Ratu Galau Itu Bernama Dwitasari

Apa yang menjadi pelarianmu ketika galau? Lagu-lagu bernada minor atau berlirik melankolis? Menonton film bergenre drama yang terkenal dengan kisah sedihnya? Atau, justru membaca buku yang mewakili perasaan galaumu? Perihal mengobati galau, setiap orang memiliki cara pengobatan yang berbeda-beda. Tapi, jika kamu termasuk dalam poin yang ketiga, mari merapat!

Salah seorang penulis yang terkenal dengan nuansa galau dalam karya-karyanya adalah Dwitasari. Potret kegundahan dan lika-liku kisah cinta, berhasil ia tangkap di setiap tulisannya. Sehingga, bagi para remaja atau bahkan dewasa yang sedang mengalami jatuh dan patah hati, bisa merasa dekat dengan tulisan Dwitasari.

Lalu, siapa sebenarnya sosok Dwitasari? Dan, mengapa ia bisa konsisten menulis kurang lebih 20 novel seputar perasaan galau karena cinta?

Telah Jatuh Cinta dengan Dunia Menulis Sejak SD

Kali pertama Dwita menyukai dunia tulis justru dikarenakan puisi, bukan cerita pendek atau karya tulis yang lain. Pada tahun 2004, dan kala itu terjadi bencana alam tsunami di Aceh, ia mulai menciptakan puisi yang bertemakan bencana. Ya, cukup aneh memang, kehadiran bencana selalu menciptakan inspirasi menulis baginya kala itu.

Kemudian puisinya berkembang tidak hanya bertemakan bencana alam. Ia mulai mengambil inspirasi pada hal-hal yang ada di sekitarnya. Kehadiran kedua orang tua, guru, dan saudaranya, ia hadirkan dalam bentuk puisi sebagai rasa terima kasihnya.

Aktif di Blog dan Twitter

Media yang ia pilih untuk mengembangkan kemampuan menulisnya kali pertama adalah blogspot. Kalian bisa menemukan tulisannya di dwitasarii.blogspot.com atau di dwitasaridwita.tumblr.com.

Perempuan berzodiak Sagitarius ini mulai menuliskan keresahan hatinya sejak tahun 2011. Kemudian beberapa kutipan manis dan bikin menangis, ia tuliskan di akun Twitter-nya, @dwitasaridwita. Dan, telah memiliki pengikut sebanyak 1,3 juta. Wahhh, kalau dibuat beli bakso, itu dapat berapa mangkuk, ya?

Karya Pertama yang Best Seller

Novel pertama yang dilahirkan Dwitasari berjudul Raksasa dari Jogja pada tahun 2012, waktu ia masih duduk di bangku SMA. Diterbitkan oleh Plotpoint, Bentang Pustaka, Raksasa dari Jogja berhasil menarik perhatian para pembaca. Bahkan, di dalam tahun yang sama, novel tersebut sudah tembus cetakan ketiga.

Alumni Sastra Indonesia Universitas Indonesia ini mengaku bahwa novel pertamanya terinspirasi oleh karya-karya Mira W. dan Seno Gumira Ajidarma. Baginya, kedua penulis tersebut berhasil membuat karya yang indah, tetapi dengan bahasa yang ringan. Sehingga inti cerita atau pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami dengan mudah.

Raksasa dari Jogja ingin ia hadirkan sebagai karya yang dapat menyentuh pembacanya, tetapi dengan gaya bahasa yang ringan dan indah. Novel ini juga telah difilmkan oleh Monty Tiwa dengan rumah produksi Starvision Plus pada tahun 2015.

Konsisten Menghadirkan Karya yang Membuat Galau Pembaca

Sejak karya pertamanya lahir di tahun 2012, hampir seluruh karya Dwita yang jumlahnya hampir mencapai 20 judul buku, selalu mengambil tema tentang lika-liku jatuh dan patah hati. Mulai dari galau ditinggal ketika sayang-sayangnya, terjebak pada hubungan dengan orang yang salah, hingga menahan rasa pada orang yang dicintai, bisa kalian temukan di setiap novelnya.

Tema patah hati dan gaya menulisnya yang manis, tapi terkadang bikin hati meringis dan mata menangis, berhasil membuat banyak novelnya bertengger di jajaran “Novel Best Sellers”. Alasan lainnya adalah tema tersebut sangat dekat dengan pembaca, dan membuat pembaca merasa bahwa ia tidak sendirian merasa galau.

Dwita mengakui, ia tidak selalu berhasil dalam urusan hati. Ia pernah patah hati dan itu membuatnya galau. Pengalaman patah hati itulah yang membuatnya tidak ingin banyak orang mengalami apa yang ia rasakan. Baginya, cukup dia yang patah hati, sebaiknya kamu jangan.

Patah hati terkadang bisa menjadi bencana, jika seseorang tidak siap untuk menghadapi hal itu. Untuk itu, tulisan-tulisannya didedikasikan untuk orang yang sudah atau belum patah hati. Dengan harapan, orang tersebut bisa menemukan semangat untuk move on dan bangkit kembali.

Cerita Patah Hati yang Hampir Menembus 20 Judul

Selama kurang lebih 8 tahun berkarier sebagai penulis, Dwita hampir melahirkan 20 judul buku yang telah memiliki bentuk fisik. Adapun beberapa judul yang diterbitkan oleh Bentang, yaitu Raksasa dari Jogja (Plotpoint Bentang Pustaka, 2012), Cerita Cinta Kota (Plotpoint Bentang Pustaka, 2013), Cerita Cinta Horor (Plotpoint Bentang Pustaka, 2013), Jatuh Cinta Diam-Diam (Plotpoint Bentang Pustaka, 2014), Jatuh Cinta Diam-Diam 2 (Bentang Belia, 2015), Memeluk Masa Lalu (Bentang Pustaka, 2016), Spy in Love (Bentang Pustaka, 2016), Setelah Kamu Pergi (Bentang Belia, 2017), dan Tidak Pernah Ada Kita (Bentang Belia, 2018).

Selain dapat menemukan kisahnya dalam bentuk buku, kamu juga bisa menemukan kisah Dwitasari yang menembus layar lebar, antara lain Raksasa dari Jogja dengan sutradara Monty Tiwa pada tahun 2015 dan Spy in Love yang disutradarai oleh Danial Rifky pada tahun 2016.

Orang Tua Adalah Support System Terbaik

Tidak selalu perjalanan kariernya sebagai penulis berjalan mulus. Ia pernah mendapat tuduhan bahwa hasil karyanya adalah jiplakan dan membuatnya mendapat bully di Twitter. Namun, kehadiran kedua orang tua, membuatnya bersabar dan tidak menanggapi terlalu serius bully-an tersebut.

Dalam wawancaranya bersama brilio.net, ia menjelaskan bahwa tidak semua pandangan negatif dari orang lain harus ia pedulikan. Ia tidak ingin hal tersebut membuatnya berhenti berkarya. Dan, hal itu terbukti hingga saat ini.

Sebagai penulis, Dwita menyadari bahwa ia tidak bisa memaksa orang untuk seratus persen menyukai tulisannya. Yang terpenting adalah selalu berusaha untuk berbuat baik kepada sesama. Dan, yang harus selalu diingat dalam menulis, pembencimu adalah penggemarmu nomor satu.

(Justika Imaniar Hijri)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta