Peran Orang Tua sebagai Sumber Rasa Aman bagi Anak

Sebagai orang tua, kita memegang peran sentral sebagai sumber rasa aman bagi anak. Mungkin kita pernah melihat bayi yang sedang menangis, diam ketika digendong ibunya. Atau anak yang menempel erat pada ayahnya di tempat umum agar tidak tertinggal. Atau anak yang kebingungan dan menangis ketika terpisah dari orang tuanya.

Ini menunjukkan peran orang tua sebagai pemberi rasa aman bagi anak. Anak yang tadinya rewel, takut, dan bingung, seketika tenang ketika orang tua hadir di dekatnya. Hal ini terutama kentara pada anak-anak usia dini: waktu yang mereka habiskan bersama kita membuat mereka mengasosiasikan kita dengan rasa aman dan nyaman.

 Baca juga: Tipe Hubungan Orang Tua dan Anak: Secure dan Insecure Attachment

 

Rasa Aman sebagai Bentuk Konektivitas dengan Anak

Ketika anak masih bayi dan belum bisa mengerjakan apa-apa sendiri, anak akan memanggil kita—biasanya dengan menangis—untuk meminta kebutuhan mereka dipenuhi. Kebutuhan ini dapat berupa kebutuhan untuk merasa dimiliki, dijaga, diperhatikan, dilihat, diberi makan dan minum, hingga kebutuhan rasa nyaman (anak minta digendong, dipeluk, ditemani tidur).

Kebutuhan ini tentunya berubah seiring pertumbuhan anak. Anak yang sudah lebih besar umumnya tidak lagi minta digendong atau disuapi. Yang berubah adalah bentuk kebutuhan yang diperlukan anak.

Pernah tidak, memperhatikan bagaimana anak terus-terusan melihat ke arah orang tuanya ketika sedang bermain? Hal ini dikarenakan kebutuhan mereka untuk diperhatikan. Mereka mengecek dan memastikan orang tuanya hadir, melihat mereka berhasil memanjat seluncuran tanpa terjatuh atau menendang bola hingga masuk gawang.

Ketika anak-anak mengecek, kita sebaiknya menunjukkan perhatian dengan cara tersenyum kepadanya, melambaikan tangan, atau menganggukkan kepala. Bagi anak, gestur-gestur ini diartikan sebagai sinyal rasa aman. Hal ini memberikan anak kepastian bahwa dia tidak diabaikan.

Jika kita terlalu asyik dengan kegiatan kita hingga melewatkan kesempatan ini, anak dapat merasa kecewa dan merasa tidak didukung. Anak bisa menjadi bosan dan berhenti bermain, lalu kembali pada kita dan mungkin mengajak pulang atau minta dibelikan sesuatu. Tingkah laku ini menandakan kebutuhannya untuk terkoneksi kembali, memperbaiki hubungan yang sempat terdiskoneksi.

 

Pengaruh Memberikan Rasa Aman kepada Anak

Satu hal tentang rasa aman: hal ini dapat menyebar. Anak yang besar di lingkungan yang memberikannya rasa aman, akan tumbuh menjadi pribadi yang memberikan rasa aman bagi orang-orang di sekitarnya. Terbiasa hidup dengan rasa aman yang kuat dalam diri, anak akan memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan cara yang aman pula.

Anak akan terbuka untuk berkenalan dan menjalin hubungan dengan orang baru. Ia akan terbiasa mengecek kondisi orang-orang yang disayanginya, baik lewat mengirim pesan, menelepon, atau mengunjungi langsung. Ia tidak takut terlibat konflik atau membicarakan masalah bersama-sama demi mencari solusi.

 

Seperti Roma, memberikan rasa aman bagi anak tidak bisa dibangun dalam sehari. Butuh interaksi berulang agar mereka percaya bahwa kita adalah orang yang tepat untuk dijadikan sandaran.

Dalam bukunya yang berjudul Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay, Astrid Wen menjelaskan rasa aman anak dengan detail, termasuk cara membangun hubungan baik dengan anak dalam 15—30 menit setiap harinya.

Buku Theraplay pertama di Indonesia karya Astrid Wen, praktisi Theraplay dan pendiri Theraplay Indonesia, akan hadir akhir tahun ini di Bentang Pustaka. Info selengkapnya dapat diakses melalui Instagram Bentang.

 

Sumber: Indahnya Pengasuhan dengan Theraplay (Astrid Wen)

Kontributor artikel: Anggarsih Wijayanti

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta