa Syaikh dari Al-Azhar.

Itulah beberapa tokoh mufasir Indonesia dalam Tafsir Al-Quran di Medsos. Sebenarnya masih banyak tokoh lain yang juga memiliki kontribusi besar. Misalnya, di Minangkabau tercatat ada lima ulama yang menuliskan kitab tafsir berbahasa lokal. Hal tersebut menunjukkan adanya orientasi pragmatis di antara mereka, yaitu agar tafsir lebih mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Beberapa mufasir Nusantara lainnya yang terkenal di antaranya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dari Banten, Syekh Muhammad Yunus, Ustadz A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, Abdurrahim Haitami, K.H. Abdul Mu’in Yusuf, Anregurutta Daud Ismail, Hasbi Asshiedqy, dan Prof. K.H. Didin Hafiduddin.

 

Kontributor: Widi Hermawan

 

Berikut, Orang-Orang yang Dilupakan Allah

Dalam ayat suci Al-Quran disebutkan salah satu golongan yang akan dilupakan Allah adalah golongan orang-orang munafik. Dalam Surah At-Taubah ayat (9) yang mengatakan bahwa orang munafik itu telah lupa kepada Allah hingga Ia pun akan melupakan mereka. Itu artinya, siapa saja yang meninggalkan Allah, maka Allah pun akan menjauh darinya.

Lantas, Siapa Orang-orang Munafik Itu?

Ada sebuah hadis yang sangat tersohor yang menjelaskan ciri-ciri orang munafik. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Kitab Al-Iman hadis nomor 33. Dalam hadis itu disebutkan ada tiga ciri-ciri orang munafik, di antaranya jika berbicara maka dia berdusta, jika berjanji dia akan mengingkari, dan apabila diberi amanah maka dia akan berkhianat.

Dalam Al-Quran, kata al-munafiqun sendiri disebutkan sebanyak 27 kali, sedangkan kata nifaq yang merupakan bentuk masdar-nya disebutkan sebanyak tiga kali. Bahkan, ada surah di dalam Al-Quran yang bernama al-munafiqun, yaitu surah ke-63. Surah ini turun ketika pasukan Nabi tengah berperang di tempat Bani Mustaliq. Di tengah peperangan tersebut, ada seorang dari kaum Anshar bernama Abdullah bin Ubay. Ia mencoba menghasut orang-orang Anshar untuk tidak menyokong kaum Muhajir tinggal di Madinah sampai mereka berpisah dari Nabi Muhammad.

Akan tetapi, ketika ditanya oleh Nabi, Abdullah bin Ubay dan teman-temannya bersumpah tidak pernah melakukan hal tersebut, bahkan ia sampai bersumpah atas nama Allah. Keesokan harinya, turunlah surah al-Munafiqun sehingga Nabi menjadi tahu hal yang sebenarnya.

Sementara itu, Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa ciri-ciri orang munafik di antaranya jika melihat penampilan mereka maka kita akan terpesona. Jika mereka berbicara maka orang lain akan mendengarkan karena manisnya mulut mereka. Pada intinya mereka lebih mementingkan aspek lahiriah sehingga membuat orang lain terpikat.

Akan tetapi, sebenarnya hati mereka kosong dari iman, seperti kayu mati yang bersandar, tidak ada kehidupan dalam diri mereka. Mereka selalu mengira setiap teriakan yang keras, kebenaran yang nyata, maupun peringatan yang jelas sebagai bencana yang ditujukan kepada mereka. Hal tersebut karena orang yang kerap berdusta, hati kecilnya akan selalu takut kebohongannya akan terbongkar, walhasil mereka menjadi paranoid.

Cara Memperlakukan Orang Munafik

Orang-orang munafik juga memandang orang lain sebagai musuh, padahal merekalah musuh sebenarnya bagi umat Islam. Mereka sangat senang membolak-balikkan kebenaran, bahkan mereka tidak segan berdusta atas nama Allah. Alih-alih mencari maslahat, mereka justru lebih gemar mencari tipu muslihat.

Meski ciri-ciri orang munafik sudah tergambar baik di dalam hadis maupun di dalam Al-Quran, jangan sampai kita mudah menganggap orang lain munafik. Justru dengan adanya ciri-ciri itu seharusnya membuat kita mawas diri, bukan malah digunakan untuk menyerang sesama Muslim. Di samping itu, memberi label kepada orang lain adalah hak prerogatif Allah.

Sayangnya saat ini, banyak orang yang begitu mudah menuduh orang lain munafik hanya karena persoalan perbedaan pilihan politik. Di media sosial, bahkan dengan mudahnya orang bertanya dengan nada yang seolah meragukan keislaman seseorang hanya karena perbedaan pendapat. Bahkan, saat sedang panas-panasnya gejolak pemilu lalu, sangat ramai ajakan untuk tidak menshalatkan jenazah mereka yang memilih pemimpin non-Muslim karena dianggap munafik.

Padahal, para ulama salaf sangat berhati-hati dalam menilai keimanan seseorang. Selama seseorang tampak secara lahiriah bahwa mereka shalat, menikah secara Islam, berpuasa Ramadan, mereka cukup dihukumi sebagai seorang Muslim secara lahiriah. Sementara itu untuk urusan hati, apakah ibadah mereka diterima Allah, hanya Allah sendiri yang tahu, dan orang lain tidak punya hak apa pun untuk memberikan penilaian kepadanya.

 

Ketahui lebih banyak mengenai Tafsir Al-Quran di Medsos, karya terbaru Nadirsyah Hosen. Dapatkan info tentang buku tersebut, di sini.

Kontributor: Widi Hermawan

© Copyright - Bentang Pustaka