Siapa Sebenarnya Markesot?
Bagi pembaca tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib, baik dalam esai-esai maupun buku-bukunya, tentu tidak asing dengan nama Markesot. Markesot adalah tokoh fiksi yang digambarkan oleh Emha dalam tulisan-tulisannya sebagai seseorang yang berkepribadian cerdas, mbeling, lugu, tetapi misterius. Tidak jelas, apakah Markesot benar-benar murni tokoh fiksi, atau personifikasi manusia yang nyata. Tidak jarang para pembaca juga menerka-nerka, siapa sebenarnya Markesot itu?
Sebelum kita mengarah pada suatu kesimpulan siapa sebenarnya Markesot, mari kita coba mengupas sosok kepribadian Markesot seperti yang dideskripsikan Emha dalam setiap tulisannya. Markesot digambarkan oleh Emha sebagai sosok yang terpinggirkan, terasingkan. Markesot hidup di jalan kesunyian. Termarjinalkan, atau lebih tepatnya memarjinalkan diri dari kemajuan zaman, lingkaran kekuasaan, globalisasi, kosmopolitanisme, serta deru laju pembangunan.
Jalan sunyi kehidupan yang dilalui oleh Markesot salah satunya digambarkan dalam tulisan Emha yang berjudul “Kepala Besar Dunia”. Dalam tulisan tersebut, Cak Sot yang sudah tua renta masih harus menyingkir, menyepi ke tempat yang paling sunyi dari setiap kesunyian. Kendati begitu, Markesot tidak pernah berbesar kepala dengan menyebut apa yang ia lakukan sebagai bertapa, semedi, menepi, ngraga sukma, berkhalwat, uzlah, mati dalam hidup, atau apa pun.
Dalam tulisan itu Cak Sot juga digambarkan tidak pernah hidup dalam lembaga-lembaga makna, atau makna-makna yang dilembagakan. Markesot tidak meladeni institusionalisasi nilai atau pemahaman-pemahaman yang dibekukan sehingga menjadi beku. Lebih jauh lagi Markesot tidak menjalani rumusan-rumusan nilai yang didramatisasi sehingga kehilangan diri—nilainya.
Markesot digambarkan sebagai sosok yang tenang tampak luarnya, tetapi dalam pikirannya terdapat keresahan-keresahan masalah bangsa, negara, maupun alam semesta. Bersama para jamaah Mar-Mar lainnya, Markesot kerap membicarakan persoalan-persoalan yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, yakni masalah Tuhan dan Ketuhanan.
Misalnya potongan tulisan Emha dalam Daur 186 yang berjudul “Perjalanan Penderitaan”, Emha menuliskan sebagai berikut.
Kepala Markesot berputar-putar oleh pikiran tentang bagaimana menjelaskan banyak kebobrokan sosial yang terjadi sekarang ini .… Dari posisi dan “nasib” per orang, keluarga, dan komunitas-komunitas, sampai tingkat makro: kemiringan negara, keambrukan, bahkan keterbalikannya. Yang itu semua semakin memastikan masa depan ambruk dan rubuhnya. Meskipun kebanyakan orang baru mengerti sedang ambruk ketika bentuknya sudah seperti kiamat kecil yang kasat mata ….”
Emha selalu berusaha menampilkan Markesot sebagai sosok yang misterius, ia bahkan pernah menulis dalam sebuah artikel berjudul “Dilarang Memahami Markesot”. Dalam tulisan yang menceritakan percakapan antara Sapron dan seorang kawannya, Markesot yang akrab disapa Cak Sot itu melarang Sapron dan siapa pun untuk memahami dirinya. Kenapa? Sebab pemikiran-pemikiran filosofis Cak Sot sangat berbahaya jika salah dipahami. Namun, ternyata ada sebuah paradoks dalam tulisan tersebut bahwa seseorang yang paling berusaha untuk menutup dirinya dari pemikiran-pemikiran Cak Sot justru menjadi orang yang paling memahami pemikirannya.
Markesot adalah sosok yang sangat filosofis, dia memandang sesuatu selalu secara primordial, dari yang paling mendasar, paling hakikat. Baginya filsafat adalah induk atau akar dari semua ilmu karena itu semua pekerjaan harus memiliki landasan filsafatnya. Misalnya ngojek, kita harus tahu kenapa kita ngojek, niatnya apa, manfaatnya apa, dan sebagainya. Pangkal pemikiran filsafat seperti itulah yang nantinya akan ikut menentukan segala sesuatu yang akan terjadi pada kita, di luar takdir Tuhan.
Dari sedikit deskripsi tentang Markesot di atas, kita akan mengarah pada satu sosok yang sama sekali tidak asing, Emha Ainun Nadjib atau biasa disapa Cak Nun. Memang banyak orang yang sudah berspekulasi bahwa sosok Markesot yang digambarkan oleh Emha adalah Emha itu sendiri. Cerdas, mbeling, lugu, misterius semua ada dalam diri Emha. Memarjinalkan diri dari kemajuan zaman, lingkaran kekuasaan, globalisasi, kosmopolitanisme, serta deru laju pembangunan adalah jalan yang juga ditempuh oleh Emha.
Mudah saja kalau Emha mau masuk ke lingkaran kekuasaan, tapi ia justru menjauh dan lebih memilih untuk membaur dengan masyarakat akar rumput, rakyat jelata, kaum-kaum terpinggirkan korban pembangunan dan globalisasi. Ia memarjinalkan diri dari globalisasi, puluhan tahun sudah Emha tak pernah mengikuti siaran televisi selain tinju. Ia juga beberapa kali menuliskan tentang globalisasi, misal dalam tulisannya yang berjudul “Agama Globalisasi”, “Agama Bernama Globalisasi dan Dipeluk Mayoritas Orang”, serta “Nilai Seni yang Tergilas Kapitalisme Global”.
Soal jalan sunyi, jalan sunyi yang dipilih Emha tidak perlu diragukan lagi kesunyiannya. Puluhan tahun sudah ia memuasakan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi. Ia abdikan dirinya untuk melayani jamaah-jamaah Maiyah yang tersebar di seluruh Nusantara, bahkan seluruh dunia. Ia sudah melepaskan kepentingan pribadinya, demi kepentingan orang lain. Dan, semua ini adalah apa yang digambarkan Emha dalam sosok Markesot.
Jadi, apakah Markesot adalah personifikasi dari seorang Emha Ainun Nadjib? Boleh saja kita berspekulasi seperti itu. Namun tetap saja, yang paling tahu tentu Tuhan dan Emha itu sendiri. Meski sebenarnya tidak terlalu penting siapa itu Markesot karena yang lebih esensial adalah bagaimana kita memahami dan meneladani apa yang diajarkan Markesot.
Kontributor: Widi Hermawan
Sumber gambar: unafebriadi.blogspot.com
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!