Butuh Terapi Jiwa untuk Atasi Depresi? Henry Manampiring Rekomendasikan Buku Ini

Henry Manampiring, influencer media sosial, dikenal sebagai sosok yang humoris, cerdas, serta tak pelit membagikan rekomendasi mengenai hal-hal baru. Setelah sukses menerbitkan buku laris Filosofi Teras, Henry membuka mata para generasi milenial tentang pentingnya kesadaran akan kesehatan mental. Terutama untuk mengatasi perasaan emosi negatif yang naik turun secara berlebihan dan berujung depresi.

Depresi memang tak bisa dianggap remeh. Apalagi banyak kasus percobaan bunuh diri yang dilatarbelakangi oleh perasaan tak berharga. Dalam skala yang lebih ringan, depresi mampu mengacaukan keseharian kita akibat putus harapan dan rasa sedih yang berlebihan. Menurut Henry Manampiring, selain terapi pengobatan klinis, cara lain yang bisa ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan hidup adalah dengan mepraktikkan ajaran filsafat Yunani-Romawi Kuno.

 

Rekomendasi Buku Nonfiksi sebagai Terapi Jiwa

Kini, Henry Manampiring merekomendasikan salah satu buku penting tentang ajaran dan praktik filsafat yang bisa berperan sebagai terapi jiwa. Buku tersebut adalah Philosophy for Life: And other dangerous situations karya Jules Evans, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Bentang Pustaka dengan judul Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya.

“Jika kamu masih menganggap filsafat sebagai topik yang mengawang-awang dan tak berguna, buku ini akan mengubah pandanganmu. Dengan bahasa yang lugas dan penuh cerita menarik, Jules Evans menunjukkan bahwa filsafat justru bisa menjadi ‘terapi jiwa’ dan pilihan laku hidup (way of life). Kita bisa belajar dari kaum Stoa bagaimana tangguh menghadapi kesulitan hidup, dari kaum Epicurean menemukan kenikmatan hidup sejati, dari Phytagoras soal mendisiplinkan mental, dari kaum Skeptis cara untuk tidak mudah dibohongi, dan lain-lain. Kamu bisa belajar menjadi lebih bijak dalam menjalani hidup dengan ide dan pemikiran yang sudah bertahan ribuan tahun di dalam buku ini. Buku ini juga menjadi salah satu inspirasi saya menulis Filosofi Teras,” pesannya.

Berikut ini kami rangkum tiga hal menarik dari buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya yang diulas oleh Henry Manampiring di channel Youtube-nya.

Rich result on Google's SERP when searching for 'Henry Manampiring Depresi''

Filsafat Membantu Penulis Buku ini Sembuh dari Depresi

Buku ini merupakan hasil tangkapan, riset, investigasi Jules Evans tentang berbagai aliran filsafat klasik zaman Yunani dan Romawi kuno. Evans menunjukkan bagaimana setiap aliran filsafat ini bertahan sampai sekarang: siapa saja pengikutnya, kelompok-kelompok yang menerapkan, dan bagaimana aliran-aliran tersebut masih relevan dengan kehidupan sekarang.

Pembahasan dalam buku ini berfokus pada School of Athens [Sekolah Athena], aliran yang berakar dari tradisi Yunani kuno. Aliran filsafat dari Yunani Kuno memang dikenal memiliki muatan way of life yang signifikan. Bagi Henry, aliran ini banyak memberikan nasihat mengenai panduan jalan hidup. Apalagi jika dibandingkan dengan aliran filsafat modern yang lebih njelimet dan susah dicari relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Menariknya, Evans tidak berposisi sebagai reporter atau investigator yang menuliskan hasil risetnya. Secara langsung dia bercerita tentang pengalamannya lepas dari depresi akibat aliran-aliran filsafat yang dipelajarinya. Ia juga menguraikan bahwa filsafat bukanlah kata-kata bijak semata, melainkan sesuatu yang bisa dipraktikkan setiap hari.

 

Henry Manampiring: Kenapa Buku ini Penting Dibaca?

Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya menunjukkan bahwa ada begitu banyak aliran filsafat yang bisa bermanfaat bagi hidup kita. Contohnya, Filsafat Stoa yang membantu kita untuk lebih resilien, lebih tangguh menjalani hidup, terlebih pada zaman resesi seperti sekarang. Dari Filsafat Epicurean, kita akan diajak untuk semakin memahami petuah “bahagia itu sederhana”. Skepticisme mengajarkan kita untuk berpikir kritis terhadap segala sesuatu, mempertanyakan banyak hal. Tentunya sangat relevan dengan situasi sekarang yang penuh hoaks dan fake news. Ada pula pembahasan mengenai kematian dari perspektif filsafat: Bagaimana kematian seharusnya tidak membuat kita takut?

 

Henry Manampiring: Cara Penulisannya Mengingatkan Saya pada Malcolm Gladwell

Tulisan Jules Evans mengingatkan Henry Manampiring pada gaya Malcolm Gladwell. Setiap babnya selalu diawali dengan kisah menarik dari seseorang, masalah dalam hidupnya, dan bagaimana praktik filsafat membantu orang itu menjadi lebih baik. Dengan bahasa yang mudah dan tidak njelimet, pembaca di Indonesia bisa menemukan aplikasinya di kehidupan sehari-hari. “Saya senang sekali buku ini akhirnya diterjemahkan oleh Bentang Pustaka. Semoga tulisan ini lebih banyak menjangkau orang-orang di Indonesia,” ujar Henry.

 

Nah, demikian tadi tiga nilai lebih dari Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Buku ini tengah memasuki masa PO yang berlangsung pada 1 hingga 11 Oktober 2020 di laman bentangpustaka.com.

covid-19 konspirasi

COVID-19: Musibah Atau Konspirasi?

Covid-19: musibah atau konspirasi? Apa yang terlintas di pikiran Anda saat mendengar kata lockdown 309 tahun? Bagaimana rasanya jika akses satu daerah ditutup selama 309 tahun? Atau bagaimana kalau orang-orang dilarang (tidak boleh) beraktifitas di luar dan keluar rumah selama 309 tahun? Mungkinkah itu terjadi? Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan lain yang musykil mendapatkan jawaban pastinya. Untuk menemukan jawabannya, silakan nikmati paparannya dalam buku bersampul putih ini.

Covid-19: Musibah atau Konspirasi

Lockdown 309 Tahun adalah karya esai/buku Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun yang ke-48. Judul lockdown 309 tahun itu sendiri diambil dari kisah ashabul kahfi, yaitu tujuh pemuda berimana yang di-lockdown Allah selama 309 tahun dalam sebuah gua. “Beberapa pemuda yang bersembunyi di gua kahfi itu pendekar semua…Ilmu pengetahuan diri mereka mumpuni ilmu pertarungan mereka canggih. Olah senjata mereka tingkat tinggi. Tapi, Allah menyembunyikan mereka di dalam gua yang semua orang menyangka itu adalah sarang anjing sehingga  tak ada yang memasukinya, sebab di mulut gua itu terjurai dua kaki anjing Qithmir dan Raqim.” (hlm.13)

Buku Lockdown 309 Tahun ini berisi tentang refleksi penulis yang cemas terhadap situasi nasional dan internasional akibat COVID-19. Bisa apapun nuansa dan arah refleksi itu, tetapi yang pasti kasus dahsyat COVID-19 harus menjadi bahan perenungan atau keberangkatan baru untuk memperbaiki hidup manusia. Karena, Coronavirus tidak punya kesalahan dan dosa apapun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan dan keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan umat manusia dimuka bumi. COVID-19 bukan bagian dari jin atau manusia, yang pada ujung zaman kelak harus mempertanggungjawabkan perilakunya di forum hisab Allah. Corona dipancing, dirangsang dan direkayasa sendiri oleh budaya manusia, oleh ilmunya yang angkuh, oleh pengetahuannya yang congkak, dan oleh peradabannya yang penuh kibriya,” demikian penegasan penulis.

Lockdown 309 Tahun

covid-19 konspirasiMaksud dari penulis mengangkat tema ini adalah agar kita sebagai pembaca bisa belajar dari nilai hidup ashabul kahfi terutama dalam hal ketaatan menjalankan perintah Tuhan. Dan manusia mesti menyadari bahwa segala yang berasal dari tuhan pada akhirnya akan kembali. Namun, apa yang berasal dari Wuhan hampir tidak ada yang kembali ke Wuhan. Wuhan adalah tempat asal-usul, tapi bukan tempat kembali. Mungkin dari Wuhan COVID-19 menemani tuan rumahnya hingga ke liang kubur. Tuhan menaburkan rahmat, Wuhan menggali perasaan untuk melaknat. Lalu, Tuhan menanamkan nikmat, Wuhan menancapkan kesumat. Kemudian, Tuhan menyebarkan manfaat, Wuhan memancing kuwalat. Ketuhanan Yang Maha Esa, kewuhanan yang maha malapetaka. Tuhan menganugerahkan kekuatan, Wuhan memperluas kelemahan.

Covid-19 dan Buku Cak Nun

Di buku ini dibahas pula bahwa COVID-19 bukanlah fenomena alam melainkan hasil rekayasa kekuasaan manusia. Lalu, apakah Covid-19 adalah musibah atau konspirasi? Virus ini diciptakan di Universitas North Carolina Chapel Hill dan mereka menerbitkan hasil-hasil penelitiannya pada november 2015.  Dr. Zheng Li Shi, yang mewakili laboratorium spesialis patogen dan biosafety, Institut Teknologi Wuhan China. Dr. Shi adalah sosok sangat penting disini. Dari 2014, Dr. Shi menerima berbagai pendanaan dari pemerintah USA. Juga dari program nasional Basic Research China. Akademi sains China, Badan Nasional Natural Sains China program penelitian prioritas, akademi ilmiah China, untuk membantu mendanai penelitian Coronavirus.

Baca juga: Proses Kreatif Cak Nun dalam Buku Lockdown 309 Tahun

COVID-19 ini diasosiasikan sebagai virus frankestein (Frankestein adalah nama monster yang terdapat dalam cerita “Frankestein the Prometheus” karya Mary Shelly). Awalnya bukan virus yang menjangkiti manusia. Virus ini perlu berevolusi dulu, perlu berubah, dan membutuhkan waktu. Namun seiring berjalannya masa  virus ini dirancang dan direkayasa untuk tujuan tertentu.

Begitulah. Buku yang pembahasannya merakyat ini sungguh buku yang membuat pola berpikir pembacanya terbuka seluas-luasnya untuk menanggapi suatu kejadian. Pembaca diajak untuk menganalisanya bukan hanya dari satu aspek melainkan juga dari berbagai aspek. Sungguh buku yang luar biasa. Selamat membaca. (*)

 

Nabila Maisaroh, anggota Komunitas Pelajar Literasi (Komplit) “Sabha Pena” dan Kru Majalah Pendidikan “Al-Mashalih” di MAN Bondowoso

Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

Identitas Francis Fukuyama

Politik Identitas dan Demokrasi Liberal

Francis Fukuyama, ahli ekonomi politik yang fenomenal lewat buku The End of History and the Last Man kembali dengan karya terbarunya mengusung isu politik identitas.  Buku edisi aslinya terbit 2018 dan edisi Bahasa Indonesia pada Maret 2020. Adanya edisi Bahasa Indonesia ini nampaknya karena Fukuyama termasuk salah satu ilmuwan AS yang pemikiran-pemikiran cukup dikenal di kalangan intelektual kita.

Seperti dikatakannya di bagian awal, penulisan buku Identitas ini dipicu kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS November 2016. Ia terkejut sekaligus terusik akan implikasinya terhadap negara adidaya itu dan dunia. Hasil Pilpres AS tersebut merupakan kejutan elektoral kedua tahun 2016 setelah hasil referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Namun ia tidak sedang membahas “kemurungan” perkembangan demokrasi di AS, Inggris atau Eropa saja. Pada mulanya Fukuyama memang terusik oleh kemenangan Trump, yang tak hanya dianggapnya sebagai produk, tetapi juga kontributor atas fenomena membusuknya lembaga modern yang dapat mengancam prospek konsensus demokrasi liberal. Namun diagnosanya melintas ruang dan waktu menelusuri asal usul masalah yang menjadi ihwal “pembusukan” dimaksud, termasuk di negara yang demokrasinya sudah mapan seperti AS dan Inggris.

Fukuyama banyak menyorot apa yang disebutnya sebagai fenomena bangkitnya identitas dan politik identitas di berbagai belahan dunia. Menurutnya, pasang naik identitas dan politik identitas bermula dari tuntutan pengakuan atas martabat (thymos) pada konteks individu maupun kelompok, yang perspektif sejarahnya ditarik jauh ke zaman Plato, namun menjadi masalah ketika para tokoh nasionalis populis dekade kedua abad 21 mempolitisasinya untuk mendapatkan kekuasaan berbiaya “murah”.

Akibatnya, corak pengakuan universal dalam konsep demokrasi liberal kemudian ditantang oleh bentuk tuntutan pengakuan lebih sempit berdasarkan atas bangsa, agama, sekte, ras, etnis, atau gender yang kemudian justru mengakibatkan munculnya populisme anti-imigran, kebangkitan Islam yang terpolitisasi, serta fraksi-fraksi yang terpecah belah. Ia mengurutnya dari peristiwa gelombang Musim Semi Arab, Brexit, kampanye “American First” Donald Trump hingga Gerakan #MeToo yang memperluas pemahaman populer tentang kekerasan seksual.

Ia mengatakan nasionalisme maupun agama tidak akan menghilang sebagai kekuatan dalam politik dunia, khususnya dalam sistem demokrasi liberal, karena sistem ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah thymos, bagian jiwa yang membutuhkan pengakuan. Fukuyama kemudian “menawarkan” semacam penguatan identitas nasional inklusif yang dapat menjawab tuntutan pengakuan martabat sekaligus meredam potensi merebaknya politik kebencian, khususnya di negara-negara demokrasi liberal dan multikultur.

Fukuyama dan buku ini memang tak kurang mendapatkan kritik. Salah satu pertanyaan muncul: apakah Fukuyama masih konsisten dengan ramalannya mengenai “Akhir Sejarah” sebagai kemenangan demokrasi liberal? Fukuyama membela diri, apa yang dikatakannya seusai Perang Dingin awal 1990-an itu masih terkoneksi dengan pengamatannya atas keadaan politik sekarang. Ia malah menyebut para pengkritiknya tak memperhatikan esai asli tentang “akhir sejarah” memiliki tanda tanya di akhir judul dan di antara mereka tidak membaca bab-bab selanjutnya. Tak mengejutkan, pada ujungnya Fukuyama masih meyakini masa depan demokrasi liberal, sekalipun dengan segala tantangan dan ancamannya.

Apa relevansinya dengan Indonesia? Gejala politik yang diangkat dalam buku ini cukup kontekstual dengan fenomena politik yang terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Di negeri kita politik identitas dengan corak baru juga menguat khususnya sejak Pilkada Jakarta 2017 lalu. Tak heran, Fukuyama  dalam bukunya ini juga sekilas menyinggung kasus politisasi agama yang “korban”-nya adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang beragama Kristen dan beretnis Tionghoa (h.86).

Walaupun dalam mengupas bahaya dan ancaman terhadap peradaban politik modern Fukuyama dikritik sangat bias dengan perspektif demokrasi liberal, khususnya AS yang menjadi titik tolak keprihatinannya, tetapi sejumlah argumen pokok dalam buku ini terutama menyangkut penguatan politik identitas dalam spektrum politik populis (kanan) juga menjadi tantangan serius bagi banyak negara demokrasi lainnya, termasuk Indonesia.

 

Israr Iskandar, dosen sejarah FIB Universitas Andalas

*Pernah dipublikasikan di Singgalang Minggu, 28 Juni 2020

rekomendasi novel masa pandemi

Cita-Cita Mengalahkan Segalanya

Manusia, mana mungkin dapat berteman dengan kengerian. Mana mungkin tidak menghadapi ketakutan. Dan mana mungkin luput dari hidup dianggap beban. Apalagi beban pendidikan. Namun fakta tak berucap demikian. Membela—karena pintar bukan peniiaian lewat satu sisi. Bukan kenamaan yang terlihat lewat sekelebat. Sisi lain perlu dikaji.

***

Kisah ini tentang manusia dan lingkaran ilmu pasti, bernama matematika. Hantu di ruang kelas pendidikan yang menawarkan kengerian bagi beberapa orang tak suka. Formula-formula yang menakutkan bisa jadi muncul lebih dari satu kali dalam hitungan saban minggu. Ini tampaknya  cukup menggambarkan kisah-kisah dalam buku Guru Aini ini. Kisah-kisah lintas generasi dengan menyuguhkan seputar ilmu matematika lewat cerita menggelitik.

Ciri khas yang selalu disuguhkan oleh Andrea Hirata adalah kisah-kisah jenaka dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kisah sederhana dan penyampaian fakta-fakta menyentuh pada setiap kehidupan apalagi para murid yang masih duduk di bangku sekolah. Belum lagi diksi-diksi yang cukup menarik menjadikan pembaca seolah mendapat hiburan (cukup berkomedi).

Kisah di novel ini dimulai dari anak yang bercita-cita mulia menjadi guru matematika. Terinspirasi dari guru matematikanya saat SMA. Maka, ia pun melanjutkan studinya di program guru matematika. Tidak hanya itu, alasannya menjadi guru matematika salah satunya adalah melihat kelangkaan guru matematika di Indonesia.

Desi Istiqomah, istiqomah sesuai dengan idealismenya. Sejak cita-cita itu muncul dan kuliah di sebuah perguruan tinggi, maka nantinya ia harus bersedia ditempatkan dimanapun bahkan pelosok negeri yang menjadi prioritas akibat kelangkaan guru matematika.

Setelah lulus dari perguruan tinggi beserta ilmunya yang tidak dapat diragukan lagi. Tibalah dimana Desi harus menerima kenyataan ditempatkan di sebuah daerah bahkan namanya saja tidak dapat ditemui di dalam peta. Namun semua itu tidak  menyurutkan langkahnya akan cita-cita menjadi guru matematika. Penggambaran perjalanan Desi cukup berhasil membuat pembaca yakin bahwa sulit meraih daerah paling pelosok itu.

Tidak berhenti di situ, tantangan hidupnya seolah telah terdaftar rapi setelah ia sampai dan mengajar salah satu sekolah di Kampung Ketumbi. Misinya adalah menemukan siswa jenius matematika. Nantinya ia akan mengajari, mendidik bahkan mengikutkannya dalam sebuah lomba. Pada akhirnya, Ibu Desi menemukan siswa dalam misinya walaupun tak memberikan akhir kebahagiaan. Debut Awaludin, siswa jenius matematika. Diikuti Rombongan sembilan yang bertolak belakang membuang matematika.

Pada kisah ini pula, Bu Desi seolah diuji nurani keguruannya. Debut menolak untuk dididiknya. Menolak untuk menjadi kian lebih pintar. Dan memutuskan untuk tidak melanjutkan. Itu semua berhasil memuncakkan kekecewaan Bu Desi. Setelah kejadian yang tidak mengenakkan ini, bukan malah surut idealismenya. Tapi semakin mantap untuk kian mencari, lebih-lebih atas keyakinan dirinya ini.

Dalam kurun waktu yang lama itu, ia malah menjadi guru yang sangat disegani karena kegalakannya dan yang paling diingat murid-murid di Kampung Ketumbi. Di saat kegalakannya kepada murid semakin banyak dikenal, bukan menemui siswa jenius matematika. Tapi didatangi bencana intelektualitas yang lebih menguji lagi hidupnya sebagai guru.

Nuraini datang dengan beban terberat: tidak menyukai matematika. Namun Aini seolah otomatis melangkah demi Ayahnya yang sakit keras. Dengan menjadi dokter untuk menyembuhkan ayahnya maka  ia harus pintar matematika dengan belajar langsung kepada pakarnya. Pilihan berat jatuh kepada Bu Desi yang bahkan saat pertama masuk ke sekolah, Aini doakan tolak bala’ agar tidak mengajar matematika dikelasnya. Dan itulah Aini menganalogikan dirinya saat itu.

Ketidaksukaan Aini kepada matematika telah dengan sempurna dikalahkan oleh cita-cita. Langkahnya secara yakin mengarahkan dirinya kepada Bu Desi. Walau harus dengan tertatih belajar. Dan selama itu masih sering muncul keputusasaan. Bahkan ketika berbagai cara telah Bu Desi jejali untuk menjauhkan Aini dari kegelapan akan matematika. Akankah Aini mampu keluar dari kegelapan itu? Dan untuk para pembaca, novel Pak Cik Andrea Hirata senantiasa menanti kalian.

 

 

Fatmawati, anggota ekskul KIR-literasi “Sabha Pena” dan kru Majalah Pendidikan “Al-Mashalih” MAN Bondowoso

*Pernah dipublikasikan di koran Bharata edisi 26 Juli 2020

Menapaki Jejak Raden Saleh

Dengan diberi judul berbahasa Jerman ”Historische Tableau die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”, lukisan itu memberikan imajinasi pada kita terhadap peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro yang bersiap memulai perjalanan menuju ke pengasingan. Melihat karya Raden Saleh itu tak bias dimungkiri jika sebagian di antara kita menilainya asli sesuai dengan kejadian.

Raden Saleh menuntaskan penciptaan lukisan berukuran 112 x 178 sentimeter itu pada tahun 1857. Adapun sketsa sebagai rancangan awal lukisan mulai dia goreskan pada tahun 1856. Raden Saleh terinspirasi membuat lukisan tersebut setelah membaca De Javasche Courant edisi 3 Februari 1855 yang mewartakan kematian Pangeran Diponegoro pada 8 Januari 1855 (Harsja Bachtiar dalam Carey, 2002; Kraus&Vogelsang, 2018). Benarkah?

Kabar soal pengasingan Pangeran Diponegoro ke luar Jawa kemungkinan besar sudah diketahui Raden Saleh tahun 1830-an. Bahkan, dia sempat bersua Jenderal Hendrik Merkus de Kock ketika menempuh pendidikan seni lukis di bawah asuhan Cornelis Kruseman. Raden Saleh mengunjungi studio Kruseman pada tahun 1932. Di studio itu, dia berinteraksi dengan masyarakat kelas atas yang menjadi model lukisan Kruseman, salah satunya jenderal yang mengakhiri Perang Jawa (1825-1830) itu.

Sebelum itu, pada tahun 1831, Raden Saleh terenyak ketika diminta mengidentifikasi sebuah keris oleh Reiner Pieter van de Kasteele. Keris itu bukan keris sembarangan, melainkan salah satu keris milik Pangeran Diponegoro bernama Kiai Naga Siluman. Jenderal de Kock menghadiahkan keris itu kepada Raja Willem I (halaman 96-102).

Hubungan dengan Pangeran Diponegoro tanpa jumpa fisik itu setidaknya tidak melenyapkan jejak Raden Saleh dalam ingatan publik Indonesia. Raden Saleh lahir di sebuah desa kecil di Semarang, Terboyo. Tahun kelahirannya simpang-siur. Namun, lahir tahun 1811 lebih sesuai dengan data-data kehidupan Raden Saleh. Orang tuanya menitipkan dia sejak kecil kepada Bupati Terboyo, Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V. Dalam lingkungan keluarga angkatnya itu, Raden Saleh sebenarnya telah menyelami perjuangan Pangeran Diponegoro. Sura Adimenggala V dan kedua putranya kelak menanggung akhir kehidupan memilukan akibat mendukung Perang Jawa.

Bersimpang Jalan

Takdir bagi Raden Saleh memang bersimpang jalan. Kejeniusannya dalam mengayunkan kuas tercium oleh pejabat kolonial. Sekitar usia Sembilan tahun, dia meninggalkan Terboyo untuk mendapatkan kemewahan fasilitas mengembangkan bakat seni melukis. Bermula di Buitenzorg (kini Bogor) dalam asuhan Antoine Auguste Joseph Payen, Raden Saleh selanjutnya belajar melukis di belantara Eropa. Dia menghabiskan masa hidupnya selama 22 tahun di Belanda, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris, serta menjadi bagian dari sejarah kesenian Eropa. Dia pulang ke Jawa dan wafat di Buitenzorg pada tahun 1880. Di makam Raden Saleh tertulis Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kanjeng Raja Walanda.

Penulis novel ini tak bisa menghindar dari fakta pemosisian Raden Saleh dalam sejarah Indonesia. Untuk meramu jejaknya, novel mereka bagi dalam dua arus zaman. Pertama, abad ke-19, masa kehidupan Raden Saleh. Kedua, abad ke-20, masa pergerakan nasional menuju ke kemerdekaan. Dari tokoh Syamsudin dan Syafei dalam novel ini, pembaca bisa mengikuti semarak opini mengenai Raden Saleh. Dari dua tokoh itu, novel ini juga mengalirkan kisah romansa yang menggairahkan.

Menulis fiksi sejarah tentu berbeda dari menulis fiksi an sich. Yang paling sulit adalah menentukan cara bertutur yang pas tanpa mengorbankan tulang punggung sejarah ataupun bangunan kisah fiktifnya. Bila terlalu banyak fakta sejarah, novel bias semacam diktat kuliah. Penulis novel yang malang-melintang dalam jagat sastra dan beberapa kali menyabet penghargaan prestisus diyakini lulus meracik fiksi sejarah.

Penulisan novel ini sebenarnya dimulai pada tahun 1999. Di tengah pasang surut penulisan justru muncul anugerah pengayaan literatur sejarah. Tak sekadar riset pustaka, tetapi juga menginjakkan kaki di sejumlah lokasi yang dirambah Raden Saleh. Diskusi suntuk dengan pakar Raden Saleh seperti Warner Kraus tak alpa mereka lakukan. Dengan basis pendidikan seni rupa, penulis novel ini menyuguhkan kepada pembaca geliat sosok dan gaya lukis abad ke-19.

Judul novel ini sebenarnya semacam tanda tanya, siapakah Pangeran dari Timur? Ada tiga sosok yang disematkan dengan julukan itu dalam novel ini. Terlepas dari julukan itu, Raden Saleh tercatat sebagai intelektual mumpuni pada zamannya. Selain sebagai pelukis, dia juga kolektor dokumen etnografi dan arkeologi, arsitek, ahli palentologi, perancang pertamanan, dan pendiri berbagai taman margasatwa

Apakah novel ini kerja besar ketika pada tahun 2020 ini berhasil terbit? Pembaca bisa menilai dengan menelusuri novel setebal 500 halaman lebih ini, ukuran lebar kertas 15 cm dan panjang 23,5 cm. Selamat membaca untuk menambah penasaran.

 

Hendra Sugiantoro, penikmat buku dan pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

*Pernah dipublikasikan di koran Suara Merdeka, Minggu 5 Juli 2020

Demokrasi Liberal

Petaka Amerika dan Ironi Demokrasi

Kita tak melupa Mark Twain. Pengarang bercerita manusia-manusia dan tempat-tempat di Amerika Serikat dengan lelucon dan derita tak tertanggungkan. Ia memiliki biografi ironis tapi memberi persembahan humor untuk para pembaca cerita di Amerika Serikat dan dunia. Ia ingin Amerika Serikat girang dan tertawa saat memiliki seribu masalah. Kini, Amerika Serikat membesar dengan berita-berita pedih mengenai wabah, rasisme, dan kepongahan Trump. Kita terlalu dihajar berita ketimbang menelusuri lagi jalan-jalan cerita Amerika Serikat. Pada saat menua, Mark Twain berujar untuk warisan Amerika Serikat: “Aku tak memiliki prasangka terhadap warna kulit, kasta, atau kepercayaan.” Ia cuma mengetahui manusia adalah manusia.

Wabah belum rampung, petaka rasial tergelar di Amerika Serikat. Masalah-masalah besar itu turut “merusak” tatanan demokrasi. Kita sudah lama tak mutlak berkiblat demokrasi itu Amerika Serikat. Pada situasi tak keruan, kita berpikiran lagi identitas dan demokrasi mengalami pasang-surut di negara besar dipimpin Donald Trump. Konon, masa depan kebebasan sebagai pijakan demokrasi dipertaruhkan di  Amerika Serikat, melebihi kasus-kasus di negara-negara lain. Di alur sejarah seabad, Fareed Zakaria (2003) mengingatkan: “Kemunculan dan dominasi Amerika Serikat – negara yang politik dan budayanya sangat demokratis – telah membuat demokratisasi tampak tak terelakkan.” Pada masa setelah keberakhiran Perang Dunia II, demokrasi menjangkiti pelbagai negara. Dulu, Amerika Serikat menjadi “kiblat” tapi tak kekal. Misi besar itu menghilangkan ajakan Mark Twain agar Amerika Serikat sering tertawa ketimbang memerintah, menggertak, menghukum, dan menghina negara-negara lain.

Petaka-petaka di Amerika Serikat mula-mula dijelaskan secara sengit oleh Francis Fukuyama melalui buku berjudul Identitas: Tuntutan Atas Martabat dan Politik Kebencian. Bacaan bagi kita di rumah berlagak mengamati Amerika Serikat sedang kelimpungan menanggulangi wabah dan mendapat “kutukan” demokrasi. Buku tipis, tak semegah seperti buku The End Histoty and the Last Man. Buku terbaru mengingatkan orang-orang tentang politik identitas berlaku di Amerika Serikat, menular ke pelbagai negara di naungan demokrasi. Konon, buku berjudul Identitas diakui “mendesak” dan “wajib” dibaca mumpung Amerika Serikat semakin bermasalah rumit gara-gara omongan dan pelbagai kebijakan Trump. Episode negara besar kekurangan dan kehilangan tawa. Negara itu sangar.

Francis Fukuyama lugas mengajukan penjelasan berkaitan identitas dan politik identitas sedang seru menjadi isu global. “Pada mulanya, identitas tumbuh sebagai pembeda antara diri seseorang dan dunia luar, dengan segenap aturan dan norma sosial yang tidak cukup mampu mengenali nilai atau martabat diri seseorang tersebut,” tulis Francis Fukuyama. Di tatanan mengaku demokrasi, identitas perlahan memicu konflik-konflik. Semua dipengaruhi omongan dan ulah penguasa, diimbuhi sekian kebijakan mulai diskriminatif. Perlawanan atau kekacauan tercipta tapi mengalami tekanan mengacu ke ilusi-ilusi demi keberlangsungan kekuasaan. Politik identitas pun menguak aib-aib dan gejala keruntuhan demokrasi telanjur lama diagungkan.

Pada 2010, tragedi besar dialami Mohamed Bouazizi, memicu perlawanan berubah menjadi Musim Semi Arab. Para diktator di Dunia Arab dilawan dan dijatuhkan. Semua berlu dari tindakan polisi merampas dagangan sayur di gerobak milik Bouazizi. Peristiwa itu menjadi berita cepat beredar ke sembarang arah. Bouzazizi membakar diri. Unjuk rasa digelar di pelbagai tempat: mengubah sejarah (demokrasi) abad XXI. Francis Fukuyama mengingatkan: “negara tidak memperlakukan Bouazizi sebagai manusia.” Siapa saja patut mendapat rasa hormat dan perlakuan adil. Tindakan sembrono dan khianat atas demokrasi menghasilkan petaka besar. Kini, lakon polisi semena-mena terhadap warga berkulit hitam memicu gegeran di Amerika Serikat.

Abad XXI memiliki lakon-lakon mengejutkan dalam masalah identitas dan demokrasi. Segala kejutan mungkin harus mengacu lagi ke sejarah Revolusi Prancis. Episode itu mengakui martabat dasar manusia. Pengakuan menjadi pokok gerakan demokratis. Negara wajib menjamin hak-hak secara rasional demi membenarkan demokrasi. Pada situasi mutakhir, kita justru melihat dan mendapatkan berita demokrasi tampak di mulut dan lembaran kertas sebagai omong kosong. Di pelbagai negara, suguhan diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan, rasisme, dan lain-lain terus menodai “roman” demokrasi ingin dipamerkan Amerika Serikat dan negara-negara besar.

Pada gairah membesar dan arah berbeda, Francis Fukuyama mengamati: “Salah satu karakteristik yang mencolok dari politik global pada dekade kedua abad XXI adalah kekuatan baru yang dinamis yang membentuknya terdiri atas partai dan politisi nasionalis atau agama, dua wajah politik identitas….” Pengamatan mengarah ke Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Timur. Kita pun bisa menaruh pengamatan itu terjadi di Indonesia atau negara-negara di Asia Tenggara. Masalah-masalah rumit memicu konflik sering bermunculan berkitan tata cara demokrasi dan sosok-sosok penguasa. Kita mungkin bosan dan capek melihat dan mengikuti kiprah Trump. Dunia memang memberi “panggung” untuk segala pementasan Trump ingin menjadikan Amerika Serikat terampuh dan selalu menangan terhadap negara-negara lain.

Pada abad “menonton” melalui layar-layar, kita gampang mengetahui Amerika Serikat berkaitan demokrasi, politik identitas, Trump, dan lain-lain. Situasi mutakhir di Amerika Serikat bisa dilihat sambil diselingi membaca halaman-halaman di buku berjudul Identitas. Francis Fukuyama sempat membuat kita mengingat persembahan novel pernah memberi nubuat masa depan bergantung teknologi. Demokrasi berseru kebebasan, kebahagiaan, dan kesetaraan kadang sulit terbukti. Pembaca diajak menengok ke novel berjudul 1984 (George Orwell) dan Brave New World (Aldous Huxley) untuk mengerti kontrol dan perlawanan. Pada “roman” demokrasi berlangsung abad XXI, kita pun mengerti ada kabar buruk selain mimpi-mimpi terlalu lama dimiliki demi dunia. Begitu.

Bandung Mawardi

*Pernah dipublikasikan di Suara Merdeka, 12 Juli 2020

rekomendasi novel masa pandemi

Memijarkan Semangat Melalui Rekomendasi Novel Masa Pandemi

Masa pandemi bikin kamu males baca rekomendasi novel? Di musim wabah ini, yang demikian menguras energi, terutama pikiran kita akan keselamatan diri dan keluarga, jangan sampai kita terjebak paranoid massal. Salah satu penawarnya, terutama bagi saya, ya membaca karya sastra. Lantunan kata indah, pulasan kalimat memukai, dalam balutan fiksi, sejenak membawa benak kita pada realitas lain. Pada bayangan lain yang umumnya bercerita keindahan kenyataan, sekaligus di sisi lain menyetuh hati.

Rekomendasi Novel Masa Pandemi Untukmu

Itu pula yang coba ditawarkan novelis asal Belitung, Andrea Hirata, dalam novel ke-10 nya. Dalam 300 lembar lebih halaman buku ini, berfokus pada dua orang: Nuraini binti Syafrudin atau Aini (seorang murid SMA) beserta guru matematika-nya, Desi Istiqomah.

Aini dilakonkan sebagai anak paling bebal dalam pelajaran matematika. Sejak SD, sakit perutnya kambuh jika ada pelajaran tersebut. Kebiasaan yang entah kenapa bisa diturunkan dari ibunya Aini, Dinah, dulu sewaktu masih sekolah. ”Kalau ada pemilihan putri paling tak becus matematika tingkat Provinsi Sumatera Selatan, lekas kudaftarkan kau, Dinah!” kata gurunya tersebut.

Akan tetapi, kisah berubah ketika ayah Aini jatuh sakit dan ia tak naik kelas karena absen 7 bulan untuk menjaga ayahnya. Sang tabib bilang kepada Aini kalau penyakit ayahnya ini hanya bisa disembuhkan pengobatan modern. Sejak itu, Aini ingin menjadi dokter.

Masalahnya, agar jadi dokter, tentu harus menaklukkan matematika agar bisa kuliah di fakultas kedokteran. Untuk itu, sekalipun berhadapan dengan guru super killer, ia harus berhadapan Bu Desi, guru terbaik matematika di Pulau Belantik tersebut.

Guru Aini: Guru Matematika yang Idealis

rekomendasi novel masa pandemiSeorang guru matematika yang terkenal idealis. “Tanpa idealisme, matematika akan menjadi lembah kematian pendidikan,” kata Bu Guru, selalu, di muka kelas. Selain galak, terkenal esentrik karena hobi baca Novel berbahasa Latin serta punya nazar relatif aneh.

Guru Desi tidak akan pernah mengganti sepatu pemberian ayahnya yang sudah dipakai sejak pertama kali pergi ke tempat terpencil itu, sampai ia menemukan murid yang pintar matematika. Di sinilah cerita guru eksentrik dan murid bebal terjalin menarik.

Akankah Aini berhasil menaklukkan matematika, sekaligus membuatnya masuk Fakultas Kedokteran demi cinta pada ayahnya? Seluruh jawab pertanyaan ini digambarkan Andrea dengan gaya khas tulisannya-nya selama ini: Runtun menggambarkan, penuh kejutan dari sisi plot, diselipi humor cerdas, sesekali ilmiah, dan seluruhnya khas Melayu.

Andrea seolah “sadar” untuk kembali pada kisah andalannya yakni perjuangan merebut mimpi dari segala lemah keterbatasan. Setelah pada novel ke-9, Orang-Orang Biasa, memunculkan kisah konspirasi pembobolan bank oleh amatir yang lucunya bisa berhasil –dan terkait kisah Aini di novel sekarang. Sebuah genre baru, yang sekalipun gayanya tetap khas Melayu, namun bukan masuk kategori “Andrea banget”. Penasaran bagaimana kisah dari Guru Aini? Dapatkan di sini. Kamu juga bisa dapatkan Guru Aini di Mizanstore.com.

Guru Aini mengobarkan semangat berpijar agar semua kita berani bergerak melampaui keterbatasan. Semuanya mungkin selama tekad tercanangkan dan dijaga betul. Sebuah novel yang menarik dibaca pada periode penuh tantangan dan gejolak pada spirit kita.

Muhammad Sufyan Abdurrahman, Dosen Digital PR FKB Telkom University

*Pernah dipublikasikan di Tribun Jabar 29 Maret 2020

© Copyright - Bentang Pustaka