Tag Archive for: Theraplay

Theraplay Indonesia

Mengapa Kita Harus Memilih Theraplay di Indonesia?

Ketika mendengar kata Theraplay di Indonesia, apa yang terlintas pertama kali di benak kita? Mungkin beberapa ada yang sudah tahu. Mungkin ada juga yang mengira ini sama dengan play therapy atau bahkan ada juga yang baru pertama kali mendengar kata ini.

Theraplay adalah sebuah metode pengasuhan untuk membangun, meningkatkan, memperbaiki, dan memulihkan hubungan antara orang tua dan anak. Caranya adalah melalui kegiatan bermain yang intim, penuh sentuhan, dan menyenangkan.

Keunggulan Theraplay di Indonesia

Theraplay Indonesia

Ketika kita membicarakan tentang Theraplay, kata ini seolah hanya bermakna bermain. Tetapi, memang hal tersebut ada sedikit benarnya. Metode ini menekankan pada pentingnya komunikasi non-verbal sebelum komunikasi verbal. Dengan metode ini, kita bisa membangun bonding yang baik dengan anak dengan berbagai macam permainan sederhana.

Permainan-permainan yang direkomendasikan tidak membutuhkan biaya besar atau waktu yang banyak. Bahkan, beberapa permainan hanya membutuhkan tubuh kita. Lainnya hanya butuh benda-benda yang ada di sekitar dan tidak perlu membeli yang baru.

Pada metode ini, kita hanya membutuhkan waktu 30-45 menit per harinya untuk bermain bersama anak. Tentu dengan waktu yang bahkan kurang dari satu jam, kita bisa membentuk bonding yang semakin baik setiap harinya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak memiliki waktu bersama anak.

Permainan dan waktu yang kurang dari satu jam menjadikan Theraplay spesial. Theraplay merupakan metode yang sangat praktis dan menyenangkan untuk diterapkan bersama anak. Tidak hanya untuk membangun bonding tetapi juga menjadi metode untuk meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak.

Mengapa Memilih Buku Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay?

Theraplay masih bisa dikatakan baru di Indonesia, meskipun telah diperkenalkan ke Indonesia pada tahun 2014. Salah satu buku yang membahas ini adalah Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay karya Astrid W.E.N. Buku ini adalah buku Theraplay pertama di Indonesia dan langsung ditulis oleh seorang praktisi Theraplay pertama di Indonesia.

Dalam buku ini, Astrid W.E.N. berusaha untuk membantu orang-orang yang sulit untuk menjalin relasi dengan anak-anak. Selain itu, Astrid mencoba mengenalkan prinsip-prinsip Theraplay, serta memberikan contoh beberapa permainan yang bisa dilakukan bersama anak.

Dalam buku ini, penulis telah menyediakan pertanyaan-pertanyaan refleksi yang bisa direnungkan setelah membaca. Beberapa kasus yang pernah dihadapi oleh penulis juga terdapat dalam buku ini.

Yang terpenting mengenai buku ini ialah penjelasan mengenai attachment. Dalam buku ini, Astrid akan jelaskan secara lebih mendetail macam-macam attachment dan bagaimana solusi atas beberapa masalahnya. Buku ini juga memberikan contoh kasus relasi dengan anak yang sering kita jumpai. Penjelasan penyebab dan solusi atas masalah-masalah tersebut dipaparkan dalam buku lebih detail. dapatkan buku Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay di sini.

 

Enda Sinta Apriliana

Meningkatkan Bonding Orang Tua dan Anak dengan Metode Theraplay

Pernahkah kita mengeluhkan beberapa sikap atau perilaku anak yang sangat mengganggu. Misalnya, anak yang hiperaktif, pemalu, takut, tantrum, tidak disiplin, atau kecanduan gadget. Tidak jarang kita justru menyalahkan anak-anak tanpa memeriksa diri sendiri. Padahal, semua permasalahan tersebut berawal dari hubungan relasi antara orang tua dan anak yang kurang baik.

Kesibukan dan semua tanggung jawab kita sebagai orang dewasa menjadi alasan tidak adanya waktu untuk mereka. Namun, dengan metode Theraplay semua itu kini bukan hambatan lagi. Bahkan, hanya dengan waktu 30-45 menit saja, kita bisa meningkatkan bonding bersama anak. Istimewanya lagi, tidak perlu mainan mahal atau peralatan yang macam-macam. Cukup hadirlah utuh bersama anak dan rasakan keajaiban Theraplay yang begitu powerful.

Mengenal Metode Theraplay

Theraplay adalah intervensi psikologis untuk meningkatkan, memperbaiki, dan memulihkan relasi antara orang tua dan anak melalui kegiatan bermain yang intim, penuh sentuhan, dan menyenangkan. 

Namun, Theraplay dan Play Therapy adalah dua hal yang berbeda. Meskipun keduanya sama-sama terapi bermain, tetapi prosesnya berbeda. Play Therapy dikembangkan oleh Virginia Axline dan bersifat semi-directive atau terapis yang menentukan. 

Sementara itu, Theraplay dikembangkan oleh Phyllis Booth dan bersifat non-directive, melibatkan orang dewasa dan berfokus pada interaksi dalam permainan. Misalnya, ekspresi wajah, intonasi suara, sentuhan, dan gerakan.

Astrid Wen adalah seorang terapis theraplay pertama di Indonesia sekaligus di Asia Tenggara. Di awal tahun 2021 ini, bersama Bentang Pustaka, Astrid Wen menerbitkan buku pertamanya berjudul Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay. Di buku inilah, Astrid Wen membagikan beberapa tips melakukan metode Theraplay untuk meningkatkan bonding antara anak dengan orang tua.

Aktivitas Permainan Theraplay 

Theraplay memiliki 4 dimensi, yaitu Engagement (Ketertarikan), Nurture (Kasih Sayang), Structure (Struktur), dan Challenge (Tantangan). Masing-masing dimensi memiliki gaya permainan yang berbeda-beda sesuai dengan hal yang ingin diraih.

Pada dasarnya, kita bisa melakukan aktivitas-aktivitas di setiap dimensi tersebut. Akan tetapi, untuk beberapa kasus, bisa jadi ada dimensi tertentu yang lebih disarankan. Misalnya, dimensi Engagement cocok untuk anak yang menarik diri, menghindari kontak sosial dan untuk orang tua yang sibuk dan kurang peduli atau kurang akur dengan anak.

Di samping hal tersebut, ada beberapa aktivitas permainan sesuai metode Theraplay yang bisa dilakukan di rumah untuk meningkatkan bonding antara anak dengan orang tua.

1. Sticker Match

Tempelkan stiker di bagian tubuh tertentu, lalu lakukan tos sesuai dengan letak stikernya.

2. Feeding

Suapi anak dengan makanan, lalu dekatkan telinga kita ke mulutnya dan dengarkan suara kunyahannya. 

3. Cotton Ball Blow

Letakkan segumpal kapas di telapak tangan, lalu dekatkan ujung telapak tangan kita dan anak. Tiuplah kapas hingga berpindah tempat.

4. Measuring

Minta anak melompat dan menyentuh dinding sebisanya. Lalu, berikan tanda di titik sentuhnya.

Aktivitas permainan Theraplay tersebut bisa dimodifikasi dan disesuaikan dengan tingkat usia anak. Bahkan, sekalipun kita memiliki anak lebih dari satu, kita tetap bisa melakukannya bersama-sama secara bergantian.

Kini, tidak ada lagi alasan kesibukan kita yang menghalangi proses bonding dengan anak. Tidak perlu 24 jam full bersama anak, tetapi tingkatkan kualitas hubungan dengan anak melalui permainan Theraplay yang minim biaya, minim stres, dan membawa kebahagiaan. 

Untuk mendapatkan beberapa contoh permainan Theraplay lainnya, bisa dibaca lebih lanjut di buku terbaru Astrid Wen, Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay. Astrid akan membahas tentang beberapa persoalan emosi dan cara penanganannya dengan menggunakan metode Theraplay.

pengabaian anak

Problem Pengabaian Anak yang Tidak Disadari

Sering kali dalam suatu keluarga kita menemukan adanya pengabaian anak dan kurang eratnya hubungan antara orang tua dan anak. Padahal, keluarga terlihat harmonis dan baik-baik saja. Dalam bukunya yang berjudul Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay, Astrid W.E.N menyebutkan bahwa ada beberapa masalah pada hubungan anak dan orang tua.

Pengabaian Anak: Bersama tapi Tidak Terkoneksi

Salah satu kondisi ini adalah pengabaian anak tidak disadari. Hal ini terjadi ketika orang tua dan anak selalu bersama. Namun, tidak terkoneksi satu sama lain. Hal ini bisa terjadi pada keluarga siapa saja, bahkan pada keluarga yang tampak normal. Hal ini bisa terjadi sejak anak masih kecil dan dampaknya juga tidak baik.

Contoh yang bisa dirasakan adalah ketika orang tua dan anak berada dalam satu ruang yang sama namun sibuk sendiri-sendiri. Hal yang paling mungkin terjadi adalah ketika kita kurang memberikan ruang pada anak untuk membicarakan keseharian mereka.

Tanpa kita sadari, hal ini menyebabkan anak menjadi terabaikan. Orang tua jadi kurang mengenal anak dengan baik bahkan bisa jadi tidak kenal sama sekali. Dampak lainnya, anak menjadi cenderung tertutup dan tidak banyak berinteraksi dengan orang tua. Jika hal ini dibiarkan, komunikasi anak dan orang tua menjadi terhambat dan bisa jadi juga buruk.

Baca Juga: Meningkatkan Bonding Orang Tua dan Anak dengan Metode Theraplay

Sakit atau Mengalami Perawatan Medis

pengabaian anak

Ketika anak sakit dan harus dirawat di rumah sakit juga bisa memengaruhi kualitas relasi orang tua dengan anak. Kondisi ini menjadi sebab terputusnya relasi antara orang tua dan anak untuk sejenak. Waktu sejenak ini mampu membuat anak atau orang tua menjadi tidak nyaman.

Rasa tidak nyaman ini membuat kita mengeluarkan ekspresi-ekspresi negatif dan bisa menyakiti orang di dekat kita. Kita juga bisa merasa buruk karena melakukan hal itu kepada orang yang kita sayangi, namun tidak memiliki kuasa akan hal tersebut. Pada kondisi ketika anak atau orang tua sedang sakit dan mungkin harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, komunikasi dan kasih sayang yang diberikan juga harus ada.

Pengabaian anak sering kali tanpa sadar kita lakukan. Namun, hal ini juga sulit untuk dihindari. Ketika hal tersebut terjadi, jangan selalu merasa bersalah karena banyak hal yang berada di luar kendali kita. Dalam buku ini, Astrid W.E.N. tidak hanya memberikan kita informasi penting mengenai interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak, tetapi juga bagaimana penggunaan Theraplay atas interaksi tersebut.

 

Enda Sinta Apriliana

Periode Sensitif Anak

Bagaimana Menyikapi Periode Sensitif Anak?

Pada usia tertentu, anak akan mulai memiliki ketertarikan terhadap suatu hal. Ketertarikan ini bisa menjadi intens bahkan tidak menggubris hal lain dan tanpa alasan. Jika anak sudah berada pada periode sensitif, maka peran orang tua sangat penting untuk membantu mereka. Ada beberapa tips yang bisa diterapkan orang tua jika anak mulai memasuki periode sensitif.

 

Hal yang Orang Tua Bisa Lakukan

Ketika anak memasuki periode sensitif maka biarkan mereka mengeksplorasi hal yang menarik perhatian mereka. Mencegah mereka dalam memburu minatnya akan menghilangkan kesempatan untuk melakukan penaklukan secara fitrah. Anak juga bisa kehilangan sensitivitas dan hasrat istimewanya di area tersebut. Dampaknya bisa mengkhawatirkan perkembangan serta kedewasaan psikisnya.

Kesempatan untuk berkembang pada periode sensitif harus dibantu oleh orang tua atau orang dewasa yang dekat dengan anak. Orang tua harus memberikan sarana yang anak butuhkan untuk perkembangannya dan terutama yang tidak bisa ia lakukan sendiri. Orang tua harus menyediakan lingkungan yang memadai untuk embrio psikis dan embrio ragawi.

Hal-Hal yang Muncul Saat Periode Sensitif

Pada periode sensitif, keteraturan adalah hal yang pertama kali muncul. Pada buku Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay karya Astrid W.E.N, anak menggemari keteraturan karena lingkungan yang tetap dan terprediksi adalah kebutuhan vitalnya. Dengan lingkungan yang demikian, anak bisa mengotak-ngotakkan persepsinya dan dapat membentuk landasan konseptual internal untuk memahami dan menyikapi dunianya.

Periode sensitif kedua muncul dalam bentuk hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan. Melalui rabaan dan sentuhan, anak menyerap sifat-sifat benda di lingkungan sekitarnya dan berusaha untuk memengaruhinya. Melalui aktivitas sensoris dan motorik ini, struktur neurologis untuk bahasa anak juga akan ikut berkembang. Itu sebabnya, Montessori menyebut tangan dan lidah sebagai “instrumen” kecerdasan manusia.

Periode Sensitif Anak

Anak harus dikenalkan pada bahasa di periode sensitif ini. Jika tidak, kemampuan bahasanya tidak berkembang. Anak lazimnya dikelilingi aneka bunyi yang ia butuhkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa. Selain itu, di sekitar anak juga harus tersedia benda-benda yang bisa ia eksplorasi agar struktur neurologisnya bisa berkembang.

Periode sensitif ketiga adalah periode sensitif untuk berjalan. Ini merupakan yang paling mudah dikenali oleh orang dewasa. Montessori memandang masa ini sebagai kelahiran kedua untuk anak karena di tahap ini mereka beranjak dari makhluk tak berdaya menjadi insan yang aktif. Pada periode ini, anak gemar berjalan-jalan dengan jarak yang sangat jauh. Anak kecil berjalan untuk mengembangkan kemampuannya dan tidak memiliki tujuan.

Periode sensitif keempat adalah ketertarikan kepada benda-benda mungil dan rinci yang bahkan luput dari pengamatan kita. Anak mungkin tertarik pada serangga mungil yang nyaris tidak terlihat oleh mata manusia atau benda-benda di sekitarnya yang kecil seperti mainan kecil dan lain-lain. Periode sensitif kelima adalah ketertarikan pada aspek kehidupan sosial. Anak akan menjadi sangat penasaran akan hak orang lain dan berusaha untuk bersosialisasi dengan mereka. Ia juga akan berusaha mempelajari tata krama dan melayani orang lain.

 

Enda Sinta Apriliana

takut berpisah

Dilema dan Takut Berpisah dengan Orang Terdekat

Apakah anak mengalami dilema dan takut berpisah dengan orang terdekat? Pernahkah ketika kita membawa anak ke dunia luar, kita justru menjadi cemas dan khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi? Atau anak enggan untuk berpisah dengan kita ketika ia bertemu dengan temannya? Jika iya, kondisi ini disebut sebagai Separation Anxiety Disorder atau Gangguan Kecemasan Berpisah.

Ini merupakan kondisi ketika seseorang mengalami ketakutan atau kecemasan yang berlebihan serta tidak beralasan karena terpisah dari orang yang dekat dengannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak tetapi juga bisa dialami oleh orang tua.

Tanda Mengalami Kondisi Dilema dan Takut Berpisah

takut berpisah

Sulit bagi kita untuk membedakan apakah seseorang mengalami separation anxiety disorder atau hanya mengalami kecemasan dan kekhawatiran biasa. Ada tujuh ciri-ciri seseorang mengalami kondisi separation anxiety disorder, yaitu:

  1. Stres berlebihan yang terus-menerus saat individu terpisah dari rumah atau orang-orang tertentu dalam hidupnya.
  2. Khawatir akan kehilangan orang yang lekat dengannya, takut orang tersebut tertimpa sesuatu yang buruk atau meninggalkannya.
  3. Khawatir terus-menerus akan mengalami kejadian yang kurang menyenangkan seperti sakit atau tersesat atau yang akan memisahkan dia dengan orang terdekatnya.
  4. Menolak untuk pergi atau melakukan sesuatu karena takut akan momen perpisahannya.
  5. Menolak untuk tidur jauh dari rumah atau jauh dari orang yang dekat dengannya.
  6. Mengalami mimpi buruk tentang perpisahan.
  7. Mengeluh mengalami gejala fisik seperti sakit kepala atau mual saat terpisah dari orang yang dekat dengannya.

Ketika seseorang menunjukkan ciri-ciri ini, tidak berarti ia langsung bisa dikatakan mengalami gangguan tersebut. Ketakutan atau kecemasan ini perlu terjadi secara terus-menerus setidaknya empat minggu pada anak-anak dan remaja dan enam bulan atau lebih pada orang dewasa.

Jika seseorang menunjukkan ciri-ciri ini, lebih baik untuk menemui orang yang profesional daripada mendiagnosis sendiri.

Baca juga: Periode Sensitif dan Perkembangan Psikis Anak

Mengapa Bisa Terjadi Separation Anxiety Disorder?

Separation Anxiety Disorder muncul karena adanya perasaan tidak nyaman dan takut yang dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa atas suatu kondisi. Anak-anak biasanya mengandalkan rasa aman dari orang tua dan orang-orang terdekatnya, sehingga ketika ia tidak berada di dekat orang-orang ini mereka mengalami separation anxiety disorder.

Namun, ada pula masanya ketika anak mulai suka untuk mencoba segala sesuatunya sendiri. Mereka akan mencoba untuk belajar makan sendiri, jalan sendiri, dan lain-lain. Namun, jika ia memiliki perasaan takut atau tidak nyaman, ia akan kembali kepada orang tuanya untuk mengumpulkan rasa aman itu kembali.

Selain itu, anak juga mulai untuk bersosialisasi dengan teman sebaya mereka. Ia akan mulai merasa nyaman untuk berinteraksi dengan orang-orang yang sebaya dan menunjukkan inisiatif untuk bermain bersama. Namun, anak tetap masih bisa menunjukkan ketakutan berpisah dari orang tua mereka.

Usia tiga tahun adalah usia yang sangat penting bagi orang tua dan orang yang berada di sekitar anak untuk menyadari bahwa anak membutuhkan dukungan kemandirian dan mulai mempertahankan lingkungan yang aman.

Separation Anxiety Disorder adalah suatu kondisi yang menantang orang tua dan anak untuk sama-sama membentuk keteguhan dan keyakinan bahwa mereka berada di tempat yang aman meskipun terpisah. Untuk mengikis kecemasan ini tentu bukan hal yang mudah dan diperlukan waktu untuk bisa membangun kepercayaan diri serta keyakinan tadi.

Untuk memahami lebih lanjut mengenai separation anxiety disorder atau kasus lain mengenai relasi anak dengan prinsip Theraplay, kita bisa membacanya di buku Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay karya Astrid Wen.

 

Enda Sinta Apriliana

Peran Orang Tua sebagai Sumber Rasa Aman bagi Anak; gambar perempuan menggendong bayinya di udara

Peran Orang Tua sebagai Sumber Rasa Aman bagi Anak

Sebagai orang tua, kita memegang peran sentral sebagai sumber rasa aman bagi anak. Mungkin kita pernah melihat bayi yang sedang menangis, diam ketika digendong ibunya. Atau anak yang menempel erat pada ayahnya di tempat umum agar tidak tertinggal. Atau anak yang kebingungan dan menangis ketika terpisah dari orang tuanya.

Ini menunjukkan peran orang tua sebagai pemberi rasa aman bagi anak. Anak yang tadinya rewel, takut, dan bingung, seketika tenang ketika orang tua hadir di dekatnya. Hal ini terutama kentara pada anak-anak usia dini: waktu yang mereka habiskan bersama kita membuat mereka mengasosiasikan kita dengan rasa aman dan nyaman.

 Baca juga: Tipe Hubungan Orang Tua dan Anak: Secure dan Insecure Attachment

 

Rasa Aman sebagai Bentuk Konektivitas dengan Anak

Ketika anak masih bayi dan belum bisa mengerjakan apa-apa sendiri, anak akan memanggil kita—biasanya dengan menangis—untuk meminta kebutuhan mereka dipenuhi. Kebutuhan ini dapat berupa kebutuhan untuk merasa dimiliki, dijaga, diperhatikan, dilihat, diberi makan dan minum, hingga kebutuhan rasa nyaman (anak minta digendong, dipeluk, ditemani tidur).

Kebutuhan ini tentunya berubah seiring pertumbuhan anak. Anak yang sudah lebih besar umumnya tidak lagi minta digendong atau disuapi. Yang berubah adalah bentuk kebutuhan yang diperlukan anak.

Pernah tidak, memperhatikan bagaimana anak terus-terusan melihat ke arah orang tuanya ketika sedang bermain? Hal ini dikarenakan kebutuhan mereka untuk diperhatikan. Mereka mengecek dan memastikan orang tuanya hadir, melihat mereka berhasil memanjat seluncuran tanpa terjatuh atau menendang bola hingga masuk gawang.

Ketika anak-anak mengecek, kita sebaiknya menunjukkan perhatian dengan cara tersenyum kepadanya, melambaikan tangan, atau menganggukkan kepala. Bagi anak, gestur-gestur ini diartikan sebagai sinyal rasa aman. Hal ini memberikan anak kepastian bahwa dia tidak diabaikan.

Jika kita terlalu asyik dengan kegiatan kita hingga melewatkan kesempatan ini, anak dapat merasa kecewa dan merasa tidak didukung. Anak bisa menjadi bosan dan berhenti bermain, lalu kembali pada kita dan mungkin mengajak pulang atau minta dibelikan sesuatu. Tingkah laku ini menandakan kebutuhannya untuk terkoneksi kembali, memperbaiki hubungan yang sempat terdiskoneksi.

 

Pengaruh Memberikan Rasa Aman kepada Anak

Satu hal tentang rasa aman: hal ini dapat menyebar. Anak yang besar di lingkungan yang memberikannya rasa aman, akan tumbuh menjadi pribadi yang memberikan rasa aman bagi orang-orang di sekitarnya. Terbiasa hidup dengan rasa aman yang kuat dalam diri, anak akan memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan cara yang aman pula.

Anak akan terbuka untuk berkenalan dan menjalin hubungan dengan orang baru. Ia akan terbiasa mengecek kondisi orang-orang yang disayanginya, baik lewat mengirim pesan, menelepon, atau mengunjungi langsung. Ia tidak takut terlibat konflik atau membicarakan masalah bersama-sama demi mencari solusi.

 

Seperti Roma, memberikan rasa aman bagi anak tidak bisa dibangun dalam sehari. Butuh interaksi berulang agar mereka percaya bahwa kita adalah orang yang tepat untuk dijadikan sandaran.

Dalam bukunya yang berjudul Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay, Astrid Wen menjelaskan rasa aman anak dengan detail, termasuk cara membangun hubungan baik dengan anak dalam 15—30 menit setiap harinya.

Buku Theraplay pertama di Indonesia karya Astrid Wen, praktisi Theraplay dan pendiri Theraplay Indonesia, akan hadir akhir tahun ini di Bentang Pustaka. Info selengkapnya dapat diakses melalui Instagram Bentang.

 

Sumber: Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay (Astrid Wen)

Kontributor artikel: Anggarsih Wijayanti

Tipe Hubungan Orang Tua dan Anak: Secure dan Insecure Attachment

Tipe kelekatan hubungan dengan anak (bahasa Inggris: attachment) secara umum terbagi menjadi dua. Satu, secure attachment, hubungan yang bersifat negatif; dan insecure attachment, hubungan yang bersifat negatif. Tapi, sebelumnya, apa itu kelekatan hubungan jika kita kaitkan dengan relasi antara orang tua dan anak?

Attachment, dalam dunia psikologi di Indonesia, kerap disebut sebagai kelekatan hubungan. Dengan kata lain, hubungan afektif antar satu individu dengan individu lainnya. Dalam konteks hubungan orang tua dan anak, ini merujuk pada ikatan emosi keduanya, bagaimana orang tua dan anak terhubung secara emosional.

Kelekatan hubungan adalah fondasi dari interaksi antara orang tua dan anak. Ketika kelekatan hubungan ini renggang, atau rekat, interaksi antara keduanya pun akan berbeda.

Baca juga: Permainan Anak Tradisional yang Membentuk Anak Tangguh dan Bahagia

 

Secure Attachment

Secure attachment dapat diartikan sebagai hubungan yang aman (secure). Hubungan yang secure bersifat positif, kuat, dinamis, harmonis, tidak tergoyahkan, dan menjadi bekal untuk interaksi yang hangat antara orang tua dan anak.

Secure attachment ditandai dengan anak yang menunjukkan kepercayaan diri saat orang tua ada di dekatnya. Anak mungkin akan sedikit stres saat orang tua pergi, tapi ketika orang tua kembali, anak segera menjalin hubungan kembali dengan orang tua. Dari sisi orang tua, orang tua bersifat terbuka dan responsif. Orang tua melihat diri sendiri sebagai pribadi yang berharga dan pantas dicintai.

Secure attachment membuat orang tua dan anak tidak ragu untuk mencari tahu apa yang diperlukan agar hubungan mereka berjalan baik. Meminta umpan balik, terlibat dalam konflik atau konfrontasi, semua dapat mereka jalani demi membangun hubungan yang lebih baik lagi. Hal ini dapat berupa duduk bersama untuk mendiskusikan masalah, membuat batasan (boundary) apa yang bisa dan tidak dilakukan, dan lain sebagainya.

 

Insecure Attachment

Bertolak belakang dengan secure attachmenti, insecure attachment dapat diartikan sebagai hubungan yang tidak aman (insecure). Hubungan yang insecure biasanya penuh kecurigaan, pihak-pihak terlibat tidak percaya atau saling meragukan satu sama lain. Hubungan ini dapat menghambat pertumbuhan emosional orang tua maupun anak, di antaranya menimbulkan perasaan tidak aman, tidak percaya diri, goyah, atau bimbang.

Anak cenderung tidak menunjukkan kepercayaan diri saat orang tua ada di dekatnya. Mereka menunjukkan stres saat orang tua pergi, namun ketika kembali, mereka justru menghindari atau berlagak cuek pada orang tua. Orang tua dalam hubungan ini cenderung mempertanyakan apakah diri mereka pantas untuk dihargai dan dicintai? Apakah mereka telah melakukan hal yang benar?

Insecure attachment sendiri dibagi menjadi 3:

Insecure-Avoidant

Reaksi individu terhadap hubungan adalah menghindar. Anak seolah berlagak cuek dan tidak ingin menaruh hati pada orang tua, menolak terlibat secara emosional dengan orang tuanya. Sementara itu, orang tua merasa tidak nyaman membicarakan perasaan dengan orang terdekatnya.

Insecure-Ambivalent

Reaksi individu terhadap hubungan adalah kebingungan. Anak bersikap cemas saat orang tua ada di dekatnya, stres saat tidak bersama orang tua, tetapi marah dan menolak kontak ketika orang tua kembali. Pada orang tua, contohnya adalah marah ketika pasangan pergi, tapi bersikap jual mahal atau mencari gara-gara saat pasangan kembali.

Insecure-Disorganized

Reaksi individu terhadap hubungan adalah tidak tertebak. Anak bersikap tidak konsisten saat orang tua hadir ataupun tidak hadir. Biasanya terjadi pada anak dengan pengalaman trauma atau kekerasan. Pengalaman itu membuat ia membangun pertahanan diri yang berubah-ubah tergantung kondisi di rumahnya.

 

Lantas, bagaimana caranya membangun hubungan yang positif dengan anak? Ketika orang tua sudah memiliki bejibun aktivitas setiap harinya, menyempatkan cukup waktu dengan anak kadang sulit dilakukan. Dalam bukunya yang berjudul Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay, Astrid Wen menyajikan cara-cara membangun hubungan baik dengan anak dalam 15—30 menit setiap harinya.

Buku Theraplay pertama di Indonesia karya Astrid Wen, praktisi Theraplay dan pendiri Theraplay Indoesia, akan hadir akhir tahun ini di Bentang Pustaka. Info selengkapnya dapat diakses melalui Instagram Bentang.

 

Sumber: Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay (Astrid Wen)

Kontributor artikel: Anggarsih Wijayanti

© Copyright - Bentang Pustaka