read aloud kegiatan pramembaca yang asyik

Read Aloud! Kegiatan Pramembaca yang Asyik

“Be-a ba, er-u ru, baru”. Jika berbicara tentang belajar membaca, pasti yang terngiang di pikiran kita adalah proses menghafal huruf dan mengeja dua huruf-dua huruf, kan? Mengeja huruf memang merupakan bagian dari proses belajar membaca. Dalam buku Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja, disebutkan bahwa terdapat dua tahap dalam membaca, yaitu tahap pramembaca dan tahap teknis membaca. Mengeja huruf merupakan tahap kedua.

Sayangnya, selama ini guru dan orang tua terlalu banyak berkutat padatahap teknis membaca dan mengesampingkan tahap pramembaca (Baca: Tantangan Mengajari Anak Membaca). Padahal, kunci sukses anak untuk bisa membaca ada pada tahap pramembaca. Seperti apakah tahap pramembaca itu? Tahap pramembaca merupakantahap untuk mempersiapkan anak belajar membaca. Apa yang anak butuhkan untuk membaca?

Pada hakikatnya, kemampuan membaca dan menulis merupakankemampuan berkomunikasi dengan baik. Vidya menekankan bahwa kemampuan membaca berbeda dengan kemampuan memahami bacaan. Sayangnya, orangtua seringkali mengupayakan segala cara agar anak cepat bisa membaca, tanpa memperhatikan kemampuan yang kedua. Dengan bisa membaca, mestinya kita juga bisa memahami apa yang kita baca untuk kemudian diolah dan disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu, tahapan pramembaca yang perlu dilakukan adalah kegiatan yang menunjang  berkomunikasi.

Read Aloud!

Dalam bukunya, Vidya menyebutkan beberapa cara kegiatan pramembaca, antara lain bernyanyi, berbincang-bincang, menyimak dongeng, dan kegiatan read aloud. Kegiatan pramembaca yang  mendapat banyak sorotan dan kajian lebih dalam adalah read aloud. Read aloud atau membaca nyaring merupakan aktivitas membacakan buku dengan suara keras untuk anak. Kegiatan pramembaca read aloud yang dilakukan orangtua secara rutin dapat menciptakan rasa cinta membaca yang efeknya bisa sampai seumur hidup.

Kegiatan read aloud juga bisa menjadi media penguatan ikatan antara orangtua dan anak. Kuncinya yakni interaksi dan keterlibatan. Melalui buku yang dibacakan orangtua, topik-topik obrolan hangat bersama anak akan muncul dengan sendirinya. Lebih jauh lagi, Vidya menambahkan bahwa kegiatan read aloud juga manjur untuk memperkaya kosakata anak dengan level pemahaman yang lebih tinggi.

Lalu, bagaimana cara melakukan read aloud dengan benar? Apa yang perlu diperhatikan? Apa lagi manfaat yang anak dapatkan dari aktivitas read aloud? Seluk-beluk mengenai aktivitas read aloud akan dikupas tuntas oleh Vidya dalam bukunya Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja! Apakah Anda tertarik untuk mempraktikkan read aloud bersama anak? <Rahma>

ilmu fikih untuk kemanusiaan

Mengenal Fikih demi Agama yang Lebih Humanis

Mengenal fikih dan memahaminya secara utuh, terkadang lupa untuk dilakukan. Pengenalan dan pemahaman secara utuh, tidak terlepas dari belajar tentang sejarah kemunculan agama.

Ada beberapa agama yang oleh sejarawan digolongkan sebagai agama samawi atau agama langit, satu di antaranya yaitu Islam. Hal ini akan berpengaruh kepada konstruksi pemikiran kita dalam memahami agama Islam. Kita mengenalnya sebagai kumpulan aturan dan norma yang turun dari “atas” dan kita di bawah tinggal mengikutinya.
Tidak ada ulama yang mempertentangkan gagasan dasar tersebut, gagasan bahwa sumber ajaran agama Islam tidak berkompromi dengan manusia.

Perdebatan yang dimulai, adalah pilihan antara apakah kitab suci bersifat qadim (terdahulu) atau hadis (baru). Para ulama bersepakat bahwa dalam menentukan hukum atas suatu perkara yang khusus, yang belum ditemukan pembahasannya secara tekstual, maka diperlukan intepretasi. Hasil interpretasi inilah yang melahirkan cabang ilmu baru bernama fikih. Maka kita perlu mengenal fikih secara khusus dan memahaminya.

 

Bagaimana Cara Memahami Fikih?

Para ulama ahli fikih mendasarkan pengambilan hukum pada berbagai kaidah yang disepakati. Semuanya bertujuan untuk menghidupkan maqashid syariah (landasan aksiologis) atau nilai yang menjadi tujuan dalam beragama. Maqashid syariah ini, pun, mengalamai perbedaan pendapat.

Ada yang mengatakan lima poin dan ada ulama yang mengatakan enam poin. Poin-poin tersebut antara lain adalah hifd–ad-din (menjaga agama), hifd–an–nafs (menjaga jiwa), hifd–al–mal (menjaga harta benda), hifd–al–aql (menjaga akal), hifd-an-nasab (menjaga keturunan).

Dari pemahaman teks klasik, tafsir, interpretasi, analogi serta berbagai dukungan ilmu lain yang dapat mengkorelasikan kondisi yang terjadi saat ini dengan sumber hukum utama yaitu Al-Quran dan Hadis makan terwujudlah fikih yang kita kenal saat ini.

Seperti apa wujudnya? Hukum meninggalkan puasa ramadan, hukum menyentuh anjing, cara bersuci, zakat, dan lain-lain yang lebih bersifat praktis dibanding filosofis. Hal ini menjadi wajar, karena fikih merupakan turunan dari berbagai nila yang menajadi bahan pertimbangan.

 

Apakah Fikih Adalah Ilmu yang Kaku?

Tidak. Ilmu fikih adalah ilmu praktis, bukan ilmu kaku. Pengambilan hukum (istinbath) dalam fikih dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan juga diberlakukan dengan tujuan kemanusiaan.

Oleh karenanya, berdampingan dengan fikih, lahirlah ilmu bernama ushul fikih. Ilmu ini mempelajari bagaimana cara pengambilan hukum terhadap peristiwa tertentu. Metodologi apa yang harus digunakan serta memahami cara mengaplikasikan pendapat sahabat hingga ulama dalam mendasari suatu hukum.

Dari sini, kita dapat menyadari mengapa dalam melakukan praktik ibadah dan praktik muamalah dalam kehidupan keseharian tidak bisa seragam. Fikih ada bukan untuk menyeragamkan umat, tetapi untuk memberi pijakan dalam melakukan sesuatu. Sehingga apabila terjadi perbedaan pendapat, perbedaan sikap ulama maupun suatu kelompok kita tidak perlu menghujat dan terburu-buru mempermasalahkan selama hal tersebut dalam rangka bersama-sama mewujudkan maqashid syariah agama Islam.

Kita harus tetap berpegang teguh bahwa satu-satunya Al-Hakim adalah Allah, jadi kita tidak perlu menjadi hakim untuk praktik keberagaan orang lain. Kita perlu menngingat bahwa fikih yang sedang kita jalankan adalah upaya untuk mencapai nilai keimanan dan ketakwaan, bukan upaya pembenaran tindakan kita kepada manusia yang lain.

Pangeran dari Timur, Perjuangan Melawan Waktu

Setelah melalui masa proses kreatif yang cukup panjang, novel Pangeran dari Timur akhirnya terbit. Novel ini bercerita tentang sosok pelukis tanah air yang karya-karyanya populer di Eropa dengan ciri khas lukisannya yang mengandung unsur romantisme Jawa. Tidak lupa pula, sisi kontroversial dari sang maestro dikulik oleh Kurnia Effendi dan Iksaka Banu.

Di balik proses kepenulisan novel Pangeran dari Timur sekitar 20 tahun, tentu ada berbagai macam godaan dan hambatan dalam menyelesaikannya.

Perjuangan Melawan Waktu

Kurnia Effendi dan Iksaka Banu kemudian berpikir ulang apakah tidak eman-eman apabila novel ini dihentikan? Berhubung sudah di tengah perjalanan, akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan menulis Pangeran dari Timur dengan catatan mereka saling menyemangati satu sama lain.

Di antara jeda yang cukup lama, sekitar 20 tahun. Novel Pangeran dari Timur ini menjadi ibu dari lahirnya karya-karya mereka yang lain, seperti cerpen, puisi yang masih satu tema tentang Raden Saleh. Dalam poses kepenulisan Pangeran dari Timur membutuhkan banyak literatur, mulai dari tahun 1811 – 1833 dan plot keduanya dari 1900-1953, sehingga banyak sekali bahan yang bisa dipakai untuk lahirnya karya-karya yang lain.

Dan itu salah satu yang memotivasi mereka berdua agar tetap menyelesaikan novel Pangeran dari Timur. Benar-benar Perjuangan!

Tidak Ada di Novel Lainnya

Di dalam kepenulisan novel ini ada beberapa kesepakatan yang ditaati oleh Kurnia Effendi dan Iksaka Banu. Mereka berdua membuat semacam panduan istilah-istilah maupun kosa kata yang tidak mungkin ada di awal abad 20 dan abad 19. Contohnya kata “Anda” yang jelas belum digunakan di abad itu, kata “beliau”, dan lain sebagainya. Jadi, dalam menulis novel ini, bahasa harus disesuaikan dengan latar waktu cerita masing-masing.

Tidak hanya itu, yang menjadi ciri khas unik dari proses kreatif novel ini salah satunya membuat kamus nama-nama jalan. Nama-nama jalan yang terdapat dalam novel ini adalah nama jalan  yang ada di abad 19 dan abad 20.

Yang jelas tujuan adanya kesepakatan tersebut adalah untuk membawa pembaca seakan-akan mereka benar-benar berada di zaman Raden Saleh hidup. Keren, kan? (Rizal)

Credit : Stocksnap

Patah Hati Tak Bisa Hilang, Tapi Bisa Disembuhkan

Tiap hari ada jutaan orang patah hati. Coba saja kamu iseng-iseng berselancar di internet dan menuliskan keyword “cara mengatasi patah hati”, seketika itu pula muncul 2,720,000 laman yang berisi kiat sukses mengobati hatimu yang telanjur terluka. Namun pertanyaannya, apakah patah hati bisa hilang?

Jika pertanyaan itu ditujukan kepada Adjie Santosoputro, ia dengan tegas akan menjawab bahwa patah hati tak bisa sepenuhnya hilang, tapi bisa disembuhkan.

Di dalam karya terbarunya Mengheningkan Cinta, Adjie menilai patah hati sebagai sesuatu yang tak hitam-putih. Ketika kebanyakan orang menilai patah hati sebagai sebuah kegagalan, ia melihat patah hati sebagai perasaan yang setara dengan perasaan lainnya yang hilir-mudik di hatinya.

Diskusi  dengan Sunyi

Baginya, Sunyi—kawan bercakap Adjie—selalu mengajaknya untuk membiarkan rasa itu datang. Biarkan pula rasa itu pergi. Tak perlu susah payah dilawan. Semakin dilawan, rasa itu malah akan menetap. Namun, tak perlu pula larut menikmatinya. Bisa terjebak drama. Saya rasa apa yang diutarakannya adalah sifat yang bijak, mengingat manusia adalah makhluk penuh dengan kompleksitas hidup, bahkan dalam urusan patah hati sekalipun.

Ketika kita patah hati, ada berbagai konteks situasi dan kondisi yang melingkupi diri kita. Dalam keadaan yang bingung, kadang kita lupa sejenak mengambil napas untuk kembali sadar pada saat ini dan di sini.

Kita jadi hilang ketenangan dan pada akhirnya malah terus-menerus berkubang dalam penderitaan. Barangkali karena terbiasa melihat segala sesuatunya secara dikotomis, hitam-putih, dan benar-salah kita menjadi gagap untuk menyadari bahwa perasaan kita tak sesederhana itu.

Jangan Mudah Terjebak Dikotomi Perasaan

Menurut Adjie, kita sudah terbiasa menganggap rasa sedih sebagai sesuatu hal yang buruk, dan karena itu harus kita hindari. Rasa sedih akibat patah hati kita simpulkan sebagai penanda bahwa kita adalah orang yang gagal. Walhasil, kita pun mengutuk diri sendiri seolah-olah hal tersebut kesalahan besar dan dunia menjadi runtuh akibat kesalahan kita.

Tindakan selanjutnya bisa ditebak. Rasa sedih yang datang akhirnya kita terjemahkan sebatas pesan untuk tergesa-gesa bereaksi. Secara umum, banyak dari kita memilih tiga reaksi di antara tiga pilihan aksi.

Pertama, kita berusaha melawannya. Artinya kita memilih untuk melakukan penyangkalan bahwa kita adalah sosok yang kuat yang tak mungkin bisa patah hati. Kita menyangkal bahwa kita juga mempunyai hati yang sebenarnya rapuh dan butuh untuk dikuatkan.

Lalu, yang kedua adalah melarikan diri dari rasa sedih akibat sakit hati Dalam situasi ini kebanyakan dari kita mencoba mengalihkan perhatian dengan menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas. Tujuannya supaya pikiran kita tak lagi dihantui oleh kesedihan itu. Namun naas, kita tak benar-benar berusaha untuk memulihkan perasaan kita sendiri. Hal yang kita lakukan hanyalah kabur mengelak darinya. Hasilnya, suatu saat perasaan sedih datang lebih besar pada kemudian hari, dan kita seolah bingung apa yang menjadi penyebabnya.

Kemudian yang ketiga, ia biasanya mengurung diri menikmati kesedihan sehingga jatuh dalam kubangan penyesalan yang tiada akhir. Menurut saya, ini adalah kondisi yang paling ekstrem. Ketika seseorang menikmati kesedihannya secara berlebihan, ia akan serba takut menghadapi segala sesuatu. Realitas hidupnya menjadi suram melulu. Tidak seimbang dan berbahaya bagi kesehatan fisik serta mentalnya.

Belajar Tenang

Untuk menghindari tiga reaksi dari rasa sedih akibat hati yang patah, ada baiknya kita belajar tenang di tengah ketidakpastian. Caranya sederhana. Kita cukup memahami bahwa hidup selalu tersusun atas ketidakpastian.

Dengan demikian, kita akan dapat merasa baik-baik saja meski dasar tempat kita berpijak lenyap dalam sekejap. Hanya dengan cara itulah kita menjadi yakin bahwa pelajaran terbaik soal hidup ini terjadi pada saat kita jatuh lebih dalam. (Tejo)

Tantangan Mengajari Anak Membaca

Perbandingan sosial membuat kita berlomba-lomba agar anak menjadi yang tercepat bisa membaca. Berbagai upaya dilakukan orangtua agar anak bisa membaca secepat dan selancar mungkin, tanpa memperhatikan esensi dari “mampu membaca”. Akibatnya, banyak anak usia prasekolah yang lancar membaca, namun minim pemahaman atas apa yang dibacanya. Padahal, tujuan utama belajar membaca yaitu agar kita bisa memahami, mengolah, menyampaikan, dan memberikan opini terhadap suatu wacana. Dengan kata lain, menjadi manusia yang terliterasi. Berdasarkan studi Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, Negara Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari 46 negara dalam kemampuan membaca. Artinya, masih banyak pr untuk para guru, orangtua, dan pemegang kebijakan dalam menjawab tantangan mengajari anak membaca sebagai  proses paling awal menuju masyarakat terliterasi.

Teknologi, Membantu atau Menghambat?

Digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan turut berpengaruh terhadap dinamika perkembangan seseorang.  Jika 10 tahun lalu kita perlu berjalan menuju pangkalan ojek untuk mendapatkan jasa antarjemput, sekarang kita hanya perlu satu jari hingga ojek online muncul di depan rumah.

Perkembangan digital juga telah menyentuh area anak. Bukan hal aneh lagi jika kita menemukan anak kecil yang mahir memainkan gawai. Kabar baiknya, gawai dapat menjadi media belajar yang interaktif dan inovatif. Mau belajar apapun, gawai siap menawarkan solusi. Sayangnya, penggunaan gawai pada anak turut menghambat beberapa aspek perkembangan anak. Misalnya, adanya gadget dapat mengurangi interaksi anak dengan manusia sehingga akan berdampak pada kurangnya kemampuan komunikasi verbal.

Dalam buku Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja sang penulis, Vidya Dwi Paramita, menjelaskan bahwa gawai juga membentuk pola hidup instan. Gratifikasi instan tersebut tentu saja tidak membuat anak belajar akan ketekunan untuk memperoleh sesuatu. Vidya mencontohkan, anak bisa mewarnai suatu objek dalam gawainya hanya dengan satu ketukan, tanpa harus menggerakkan tangan dan mengarsir pelan. Akibatnya, kemampuan motorik halus akan kurang mendapat stimulus (Baca: pentingnya stimulasi motorik dalam buku Dr. Montessori Own Handbook). Padahal, anak butuh kemampuan motorik menggenggam pensil untuk mempersiapkannya belajar menulis. Jadi, kita harus bijak dalam memanfaatkan gawai untuk anak agar tidak menjadi bumerang bagi perkembangannya.

Empati dan Kesabaran

Terkadang kita lupa bahwa anak belum mengerti cara huruf dan bunyinya bekerja. Maka ketika anak tak kunjung bisa membaca, orang tua dan guru jadi frustrasi dan akhirnya memarahi anak. Di sisi lain, anak juga merasa tertekan dan akhirnya menganggap bahwa belajar ialah aktivitas yang menegangkan. Jadi, merupakan tantangan tersendiri dalam mengajari anak membaca untuk dapat berempati dan bersabar. Vidya juga menekankan bahwa dalam belajar, peran guru dan orangtua ialah pendamping dan pengarah, bukannya pemberi intervensi dan pemarah.

Mari kita merefleksi yang telah kita lakukan kepada anak. Apakah sudah tepat dan efektif? Atau justru membuat anak takut belajar bersama kita? Di buku Montessori: Keajaiban Membaca Tanpa Mengeja Vidya Paramita akan menjelaskan seluk beluk belajar membaca yang menyenangkan. (rahma)

 

Pangeran dari Timur Ditulis Selama 20 Tahun

Novel Pangeran dari Timur merupakan karya fiksi berbasis kisah hidup pelukis Raden Saleh. Ditulis bersama oleh Kurnia Effendi dan Iksaka Banu, novel ini membutuhkan waktu 20 tahun dari tahun 1999 sampai tahun 2019. Ada dua panggung sejarah di dalamnya yaitu panggung Raden Saleh dan panggung orang-orang masa pergerakan. Menarik, bukan?

Keputusan mereka membuat novel bersama tentu ada banyak pengaruh dan hambatan, bahkan saling bertentangan antara gaya tulisan dan perspektif mereka yang berbeda. Tapi lambat laun mereka menjadi saling melengkapi.

Iksaka Banu menggunakan literatur semacam koran Belanda untuk mengetahui data Raden Saleh ketika sekolah di Belanda. Bahkan dalam menuntaskan kisah Raden Saleh, Kurnia Effendi pergi ke Belanda dan memastikan data faktual Raden Saleh sebagaimana yang telah mereka temukan di koran Belanda. Tidak mengherankan apabila novel Pangeran dari Timur digarap selama 20 tahun.

Siapakah Raden Saleh?

Raden Saleh adalah seorang pelukis brilian asal Indonesia beretnis Arab-Jawa. Beliau adalah pelopor seni modern Indonesia. Lukisannya merupakan perpaduan romantisme yang sedang popular di Eropa saat itu dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang ciri khas lukisan Jawa

Mitosnya Raden Saleh ketika melukis makanan lalat akan datang. Ketika melukis bunga di kanvas, kupu-kupu tiba-tiba datang. Bahkan ada yang lebih ekstrem yaitu ketika Raden Saleh tidak terlihat sedang bersama-sama temannya lantas temannya menjemputnya di rumah. Ketika membuka pintu rumah, teman-temannya kaget karena melihat mayat di depan pintu rumahnya, padahal itu hanyalah lukisan mayat.

Sebegitu indah dan nyatanya lukisan beliau, sehingga terdapat banyak mitos di kalangan pegiat lukisan.

Bagaimana ya Kolaborasi antara Kurnia Effendi dan Iksaka Banu?

Proses penulisan yang sangat matang hingga mencapai lebih dari 1 dekade. Salah seorang penulis, yaitu Iksaka Banu, adalah peraih Kusala Sastra Khatulistiwa. Dia juga merupakan penulis dengan spesialis cerita bertema kolonial, sementara Kurnia Effendi adalah penulis fiksi kenamaan yang aktif berkegiatan di dunia literasi.

Perbedaan tersebut justru membuat Kurnia Effendi dan Iksaka Banu saling melengkapi. Keunggulan dari novel ini ditulis double plot dengan pembagian yang straight, Iksaka Banu menulis sejarah Raden Saleh dan Kurnia Effendi menulis plot masa pergerakan dengan menghadirkan nuansa pertengkaran yang dapat memancing emosi pembaca. Dan itulah yang menjadi tujuan mereka untuk membuat semacam vonis, siapa sih Raden Saleh itu? maka dibuatlah dua kubu pertentangan sehingga pembaca dapat menginterpretasikan sendiri, siapa Raden Saleh itu?

Kolaborasi keduanya membuahkan karya novel sejarah yang menarik dibaca!

Pembebasan Perempuan Dimulai dengan Revolusi Hati

Pembebasan Perempuan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan punya beragam persoalan tentang kesetaraan gender yang menghambat upaya pembebasan perempuan. Mulai dari persoalan hubungan tak setara dalam pernikahan, terbatasnya akses pendidikan, maraknya pernikahan dini terhadap anak perempuan, kerja reproduktif tak berbayar, hingga persoalan timpangnya angka partisipasi perempuan di parlemen.

Perempuan berdaya

Credit : Picsart

Dari segudang persoalan tersebut, perlu adanya wadah bagi perempuan untuk berbagi keluh kesah dan merancang langkah-langkah strategis untuk mengubah budaya masyarakat yang patriarkis menjadi lebih setara.

Ketika perempuan memiliki wadah untuk berkumpul dan berbagi cerita, perempuan merasa saling memiliki satu dengan yang lain. Lalu, ketika perasaan itu tumbuh, perempuan akan menghargai diri sendiri sehingga dapat mendorong bersatu dan menuntut hak-haknya.

Perempuan tidak lagi manusia terasing, tetapi orang yang sadar akan kekuatan dan potensi dirinya sendiri. Ia dapat menciptakan budaya baru yang lebih manusiawi dan setara. Dari sana, ia memiliki keluarga dan rumah untuk berpulang. Dan, perlahan-lahan mereka mulai berusaha menghilangkan ilusi yang didesakkan oleh masyarakat patriarkis tentang ketidakberdayaannya.

Kekuatan dari Perdamaian dengan Hati

Selain dengan gigih membentuk wadah untuk menyusun langkah strategis, ada satu prinsip dasar yang coba ditawarkan oleh Melinda Gates dalam membebaskan perempuan dari ketimpangan gender. Prinsip tersebut adalah revolusi hati dengan cara berdamai dengan perasaan sakit.

Ketika seorang perempuan terluka, ketika ia sakit hati, ketika ia marah kepada masyarakat atas perbuatan mereka padanya, hanya ada satu jalan untuk mengakhiri semua perasaan ini, yaitu dengan menerima perasaan-perasaan itu. Pelajaran tersebut didapatkan Melinda dari para perempuan dalam gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia. Untuk mewujudkan revolusi hati, kita harus merelakan hati kita terluka dan melebur dalam kesakitan yang mendasari kemarahan.

Akan tetapi, penerimaan bukan berarti menerima dunia apa adanya tanpa berusaha mengubah keburukan di dalamnya. Artinya, berdamai dengan rasa sakit, kita dapat membedakan mana motif balas dendam dan mana motif keadilan.

Para pemimpin besar tidak pernah mencampuradukkan motif penegakan keadilan dengan keinginan untuk membalas dendam. Para pemimpin yang dapat mengendalikan rasa sakitnya telah menanggalkan kepentingan pribadi demi berkumandangnya nilai-nilai kemanusiaan.

Seorang perempuan yang memiliki keteguhan hati seperti itu dapat membebaskan masyarakatnya dari cengkeraman budaya yang merendahkan perempuan. Lewat kemampuannya menggalang solidaritas dan keluasan hatinya, akan ada banyak perlawanan dan kemajuan. Dan, kemajuan ini bukan berasal dari perjuangan menggunakan kekuatan fisik, melainkan pendekatan moral.

Saat kita memperjelas bias gender yang tersamar, akan ada lebih banyak laki-laki dan perempuan melihat bias di tempat yang tak mereka duga, dan akan berdiri untuk menentangnya. Itulah cara kita mengubah norma-norma yang menyembunyikan bias-bias yang tidak kita ketahui. Kita melihatnya, dan kita mengakhirinya. (Zahra)

Apa Kamu Sedang Menanti Kelahiran Sang Buah Hati?

Saya mencemaskan rencana kehamilan saya. Ada Perasaan tidak yakin apakah saya cukup baik dalam menghadapinya berdua dengan suami. Sebenarnya saya luar biasa bergembira. Namun, gelombang kegembiraan saya datang bersama kecemasan.

Saya termakan ide bahwa saya harus menjaga kehamilan dan melakukan semuanya dengan benar. Beberapa jam setelah memberitahukan berita gembira kepada suami, saya segera berselancar di internet untuk membaca-baca situs web kehamilan Amerika dan bergegas membeli beberapa petunjuk kehamilan di toko buku berbahasa Inggris dekat Louvre. Saya ingin tahu, dalam bahasa Inggris sederhana, apa tepatnya yang harus saya khawatirkan?

Punya begitu banyak kecemasan dan hal untuk dipelajari membuat kehamilan terasa seperti pekerjaan purnawaktu yang menyita waktu saya, bahkan hanya untuk mengerjakan apa yang saya cintai. Melelahkan.

Apakah kamu juga merasakan itu?

Sejak pindah ke Prancis, saya berusaha untuk mencari teman sebanyak-banyaknya guna mengumpulkan berbagai macam referensi pola asuh di luar yang saya tahu, demi menyambut kelahiran anak yang sudah kami berdua rencanakan. Namun ternyata, Prancis membuat saya tercengang.

Perempuan-perempuan Prancis saya temui bukannya tidak acuh tentang menjadi ibu, atau tentang kesejahteraan bayi mereka. Mereka terpesona, peduli, dan sadar akan perubahan kehidupan yang begitu besar yang akan mereka alami. Namun, mereka mengungkapkannya dengan cara berbeda.

Sebagai warga Negara Amerika, saya terbiasa untuk mendemonstrasikan komitmen kehamilan dengan merasa cemas dan menunjukkan seberapa besar saya bersedia untuk berkorban, bahkan ketika hamil.

Sementara itu, perempuan Prancis menandai komitmen mereka dengan menampakkan ketenangan dan memamerkan fakta bahwa mereka tidak menolak kesenangan. Poinnya bukan bahwa semua pantangan kehamilan menjadi diperbolehkan, melainkan dalam masa kehamilan, kita sebaiknya tenang dan bijaksana.

Dalam masa kehamilannya, perempuan Prancis tetap terlihat bahagia, cantik, dan tidak kehilangan pesonanya. Oleh karena itu, semua pengalaman kehamilan dan pola asuh saya selama hidup di Prancis akan saya bagikan kepada kalian semua melalui buku terbaru saya yang bertajuk: Bringing Up Bebe.

Semoga kalian menyukainya.

Salam kasih,

 

Pamela Druckerman, penulis buku Bringing Up Bebe

launching karya andrea hirata

Guru Aini, Maryamah Karpov Kedua Andrea Hirata

[Review Buku] Membaca buku ini membuat pikiran saya melayang di suatu masa ketika guru matematika itu melempari saya dengan sebatang kapur. Di saat ia dengan serius menjelaskan rangkaian angka-angka, saya malah asyik makan kuaci bunga matahari di dalam kelas.

Guru Aini adalah prekuel dari novel Andrea Hirata: Orang-Orang Biasa. Prekuel itu awalan dari cerita sebelumnya. Novel Guru Aini sejenis novel from zero to hero. Dulu Andrea pernah menulis semacam ini ketika membuat novel Maryamah Karpov. Kali ini palagan itu bukan catur, melainkan matematika, ibu segala ilmu, piston yang menggerakkan seluruh mekanika kepandaian.

Guru Matematika yang Idealis

Nuraini binti Syafrudin atau Aini biasa ia dipanggil adalah tokoh novel ini yang paling bebal dalam pelajaran matematika. Sejak SD sakit perutnya kambuh kalau ada pelajaran itu. Sebuah kebiasaan yang entah kenapa bisa diturunkan dari ibunya Aini, Dinah, dulu sewaktu masih sekolah. ”Kalau ada pemilihan putri paling tak becus matematika tingkat Provinsi Sumatera Selatan, lekas kudaftarkan kau, Dinah!” kata Guru Matematika Desi Istiqomah.

Semua berubah ketika ayah Aini jatuh sakit dan ia tak naik kelas karena absen selama 7 bulan untuk menjaga ayahnya. Sang tabib bilang kepada Aini kalau penyakit ayahnya ini hanya bisa disembuhkan dengan pengobatan modern. Sejak itu Aini ingin menjadi dokter.

Masalahnya adalah ia harus menaklukkan matematika agar bisa kuliah di fakultas kedokteran. Untuk itu ia harus belajar kepada guru terbaik: Guru Desi. Guru matematika yang terkenal idealis. “Tanpa idealisme, matematika akan menjadi lembah kematian pendidikan,” kata Guru Desi.

Nazar yang Aneh

Guru Desi juga dikenal sebagai guru yang galak, genius, dan punya nazar yang aneh. Guru Desi tidak akan pernah mengganti sepatu pemberian ayahnya yang sudah dipakai sejak pertama kali pergi ke tempat terpencil itu, sampai ia menemukan murid yang pintar matematika. Di sinilah cerita guru eksentrik dan murid bebal terjalin menarik.

Guru Desi tak serta-merta menerimanya. Ia harus mengetahui seberapa kuat nyali Aini. Menurut Guru Desi ada tiga cara mempersulit diri sendiri di sekolah itu: “Pertama, masuk kelasku. Kedua, belajar matematika. Ketiga, belajar matematika dariku.”

Dengan berjalannya t kecil (baca: waktu) Guru Desi menerima Aini. Namun kebebalan seperti pungguk pengkor yang tak mau terbang dari tempurung kepala Aini. Guru Desi berusaha mencari cara bagaimana Aini bisa memahami matematika, tidak menjadi monumen kegagalannya mengajar, dan tak menjadi bagian dari statistik suram matematika dunia.

Juga Aini dengan tekad kuat berusaha tabah dengan kelakuan gurunya. “Di tiang bendera mana kepalamu pernah terbentur sehingga kau telat mikir begini?!” teriak Desi kepada Aini kalau tak mampu menjawab soal matematika. Guru Aini hampir menyerah sampai ia menemukan suatu cara terakhir.

Kuaci dan Fibonacci

Seperti biasa Andrea mahir memancing haru biru juga gelak tawa dengan humor-humornya. Karakter Guru Desi yang kuat menjadi daya pikat novel yang terbit di awal Februari 2020 ini walaupun bab pertamanya terasa membosankan. Tidak ada komentar lain selain ini.

Kemudian, bagaimana cara jitu Guru Desi mengajari matematika kepada Aini? Mampukah Aini seperti pesan Guru Desi kepadanya di suatu hari? “Buatlah sesuatu, supaya aku tak dapat melupakan namamu!” Bisakah Aini masuk fakultas kedokteran?

Tentu, menikmati dengan membaca sendiri novel itu lebih berkesan daripada mendengar akhir ceritanya dari orang lain. Oh ya, ingat dengan kuaci bunga matahari? Melihat pola bunganya, tersembunyi urutan Fibonacci. Matematika juga. Kalau saja guru matematika itu tahu dan saya tak bebal.

Selamat membaca.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10 Februari 2020

 

Review ini dikutip atas izin penulis dari

https://rizaalmanfaluthi.com/2020/02/10/resensi-buku-guru-aini-maryamah-karpov-kedua-andrea-hirata/

Penanaman Nilai kepada Anak dengan Media Humanis

Tentu kita pernah membaca kisah beberapa anak yang memiliki kepribadian luar biasa. Ada anak usia 7 tahun rela menggendong adiknya ke sekolah. Di lain sisi, kita juga sering menemui, beberapa anak anak yang mudah marah ketika mainan dipinjam oleh temannya. Padahal, itu adalah mainan milik bersama di sekolah. Melihat kedua contoh di atas, muncullah pertanyaan, bagaimana bisa anak memiliki perkembangan kepribadian yang berbeda? Apa kunci dari penanaman nilai kepada anak? Dua hal di atas erat kaitannya dengan penalaran moral anak tentang bagaimana anak membedakan mana yang baik dan buruk.

Penuh tantangan. Itulah dua kata yang terlintas ketika membicarakan soal pendidikan anak. Sekilas, mendidik anak bisa terlihat sebagai hal yang mudah karena pelajaran yang dibutuhkan hanya hal dasar. Tetapi, ketika melihat lebih dalam, justru ini bisa menjadi hal tersulit. Sesuatu yang mendasar tak hanya bersifat sederhana, tetapi juga esensial. Dasar-dasar ini yang nantinya akan membentuk mereka; menjadi fondasi menjalani kehidupan. Bila di pelajaran ini gagal maka bangunan kepribadian anak akan sangat rapuh.

Perkembangan Moral Anak di Tahap Preconventional

Sebelum muncul pertanyaan lebih lanjut, mari berkenalan dengan teori perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg. Dia adalah seorang psikolog Amerika dan professor di University of Chicago. Menurut Kohlberg, moral anak umumnya berada di tahap preconventional. Tahap ini menggambarkan bahwa penalaran moral anak masih berdasarkan pada kontrol eksternal.  Artinya, anak menilai baik dan buruk bergantung pada respons eksternal yang ia dapat. Di sini, peran orangtua sangatlah besar. Orangtua harus secara tepat memberikan respons untuk setiap tindakan anak.

Untuk menanamkan nilai moral di tahap preconventional ini ada banyak cara. Obedience dan punishment disebut sebagai salah satu yang efektif. Cara ini menekankan pada kepatuhan anak dalam menjalani arahan orang tua. Hukuman juga diterapkan bila anak melanggarnya. Tak melulu berupa fisik, hukuman bisa berupa pengurangan uang saku dan sejenisnya. Meski begitu, metode ini dirasa kurang optimal. Kita seakan sebagai penegak aturan saja yang kurang memahami sisi manusia mereka. Oleh karena itu, kita juga butuh metode lain. Metode penanaman nilai dengan cara yang menyenangkan: membacakan cerita.

Menyentuh Sisi Emosional Anak dengan Cerita

Berbeda dengan obedience dan punishment, membacakan cerita lebih menyentuh sisi emosional anak. Bila obedience dan punishment memberi tekanan, sebaliknya, membacakan cerita memberi anak kesenangan. Anak dapat terhibur dengan cerita, sekaligus mendapatkan nilai yang sebaiknya ia pegang. Membacakan cerita juga akan membangun kedekatan antara orang tua dengan anak. Si kecil akan merasa orang tua sebagai sosok pelindung yang mencintainya. Efeknya, anak akan lebih kuat saat menggenggam nilai yang diajarkan orang tuanya.

Ada banyak sekali sumber cerita yang dapat orang tua manfaatkan. Orang tua bisa membacakan kisah nabi dan rasul, kisah para pahlawan pemberani, atau dongeng-dongeng rakyat. Misalnya pada buku Para Sahabat Kesayangan Rasulullah, si kecil dapat memetik pelajaran moral dibantu dengan fitur “Pojok Hikmah” yang tersedia di setiap akhir cerita.

Interaksi saat membacakan cerita juga perlu diperhatikan. Orang tua juga sesekali berdialog kepada anak saat membacakan cerita. Contohnya, menanyakan apa yang akan terjadi, apa yang sebaiknya dilakukan oleh tokoh, dan sejenisnya. Pertanyaan-pertanyaan ini akan menstimulasi kognitif mereka. Penalaran mereka akan terlatih. Mereka tak hanya memahami moral secara pasif, tapi juga dengan berpikir aktif. Inilah keunggulan metode menggunakan cerita.

Ada banyak sekali manfaat bercerita terhadap perkembangan moral anak. Interaksi dan kesenangan adalah kuncinya. Bila anak dapat belajar secara menyenangkan, penanaman nilai kepada anak akan menjadi lebih mudah. Interaksi juga menjadi kunci yang dapat melatih kognitif anak sekaligus membangun kedekatan dengan anak. Dengan ini, anak akan terbangun kepribadiannya, baik dari dalam maupun dari luar. Apakah Anda tertarik untuk mencobanya? (Rahma)

© Copyright - Bentang Pustaka